Jumat, 30 Desember 2011

Pidato Nobel Tawakkul Karman (II)

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Menjadi semakin menarik seorang Tawakkul Karman dari Partai Ishlah yang biasa dikategorikan sebagai partai pendukung syariah telah tampil ke lapangan untuk meruntuhkan sistem politik yang antirakyat, tanpa membawa slogan syariah. Dalam pidato Nobelnya, tak satu pun kata syariah itu muncul. Tetapi, bahwa maq?shid al-syar?'ah (tujuan utama syariah) bagi tegaknya keadilan, kemerdekaan, dan persamaan sangat dirasakan dalam pidato itu. Prinsip-prinsip ini telah lama terkubur di bawah debu sejarah dalam masyarakat Yaman sebagaimana juga berlaku di seluruh dunia Arab. Kutipan-kutipan selanjutnya akan menjelaskan kepada kita bahwa Tawakkul memahami benar betapa ketidakadilan sejarah telah berlangsung, tidak hanya di dunia Arab, tetapi juga di bagian-bagian dunia yang lain.

"Sejak Anugerah Nobel Perdamaian pertama tahun 1901, berjuta orang telah mati dalam berbagai peperangan yang semestinya dapat dihindari sekiranya ada sedikit kearifan dan keberanian. Negeri-negeri Arab turut merasakan akibat peperangan tragis ini sekalipun bumi mereka adalah bumi kenabian dan risalah ketuhanan yang menyeru kepada perdamaian.

Dari bumi inilah datang Taurat dengan membawa pesan, "Kamu jangan membunuh" dan janji Bibel, "Rahmat bagi pejuang perdamaian," serta pesan terakhir dari Alquran yang menekankan, "Wahai kalian yang beriman, masuklah kalian ke dalam perdamaian, seluruhnya." Dan, ada lagi peringatan bahwa "barang siapa membunuh seorang bukan karena orang itu membunuh orang lain atau berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia." (QS al-Maidah: 32).

Di mata Tawakkul, perbuatan pembunuhan tanpa alasan yang benar adalah perbuatan kriminal terhadap seluruh umat manusia sebagaimana Alquran telah menegaskan sejak abad-abad silam. Tetapi, pembunuhan dalam Revolusi Arab oleh rezim penguasa masih saja berlangsung.

Selanjutnya dikatakan, "Perdamaian dalam suatu negeri tidak kurang pentingnya daripada perdamaian antara bangsa-bangsa. Peperangan bukan hanya sebuah konflik antara negara. Masih ada lagi tipe perang lain yang lebih getir, yaitu perang yang dilancarkan oleh pemimpin-pemimpin despot yang memeras rakyatnya sendiri. Ini adalah perang yang dilakukan oleh penguasa tempat rakyat memercayakan kehidupan dan nasibnya, tetapi mereka telah mengkhianati kepercayaan itu. Ini adalah perang oleh penguasa yang kepadanya rakyat telah memercayakan keamanan, tetapi justru senjata malah dibidikkan kepada rakyatnya sendiri. Inilah perang yang sekarang sedang dihadapi oleh negara-negara Arab." Tawakkul dalam pidato Nobelnya tanpa tedeng aling-aling menyerukan anak-anak muda Arab untuk meruntuhkan rezim-rezim yang tak beradab itu.

Bagi Tawakkul, damai tidak semata-mata menghentikan perang, "… tetapi juga menghentikan penindasan dan kezaliman. Di kawasan Arab kami, telah berlaku perang brutal antara pemerintah dan rakyat. Kesadaran kemanusiaan tidak mungkin berada dalam perdamaian, sementara orang menyaksikan anak-anak muda Arab ini dalam usia yang tengah mekar sedang diberondong oleh mesin-mesin maut yang dilepaskan atas mereka oleh para tiran." Para tiran inilah yang meminta fatwa kepada ulama kerajaan bagi pembenaran kelangsungan kekuasaan zalim mereka. Sekarang semuanya telah berubah berkat revolusi anak muda yang semakin terdidik.

Kelas Menengah Muslim Indonesia (1)

Oleh Azyumardi Azra

Pembicaraan publik tentang 'kelas menengah' Indonesia meningkat menjelang akhir 2011. Dalam berbagai diskusi dan pemberitaan media terungkap, jumlah kelas menengah Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah mereka kini diperkirakan atau bahkan lebih dari separuh jumlah total penduduk Indonesia-sekitar 130-140 juta orang.

Apa ukuran seseorang atau satu keluarga tertentu termasuk kelas menengah (middle class)? Secara sederhana, ukurannya adalah perbelanjaan per kapita sekitar 5-20 dolar AS (Rp 45 ribu-1,8 juta) per hari. Sebaliknya, mereka dengan pendapatan kurang dari jumlah itu, apalagi cuma dua dolar per hari, termasuk kelas bawah (lower class), tegasnya bahkan miskin.

Dalam sebuah ukuran lain, sebuah keluarga disebut termasuk kelas menengah jika memiliki gelar sarjana, pekerjaan tetap (apakah ayah atau ibu atau kedua-duanya) dengan pemasukan tetap, rumah dan kendaraan (meski secara cicilan), serta sejumlah tabungan. Ukuran tambahan lain; mampu membiayai liburan dengan segenap anggota keluarga minimal sekali dalam setahun.

Apakah Anda atau keluarga Anda termasuk golongan kelas menengah? Silakan dihitung-hitung dan dirasakan sendiri. Tapi, hampir bisa dipastikan, sebagian besar pelanggan dan pembaca Harian Republika ini termasuk kelas menengah; apakah kelas menengah atas (upper middle class), kelas menengah tengah (middle middle class), atau kelas menengah bawah (lower middle class). Para pelanggan dan pembaca Republika jelas sudah memiliki sedikit atau banyak kelebihan penghasilan sehingga mampu melanggan koran ini.

Maka, jika berbicara tentang pertumbuhan kelas menengah Indonesia, mau tidak mau kita harus berbicara tentang peningkatan jumlah kelas menengah Muslim negeri ini. Hal ini sama sebangun dengan pembicaraan tentang kelas bawah dan miskin di negeri ini, yang hampir bisa dipastikan pula sebagian besarnya adalah kaum Muslim. Inilah 'takdir' demografis Indonesia, yang sekitar 88,2 persen penduduknya beragama Islam; sehingga ada orang yang berkata, jika batu dilemparkan ke tengah kumpulan orang, 'pastilah' yang terkena lemparan itu orang Muslim.

Karena itu, penerima (beneficiaries)-positif atau negatif-perkembangan ekonomi negeri ini adalah kaum Muslimin. Memang sering dikatakan orang, ekonomi dan kekayaan Indonesia dikuasai segelintir konglomerat atau tycoon, yang termasuk ke dalam 20 atau 40 orang terkaya Indonesia, yang sebagian besarnya adalah non-Muslim dan sekaligus merupakan warga keturunan. Tanpa harus bersikap rasis, masih perlu waktu bagi kian pertumbuhan jumlah konglomerat/tycoon Muslim.

Terlepas dari itu, pada lapisan kelas menengah jelas kaum Muslim-sedikitnya dari segi jumlah-merupakan pihak yang paling banyak terkena, apakah jika ekonomi Indonesia membaik, atau sebaliknya merosot. Sekali lagi, meski masih ada sekitar 30 sampai 50 juta warga miskin di negeri ini-yang umumnya Muslim-secara kasat mata orang juga bisa melihat pertumbuhan kelas menengah Muslim sedikitnya dalam tiga dasawarsa terakhir.

Pertumbuhan kelas menengah Muslim bermula dengan tersedianya pendidikan-khususnya pendidikan tinggi agama Islam (PTAI). Inilah salah satu buah kemerdekaan karena sepanjang masa penjajahan Belanda sampai dasawarsa pertama kemerdekaan, terdapat hanya dua pendidikan tinggi di negeri ini; sekolah tinggi teknik (yang kemudian menjadi ITB) di Bandung dan STOVIA (Sekolah Tinggi Kedokteran yang kemudian menjadi UI) di Jakarta.

Berkat kemerdekaan, sejak akhir 1950-an terjadi ekspansi kesempatan memperoleh pendidikan bagi anak bangsa pada berbagai tingkatannya. Pada tingkat pendidikan tinggi, di kalangan kaum Muslim ini ditandai berdirinya PTAIN di Yogyakarta dan ADIA di Jakarta, yang pada 1960 berubah menjadi IAIN. Sejak saat itu sampai awal 1970-an berdiri pula IAIN di berbagai ibu kota provinsi dengan fakultas-fakultas cabangnya (yang pada 1996 menjadi STAIN) di kota-kota tingkat kabupaten.

Pada periode yang sama, perguruan tinggi umum (PTU) juga berdiri di hampir seluruh ibu kota provinsi. PTU-PTU ini juga memberikan akses lebih besar kepada putri-putri kaum Muslim untuk mempelajari bidang ilmu. Pada tingkat sarjana lengkap (Drs), PTU juga memberikan tempat bagi para sarjana muda (BA) lulusan IAIN untuk melanjutkan studinya.

Hasil ekspansi pendidikan tinggi ini jelas sudah. Sejak akhir 1960-an dan selanjutnya sampai sekarang, terjadilah apa yang disebut almarhum Nurcholish Madjid sebagai 'panen sarjana' kaum Muslimin Indonesia. Jumlah sarjana muda (BA) dan sarjana lengkap (Drs/Dra), apakah lulusan PTAI ataupun PTU (baik negeri maupun swasta), selalu bertambah dalam jumlah berlipat ganda dari tahun ke tahun. Dan, mereka ini memunculkan berbagai perkembangan yang bahkan tidak pernah terbayangkan pada masa sebelumnya, baik pada lingkungan umat Islam sendiri maupun negara-bangsa secara keseluruhan.

Surga dan Ibadah Sosial

Oleh Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA


Dalam sebuah hadis sahih Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, "Ibadah umrah pertama sampai ibadah umrah kedua akan menutupi dosa-dosa kecil antara keduanya, sedangkan haji yang mabrur tidak ada balasan lain kecuali surga."

Dalam hadis ini Nabi SAW menjanjikan pahala surga kepada pelaku haji mabrur. Haji mabrur adalah haji yang memenuhi tiga syarat; niat karena Allah, biaya haji dari penghasilan yang halal, dan amal hajinya mengikuti tuntunan Rasulullah SAW. Bila terpenuhi, maka mereka akan mendapatkan surga. Namun, tak diketahui surga seperti apa.

Bandingkan dengan ibadah sosial seperti menyantuni anak yatim. Dalam hadis sahih yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Nabi SAW bersabda, "Saya dan penyantun anak yatim seperti dua jari ini di surga." Rasul SAW menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah.

Dalam hadis kedua ini, Rasulullah SAW juga menjanjikan surga kepada penyantun anak yatim dan tinggal bersamanya di dalamnya. Menurut para ulama, maksud seperti dua jari telunjuk dan tengah itu adalah antara Nabi SAW dan penyantun anak yatim berada dalam satu level. Tentu surga yang ditempati Nabi SAW adalah yang paling baik dan bagus.

Seorang Muslim yang memiliki kemampuan untuk berhaji dan dia belum pernah melaksanakannya, maka wajib baginya menjalankannya, tanpa harus balasannya. Sedangkan Muslim yang sudah berhaji dan memiliki dana lebih, seyogianya memikirkan pahala dan manfaat terbaik baginya, dibandingkan haji berulang yang hukumnya sunah.

Ibadah haji memerlukan persiapan fisik dan mental. Dan menyantuni anak yatim adalah ibadah yang sangat mudah dan tidak memerlukan persiapan fisik dan mental, serta syarat lainnya. Walhasil menyantuni anak yatim adalah ibadah yang sungguh sangat ringan untuk dikerjakan. Kendati begitu, balasan yang dijanjikan kepada penyantun anak yatim adalah surga yang sama dengan Rasul SAW.

Ini menunjukkan bahwa ibadah sosial jauh lebih unggul dibandingkan ibadah individual. Dan, Rasul SAW lebih memprioritaskan ibadah sosial daripada ibadah individual. Walaupun beliau mempunyai kesempatan untuk berhaji tiga kali, namun hanya satu yang dilaksanakan. Beliau juga mempunyai ratusan kali berumrah, tapi beliau hanya menjalankan umrah sunah dua kali.

Rasul SAW lebih memprioritaskan untuk berinfak fi sabilillah, menyantuni janda-janda, fakir miskin, anak-anak yatim, dan pelajar-pelajar yang miskin. Karena manfaatnya jauh lebih besar bagi masyarakat luas dibandingkan dengan ibadah individual seperti haji berulang kali.

Mendirikan sekolah, membangun rumah sakit, dan membantu orang-orang yang membutuhkan, tentu akan lebih besar manfaatnya dibandingkan dengan ibadah sunah yang tujuannya hanya demi kepentingan pribadi.

Berkaca dari contoh di atas, sudah selayaknya seorang Muslim untuk meniru dan menjalankan ibadah sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW, sang teladan bagi umat manusia. Dan, beruntunglah orang-orang yang mendirikan shalat dan melaksanakan ibadah sosial. Wallahu a'lam.
(-)

Selasa, 27 Desember 2011

Tetap Optimistis

Oleh Ustadz Toto Tasmara

Akhir perjalanan sudah pasti, sedangkan bekal belum lagi terisi. Maka, jika napas masih berdesah dan mentari masih hangat dirasakan, tak perlu berkeluh kesah meratapi masa lalu yang telah pergi. Tak juga berkhayal melukis langit tiada bertepi. Masa lalu adalah lembaran kertas yang telah terbakar yang tidak meninggalkan apa pun, kecuali kenangan keceriaan atau pahit getirnya pengalaman. Hari kemarin telah berlalu, hari esok belum lagi tentu. Maka, anggap saja hidup kita hanyalah hari ini, agar diri kita sibuk mengisi bekal menuju hari nanti. Kekasih abadi mengetuk nurani, "Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang dipersiapkannya untuk hari esok ...." (59: 18).

Sambil mempersiapkan bekal, seorang yang hatinya berpaut cinta Ilahi akan melepaskan pandangannya sejenak ke masa lalu, membuka album tua yang telah kusam. Bukan untuk berhenti atau terperangkap dalam nostalgia tanpa prestasi, melainkan sebagai penyegar semangat dengan menimba pengalaman membaca sejarah. Sungguh sudah berlalu sunah-sunah Allah untuk menjadi berita pelajaran bagi orang-orang yang beriman. (QS Ali Imran [3]: 137).

Membaca sejarah berarti menimba hikmah untuk dijadikan pedang kelewang menebas segala kebodohan dan kebatilan. Dan sejatinya, cara kita menyikapi sejarah harus bertanya, "Mengapa, bagaimana, dan apa akibatnya? Bukan hanya berhenti pada siapa, kapan, dan di mana?"

Kita harus mampu menganalisis dengan bertanya. Mengapa peristiwa itu terjadi? Bagaimana caranya agar hal-hal yang tidak kita inginkan dapat kita hindari? Apa akibat atau risikonya bagi eksistensi dan keberhasilan cita-cita kita?

Dengan pendekatan seperti ini, sejarah akan menjadi inspirasi dan motivasi unggul untuk menghasilkan prestasi "ulil al-bab" sebagai bentuk pertanggungjawaban manusia dalam kedudukannya sebagai khalifah fil ardhi (divine vicegerency).

Hanya bangsa yang besar yang memahami makna kesejarahannya. Dan bangsa yang memutus tali kesejarahannya akan lenyap ditelan gelombang peradaban yang tak kenal belas kasihan. Berbekal sejarah, ia tak kenal rasa takut menatap masa depan. Karena bagi dirinya, setiap hari adalah saat terbaik mengerahkan segala potensi meraih prestasi. Hari ini tidak bisa digugat. Sepiring nasi yang terhidang hari ini lebih berarti dari emas permata di hari esok. Ya, hari inilah milikmu. Bukankah ada pepatah indah, "Bekerjalah kamu seakan kamu akan hidup selamanya dan beribadahlah kamu seakan kamu akan mati esok hari."

Karena milikmu hanya ada di hari ini, maka tebarkanlah benih amal manfaat betapa pun esok bekal kiamat tak ada kata henti menikam hasrat. Tetaplah optimistis menanti semburat cahaya mentari. Orang optimis itu sungguh jauh dari sifat berkeluh kesah. Karena, ratapan penyesalan hanya merobek jiwa dan menambah sesaknya dada. Mereka yakin, pada setiap bercak dosa dan nista sesunguhnya selalu ada pintu-pintu pengampunan-Nya. Di setiap penyakit ada obatnya. Di setiap kegagalan ada sukses yang menunggu. Maka tetaplah optimistis.
Redaktur: Siwi Tri Puji B

Apa Yang Kita Cari Di Dunia Ini?

Oleh : Agustiar Nur Akbar

Dalam kajian para filosofi manusia menjadi salah satu obyek kajian tersendiri, filsafat manusia. Diantara yang dibahas adalah tujuan hidup manusia. Sebut saja Aristoteles, seorang filosofi yang sudah tak asing lagi, dari Yunani. Konsep tujuan hidup manusia menurut Aristoteles terkenal dalam karyanya Ethika Nicomachea. Yaitu, “Tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan (eudaimonia). Orang yang sudah bahagia tidak memerlukan apa-apa lagi pada satu sisi, dan pada sisi lain tidak masuk akal jika ia masih ingin mencari sesuatu yang lain. Hidup manusia akan semakin bermutu manakala semakin dapat mencapai apa yang menjadi tujuan hidupnya. Dengan mencapai tujuan hidup, manusia akan mencapai dirinya secara penuh, sehingga mencapai mutu yang terbuka bagi dirinya”.

Secara sederhana pernyataan filsuf legendaris tersebut sejalan dengan fitrah manusia. Dimana manusia lebih cenderung (baca mencari) kebahagiaan dan cenderung menghindari kesedihan atau kesusahaan. Jika memang mencari kebahagiaan adalah fitrah dan tujuan hidup manusia. Lantas pertanyaannya kebahagiaan seperti apa? Kemudian apakah semata-mata hanya mencari kebahagiaan?

Banyak orang menafsirkan dan memaknai kebahagiaan disini. Salah satu yang sering dianggap dapat mewujudkan kebahagiaan secara mutlak adalah jika mendapatkan kekuasaan, harta, dan wanita. Karena itu tak jarang kita melihat sekian banyak orang berlomba-lomba mendapatkan keitga hal yang mendasar tersebut. Pada akhirnya terjebak dalam gaya hidup hedonis bahkan menjadi hamba dunia.
Islam mempunyai konsep yang lebih sempurna dan jelas tentang tujuan hidup manusia ini. Allah swt berfirman dalam Al Quran “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (Adz Dzariaat [51] : 56).

Ini adalah hal yang paling mendasar dalam konsep Islam tentang tujuan hidup manusia. Tidak lain manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah swt. Sebagai Sang Pencipta maka Allah mempunyai hak yang absolut terhadap hambanya.
Menurut Ibnu Abas dalam tafsir Ibnu Katsir, kalimat “Liya’buduun” dalam ayat tersebut bermakna “ menghinakan diri kepada Allah dan mengagungkan-Nya”. Dengan begitu ibadah disini mempunyai cakupan arti yang luas. Tidak hanya sebatas ibadah yang kita kenal. Yaitu, shalat, zakat, shaum, dan haji. Secara sederhana dapat kita pahami, segala sesuatu yang diniatkan lillahi ta’la dan tidak melanggar syariat maka ia bernilai ibadah, inysa Allah.

Yang sangat menarik di sini ternyata ibadah tidak hanya bekerja secara sepihak. Akan tetapi mempunyai timbal balik bagi manusia itu sendiri. Ibadah bukan hanya semata-mata kewajiban kita sebagai seorang hamba kepada Sang Penciptanya. Ibadah mempunyai efek psikis yang menjadi tujuan hidup dalam kacamata filsafat, yaitu kebahagiaan.
Jika kita benar-benar telah ikhlas dan benar-benar memahami hakikat ibadah itu sendiri. Kita akan merasakan kebahagiaan setiap kali kita selesai menunaikan ibadah. Artinya ibadah apapun itu bukan semata-mata gerak tubuh dalam ritual khusus. Juga bukan semata menunaikan kewajiban. Rasulullah saw bersabda, “Berdirilah Bilal, maka nyamankan kami dengan sholat” (H.R Abu Dawud). Dalam riwayat lain “Wahai Bilal dirikanlah sholat (maksudnya kumandangkanlah adzhan untuk panggilan sholat wajib) nyamankan kami dengannya (dengan shalat)."

Dari hadis tersebut jelas menggambarkan bahwasanya sholat (ibadah) membawa kenyamanan bagi yang menunaikannya. Bahkan ketika ia meniggalkannya maka ia akan merasa sedih. Sebaliknya ketika ia menunaikannya ia akan merasa bahagia. Wallahu a’lam bis showab.

Islam 'Tertutup' oleh Umatnya sendiri

Oleh M Fuad Nasar MSc

Dalam satu riwayat disebutkan, seorang Yahudi datang kepada Khalifah Umar bin Khattab dan berkata, "Ada satu ayat yang telah diturunkan Allah kepada umat Muslim, andai kata ayat itu diturunkan kepada kami (Yahudi), pasti kami akan merayakannya pada hari diturunkannya."

Umar menanggapi, "Ayat manakah yang Anda maksud?" Yahudi itu menjawab, "Pada hari ini Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan Aku telah cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Aku telah meridai Islam sebagai agamamu." (QS al-Maidah [5]: 3). Umar berkata, "Demi Allah, sungguh saya mengetahui dengan pasti hari diturunkannya ayat tersebut. Diturunkan kepada Rasulullah SAW pada hari Jumat, hari Arafah, yang menjadi hari raya bagi seluruh kaum Muslimin di dunia tiap-tiap tahunnya."

"Berpegang teguh kepada hukum Islam adalah suatu keharusan. Lebih dari itu Allah menjamin kesempurnaan hukum-hukum yang diberikan kepada umat Islam serta menjadikannya sebagai cahaya dan petunjuk. Maka, barang siapa yang menentangnya, pasti akan sesat dan buta hatinya untuk selamanya," tulis Sayyid Sabiq dalam Anashirul Quwwah Fil Islam.

Islam adalah risalah yang terakhir dan mengajarkan kebenaran dan tata nilai yang bersifat universal dan abadi, yang harus diyakini dan diamalkan setiap Muslim. Kebenaran Islam ini harus disebarkan dengan dakwah, bukan dengan jalan pemaksaan dan pengerahan kekuatan fisik. Islam tidak disebarkan dengan kekuatan pedang dan senjata, melainkan dengan kekuatan lidah dan keindahan amal perbuatan para juru dakwah.

Islam mengajarkan, keseimbangan dan keselarasan antara kemajuan material dan spiritual. Ketakwaan kepada Allah dan amaliah umat, merupakan esensi hidup beragama. Sekiranya ajaran Islam itu dijalankan dengan baik oleh umatnya, maka takkan ada orang miskin yang telantar, tidak ada orang sakit yang tidak bisa berobat, dan tidak akan ada perpecahan, kebodohan, dan kejahatan kemanusiaan di kalangan umat Islam. Kata Syekh Muhammad Abduh, "Islam tertutup oleh umat Islamnya sendiri."

Dewasa ini kita menyaksikan posisi umat Islam yang lemah dalam percaturan politik global. Umat Islam sering kali dimanfaatkan dan dipermainkan oleh situasi yang dibikin oleh orang lain. Pada sebagian negara Muslim, tak jarang ditemukan campur tangan asing akibat ketidakmampuan umat Islam dalam mengelola rumah tangganya sendiri. Meski berada dalam tatanan masyarakat dunia yang multikultural, namun kita bisa menciptakan situasi yang kondusif untuk perkembangan dan hari depan agama ini. Bukankah umat Islam adalah umat terbaik (khaira ummah) yang dilahirkan untuk umat manusia?

Umat Islam sebagai pemangku risalah Nabi Muhammad SAW adalah umat yang kekal sampai akhir zaman. Sebab, risalah Muhammad adalah risalah yang kekal. Salah satu doa Rasulullah yang dikabulkan oleh Tuhan, ialah umat Islam tidak akan punah dari muka bumi seperti yang dialami umat-umat terdahulu, seberapa pun kelemahan umatnya.

Namun demikian, kejayaan umat Islam dari masa ke masa bergantung pada ikhtiar dan upaya yang dilakukan oleh umat Islam sendiri. Pertolongan Allah akan datang jika umat Islam menjemputnya dengan ikhtiar yang tidak mengenal lelah. Wallahu a'lam.

Makna Agung kata 'Insya Allah'...Jangan Sembarangan Mengucapkannya

Oleh Hasan Basri Tanjung MA

Dalam buku Asbabun Nuzul yang disusun oleh KH Q Shaleh dkk (1995) menukil riwayat mengenai asbabun nuzul (sebab turun) surah al-Kahfi ayat 23-24. "Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut); 'Insya Allah'." (QS al-Kahfi [16]:23-24).

Suatu hari, kaum Quraisy mengutus an-Nadlr bin al-Harts dan Uqbah bin Abi Mu'ith menemui seorang pendeta Yahudi di Madinah untuk menanyakan kenabian Muhammad. Lalu, kedua utusan itu menceritakan segala hal yang berkaitan dengan sikap, perkataan, dan perbuatan Muhammad.

Lalu, pendeta Yahudi berkata, "Tanyakanlah kepada Muhammad akan tiga hal. Jika dapat menjawabnya, ia Nabi yang diutus. Akan tetapi, jika tak dapat menjawabnya, ia hanyalah orang yang mengaku sebagai Nabi. Pertama, tanyakan tentang pemuda-pemuda pada zaman dahulu yang bepergian dan apa yang terjadi kepada mereka. Kedua, tanyakan juga tentang seorang pengembara yang sampai ke Masyriq dan Maghrib dan apa yang terjadi padanya. Ketiga, tanyakan pula kepadanya tentang roh."

Pulanglah utusan itu kepada kaum Quraisy. Lalu, mereka berangkat menemui Rasulullah SAW dan menanyakan ketiga persoalan tersebut di atas. Rasulullah SAW bersabda, "Aku akan menjawab pertanyaan kalian besok." Rasul menyatakan itu tanpa disertai kalimat "insya Allah".

Rasulullah SAW menunggu-nunggu wahyu sampai 15 malam, namun Jibril tak kunjung datang. Orang-orang Makkah mulai mencemooh dan Rasulullah sendiri sangat sedih, gundah gulana, dan malu karena tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada kaum Quraisy. Kemudian, datanglah Jibril membawa wahyu yang menegur Nabi SAW karena memastikan sesuatu pada esok hari tanpa mengucapkan "insya Allah". (QS al-Kahfi [18]:23-24).

Dalam kesempatan ini, Jibril juga menyampaikan tentang pemuda-pemuda yang bepergian, yakni Ashabul Kahfi (18:9-26); seorang pengembara, yakni Dzulqarnain (18:83-101); dan perkara roh (17:85).

Mufassir Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Kitab Jaami'ul Bayan menjelaskan, "Inilah pengajaran Allah kepada Rasulullah SAW agar jangan memastikan suatu perkara akan terjadi tanpa halangan apa pun, kecuali menghubungkannya dengan kehendak Allah SWT.

Sungguh agung makna kata "insya Allah" itu. Di dalamnya dikandung makna paling tidak empat hal. Pertama, manusia memiliki ketergantungan yang tinggi atas rencana dan ketentuan Allah (tauhid). Kedua, menghindari kesombongan karena kesuksesan yang dicapai (politik, kekayaan, keilmuan, dan status sosial.) Ketiga, menunjukkan ketawaduan (keterbatasan diri untuk melakukan sesuatu) di hadapan manusia dan Allah SWT. Keempat, bermakna optimisme akan hari esok yang lebih baik.

Bagaimana jika kata "insya Allah" dijadikan tameng untuk memerdaya manusia atau dalih untuk melepaskan diri dari tanggung jawab? Sesungguhnya kita telah melakukan dua dosa. Pertama, menipu karena menggunakan zat-Nya. Kedua, kita telah menipu diri kita sendiri karena sesungguhnya kita enggan menepatinya, kecuali sekadar menjaga hubungan baik semata dengan rekan, kawan, atau relasi. Wallahu a'lam.

Tulisan ini dimuat di Republika cetak dengan judul Makna Insya Allah

Haji dan Kesederhanaan Tetap Optimistis Menjadi Pribadi Berkarakter Ikhlas Seperti Kelapa

Haji dan Kesederhanaan
Tetap Optimistis
Menjadi Pribadi Berkarakter
Ikhlas Seperti Kelapa
Jumat, 25 November 2011 07:29 WIB

Oleh Irkhamiyati


Kelapa adalah buah yang memiliki multimanfaat. Mulai dari akar, batang, daun, dahan, hingga buahnya. Akarnya bisa dijadikan bahan kayu bakar dan kerajinan seni. Batangnya bisa digunakan sebagai bahan bangunan rumah. Daunnya bisa buat janur pernikahan maupun tempat untuk ketupat. Lidinya bisa dibuat sapu. Kemudian buahnya, antara air dan isinya, juga mengandung banyak manfaat.

Air kelapa mengandung beragam zat-zat yang menyegarkan tubuh. Ia bisa digunakan sebagai penawar racun dan bahan pengembang untuk membuat roti. Daging (isi) buah kelapa yang masih muda sangat digemari sebagai bahan minuman, seperti es kelapa muda. Ia bisa juga diawetkan menjadi nata decoco, sebagai bahan makanan kudapan pedas atau tidak pedas, dan dapat diolah menjadi gula jawa. Buah kelapa, jika sudah tua isinya, diambil sarinya menjadi santan kelapa yang sangat dibutuhkan dalam membuat berbagai makanan dan masakan.

Itulah gambaran akan manfaat pohon kelapa. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang dikaruniai akal dan pikiran. Karenanya, sudah semestinya apabila kita bisa berkaca dari pohon kelapa tersebut. Sejauh mana manfaat diri kita, baik bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, agama, maupun bangsa kita. Rasulullah SAW bersabda; "Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi yang lainnya."

Bisa jadi kita terjebak dalam rutinitas setiap hari sehingga lupa akan potensi diri sendiri yang sebenarnya bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Memberi manfaat bagi tempat kerja dan keluarga adalah sesuatu yang wajib, tetapi memberi manfaat bagi lingkungan masyarakat di sekeliling kita terkadang terlupakan.

Apa pun profesinya, baik sebagai pedagang, guru, dosen, karyawan, pelajar, mahasiswa, buruh, wiraswasta, bupati, maupun beragam profesi lainnya, dituntut bisa bekerja secara profesional sekaligus memberi manfaat bagi lingkungannya. Namun, apa pun yang kita berikan, hendaknya dilandasi dengan niat tulus dan ikhlas. Gambaran ikhlas bisa kita contoh dan pelajari dari falsafah buah kelapa. Ia sudah terbukti memberi banyak manfaat, mulai dari akar hingga ujung daunnya.

Buah kelapa bisa dijadikan makanan atau kontributor bahan makanan. Sari dari buah kelapa adalah santan kelapa yang sangat banyak manfaatnya untuk bahan makanan. Sebelum menjadi santan, kelapa harus melalui banyak tahapan. Yang pertama saat kelapa dipetik terkadang dipotong keras dengan parang dengan sekuat tenaga. Beda perlakuannya saat memetik buah anggur atau buah halus lainnya, memetiknya dengan halus dan hati-hati.

Saat kelapa jatuh, tidak ada orang yang mau menangkapnya di bawah sehingga kelapa pasti dijatuhkan setelah dipetik. Kemudian, kelapa dikupas kulitnya dan dipecah sehingga terpisahlah air dengan dagingnya. Cara mengupas kulit dan memecahnya pun dengan keras, beda perlakuannya dengan buah yang lain. Setelah itu, kelapa diparut dan diambil air santannya. Dan setelah menjadi santan, ia bisa digunakan untuk apa saja.

Itulah buah kelapa, begitu banyak manfaatnya untuk manusia. Sudah semestinya, demikian pula diri kita, bisa menjadi manfaat bagi orang lain, baik di lingkungan terdekat maupun yang lebih luas lagi.

Jalan Tuhan

Oleh Dr A Ilyas Ismail


Menurut al-Ghazali, agama adalah jalan atau perjalanan menuju Allah. Dalam terminologi sufistik, perjalanan ini dinamai al-Suluk, sedangkan pelakunya dinamai al-Salik, sang penempuh perjalanan, dan yang dituju (al-Mathlub) adalah Allah SWT (Mizan al-`Amal, 1979).

Dalam bahasa yang lebih umum, perjalanan ini dinamai taqarrub, yaitu proses mendekatkan diri kepada Allah. Taqarrub ini valid, absah, karena Allah adalah dekat, qarib (al-Baqarah [2]: 186), bahkan lebih dekat dari urat nadi manusia. (QS Qaf [50]: 16).

Dalam Alquran, agama memang dilambangkan dengan jalan. Agama disebut sabilillah, jalan Allah, shirath al-Mustaqim, jalan lurus, lalu syari`ah atau syir`ah, dan minhaj, yang semuanya berarti jalan, tepatnya jalan Tuhan. Kata sabil diulang sebanyak 176 kali, shirath 145 kali, syari`ah dua kali, dan minhaj satu kali. (Mu`jam al-Mufahras li Alfazh Alquran).

Filosofi jalan ini menarik dan perlu dipahami. Ibarat jalan, agama atau beragama tidak boleh putus. Ia merupakan perjalanan yang konstan dan terus-menerus (constant and continuous journey) hingga sampai di ujung perjalanan pada waktu kita bertemu dengan Allah. (QS al-Hijr [15]: 99).

Jalan Tuhan (sabilillah), menurut Sayyid Quthub, mengandung tiga makna dasar. Pertama, al-Haqq al-Muthlaq, kebenaran mutlak, yaitu kebenaran yang sejati, merupakan kebenaran universal (kulliyyat), bukan kebenaran partikular (juz'iyyat). Terma al-Haqq itu sendiri secara bahasa berarti kuat dan mantap. Maka itu, agama Islam, Alquran, dan Allah swt disebut al-Haqq. (QS al-Isra [17]: 81).

Kedua, jalan tuhan bermakna al-Khair al-Muthlaq (kebaikan mutlak). Dalam Alquran dibedakan antara al-Khair dan al-Ma`ruf. Kata al-Khair menunjuk kepada kebaikan universal, sedangkan al-Ma`ruf berarti kebaikan yang dikenal oleh suatu masyarakat. Dengan kata lain, al-Ma`ruf adalah kebaikan budaya atau yang sekarang dinamakan kearifan lokal. Islam mengajarkan al-Khair, sekaligus mengakui dan menyuruh kepada yang ma`ruf (QS Ali Imran [3]: 104).

Ketiga, jalan Tuhan bermakna al-`Adl al-Muthlaq (keadilan mutlak). Seperti diketahui, adil adalah suatu keutamaan (fadhilah), pangkal dari segala kebaikan. Dalam Alquran, adil disebut sebagai nilai tertinggi yang paling mendekati takwa (QS al-Maidah [5]: 8). Adil juga merupakan hukum kosmik, yang harus ditegakkan agar tidak terjadi kekacauan, chaos. (QS al-Rahman [55]: 7-8).

Inilah tiga nilai dasar yang terkandung dalam agama sebagai jalan Tuhan, yaitu jalan kemuliaan. Peradaban Islam sesungguhnya berakar pada tiga nilai dasar ini. Agama, karenanya dapat disebut sebagai induk dari peradaban (the mother of culture and civilization).

Setiap orang beriman, dipanggil agar menghidupkan nilai-nilai dasar, yang menjadi pangkal keadaban itu, agar dunia dalam usianya yang semakin tua, tidak terjebak pada ancaman kekerasan dan kebiadaban. "Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, Maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya, yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa." (QS al-An`am [6]: 153). Wallahu a`lam.

angan Menyalahkan Tuhan

Oleh Dr Abdul Mannan

Sebagian kita mulai menyalahkan musim hujan yang kembali menyapa kita. Padahal, jika tidak ada hujan, kekeringan juga akan datang dengan dampak yang jauh lebih buruk. Artinya, hujan atau tidak, bergantung pada cara manusia memperlakukan alam ini.

Manusialah yang menjadikan hujan bak monster ganas. Hutan yang dulu rindang kini gundul dan tak terurus. Sungai yang dulu megalir dengan jernih, kini keruh dan tersumbat. Bahkan, beberapa sungai justru menjadi tempat sampah dan menimbulkan bau tak sedap.

Alam tak bersahabat lagi dengan kita. Maka, air hujan yang dulu memberikan banyak manfaat, kini justru menimbulkan banyak mudharat. Sejatinya air hujan adalah berkah yang dengan kehadirannya untuk keseimbangan alam. Bahkan, hujan juga merupakan stimulus dari Allah agar manusia berpikir dengan jernih dan beriman kepada Allah semata.

"Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui." (QS al-Baqarah [2]: 22).

Dan hujan itu dibutuhkan bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. (Lihat QS [32]: 27). Prinsipnya hujan itu adalah berkah dari Allah demi kesejahteraan manusia dan keseimbangan alam semesta. Tanpa hujan, bumi akan diliputi oleh kekeringan yang berujung pada kegersangan, kelaparan, dan berakhir pada kematian.

Faktanya hari ini hujan tidak demikian. Di beberapa tempat, musim hujan justru menjadi aba-aba kewaspadaan yang sangat dikhawatirkan. Sebab, tidak lama lagi banjir akan menemui mereka. Dalam situasi demikian, siapakah yang salah?

Tentu bukan Tuhan yang keliru, tapi manusialah yang bersalah. Allah telah menurunkan penjelasannya dalam Alquran. Pertanyaannya, sejauh mana kita mentadabburinya, sehingga mengerti dengan sebenarnya bahwa hujan itu adalah berkah. Dan, karena itu kita mampu membuat satu kebijakan yang bisa mengundang berkah.

Tatkala Allah menurunkan ayat tersebut di atas, target yang dikehendaki oleh-Nya ialah manusia bisa memelihara keseimbangan alam. Berpikir bagaimana kehadiran hujan mampu memberikan manfaat besar seperti yang difirmankan-Nya. Bermanfaat bagi pertanian, peternakan, kehidupan, dan keindahan alam. Jadi, bukan Tuhan yang salah ataupun alam yang tidak mau bersahabat. Tetapi, manusialah yang salah mengelola lingkungan.

Banjir itu terjadi karena manusia lalai dalam mengantisipasinya. Ketika sebuah kota dibangun dengan tanpa perencanaan yang baik, pasti banjir akan menjadi sahabat mereka. Ketika alam tidak dipelihara dengan serius maka bencanalah sahabat karib mereka. Sekali lagi jangan salahkan Tuhan tapi salah manusia sendiri. Wallahu a'lam.

(Tulisan ini telah diterbitkan di Republika edisi cetak)

Antara Setan Dan Malaikat

oleh: Hayyu Adnan

Segala sesuatu mempunyai dua kutub berbeda. Ada kanan ada kiri. Ada bawah ada atas, ada pintar ada pula bodoh, ada baik ada buruk, ada malaikat dan ada pula setan. Begitu juga manusia, dalam dirinya manusia punya dua sisi tersebut. Terkadang malaikat yang lebih dominan, namun di lain waktu setanlah yang menguasai.

Saat kita melihat seseorang dengan pakaian compang-camping mengais sampah untuk mencari nasi, hati ini tergugah untuk memberinya makan makanan yang layak seperti yang kita makan. Degan memberinya sepiring nasi sepertinya kita sudah menjadi malaikat yang telah menjadi penolong orang lain.
Di sisi lain saat ada seseorang berbuat kesalahan, kita sulit sekali memaafkannya, menampakkan muka angkuh di hadapannya, menyiratkan pandangan kebencian terhadapnya, bahkan menyapanyapun tidak mau. Tetapi saat itu kita tidak merasa diri ini setan bukan?

Rasulullah mengajarkan “saat tangan kanan memberi maka tangan kiri tidak boleh tahu”. Tetapi apa yang kita lakukan? Saat tangan kanan memberi, dengan sengaja ia mengundang tangan kiri untuk mendampinginya. Apakah manusia merasa dirinya setan dalam situasi seperti ini?

Ada orang merasa dirinya besar jika ia mampu pergi ke Tanah Suci. Berdoa dan didoakan menjadi haji yang mabrur. Menunaikan haji dan pulang membawa air zam-zam dan pernak-perniknya, mengajak kumpul para tetangga dan mengeluarkan banyak harta untuk disedekahkan. Namun, ia berbangga dengan gelar hajinya, tidak boleh orang memanggilnya “Bapak Fulan” tetapi harus “Bapak Haji Fulan”. Orang-orang dibuat bingung akan kehadiran Fulan ini. Haruskah ia dipuji seperti malaikat ataukan dicaci seperti setan?

Manusia selalu merasa dirinya malaikat tetapi tidak pernah merasa dirinya setan meskipun ia seorang pembunuh, koruptor, perampok, ataupun perampas hak-hak orang kecil. Topeng malaikat terlalu kuat melekat dalam hati manusia sehingga menyamarkan jatidirinya. Orang-orang tidak dapat lagi membedakan yang mana malaikat dan yang mana setan. Mereka memuji-muji sang setan dan mencaci sang malaikat. Mengikuti yang salah dan mengabaikan kebenaran sehingga membentuk topeng-topeng malaikat baru dalam jiwa-jiwanya.
Kita tidak pernah menyadari yang mana setan dan yang mana malaikat dalam diri ini. Namun yang harus kita sadari adalah mereka ada dalam jiwa kita. Manusia itu sendirilah yang menghidupkan salah satu dari mereka. Malaikat akan hidup dengan cinta, kasih sayang, memaafkan, rendah hati. Sedangkan setan akan hidup dengan benci, dendam, prasangka, dan kesombongan. Kembali kepada manusia itu sendiri sisi mana yang ingin ia hidupkan. Wallahua’lam.

Penulis adalah sahabat Republika Online

Merindu Surga

Oleh: Ustadz Toto Tasmara



Tiada kebahagiaan yang paling berbunga, kecuali sebuah pertemuan dengan mereka yang kita kasihi. Setelah jarak waktu penantian dan pengembaraan di rimba dunia fana ini; akhirnya mereka berjumpa dalam pertemuan akbar di surga Adnin. Para malaikat mengembangkan sayapnya mengiringi pertemuan mereka, seraya berdendang melagukan sonata doa dan mengucapkan salam sejahtera kepada para penghuninya.

Surga Adnin tempat di mana mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang saleh dari bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari setiap pintu, seraya mengucapkan salamun ealaikum, kedamai an bagi kamu dengan kesabaran kamu, maka inilah sebaik-baik tempat kesudahan. (QS ar-Ra'du [13]: 23-24).

Dan, salah satu kunci untuk memasuki surga itu, dijelaskan pada ayat sebelumnya yaitu mereka yang memenuhi janji, yang menyambung tali silaturahim, takut dengan seburuk- buruk perhitungan, dan sabar.

Sedangkan kunci lain yang akan membuka pintu-pintu surga terletak dalam keluhuran akhlak serta rasa hormatnya yang penuh dengan ihsan (excellent) kepada kedua orang tua, utamanya ibu.

Benarlah apa yang disabdakan Rasulullah SAW, Ada tiga doa yang pasti dikabulkan dan tidak diragukan lagi, yakni doa orang yang teraniaya, doa orang bepergian, dan doa orang tua bagi anaknya. (HR Al-Bukhari ). Tidak ada kebahagiaan yang paling berbinar, kecuali kita memiliki anak yang saleh, santun kepada orang tua, dan gemar mendoakan. Karena doa anak yang saleh, tidak ada penghalangnya kecuali dikabulkan Allah.

Rasulullah bersabda, Diangkat derajat seseorang setelah matinya. Dia pun bertanya, Wahai Tuhanku, mengapa engkau angkat derajatku? Allah berfirman; Anakmu memohon ampunan untukmu. (HR al-Bukhari).

Begitu dahsyatnya kekuatan doa anak yang saleh sehingga dapat mengubah kedudukan orang tuanya yang telah meninggal. Bahkan, Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, Ketika seseorang masuk surga ia menanyakan orang tua, istri, dan anak-anaknya. Lalu Allah berkata kepadanya, Mereka tidak mencapai derajat amalmu. Kemudian, orang itu berkata, Ya Rabbi, aku beramal bagiku dan keluargaku. Kemudian, Allah memerintahkan untuk menyusulkan keluarganya ke surga. (HR Thabrani).

Para orang tua beserta seluruh penghuni yang berada di bawah atap rumahnya, merasakan bahwa mereka adalah satu jamaah yang kelak akan reuni di surga. Seluruh keluarga merindukan pertemuan ulang di alam baka dan menjadi penghuni surga Adnin.

Sehingga, seseorang yang sudah berumur 40 tahun sangat dianjurkan agar senantiasa berdoa, sebagaimana doa yang difirmankan Allah: Ya Tuhanku, jadikan hamba mampu bersyukur atas nikmat yang Engkau berikan serta bersyukur kepada kedua orang tuaku, dan untuk menunaikan amal saleh yang Engkau ridai, dan berikanlah kebaikan padaku dan keturunanku. (QS al-Ahqaf [46]: 15). Semoga kita dapat berkumpul untuk reuni di surga Adnin.

_____________________________________________________

Anda ingin BERSEDEKAH pengetahuan dan kebaikan? Mari berbagi hikmah dengan pembaca Republika Online. Kirim naskah Anda melalui hikmah@rol.republika.co.id. Rubrik ini adalah forum dari dan untuk sidang pembaca sekalian, tidak disediakan imbalan.

Menemui Allah

Oleh Ustadz Hasan Basri Tanjung, MA



REPUBLIKA.CO.ID, Bahasan ini sebenarnya telah masuk ranah tasawuf dan hanya bisa dijelaskan dengan baik oleh ahli tasawuf (sufi) yang mencapai maqam (tingkatan spritual) mahabbah (cinta Allah) dan ma’rifah (mengenal Allah). Dalam kajian Tauhid, selalu ditegaskan bahwa Allah itu esa, tidak beranak dan diperanakkan, tak bergantung pada apa pun jua. Dia adalah Zat Yang Maha Kaya dan tidak membutuhkan sesuatu pun dan tidak pula ada yang menyerupainya. (QS.112:1-4,3:97,42:11).


Selain itu, disebutkan pula bahwa Allah bersemayam di atas Arasy yakni tempat yang tinggi dimana manusia tak mampu memikirkannya apalagi menghampirinya (QS.10:3,13:2,20:5,25:5). Meskipun pada sisi lain, bahwa Dia lebih dekat dari pada urat leher kita sendiri, tapi seringkali tak bisa merasakan kehadirannya. (QS.2:186, 50:16). Lalu, bagaimana cara menemui Allah ?

Salah satu jalan untuk menemui Allah SWT adalah mengunjungi Rumah-Nya, Baitullah. Meskipun, boleh jadi Dia tengah tak ada atau tak berkenan untuk membuka pintu Rumah-Nya. Kalau pun bisa menemui-Nya, tentu bersifat personal dan belum tentu berdampak pada relasi sosial (pemberdayaan umat).

Sementara, menemui-Nya saat bersemayam di atas Arasy, tentu jalan yang tak mungkin dilalui oleh manusia biasa. Lalu bagaimana cara menemui-Nya yang dampaknya bukan hanya individual (hablum minallah), tapi juga sosial (hablum minannas) ?

Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dalam buku 40 Hadits Qudsi Pilihan, (Lentera Hati, 2010), dinukil sebuah Hadits Qudsi (Hadits yang redaksinya dari Rasulullah SAW tapi maknanya dari Allah SWT.) dari Abu Hurairah Ra. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Rasulullah SAW. Bersabda : “Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung akan berfirman pada Hari Kiamat :

Wahai putra putri Adam (Ibnu Adam), Aku sakit, tetapi mengapa engkau tak mengunjungi-Ku ? Ibnu Adam bertanya : ”Yaa Rabb, bagaimana aku mengunjungi-Mu sedang Engkau adalah Tuhan seru sekalian alam ?”. Allah berfirman : “Tidakkah engkau tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sakit, mengapa engkau tidak menjenguknya ? Tidakkah engkau tahu, sekiranya engkau menjenguknya, niscaya engkau akan menemukan Aku di sana”.

Wahai putra putri Adam, Aku minta makanan kepadamu, tapi mengapa engkau tidak memberi-Ku makan ?”. Ibnu Adam pun bertanya : “Yaa Rabb, bagaimana aku memberi-Mu makan, sedang engkau adalah Tuhan seru sekalian alam ?”. Allah berfirman : “Tidakkah engkau tahu bahwa hamba-Ku si Fulan telah meminta makanan kepadamu, mengapa engkau tidak memberinya makan ? Tidakkah engkau tahu, seandainya engkau memberinya makan, niscaya engkau akan mendapatkan itu (ganjarannya) di sisiku ?”.

Wahai putra putri Adam, Aku minta minum kepadamu, tetapi engkau tidak memberi-Ku minum ? Lalu Ibnu Adam bertanya : “Yaa Rabb, bagaimana aku memberi-Mu minum, sedangkan Engkau adalah Tuhan seru sekalian Alam”?. Allah berfirman : “Tidakkah engkau tahu bahwa Hamba-Ku si Fulan telah minta minum kepadamu, tetapi mengapa engkau tidak memberinya minum ? Seandainya engkau memberinya minum, niscaya engkau akan mendapatkan itu (ganjarannya) di sisi-Ku.”


Jika kita simak Hadits di atas, pesan pertama sebagai jalan menemui Allah adalah membesuk orang sakit. Boleh jadi, karena orang sakit sedang berada di persimpangan jalan, yakni antara hidup dan mati. Seorang yang sakit keras atau kritis, sedemikian dekat kepada Allah. Sejatinya, ia berhak atas Muslim yang lain untuk dijenguk dan wajib bagi seorang Muslim untuk menjeguknya (HR. Muslim).

Mengunjungi orang sakit tidak sekedar lepasnya kewajiban, tapi justru dapat mengeratkan persaudaraan dan keharmonisan sosial. Hubungan yang disharmoni seringkali terbangun kembali setelah mengunjungi yang sakit. Doa yang dipanjatkan dan kegembiraan hatinya bisa mempercepat kesembuhan.

Jika kita ingin menemui Allah, maka kunjungilah orang-orang sakit yang bersandar dan bergantung penuh hanya kepada Allah SWT karena Allah pun senantiasa berada di sisi mereka yang sabar akan derita yang menimpa. Dalam kondisi demikian, mereka seringkali diabaikan dan terlupakan. Kita terkadang kaget dan menyesali, setelah mendapat kabar kematian si sakit sementara belum sempat menjenguknya.

Pesan kedua dan ketiga Hadits di atas adalah memberi makan dan minum. Kaum dhuafa dan mustdh’afin (anak yatim, miskin, terlantar, tertawan, hidup berkalang tanah beratap langit, kekurangan gizi dan kelaparan) yang jumlahnya semakin bertambah adalah hamba-hamba yang dikasihi Allah. Mereka sengaja dihadirkan oleh Allah untuk menguji keimanan dan komitmen sosial kita sekaligus sebagai jalan menemui Allah SWT.

Konon, Nabi Musa As. pernah bertanya kepada Allah, dimana ia bisa menemui-Nya. Allah menjawab : “Temuilah Aku di tengah orang yang hancur hatinya”. Karena itulah, Allah SWT menyuruh kita untuk memberi makan orang yatim, miskin dan yang tertawan hidupnya, bahkan dinilai sebagai pendusta agama jika tidak menyantuni mereka (QS.2:177,90:14-16,93:9-10,107:3).

Justru dengan jalan yang tidak mudah ini, kita bisa menemui Allah dengan rasa bahagia, tenang dan nikmat baik dunia maupun akhirat. Tapi itu semua bisa diraih hanya dengan ikhlas dalam beramal shaleh dan tidak menyekutukan-Nya. (QS.18:110).

Demikianlah Islam mengajarkan ibadah yang sebenarnya, yakni ibadah yang berdimensi individual dan sosial sekaligus. “Jangan menunggu kaya baru bersedekah, tapi bersedekahlah agar menjadi kaya. Jangan menunggu sukses baru bersyukur tapi bersyukurlah agar bertambah sukses”, demikian orang bijak berkata.

Selagi ada kesempatan dan umur untuk melakukan kebaikan, maka lakukan sekarang. Jangan menunggu kaya atau sukses. Boleh jadi belum sempat kaya atau sukses ajal telah tiba. Menyesal kemudian tiada berguna. (QS.63:10-11). Sedekah yang paling tinggi nilainya adalah pada saat kita juga membutuhkan. Dan, jika mampu melakukannya, luar biasa nikmatnya dan Allah pun segera memberi ganti yang berlipat dan tidak terkira-kira (laa yahtasib). Insya Allah !

Meneladani Kepimpinan Nabi Ibrahim AS

Oleh Rahmat Saptono



REPUBLIKA.CO.ID, Nabi Ibrahim al-Khalil as, adalah model ideal seorang pemimpin umat. Kepemimpinan umat manusia diberikan Allah SWT kepada Nabi Ibrahim AS setelah melewati berbagai ujian dalam bentuk perintah dan larangan.

QS. 2:124. Dan (ingatlah), ketika Ibrahim AS diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim".

Menurut sebagian ulama, 'beberapa kalimat' di dalam ayat ini, berhubungan dengan perintah dan larangan Allah SWT dalam konteks ritual Haji (manasik) dan pensucian diri (thaharah). Kebersihan di sini berarti kebersihan lahiriah mencakup kebersihan dan kesucian 5 bagian kepala dan badan.

Secara implisit, kebersihan lahiriah adalah cermin dari kebersihan jiwa dan pikiran dari seseorang calon pemimpin. Secara umum, kebersihan dan kesucian berakar pada sebagai aqidah yang bersih dan lurus (Fitrah Allah). Dari penjelasan di atas, dapat diambil pelajaran bahwa 'kebersihan' adalah syarat pertama bagi seorang calon pemimpin.

Dalam konteks lebih luas, ujian kepemimpinan Ibrahim AS, sebagaimana dapat dipahami dari pendapat Ibnu Abbas RA, meliputi ujian intelektual, spiritual (keimanan), dan emosional (keberanian dan kesabaran).

Kematangan akal dan pikiran Ibrahim AS telah teruji dalam perjalanannya mencari Tuhan serta caranya berwacana dan beradu argumentasi. Keimanan Ibrahim AS adalah keimanan yang bulat dan utuh, yaitu aqidah yang lurus lagi bersih.

emuanya dicapai dengan mata telinga, akal sehat, dan hati jujur. Puncak keimanannya telah terbukti dalam bentuk penyerahan diri secara menyeluruh serta kepatuhannya terhadap (perintah dan larangan) Allah Tuhan Semesta Alam.

QS.2:131. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam".

Keberanian Ibrahim AS telah terbukti dan teruji dari sikapnya terhadap kemapanan atau status quo. Dengan tegas ditolaknya ajakan orangtua, kaum, bahkan penguasa untuk mempersekutukan Allah SWT. Semua itu dilakukannya dengan cara-cara yang cerdas dan elegan, sebagaimana diabadikan dalam Al-Qur’an.

Kesabaran Ibrahim AS teruji saat ia dilemparkan ke dalam api. Ujian selanjutnya adalah saat Ibrahim AS harus berhijrah meninggalkan tanah airnya. Kesabaran Ibrahim AS lagi-lagi diuji saat harus meninggalkan anak dan istrinya di tengah lembah yang sepi dan tandus, tanpa dukungan logistik yang memadai.

Ujian lain bagi Ibrahim AS adalah kesabarannya dalam menjamu tamu-tamu, di tengah-tengah keterbatasannya secara finansial dan material. Puncak tertinggi ujian kesabaran bagi Ibrahim AS adalah saat ia diperintahkan untuk mengorbankan puteranya Ismail AS.

Kesabaran Ibrahim AS adalah kesabaran individu dengan dukungan solid dari keluarganya. Itu tercermin dari sikap Siti Hajar saat wanita mulia itu dan bayinya akan ditinggalkan di tengah lembah yang tak berpenduduk. Dukungan solid yang sama tercermin dari sikap Ismail saat diminta pendapat tentang mimpi ayah-nya.

Belajar dari ujian kepemimpinan Ibrahim AS, jelas bahwa ‘kebersihan’ adalah pra-sayarat bagi seorang pemimpin. Selanjutnya, kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional (keberanian dan kesabaran) adalah syarat penting bagi calon pemimpin umat. Semuanya harus terbukti dalam perkataan, sikap, dan perbuatan dan teruji oleh waktu.

Lebih jauh lagi, Ibrahim AS adalah seorang pemimpin yang memiliki visi masa depan, sebagaimana tercermin dalam doa dan harapannya, tentang negeri Mekah dan Ka’bah yang dibangunya bersama Ismail, tentang kiprah anak keturunannya di masa depan.

Semua itu di dalam bingkai “dakwah yang berkelanjutan”, bukan karena nafsu melanggengkan kekuasaan. Harapannya, saat Allah SWT mengangkatnya sebagai kalifah seluruh manusia, maka anak ketururannya akan terlahir pula pemimpin umat.

Doa Ibrahim AS dijawab langsung oleh Allah SWT, dengan syarat mereka tidak berlaku zalim (mempersekutukan Allah SWT dan/atau berbuat tidak adil). Sejarah mencatat bahwa dari anak keturunan Ibrahim AS, telah lahir para nabi dan rasul yang juga adalah pemimpin umat.

Di antaranya adalah Nabi dan Rasul kita, Muhammad SAW, Pemimpin umat manusia hingga akhir zaman. Di tengah-tengah kita kini, hidup pula Ulama pewaris nabi, para penjaga al-Qur'an dan as-Sunnah. Wallahu’a’lam.

Dunia dan Ilusinya

Oleh Nur Suharno MPdI



Nilai kehidupan dunia tidak diukur dari melimpahnya harta, tingginya jabatan, ataupun kesenangan duniawi belaka, semua itu bersifat sementara. Karena itu, janganlah menjadikan semua itu sebagai tujuan akhir dari kehidupan dunia.

Alquran menggambarkan kehidupan yang menunjukkan hakikat kehidupan dunia sebenarnya tidak terlena dalam urusan dunia, dan melupakan kehidupan akhirat.

Pertama, al-la’b wa-lahwu (permainan dan senda gurau). Kesenangan dunia hanya sebentar, tidak kekal. Untuk itu, jangan mudah terpedaya olehnya, serta lalai dari memperhatikan urusan akhirat.

Sesungguhnya kenikmatan dunia itu hanya sebagai penghilang kepedihan, dan tidak lebih dari permainan dan senda gurau belaka.

Allah SWT berfirman, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS Al-An’am [6]: 32).

Kedua, al-zinah (perhiasan). Kehidupan dunia berupa wanita, keturunan, harta dari jenis emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak, sawah ladang, dan sejenisnya hanyalah sebuah perhiasan, bukan suatu nilai.

Semuanya adalah sarana, bukan tujuan. llah SWT berfirman, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali Imran [3]: 14).

Ketiga, al-ghurur (tipuan). Penggambaran dunia dengan al-ghurur, karena dunia dapat menundukkan manusia, membuat mereka condong kepadanya, dan lalai dari apa ang seharusnya dipersiapkan untuk menghadap Allah SWT. Allah SWT berfirman, “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS Ali Imran [3]: 185).

Keempat, al-aradh (harta benda). Harta benda tidak akan kekal dan tidak akan abadi. Kehidupan dunia datang hanya untuk memberi peringatan akan ketidakabadiannya (QS Annisa’ [4]: 94).

Rasulullah SAW menegaskan, ”Kekayaan sejati bukanlah terletak pada banyaknya harta benda, akan tetapi terletak pada kelapangan hati.” (HR Muslim).

Para penghuni dunia selalu ingin saling berbangga dengan kekayaan, kekuasaan, kekuatan, keturunan, kedudukan, dan sebagainya. Mereka ingin menjadi populer dalam urusan dunia, karena ketidaktahuannya.

Sedangkan bagi mereka yang senantiasa waspada dan mengetahui hakikat kehidupan dunia, akan menjadikannya sebagai jembatan penyeberangan. Dunia bukan tujuan akhir, tetapi sebagai sarana yang dapat mengantarkannya menuju kebahagiaan yang hakiki. Wallahu a’lam.

Mungkinkah Meminta Tanpa Berkata?

Oleh Samsul Zakaria



REPUBLIKA.CO.ID, “Janganlah engkau menuntut Tuhanmu karena Dia Menunda memberikan pintamu. Tetapi tuntutlah dirimu karena terlambat menjalankan perintah-Nya.” (Ibnu 'Athaillâh al-Sakandary)

Doa adalah kata yang paling tepat, dalam terminologi agama (Islam), untuk menggantikan terma “meminta” kepada Allah. Di mana doa adalah juga sebuah perintah atau imperatif. Dalam bahasa Arab, perintah (amar) lazimnya berangkat dari atasan (al-a'lâ) kepada bawahan (al-adnâ).

Sementara doa berbeda. Doa jelas sebuah permintaan dari hamba (al-adnâ) kepada Tuhannya (al-A'lâ). Karenanya, permintaan itu tidak disebut “perintah (amar)” melainkan “doa/ad-du'â”. Itu adalah adab berbahasa. Sehingga substansi “permintaan” dalam bahasa Arab memiliki demarkasi (pembeda) antara meminta kepada bawahan (al-adnâ) dan sesama/sederajat (al-musâwah) dengan meminta kepada Allah SWT (al-A'lâ).

Berbicara tentang permintaah makhluk-makhluk Allah, Iblis adalah makhluk yang pertama kali harus tereliminasi dari naungan Allah SWT. Surga yang menjadi tempat singgahnya harus rela ditinggalkan karena kesalahannya yang “cukup fenomenal”.

Apa pasal? Iblis tidak mau menyembah Nabiyullâh, Adam AS yang juga makhluk ciptaan Allah SWT. Tahukah, bahwa ketika itu iblis sebenarnya sudah “berijtihad”. Namun, ijtihad iblis nampaknya kurang tepat, atau salah. Iblis ketika itu “berijtihad” dan kemudian berkesimpulan bahwa, “Api lebih baik dari tanah.” Dan karenanya, ia enggan bersujud kepada Adam AS, karena merasa lebih mulia (QS. al-A'râf [7]: 12).

Iblis memang tercipta dari api (nâr), sementara Adam AS dari tanah (thîn). Akhirnya iblis mendapat ganjaran berupa kemurkaan Allah. Iblis memang menerima keputusan Allahm namun ibkis juga mengajukan 1 permintaan kepada Allah. Ia bersedia dikeluarkan dari surga, tapi diberi wewenang untuk menyesatkan anak Adam AS dari jalan kebenaran. Itulah, permintaan iblis. Ia meminta dengan kata-kata.

Kemudian ada kisah dari Nabi Adam AS. Sudah masyhur bahwa Adam AS bersama istrinya, Siti Hawa, “terusir” dari surga karena menyantap buah Khuldi. Itu terjadi setelah bujukan iblis berhasil meyakinkan keduanya bawha dengan memakan buah tersebut (Khuldi), maka Adam AS dan Siti Hawa akan kekal di surga. Sehingga tepatlah kalau buah yang dimakan Adam AS dan Siti Hawa ketika itu bernama “Khuldi”. Khâlidun/khuldun, dalam bahawa Arab artinya adalah kekal/kekekalan. Kisah itu juga mengisyaratkan bahwa Adam AS dan Siti Hawa menghendaki kekekalan untuk hidup di surga. Keinginan itu adalah juga permintaan, namun kurang tepat caranya.

Adam AS dan Siti Hawa harus rela pergi meninggalkan surga. Namun, ia juga masih berdoa (meminta) kepada Allah agar diampuni kesalahan (dosanya) dan merahmatinya. Doa tersebut terekam dalam al-Quran surat al-A'râf [7] ayat 23. “Keduanya berkata: Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak Mengampuni kami dan Memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” Doa Adam AS dan Siti Hawa tersebut adalah sebuah pertaubatan dan pengharapan akan ampunan dan rahmat Allah SWT. Keduanya berdoa kehadirat-Nya agar kelak tidak menjadi golongan orang-orang yang merugi. Itulah permintaan Adam AS dan Siti Hawa.

Konsepsi Permintaan

Sebenarnya, bagaimanakah hukum meminta? Bukankah sudah maklum bahwa, keagungan dan kekuasaan Allah tidaklah terbatasi oleh apapun dan siapapun dan karenanya, manusia (makhluk) bebas meminta apa saja. Sebut apa yang “dimaui” maka Allah akan mengabulkannya. Sesederhana itukah?

Meminta sendiri, sebenarnya, adalah sebuah ekspresi ketertundukan kepada Dzat yang dimintai. Kebiasaan meminta (berdoa) menjadi (per)tanda bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk kembali kepada Ilahi.

Permintaan hanya menjadi unek-unek dalam hati jika tidak diungkapkan dengan suara. Dalam shalat misalnya, disunnahkan untuk mengucapkan (melafalkan) niat dengan suara, selain tentunya niat dalam hati. Hal itu dilakukan untuk menuntun hati dan agar lebih fokus. Artinya, sebuah permintaan dalam konteks ini, harus juga diiringi (dibarengi) dengan aksi-verbal, berupa kata-kata (suara). Dengan demikian terjadi kejelasan, dan karenanya permintaan akan terkabulkan. Apalagi jika permintaan tersebut ditujukan kepada sesama manusia. Hal ini karena sampai sekarang belum ada orang yang dapat membaca perasaan dengan akurat dan ilmiah. So, perlulah kata (atau mungkin juga surat) untuk mengutarakan permintaan.

Kewenangan untuk meminta sering kali disalahgunakan. Karena memiliki otoritas akhirnya selalu menuntut tanpa pernah berfikir sudahkah kewajiban ditunaikan. Mohon maaf, misalnya banyak pejabat yang selalu menuntut fasilitas yang mewah. Padahal, menjadi tanya besar, apakah mereka sudah menunaikan kewajibannya dengan baik?

Meminta tanpa berkata, meniscayakan kualitas kerja. “Kerjakanlah tugas dengan baik sebelum menuntut!” singkatnya. Bekerja harus dilakukan dengan totalitas, yang karenanya tidak perlu memikirkan imbalan. Sebab, ketika kualitas yang dikedepankan maka, ujrah itu menjadi konsekuensi logisnya saja.

Tamsil Menarik

Saat masih menimba ilmu di Madrasah Ibtidaiyah, penulis teringat dengan ceramah salah satu ustadz di desa. Sang kiayi membuat tamsil yang menarik. Seorang anak menginginkan sepeda motor, namun ia memilih tak mengungkapkannya di hadapan orang tuanya. Ia menunjukkan keseriusan dengan belajar lebih giat. Baktinya kepada orang tua pun ditingkatkan.

Sikap anaknya membuat orang tua berpikir sudah sepantasnya anaknya tersebut mendapatkan 'penghargaan' Karena orang tua melihat jarak antara rumah dan sekolah cukup jauh, sangat memungkinkan orang tua akan menghadiahi sang anak dengan sepeda motor.

Kisah di atas adalah sebuah contoh, di mana ketulusan menjadi hal penting dalam kehidupan. Dengan berbuat secara total dan konsisten serta terus menerus, maka Allah akan menjawab doa yang tidak “terkatakan”. Dalam konteks cerita di atas, Allah SWT telah mengabulkan keinginan sang anak melalui orang tuanya, dengan hadiah berupa sepeda motor.

Dan pastinya, hal ini sangat mungkin terjadi dalam kehidupan kita. Ketika kita menginginkan sesuatu (yang lebih) maka mari menunjukan kegigihan dan keseriusan. Sehingga, pada akhirnya kita akan mendapatkan sesuatu yang memang diinginkan.

Sadar Diri

Mari mengingat-ingat. Pernahkah kita berprasangka buruk dengan Sang Pencipta? Ketika keinginan kita yang terucapkan lewat doa belum juga terkabulkan, perasaan apa yang muncul ketika itu? Apakah lazim kita mengira bahwa Allah telah “lari” meninggalkan kita?

Rasanya, kita harus pandai untuk masuk ke dalam diri kita dan mencoba merasa bahwa, “Ternyata kita belum pantas untuk mendapatkan itu semua.” Setidaknya kita merasa bahwa, Tuhan jauh lebih mengerti kesiapan kita terhadap karunia-Nya. Atau bisa jadi kita belum dekat secara emosional dengan-Nya. Kedekatan kita hanya ketika berdoa alias sedang butuh saja. Sementara kewajiban kita sebagai hamba-Nya sering kali terabaikan.

Sadar diri bukanlah sekadar ekspresi pasif yang tidak termanifestasikan dalam tindakan. Sadar akan ketidakpantasan maka yang harus dilakukan adalah berusaha “memantaskan diri”. Usaha memantaskan diri inilah yang menjadikan manusia semakin giat dalam berusaha (ikhtiyâr).

Apalah arti sebuah doa jika pinta itu tidak pernah diiringi dengan usaha? Tentu menjadi sia-sia. Seandainya Allah mengabulkan pinta tanpa usaha, maka bisa jadi itu adalah istidrâj, untuk membuat sang hamba terdiam dari tangis panjang (rengekan) doanya. Dan hati manusia tiada pernah berkata bohong. Kita sebenarnya merasa lebih nyaman ketika doa yang terkabulkan itu juga berasal dari usaha keras kita.

Pinta tanpa Kata, Mungkinkah?

Allah adalah Tuhan Yang Maha Pemurah. Siapapun yang meminta kepada-Nya pasti akan dikabulkan. Jangankan manusia, iblis saja dikabulkan permintaannya oleh Allah. Artinya, manusia lebih berkesempatan untuk mendapatkan perkabulan permintaan (doa) dari Allah SWT.

Namun masih pantaskah, dengan segala kekurangan dalam menghamba, kita terus meminta lebih kepada-Nya? Sudahkah karunia yang kita terima disyukuri dengan peningkatan kualitas takwa? Tidakkah kita merasa bahwa nafas yang terus berhembus, penglihatan yang berfungsi normal, dan juga kesempatan membaca tulisan ini, adalah nikmat-Nya yang mungkin saja masih banyak saudara kita tidak mendapatkannya?

Akan menjadi bijak ketika kita terus berusaha meningkatkan kedekatan kepada Ilahi. Dengan demikian maka kita dapat menyingkap tabir penghalang antara kita dengan-Nya. Itu karena sesungguhnya kita memang dekat (qarîb) dengan Sang Pencipta. Dan yang paling utama, ketika kita berdoa untuk mendapatkan yang lebih, sudahkah kita mendahuluinya dengan memenuhi kewajiban kita sebagai hamba-Nya? Mungkin lebih indah ketika doa kita berbunyi, “Ya Allah, hamba yakin bahwa Engkau selalu memberikan yang terbaik bagi hamba.” Jika demikian halnya, masihkah perlu berkata-kata untuk meminta? Ihdinâ ash-shirâth al-mustaqîm. Wallâhu a'lamu bi ash-shawâb.

Pelajaran dari Kisah Tiga Orang Bani Israel

Oleh Ina Febriany



REPUBLIKA.CO.ID, Bersedekah adalah aktivitas ibadah nan mulia, namun disadari atau tidak sering dilupakan oleh sebagian orang. Kadangkala, saat kita sedang dalam keadaan berlimpah materi, ada saja kebutuhan yang harus dipenuhi. Sedangkan dalam keadaan sempit, maka shadaqah pun terasa sulit. Bagaimana bersedekah, sedang kebutuhan saja kian membelit? Akibatnya, hati kian sempit, dan merajalelalah sifat pelit. Naudzubillah.

Banyak orang berkata, sedekah tidak akan menjadikan si pemberi pelit. Ungkapan itu ada benarnya. Namun, setiap orang memiliki persepsi masing-masing tentang hakikat sedekah mengingat makna shadaqah itu sendiri luas.

Rasulullah Saw bersabda, “Senyum kepada saudara muslim itu sedekah.” Ada pula yang memaknai sedekah bukan dari segi senyuman, namun pemberian--yakni mereka yang membiasakan dirinya untuk bersedekah dalam keadaan apapun-- baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Ada yang kalau sedang lapang saja mau memberi, namun kala sempit ia nyaris mengesampingkan sedekah. Atau ada pula yang sama sekali enggan bersedekah.

Dalam Qs Ali Imran, Allah berfirman, ''Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 133-134).

Allah telah berjanji--bagi siapapun hamba-Nya, lelaki maupun perempuan beriman, dalam keadaan lapang maupun sempit, tulus ikhlas, tidak ada unsur pamer dalam memberi, Allah akan melipatgandakannya sesuai dengan kehendak Allah, Sang Maha Meluaskan dan Menyempitkan Rezeki.

''Barang siapa yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan (Al-Baqarah: 245)

Salah seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah Saw, “ Sedekah yang bagaimana yang paling besar pahalanya ? ” Nabi Saw menjawab, “ Saat kamu bersedekahhendaklah kamu sehat dan dalam kondisi kekurangan. Jangan ditunda sehingga rohmu di tenggorokan baru kamu berkata untuk Fulan sekian dan untuk Fulan sekian.” (HR. Bukhari)

Rasulullah menganjurkan kita untuk senantiasa membudidayakan sedekah dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi dalam keadaan kaya, ada amanat yang harus ditunaikan. Jika dalam keadaan kaya, itu adalah ujian dari Allah sebab Allah ingin melihat apakah hamba-Nya mampu mengolah apa yang Allah titipkan melalui sedekah. Sedangkan orang dalam keadaan sempit, itu pun cobaan dari Allah--sebab Allah ingin melihat apakah ia tetap berbagi meski dalam keadaan sulit materi.

Ada kisah mengenai tiga orang Bani Israil yang ketiga-tiganya diuji Allah Swt. semoga kita dapat memetik hikmah dari kisah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim ini.

Dari Abi Hurairah r.a, beliau mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Ada tiga orang Bani Israil (seorangnya) ditimpa penyakit kusta, seorangnya ditimpa penyakit rontok rambutnya dan seorang lagi buta. Maka Allah telah menguji ketiga-tiganya dengan mengutus kepada mereka seorang malaikat.

Malaikat tersebut telah mendatangi orang yang berpenyakit kusta dan bertanya kepadanya, “Apakah yang paling engkau sukai?”

Jawab sang penyandang kusta, “Warna yang bagus serta kulit yang baik dan sembuh dari kotoran yang menyebabkan manusia memandang jelek kepadaku.''

Maka malaikat itu menyapunya dan lalu hilanglah penyakit itu dan diberi warna serta kulit yang baik. Malaikat bertanya lagi, “Harta apakah yang paling engkau sukai?”

Ia menjawab, “Unta atau sapi.'' Maka malaikat memberikan unta yang sedang mengandung sepuluh bulan dan mendoakan orang yang berpenyakit kusta tersebut.

Kemudian malaikat mendatangi orang yang berpenyakit rambut rontok lalu bertanya, “Apakah yang paling engkau sukai?”.

Lelaki kedua menjawab, “Rambut yang bagus dan sembuh dari penyakit yang menyebabkan manusia memandang jelek padaku.” Maka malaikat membersihkannya lalu hilanglah penyakit itu serta diberikan rambut yang baik.

Malaikat bertanya lagi, “Harta apakah yang paling Engkau sukai?” Ia menjawab, “Sapi,''. Maka ia diberikan sapi yang sedang bunting serta mendoakannya pula.

Kemudian malaikat datang ke orang buta, “Apakah yang paling engkau sukai?”

Ia menjawab, “Aku ingin Allah mengembalikan penglihatanku semoga aku dapat melihat manusia. Malaikat meyapu matanya dan Allah mengembalikan penglihatannya.

“Harta apakah yang paling kamu sukai?” tanya malaikat. Jawab si buta, “Kambing biri-biri,” Maka dia diberikan seekor biri-biri yang telah melahirkan anak lalu mendoakan si buta agar selalu mendapat barakah Allah Swt.

Maka, kedua lelaki (berpenyakit kusta dan rambut rontok) mengurusi kelahiran unta dan sapi begitu juga dengan lelaki buta. Setelah sekian lama, lelaki yang berpenyakit kusta telah memiliki satu lembah berisi unta, sedang lelaki berambut rontok telah memiliki lembah berisi sapi dan lelaki buta telah memiliki satu lembah berisi kambing biri-biri.

Selang beberapa waktu, malaikat kembali mendatangi lelaki yang berpenyakit kusta dengan menjelma sebagaimana keadaan lelaki sebelumnya (berpenyakit kusta).

Ia mengadu kepada lelaki tersebut, “Aku seorang lelaki miskin yang telah kehabisan bekal sewaktu aku bermusafir. Aku tidak mempunyai tempat untuk mengadu pada hari ini selain pada Allah dan pada Engkau. Aku memohon padamu demi yang telah memberikan padamu warna serta kulit yang baik juga harta seekor unta yang dapat membantuku meneruskan perjalananku.

''Aku mempunyai banyak tanggungan,'' jawab mantan penyandang kustal.

Malaikat menjawab, ''Aku rasa aku mengenalimu. Bukankah dulu kau berpenyakit kusta dan manusia memandang jelek kepadamu? Bukankah dulu kau orang fakir lalu Allah megaruniakan harta kepadamu ?''

''Aku mewarisi harta ini dari orangtuaku,'' jawab lelaki.

Malaikat menjawab, ''Sekiranya kamu berdusta, Allah akan menjadikanmu seperti keadaanmu sebelum ini.''

Malaikat pun mendatangi si rambut rontok serta melakukan hal yang sama, menjelma menyerupai keadaan seperti sebelum si lelaki kaya raya. Jawaban si rambut rontok pun senada. Ia enggan memberikan sebagian hartanya pada malaikat yang menjelma tersebut. Malaikat pun mendoakan agar Allah mengembalikan keadaannya seperti semula.

Terakhir, malaikat mendatangi si buta. Lalu mengadu,''Aku seorang lelaki pengembara yang miskin. Aku telah kehilangan kendaraan sewaktu aku mushafir. Maka aku tidak mempunyai tempat untuk mengadu melainkan kepada Allah dan engkau. Aku memohon darimu demi Yang telah mengembalikan penglihatanmu seekor kambing biri-biri yang bisa meneruskan perjalananku.''

Lelaki tersebut menjawab, ''Aku sebelum ini adalah lelaki buta. Allah telah mengembalikan penglihatanku. Oleh karena itu, ambilah apa yang engkau mau dan tinggalkan apa yang tidak engkau mau. Demi Allah, aku tidak akan mencegah dan mengungkit kembali pemberianku padamu untuk kau ambil karena Allah.

''Jagalah hartamu. Seseungguhnya kamu telah diuji oleh Allah. Allah telah meridhaimu dan membenci dua orang sahabatmu,'' jawab malaikat. Wallahu a'lam bishawwab.


Penulis adalah sahabat Republika Online

Rabu, 30 November 2011

Ikhlas Seperti Kelapa

Oleh Irkhamiyati


Kelapa adalah buah yang memiliki multimanfaat. Mulai dari akar, batang, daun, dahan, hingga buahnya. Akarnya bisa dijadikan bahan kayu bakar dan kerajinan seni. Batangnya bisa digunakan sebagai bahan bangunan rumah. Daunnya bisa buat janur pernikahan maupun tempat untuk ketupat. Lidinya bisa dibuat sapu. Kemudian buahnya, antara air dan isinya, juga mengandung banyak manfaat.

Air kelapa mengandung beragam zat-zat yang menyegarkan tubuh. Ia bisa digunakan sebagai penawar racun dan bahan pengembang untuk membuat roti. Daging (isi) buah kelapa yang masih muda sangat digemari sebagai bahan minuman, seperti es kelapa muda. Ia bisa juga diawetkan menjadi nata decoco, sebagai bahan makanan kudapan pedas atau tidak pedas, dan dapat diolah menjadi gula jawa. Buah kelapa, jika sudah tua isinya, diambil sarinya menjadi santan kelapa yang sangat dibutuhkan dalam membuat berbagai makanan dan masakan.

Itulah gambaran akan manfaat pohon kelapa. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang dikaruniai akal dan pikiran. Karenanya, sudah semestinya apabila kita bisa berkaca dari pohon kelapa tersebut. Sejauh mana manfaat diri kita, baik bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, agama, maupun bangsa kita. Rasulullah SAW bersabda; "Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi yang lainnya."

Bisa jadi kita terjebak dalam rutinitas setiap hari sehingga lupa akan potensi diri sendiri yang sebenarnya bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Memberi manfaat bagi tempat kerja dan keluarga adalah sesuatu yang wajib, tetapi memberi manfaat bagi lingkungan masyarakat di sekeliling kita terkadang terlupakan.

Apa pun profesinya, baik sebagai pedagang, guru, dosen, karyawan, pelajar, mahasiswa, buruh, wiraswasta, bupati, maupun beragam profesi lainnya, dituntut bisa bekerja secara profesional sekaligus memberi manfaat bagi lingkungannya. Namun, apa pun yang kita berikan, hendaknya dilandasi dengan niat tulus dan ikhlas. Gambaran ikhlas bisa kita contoh dan pelajari dari falsafah buah kelapa. Ia sudah terbukti memberi banyak manfaat, mulai dari akar hingga ujung daunnya.

Buah kelapa bisa dijadikan makanan atau kontributor bahan makanan. Sari dari buah kelapa adalah santan kelapa yang sangat banyak manfaatnya untuk bahan makanan. Sebelum menjadi santan, kelapa harus melalui banyak tahapan. Yang pertama saat kelapa dipetik terkadang dipotong keras dengan parang dengan sekuat tenaga. Beda perlakuannya saat memetik buah anggur atau buah halus lainnya, memetiknya dengan halus dan hati-hati.

Saat kelapa jatuh, tidak ada orang yang mau menangkapnya di bawah sehingga kelapa pasti dijatuhkan setelah dipetik. Kemudian, kelapa dikupas kulitnya dan dipecah sehingga terpisahlah air dengan dagingnya. Cara mengupas kulit dan memecahnya pun dengan keras, beda perlakuannya dengan buah yang lain. Setelah itu, kelapa diparut dan diambil air santannya. Dan setelah menjadi santan, ia bisa digunakan untuk apa saja.

Itulah buah kelapa, begitu banyak manfaatnya untuk manusia. Sudah semestinya, demikian pula diri kita, bisa menjadi manfaat bagi orang lain, baik di lingkungan terdekat maupun yang lebih luas lagi.

Belajar Kesederhanaan dari Kiai Rasimin

Oleh Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA


Kiai Ahmad Muhammad Rasimin tinggal di Kampung Jaha, empat kilometer selatan Anyer. Beliau memimpin pesantren salaf. Kehidupannya sangat sederhana. Rumahnya tidak lebih indah dari bilik-bilik para santri. Tak terlihat ada kendaraan bermotor di rumahnya, apalagi mobil.

Para santrinya tinggal di gubuk-gubuk bambu. Antara santri laki-laki dan perempuan dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Para santri laki-laki mandi di kolam yang dialiri oleh sungai tadi, sedangkan para santri perempuan mandi di kamar mandi milik masjid kampung.

Beberapa tahun silam, saya diminta berkhotbah di masjid kampung itu. Setelah itu, kami makan siang di rumah Kiai Rasimin. Sebelum berkhotbah, saya diminta untuk berceramah selama 20 menit dengan menggunakan pengeras suara. Kemudian, saat berkhotbah, saya diminta untuk membaca teks khotbah yang hanya berbahasa Arab dan pengeras suara dimatikan. Teks khotbah kami baca kurang lebih lima menit, sesudah itu kami melaksanakan shalat Jumat.

Kiai Rasimin sangat tawadu. Suatu hari, beliau diminta oleh wali kota Cilegon untuk menunaikan ibadah haji karena belum berhaji. Waktu itu, biaya untuk beribadah haji sebesar tujuh juta rupiah. Namun, tawaran itu ditolak dengan alasan beliau belum wajib berhaji karena belum mampu.

Beliau memberikan solusi agar uang untuk berhaji itu digunakan untuk membangun jembatan yang menghubungkan antara kampung bagian timur dan barat. Sehingga, manfaatnya lebih besar dan pahalanya akan terus melimpah karena ekonomi kampung itu menjadi semarak. Sedangkan jika berhaji untuk beliau, pahalanya kecil. Saran itu pun diterima oleh wali kota Cilegon.

Ketika berkunjung ke Kampung Jaha beberapa waktu lalu, jembatan itu sudah lama dibangun. Dan, Kiai Rasimin masih tetap belum berhaji. Kami sungguh sangat mengagumi sikap dan perilaku Kiai Rasimin. Beliau lebih mendahulukan kepentingan umat daripada kepentingannya sendiri. Barangkali perilaku di negeri kita yang seperti Kiai Rasimin ini jarang dijumpai. Kebanyakan oknumoknum kiai di Indonesia justru bersikap sebaliknya, mereka merengekrengek kepada penguasa untuk dapat diberangkatkan ke Makkah.

Beberapa tahun lalu, saat diselenggarakannya Seminar Zakat di Padang, Sekretaris Dewan Fatwa Suriah, Prof Dr Ala al-Din al-Za'tari, menceritakan kehidupan seorang syekh. Suatu hari, syekh ini kedatangan tamu yang bermaksud meminta restu untuk berhaji yang kedua kali. Syekh memberikan saran agar biaya berhaji kedua itu digunakan untuk membantu anak yatim. Sang tamu pun menuruti nasihatnya.

Tahun berikutnya, sang tamu datang lagi, dan syekh memberikan saran agar keinginannya untuk berhaji yang kedua diberikan untuk membantu janda-janda miskin di kampungnya. Ia pun kembali ke kampungnya dan menyerahkan uangnya untuk janda-janda miskin, sebagaimana saran syekh.

Setahun kemudian, sang tamu datang lagi dan menyampaikan keinginan yang sama untuk berhaji. Lagi-lagi, syekh ini memberikan saran agar uangnya diberikan kepada orang fakir yang tak punya rumah di kampungnya. Karena menurut syekh, membantu orang yang membutuhkan (miskin), jauh lebih bermanfaat dibandingkan berhaji berulang-ulang.

Tulisan ini dimuat di Republika cetak dengan judul Kesederhanaan Kiai Rasimin
Redaktur: Siwi Tri Puji B

Amal Orang Kafir Laksana Fatamorgana

Oleh: Rizki Kuncoro Hadi


"Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya." (QS An-Nur: 39)

Dalam ayat ke-39 surat An-Nur ini, Allah menyatakan bahwa amal-amal baik orang kafir itu laksana fatamorgana di tanah datar yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apapun.

Sering dalam kehidupan sehari-hari kita mendapati orang-orang non muslim yang berlaku baik, seperti ia sangat menghargai waktu, memiliki etos kerja tinggi, memiliki sifat dermawan kepada sesama, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Namun, sekali lagi melalui ayat ini seolah Allah ingin mempertegas bahwa apa yang mereka (orang kafir) lakukan itu tidak bernilai di sisi Allah. Mengapa? Karena orang kafir beramal tidak didasarkan atas iman.

Ada sebuah analogi sederhana untuk membuktikan betapa sia-sianya amal tanpa dilandasi keimanan. Jika ada seseorang bekerja untuk perusahaan A, lantas ia menginginkan gaji dari perusahaan B. Apakah perusahaan B akan memberikan gaji kepada seseorang yang tidak bekerja untuk perusahaannya? Seseorang tersebut ibarat orang kafir, ia beramal untuk Tuhan selain Allah, apakah mungkin Allah memberikan Surga-Nya untuk orang kafir?

Lantas kita pun berpikir tentang dosa orang kafir. Apakah orang kafir yang tidak sholat itu dosa? Jelas tidak, karena kekafirannya. Dosa bagi orang kafir adalah karena kesyirikannya, ia menyekutukan Allah dengan tuhan yang lain. Dan, dosa syirik adalah sebesar-besarnya dosa. Hanya dengan rahmat Allah-lah dosa syirik seorang kafir diampuni ketika ia bertaubat.

Namun kita yang seorang muslim pun harus berhati-hati dengan amal kita, karena tidak tertutup kemungkinan amal-amal kita pun laksana fatamorgana yang tak memiliki nilai di sisi Allah manakala kita beramal tetapi tidak didasari iman kepada Allah. Mari kita merefleksikan diri kita, apakah amal-amal kita telah didasarkan atas keimanan?

1. Beramal dengan ilmu
Amal baik adalah segala sikap, tindakan, ucapan yang memiliki dasar “ilmu”. Amal yang dilandasi dengan ilmu memiliki ciri, (a) al-ashwab yakni benar yang berarti tidak menyalahi segala yang sudah ditetapkan oleh Allah, (b) al-akhlash yakni memilih amal kebaikan yang paling tidak disukai nafsu.

2. Hati yang menerima
Seseorang yang beramal didasarkan atas iman maka hatinya pun menerima setiap amal-amal yang ia lakukan.

3. Dilakukan karena yakin
Yakin akan kebenarannya dan yakin akan ketulusannya.

4. Diserta hati khudu’ (merasa rendah dan hina)
Maka tak boleh bagi seorang beriman yang ketika berdoa berkata, “Ya Allah ampunilah hamba jika Engkau ingin”

5. Ditunaikan karena cinta dan rindu kepada Allah
Amal seorang muslim merupakan manifestasi kecintaan dan kerinduan seorang hamba kepada Sang Khaliq.

6. Dirancang sebagai investasi untuk mendapatkan husnul khotimah
Seorang mukmin yang beramal dengan didasari iman, ia berharap agar mati dalam keadaan husnul khotimah, yang sulit dicapai jika tidak dirancang dengan amal-amal shaleh yang dilakukan dengan istiqomah.

Penulis adalah Aktivis Dakwah Kampus UGM Yogyakarta

Kamis, 03 November 2011

Antara Materi dan Ketakwaan

Ahmad Syahirul Alim Lc

Dalam memilih parameter kebahagiaan dan kesuksesan, umat manusia terbagi pada dua golongan. Golongan pertama menjadikan ketakwaan sebagai tolok ukur kebahagiaan, sedangkan golongan kedua menggunakan materi sebagai ukurannya.

Mereka yang menjadikan ketakwaan sebagai tolok ukur, berlandaskan pada kalam Allah SWT bahwa manusia yang paling mulia ialah yang paling bertakwa (QS 49: 15). Mereka percaya, baik rezeki yang berlimpah maupun kekurangan materi, merupakan ujian dari Allah atas ketakwaan mereka (QS 8: 28). Sehingga, mereka tak pernah merasa rugi jika kehilangan materi ataupun berbangga diri jika mendapatkan kelimpahannya (QS 57: 23).

Mereka tetap berlomba-lomba untuk mengeluarkan tabungan, baik secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan (QS 14: 31), untuk membersihkan diri dari keserakahan dan ketamakan (QS 9: 103). Mereka bukan pembenci materi. Bisa jadi mereka termasuk orang-orang yang ulung mendulang kekayaan. Namun bagi mereka, tak ada gunanya materi berlimpah jika tiada takwa di hati. "Sebaik-baik harta ialah harta yang saleh (bersih) di tangan orang saleh." (HR Ahmad).

Golongan yang kedua ialah mereka yang menjadikan materi sebagai acuan bagi kebahagiaan, kesuksesan, dan tujuan dari kehidupannya. Bagi mereka itu, kekayaan materi, gelar kehormatan, dan kekuasaan adalah segalanya. Mereka sedih jika tidak mendapatkan yang diinginkan, namun merasa sombong jika sudah digenggaman. Bahkan, mereka merasa dimuliakan oleh Allah jika mendapatkan kekayaan, namun sebaliknya merasa hina bila ketiadaan harta (QS 89:15-16).

Di sisi lain, mereka tak pernah puas untuk terus menambah pundi-pundi kekayaan mereka, bahkan "andaikan mereka memiliki dua gunung harta niscaya mereka mengharapkan yang ketiganya, hingga tak ada yang memuaskan perut mereka kecuali tanah (kematian)". (HR Bukhari). Dan, mereka tak akan rela untuk kehilangan sepeser pun darinya, bahkan andai kata mereka menguasai pundi-pundi kekayaan milik Allah (QS 17: 100).

Dalam beribadah, mereka menjadikan materi sebagai tolok ukur. Apabila mereka mendapat kebaikan dalam bentuk materi mereka merasa ibadah mereka bermanfaat, namun jika sebaliknya mereka merasa ibadah mereka sia-sia (QS 22: 11).

Sebagian di antara mereka juga ada yang menghitung-hitung secara matematis infaknya yang berlipat ganda dan berharap kekayaan beranak pinak. Mereka salah memahami bahwa janji Allah itu untuk melipatgandakan kebaikan yang mereka dapatkan (QS 9: 121) dan bukan mengalikan angka nominal yang mereka sumbangkan. Dampaknya, pada saat mereka tidak segera mendapatkan kekayaan, mereka protes pada Allah dan berputus asa dari rahmat-Nya. Naudzubillah.

Adapun kita, Allah telah memberikan dua pilihan. Apakah mengikuti jalan golongan pertama yang mengutamakan ketakwaan sehingga bisa mensyukuri setiap keadaan, ataukah mengikuti golongan kedua yang mengejar kebendaan sehingga menjerumuskan kita pada kekufuran. "Sesungguhnya Kami telah menunjukkan padanya (manusia) jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir."(QS 76: 3). Wallahu a'lam.

Mencari Kebenaran

Oleh Prof Dr Yunahar Ilyas

Seperti biasa, Salman al-Farisi menjalankan tugasnya sebagai seorang hamba sahaya di Kota Yatsrib. Hari itu dia bertugas di ladang kurma tuannya, seorang Yahudi dari Bani Quraizhah. Tatkala sedang berada di atas pohon kurma, seseorang datang menyampaikan berita dengan nada marah kepada tuannya yang sedang duduk di bawah pohon kurma. "Celakalah Bani Qailah. Sekarang mereka berkumpul di Quba' menyambut kedatangan laki-laki dari Makkah yang mendakwakan dirinya Nabi."

Salman sudah lama ingin mendengar berita itu. Ia tidak sabar untuk segera menemui Nabi yang baru datang tersebut. Salman segera turun dari pohon kurma dan bertanya kepada tamu itu, "Apa kabar Anda? Coba kabarkan kembali kepadaku!" Tuannya langsung marah dan memukul Salman sambil menghardi,: "Kerjakan tugasmu kembali! Ini bukan urusanmu!" Salman kembali sadar bahwa dia sekarang berstatus sebagai hamba sahaya. Bukan orang merdeka.

Dia berasal dari Jayyan, Kota Isfahan, Persia. Bapaknya seorang petani kaya yang terpandang dan pemeluk agama Majusi yang taat. Dia ingin putra kesayangannya juga menjadi pemeluk Majusi yang taat. Oleh sebab itu Salman dikirimnya ke kuil, menjaga api yang mereka sembah jangan sampai padam. Tapi, jalan hidupnya berubah setelah dia tertarik menyaksikan cara beribadah orang-orang Nasrani di gereja. Akhirnya dia kabur dari rumah bapaknya, dan memulai pengembaraannya dari satu gereja ke gereja lain, belajar agama dari satu pendeta kepada pendeta lainnya sampai akhirnya dia bertemu dengan pendeta di Amuria.

Setelah guru terakhirnya wafat, dia ikut sebuah kafilah Arab yang berjanji akan membawanya ke tanah Arab. Sebagai imbalannya Salman menyerahkan seluruh ternaknya kepada kafilah tersebut. Sayang dia ditipu. Kafilah itu menjualnya sebagai hamba sahaya kepada seorang Yahudi dari Yatsrib. Sejak itulah Salman tinggal di Yatsrib dan menunggu-nunggu kedatangan Nabi terakhir itu.

Besoknya Salman datang ke Quba, menyuguhkan sepiring kurma kepada Nabi dan menyatakannya sebagai sedekah. Nabi menerima kurma dari Salman, lalu membagi habis kepada sahabat-sahabatnya. Satu biji pun tidak beliau makan. Setelah di Madinah, Salman datang lagi menyuguhkan sepiring kurma kepada Rasulullah, kali ini menyatakannya sebagai hadiah. Nabi segera memakan sebiji kurma lalu mempersilakan para sahabat makan bersamanya. Apa yang dikatakan gurunya dulu tepat, Nabi yang terakhir itu tidak menerima sedekah, tapi menerima hadiah.

Salman semakin yakin bahwa beliau memang Nabi terakhir yang diutus. Tetapi untuk memastikannya, Salman ingin membuktikan satu hal lagi. Apakah memang di punggung beliau ada tanda kenabian. Kesempatan itu di dapatnya waktu di Baqi. Tatkala itu Nabi mengantar jenazah seorang sahabat, Salman sengaja mengitari Nabi berusaha melihat punggung Nabi.

Rupanya Nabi paham dan menjatuhkan kain yang menyelimuti punggungnya sehingga Salman dapat melihat tanda kenabian itu. Serta-merta dia memeluk Nabi, menciumi beliau sambil menangis. Itulah perjalanan panjang Salman mencari kebenaran. Berbahagialah Salman al-Farisi pada hari kematiannya, dan berbahagia pula dia kelak pada hari dibangkitkan kembali di akhirat.

elajar Mengakui Kesalahan

Oleh Ustaz Makmun Nawawi

Seperti biasa, saat pagi jalan-jalan cukup ramai. Tampak seorang pengemudi mobil ditemani seseorang di sampingnya, melarikan mobilnya amat kencang. Begitu kencangnya, hingga nyaris kehilangan kendali. Guna menyelamatkan diri, ia terpaksa harus menyalip motor yang ada di depannya. Pengendara yang disalip atau dilewati itu, yang kebetulan membonceng anak kecil langsung terperangah, kaget, seraya menumpahkan sumpah serapahnya. Sadar dengan kejadian tadi, pengemudi mobil itu menurunkan kecepatannya. Kondisi itu dimanfaatkan sang pengendara motor untuk mengejarnya, agar leluasa meluapkan amarahnya.

Usai menerima buncahan kemarahan pengendara motor, sang sopir kembali menaikkan kecepatannya. Bukan untuk ngebut lagi, tapi agar ia bisa melewati motor tersebut. Karena setelah mobilnya berada di depan motor, ternyata ia menghentikan mobilnya, lalu turun, dan menyetop si pengendara motor. Melihat kejadian itu, teman si sopir sudah ketar-ketir khawatir terjadi perkelahian besar-besaran seperti yang kerap terjadi di jalan-jalan.

Tapi, rupanya dugaannya meleset, karena begitu motor berhenti, ternyata sopir tadi justru menjulurkan tangannya, seraya mengakui kesalahan yang sudah diperbuatnya dan meminta maaf kepada si pengendara motor. Subhanallah.

Di tengah banyak orang yang sangat berat mengakui kesalahan, bahkan amat mahir dalam berapologetik dan mencari segudang alasan pembenaran atas kesalahan yang sudah dilakukannya, peristiwa di atas bisa menjadi pelajaran indah. Bukan menghindar atau lari dari kesalahan yang diperbuatnya, melainkan berani meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan. Ia menafikan beragam fenomena perilaku kriminal yang amat lihai berkelit dengan sejumlah alibi.

Padahal, kesadaran seseorang untuk mengakui kesalahan adalah mutiara berharga yang mengantarkan dirinya memiliki sikap tawadhu, yang dijanjikan Nabi: "Tidaklah seseorang itu tawadhu karena Allah, kecuali Allah akan meninggikannya." (HR Muslim).

Itulah akhlak yang dimiliki oleh orang-orang saleh, yang sangat ringan dalam mengakui kesalahan. Kita lihat misalnya Ka'ab, Murarah, dan Hilal yang tak ikut Perang Tabuk. Juga Ma'iz bin Malik atau seorang wanita Ghamidiyah yang langsung menghadap Nabi dan dengan terang-terangan mengaku berzina, seraya siap menerima segala risiko dari pertobatannya itu demi membersihkan dirinya sehingga bisa menemui Rabbnya dengan tanpa noda.

Takut posisi dan kehormatannya rusak, boleh jadi itulah faktor yang menghalangi seseorang untuk mengakui kesalahan. Padahal, tak harus demikian, malah dengan menyadari dan mengakui kesalahannya bisa menaikkan kehormatan dan integritas diri seseorang. Abul Hasan al-Asy'ari, misalnya, mantan imam besar mazhab Mu'tazilah. Saat ia sadar bahwa haluan pemikiran yang diikutinya salah, Abul Hasan pun memublikasikannya di hadapan publik.

Dengan pengakuan tersebut, tak membuat derajatnya surut, tapi justru menjadikannya sebagai tonggak utama dalam pengokohan pilar-pilar akidah umat. Harus diakui, untuk pertama kalinya dalam sejarah, julukan "ahlus sunnah" itu disematkan kepada kelompok Asy'ariyah.

Sabtu, 29 Oktober 2011

akim dalam Islam

Oleh M Fuad Nasar MSc

Jabatan yang paling berat tanggung jawab dan risikonya setelah kepala negara ialah hakim. Dalam terminologi fikih klasik, hakim disebut juga qadhi. Qadhiatau ha kim berfungsi sebagai penegak hu kum dan keadilan dalam mengadili perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan. Hakim dipandang sebagai amanah yang mulia. “Jika kamu menghukum, putuskanlah hukum di antara manusia dengan adil. Se sung guhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS al-Maidah [5]: 42).

Rasul bersabda: “ Qadhi (hakim) itu ada tiga golongan; dua golongan dalam neraka dan satu golongan dalam surga.” Nabi menyebut secara garis besarnya kesalahan yang dapat membawa seorang hakim ke dalam neraka dan sifat-sifat yang akan membawa keselamatan dan kebahagiaan di dalam surga.

Dua golongan hakim yang akan terjerumus masuk neraka ialah hakim yang telah mengetahui kebenaran dan keadilan, tetapi dia menye leweng dan berbuat zalim dengan kewenangan memutuskan perkara yang ada di tangannya, serta hakim yang menjatuhkan vonis hukum tanpa ilmu, tetapi dia malu untuk meng akui ketidaktahuannya terhadap hakikat persoalan yang sedang diadilinya. Adapun hakim yang akan masuk surga ialah yang melaksanakan kebenaran dan keadilan melalui kewenangan mengadili dan memutuskan perkara yang diamanatkan kepadanya.

Menarik diperhatikan nasihat Nabi Muhammad ketika memberikan briefing kepada Ali bin Abi Thalib sebelum memangku jabatan hakim di Yaman. Sebagaimana dinukilkan oleh Imam al-Mawardi dalam kitab Al-Ah kaam as-Sulthaniyah, Nabi berpesan, “Apabila engkau mengha dapi dua pihak yang beperkara, janganlah engkau menjatuhkan putusan ba gi salah seorangnya sebelum eng kau mendengarkan keterangan yang lainnya.”

Menurut pandangan Islam, kekeliruan hakim dalam memaafkan dan membebaskan terdakwa adalah lebih baik daripada kekeliruan dalam menjatuhkan hukuman. Hikmahnya adalah untuk memperkecil kemungkinan ketelanjuran hukuman terhadap orang yang tidak bersalah.

Dalam timbangan hukum Islam, lebih baik sepuluh orang lolos dari hukuman duniawi daripada satu orang yang tidak bersalah terhukum akibat kekeliruan hakim. Dalam men jalankan tugasnya, seorang hakim tidak boleh terpengaruh oleh perasaan dendam, benci, keberpihakan pada yang beperkara, ataupun kepentingan kekuasaan. Hakim harus jujur dan adil dalam kondisi apa pun dan siapa pun.

Pada zaman Ibnu Toulun di Mesir, gaji hakim ditetapkan 1.000 dinar emas sebulan. Dan, di zaman Dau lah Fathimiyah di Mesir, gaji hakim ditetapkan 1.200 dinas emas sebulan (setara dengan 3.000 dolar AS sekarang). Dengan gaji sebesar itu dimaksudkan agar para hakim tidak mudah menerima suap atau gratifikasi.

Pada saat ini, gaji yang besar tidak menjamin seorang hakim kebal terhadap suap dan gratifikasi. Integritas hakim lebih banyak ditentukan oleh kekuatan mental spiritualnya dalam mencintai kebenaran dan kesetiaan jiwanya terhadap kesadaran hukum serta kebenaran dan keadilan yang harus ditegakkan walaupun langit akan runtuh. Oleh karena itu, tidak semua sarjana hukum layak untuk mengemban jabatan hakim. Wallahu a'lam.

Mencintai Rasulullah

Oleh Muhammad Itsbatun Najih

Seorang hamba sahaya bernama Tsauban sangat ingin berjumpa dengan Rasulullah. Sebab, ia sangat mencintai dan mengagumi akhlak dan kepribadian Nabi akhir zaman tersebut. Namun, tempat tinggalnya sangat jauh, sehingga ia sulit berjumpa dengan Rasul SAW.

Pada suatu hari, Tsauban dapat bertemu dengan Rasulullah. Kesempatan itu digunakannya untuk mendengarkan segala nasihat dan tausiah dari Rasul SAW. Mengetahui Tsauban, Rasulullah tampak heran, sebab warna kulitnya tidak seperti warna kulit orang yang sehat, tubuhnya kurus, dan wajahnya menandakan kesedihan yang teramat mendalam. Rasul pun bertanya, "Apa yang menyebabkan kamu seperti ini?"

"Wahai Rasulullah, yang menimpa diriku ini bukanlah penyakit, melainkan ini semua karena rasa rinduku padamu yang belum terobati, karena jarang bertemu denganmu. Dan, aku terus-menerus sangat gelisah sampai akhirnya aku dapat berjumpa denganmu hari ini," ujarnya.

"Ketika ingat akhirat, aku khawatir tidak dapat melihatmu lagi di sana. Karena, saya sadar bahwa engkau pasti akan dimasukkan ke dalam surga yang khusus diperuntukkan bagi para nabi. Kalaupun toh saya masuk surga, saya pasti tidak akan melihatmu lagi, karena saya berada dalam surga yang berbeda dengan surgamu. Apalagi jika saya nantinya masuk neraka, maka pastilah saya tidak akan dapat melihatmu lagi selama-lamanya," tukas Tsauban. Mendengar curahan hati si budak Tsauban tersebut, Rasulullah pun menjawab, "Insya Allah engkau (berkumpul) bersamaku di surga."

Kisah di atas menyiratkan akan ganjaran bagi orang yang memiliki kekaguman dan kecintaan akan sosok Nabi Muhammad SAW. Bahkan, kerinduannya untuk bertemu dengan sang pujaan, mengalahkan segalanya hingga kesehatannya menurun drastis.

Bentuk kecintaan pada Rasulullah, bukan diukur melalui berapa banyak pujaan atau pujian untuk Rasulullah SAW, melainkan bagaimana sikap dan perilakunya untuk melaksanakan segala apa yang biasa dilakukan oleh panutannya itu (menjalankan sunah). Artinya, kecintaan itu datangnya dari hati dan diamalkan dengan perbuatan, bukan dengan sekadar kata-kata.

Di saat banyak orang menyebarkan fitnah yang dialamatkan pada Rasul SAW, maka salah satu bentuk kecintaan seorang Muslim yang bisa diwujudkan adalah dengan kembali menelaah lebih dalam sirah kehidupan beliau melalui berbagai literatur tentang pribadi beliau. Sebab, pengetahuan yang minim tentang Rasulullah pada sebagian umat Islam, akan menjadi celah bagi sejumlah pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melemahkan keyakinan umat Islam lewat propaganda dan pemutarbalikkan fakta. Karena itu, dalam membaca sirah nabawiyah pun, harus dipahami makna dan esensi dari akhlak Rasul SAW.

Dan satu hal yang paling esensial dalam menumbuhkan kecintaan pada Rasul SAW adalah meneladani segala perbuatan dan perkataannya. Juga menaati apa yang diperintah dan menjauhi semua yang dilarangnya. Wallahu a'lam.
(-)

Menciptakan Qalbun Salim

Oleh Dr A Ilyas Ismail

Dalam salah satu doanya, Nabi Ibrahim AS memohon kepada Allah SWT agar tidak dihinakan pada hari kiamat. "Janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. (Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (QS al-Syu'ara [26]: 87-89).

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam doa Nabi Ibrahim ini. Pertama, kekhawatiran tentang azab akhirat. Sebagai Nabi, bahkan bapak nabi-nabi, dan bergelar "Khalil Allah" (kekasih Allah), Nabi Ibrahim masih khawatir kalau-kalau dihinakan oleh Allah pada hari Kiamat. Kekhawatiran semacam ini patut dicontoh.

Kedua, devaluasi nilai harta (kekayaan) dan keturunan (pengikut). Untuk ukuran duniawi, harta dan anak-anak, termasuk pengikut, merupakan variabel utama yang menentukan status dan strata sosial manusia. Di akhirat, keduanya menjadi tidak penting karena para malaikat sebagai "aparat Tuhan" tak mungkin "disuap" apalagi diteror.

Ketiga, kebersihan hati sebagai pangkal keselamatan di akhirat. Jaminan keselamatan hanya diberikan kepada orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang bersih atau sehat (qalbun salim). Banyak pendapat dari para pakar, khususnya dari kalangan ahli tafsir, yang pada pokoknya berkisar pada tiga makna. Pertama, seperti dikemukakan Ibnu Katsir, juga al-Alusi, qalbun salim bermakna salamat al-qalb 'an al-syirk aw al-aqa'id al-fasidah (selamatnya hati dari syirik atau kepercayaan-kepercayaan yang sesat). Hati yang sehat berarti memiliki akidah yang benar, lurus, serta bebas dari segala bentuk kemusyrikan.

Kedua, qalbun salim berarti bersih dari penyakit-penyakit hati (salim min amradh al-qulub). Dalam permulaan surah al-Baqarah, dikemukakan tiga golongan manusia, yaitu orang-orang takwa (al-muttaqun), orang-orang kafir (al-kafirun), dan orang-orang munafik (al-munafiqun). Golongan yang disebut terakhir ini adalah orang-orang yang hatinya berpenyakit. "Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya." (QS al-Baqarah [2]: 10).

Ketiga, seperti badan yang sehat, hati yang sehat juga memiliki kesempurnaan dan kekuatan melakukan apa yang menjadi tugas dan fungsinya sesuai maksud penciptaan. Fungsi hati yang utama adalah mengenal Allah, yaitu iman dan takwa. "Al-taqwa ha-huna" (takwa itu di sini), dan beliau menunjuk ke dadanya tiga kali. (HR Baihaqi dari Abu Hurairah).

Tak bisa disangkal, hati yang sehat menjadi pangkal kebaikan dan pendorang amal saleh (ba`its li shalih al-a`mal). Di sini, hanya hati yang disebut sebagai pangkal keselamatan di akhirat, bukan anggota badan yang lain. Hal ini, menurut imam al-Razi, karena kalau hati sehat, seluruh anggota badan yang lain ikut sehat. Sebaliknya, kalau lidah (kata-kata) dan anggota badan lain (perbuatan) tak sehat, sudah bisa dipastikan hati tak sehat (berpenyakit).

Perawatan hati, seperti diajarkan para sufi, menjadi penting. Perawatan hati, seperti halnya perawatan fisik, memerlukan dokter spesial yang tidak lain adalah para ulama. Dokter yang satu ini, menurut Imam Ghazali, selain makin lama makin langka, sebagian dari mereka juga 'berpenyakit'. Maka, waspadalah. Wallahu a`lam.
Redaktur: Siwi Tri Puji