Rabu, 30 Maret 2011

Hikmah Sakit

Oleh : Riyulasdi SPdI *)

Bukit Uhud menjadi saksi sejarah yang akan menceritakan bukti kepahitan dan kepedihan yang diderita kaum muslimin. Kekalahan menghadapi kaum kafir yang paling telak. Perih memang. Tapi itulah kenyataan yang harus diterima. Puluhan sahabat gugur sebagai syuhada. Puluhan lainnya terluka parah. Bahkan Rasulullah SAW sendiri mengalami banyak luka yang sangat memilukan. Hanya untuk sekedar shalat berjamaahpun Rasulullah dan kaum muslimin harus duduk, karena bagitu banyaknya luka yang menggores di tubuh mereka.

Peristiwa itu tidak hanya meninggalkan duka lara bagi kaum muslimin, yang setiap saat mesti ditangisi dan disesali. Ada hikmah besar yang terhampar luas yang bisa dipetik oleh kaum muslimin dari peristiwa itu. Karena bagaimanapun, pengalaman hidup adalah guru yang paling bijak dalam mengajarkan sesuau kepada kita.

Sebenarnya kaum muslimin pada awalnya tidak berada pada posisi kalah, karena Rasulullah SAW telah membentuk benteng pertahanan dari pasukan pemanah yang akan selalu melindungi barisan kaum muslimin. Ketaatan mereka terhadap perintah Rasulullah SAW memudar saat barisan pemanah itu melihat kaum Muslimin yang lain sibuk memperebutkan harta rampasan perang. Mereka meninggalkan bukit pertahanan mereka untuk ikut ambil bagian dalam harta rampasan perang tersebut. Kesempatan ini adalah momentum yang ditunggu-tunggu oleh kaum musyrikin. Mereka mengambil alih posisi pasukan pemanah dan melakukan serangan balasan bagaikan gelombang laut yang tak mampu dihalangai oleh kaum Muslimin.

Begitulah sejarah mencatat alur peristiwa besar itu. Peristiwa Uhud setidaknya mengajarkan Kaum muslimin tentang konsekuensi yang harus diterima oleh seseorang ketika ia mencoba untuk melanggar perintah Rasulullah saw. Karena bagaimanapun muara kesalahan dari perisiwa itu adalah sikap merasa tidak berbahaya dari tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan meninggalkan posisi pasukan pemanah.

Ternyata sakit tidak selalu meninggalkan kesan kesedihan dan penderitaan bagi seseorang, tapi justru ia menjadi momentum lonjakan kebaikan dalam menyemai dan mengumpulkan butir-butir kebaikan. Dan yang terpenting dan sangat berharga adalah bahwa sakit adalah momentum untuk muhasabah terhadap nikmat kesehatan yang selama ini dinikmati. Disini sakit berungsi sebagai pengontrol terhadap nikmat kesehatan dan kesenangan yang telah dihabiskan.

Sakit merupakan momentum pengumpulan semangat baru terhadap perjuangan yang sedang dilakukan. Di sisi lain sakit merupakan momentum untuk pencapaian sebuah cita-cita, bahkan sakit adalah jejak-jejak untuk mengukir kegemilangan. Jendral Sudirman telah mengajarkan tentang hal itu, cukup lama beliau berteman dengan sakit bahkan untuk sekedar berjalanpun sulit, tapi ternyata sakit tidak membuat beliau patah semangat dalam mengisi bait-bait kemerdekaan, tandu ternyata bukan suatu penghalang bagi beliau untuk menghentikan perjuangan.

Kita hanya berbicara tentang nilai positif dari rasa sakit yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya. Karena sakit sesungguhnya bukan sesuatu pemberian Allah SWT yang buruk, karena Allah SWT tidak pernah memberikan yang buruk kepada hambaNya, sakit yang menurut kita buruk, belum tentu buruk juga dalam pandangan Allah SWT.

Ini adalah janji Allah SWT, "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui" (QS Al Baqarah 216). Begitulah Allah SWT mengajarkan kepada kita tentang pentingnya bersikap positif terhadap sesuatu.

Sakit adalah bagian dari kasih sayang Allah SWT yang sangat besar bagi hambaNya. Justru karena sakitlah Umar Bin Khattab semakin merasa bersyukur kepada Allah SWT, karena diberi kesempatan untuk menghapuskan dosa-dosa kecil. Sakit bisa membuat kita merengkuh pahala kesabaran yang terhampar luas, sabar yang penuh dengan keindahan. "Maka Bersabarlah kamu dengan sabar yang baik." ( QS Al Ma’arij 5 )

Rasulullah SAW sangat mewanti-wanti agar kita harus sangat berhati-hati dengan sakit, karena tidak semua orang mempunyai kekuatan menata masa sakit itu menjadi ladang-ladang kebaikan. "Pergunakanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu," begitu beliau mewasiatkan.

*) seorang guru SDIT di Bukittinggi. Bisa dihubungi di akhriy_u@yahoo.co.id

Keshalihan Sosial

Oleh : Ihsan Faisal MAg

Shalih dalam Alquran banyak diulang dalam beberapa ayat dan semuanya menunjukkan pada satu predikat, yaitu indikator keimanan seseorang. Rangkaian ayat dalam Alquran sering digabungkan antara “alladzina aamanuu” dengan “amilus shalihat.” Hal ini mengandung faidah bahwa antara iman dan amal shalih tidak bisa dipisahkan, bagai dua sisi mata uang (like two sides a coin), satu sama lain saling menyempunakan.

Dalam Kamus al-Munawwir (h.788-789), istilah Shalih mengandung makna al-Jayyid (bagus), al-Baar (sholeh), al-manfa’at (kemanfaatan), al-Ni’mat al-Waafirah (keni’matan yang sempurna), dan lain-lain. Semua istilah tersebut merujuk pada satu kata ‘kebaikan.’ Tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah SWT.

Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama. Apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk.
Berbuat baik (amal shalih) tentu tidak cukup hanya untuk diri sendiri saja. Hal tersebut hanya memberikan kesan menjadi shalih secara individual, padahal Islam menganjurkan terwujudnya suatu sistem akhlak yang mengerucut pada predikat kesahalihan sosial (kolektif/jama’i).

Islam adalah sebagai sistem aturan (agama) yang berfungsi sebagai rahmatan lil ‘alamin. Karena itu, sasaran akhlak yang baik selain untuk diri sendiri juga untuk Allah SWT, sesama manusia, dan alam secara keseluruhan (M Quraish Shihab, 2000:261-273).

Perintah agama untuk berbuat kebaikan pada dasarnya merupakan washilah yang akan menghantarkan kita pada derajat keridhaan Illahi nanti di akhirat. Perintah dan dorongan berbuat baik itu datang dari Allah melalui para utusan-Nya. Namun sesungguhnya dorongan kepada kebaikan itu sudah merupakan “bakat primordial” manusia, bersumber dari hati nurani (nurani, bersifat nur atau terang) karena adanya fitrah pada manusia. Oleh karena itu berbuat baik merupakan sesuatu yang “natural” atau alami, karena dia tidak lain adalah perpanjangan nalurinya sendiri, alamnya sendiri, yang ada secara primordial, sejak seseorang dilahirkan ke dunia ini.

Maka jika Allah memerintahkan kita berbuat baik, sesungguhnya seolah-olah Dia hanyalah mengingatkan kepada kita akan “nature” kita sendiri, kecenderungan kita sendiri. Dengan kata lain, berbuat baik adalah sesuatu yang manusiawi, yang sejalan dan mencocoki sifat dasar manusia itu sendiri. Dengan sendirinya perbuatan jahat adalah melawan kemanusiaan, menyalahi sifat dasar manusia itu.

Karena itu, dari perspektif ini bisa disimpulkan bahwa perintah berbuat baik dari Allah SWT kepada kita bukanlah untuk kepentingan Allah sendiri. Dia Maha Kaya (al-Ghaniy), tidak membutuhkan pelayanan/service dari makhluk-Nya. Sebaliknya, ketika perbuatan baik dikerjakan manusia maka semuanya akan kembali untuk kebaikan manusia itu sendiri. Hal ini telah Allah tegaskan dalam QS Fushilat : 46, “Barang siapa berbuat baik, maka hal itu untuk dirinya sendiri; dan barang siapa berbuat jahat, maka hal itu adalah atas (kerugian) dirinya sendiri.”

Berbagai kajian ilmiah mengenai manusia telah mengukuhkan bahwa manusia yang reach out, mengulurkan tangan untuk menolong orang lain, adalah orang yang bahagia. Jika suatu kali kita bertemu dengan orang yang membutuhkan pertolongan, kemudian kita menolongnya, sepintas lalu nampak seperti perbuatan kita adalah untuk kepentingan orang tersebut. Tetapi, dalam perenungan yang lebih mendalam, seuntung-untungnya orang yang kita tolong itu, tetap masih beruntung dan bahagia kita sendiri, justeru karena kita mampu menolong. Lebih lanjut, karena perasaan bahagia itu, kita akan mendapatkan dunia ini terasa lapang dan luas untuk kita disebabkan oleh lapang dan luasnya dada (jiwa) kita. Kita dibimbing oleh Allah, berkat perbuatan baik kita sendiri, kepada kehidupan yang luas,lapang dan penuh harapan (Nurcholis Madjid, 1999 : 186-187)

Inilah salah satu makna janji Allah SWT dalam firman-Nya QS. Al-Zumar : 10 “Katakanlah (Muhammad), “wahai-wahai hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhanmu.” Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pehalanya tanpa batas.”

Drs H Hamzah Ya’kub menyebutkan ada beberapa faktor penting dalam membentuk etika atau akhlak yang baik yang akan menghasilkan amal shalih. Dalam bahasa sekarang diistilahkan dengan pembentukan karakter (character building). Beberapa faktor tersebut antara lain : manusia (subjek), instink (naluri), Kebiasaan (habit), Keturunan (hereditas/nasab), lingkungan, ‘Azzam (tekad/motivasi kuat), Suara batin, dan pendidikan (tarbiyah).

Dengan kata lain, kesuksesan seseorang dalam beramal shalih akan banyak ditentukan oleh faktor-faktor tadi. Akan tetapi hal di atas bukan bermakna menafikan peran hidayah Allah SWT yang sudah menjadi sifat mutlak bagi makhluk-Nya.

Terjadinya musibah gempa bumi beberapa hari lalu yang menimpa kita dan saudara-saudara dekat kita di wilayah Kab. Bandung, Bandung Barat dan lebih luasnya Jawa Barat adalah sebagai lahan untuk mengaktualisasikan makna keshalihan sosial kita. Ketika sebagian besar saudara kita sedang membutuhkan pertolongan, maka seharusnya lah kita memberikan apapun yang kita mampu dan yang mereka butuhkan. Kepedulilan sosial kita mengindikasikan tingkat kecerdasan sosial kita (social intellegience).

Kita berusaha simpati sekaligus empati atas segala musibah yang sedang menimpa saudara-saudara kita. Sebaliknya, ketika tidak peduli dengan urusan saudaranya, Rasul SAW sampai memberikan ultimatum: “Barang siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin yang lain, maka dia bukan dari golongan mereka.”

*) Penulis adalah Penyuluh Agama Islam pada Kemenag Kab Bandung & Mahasiswa S3 Hukum Islam UIN SGD Bandung

Redaktur: Siwi Tri Puji B

Menyikapi Nikmat Dan Musibah

Oleh: Muhammad Fatih mfatih9596@yahoo.com



"Maka, nikmat Tuhan-Mu yang manakah yang engkau dustakan?" (QS Ar-Rahmaan: 13)

Ayat itu diulang sebanyak 31 kali dalam Surah Ar-Rahmaan. Kerap membuat siapapun tertegun membacanya. Betapa kita, sebagai makhluk-Nya, terkadang terlalu sombong untuk sekadar mengucapkan 'terima kasih' kepada Sang Maha Pencipta, Allah SWT.

Sudah banyak sekali nikmat yang sudah Dia berikan. Namun, kita malah tidak bersyukur kepada-Nya. Bukankah Allah SWT telah berfirman: ''Dan, Dia telah memberikanmu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan, jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).'' (QS Ibrahim [14]: 34). Sudah banyak sekali nikmat yang Dia berikan. Nikmat mencicipi manisnya iman, nikmat menghirup udara segar, dan sebagainya.

Allah telah memberi iming-iming yang menggiurkan untuk hamba-hamba-Nya yang bersyukur, dan ancaman untuk hamba-hamba-Nya yang kufur, seperti yang termaktub dalam Surah Ibrahim ayat 7: “''Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; Sesungguhnya, jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.''

Maka, syukurilah nikmat yang datang pada kita. Jangan kita terlena hingga kita lupa dan mengklaim itu adalah hasil jerih payah kita sendiri, tanpa menganggap Allah sebagai Maha Pemberi. Karena, sikap seperti itu dapat menjerumuskan kita kepada kekufuran terhadap nikmat Allah.

Bila hal yang diatas berhubungan dengan pemberian yang sesuai dengan keinginan kita, lalu bagaimana dengan pemberian yang tidak sesuai dengan keinginan kita? Terkadang kita, sebagai manusia, mengeluhkan atau tidak mensyukuri pemberian Allah SWT yang tidak sesuai harapan kita. Padahal, kita tidak tahu kalau itu sebenarnya baik untuk kita. Kita hanya terus menyalahkan keputusan-Nya. Tidak adillah, tidak baiklah, atau keluhan-keluhan lainnya terus meluncur dari lisan kita. Jarang kita melihat sisi positif dari pemberian itu. Padahal, Allah selalu memberikan yang terbaik untuk kita.

Oleh karena itu, ketika ditimpa suatu musibah, janganlah cepat-cepat mengeluh. Lihatlah sisi positifnya. Berpikirlah bahwa Allah sayang kepada kita, karena Allah ingin segera menghapus dosa kita lewat ujian itu.

Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah berupa rasa lelahnya badan, rasa lapar yang terus menerus atau sakit, rasa sedih/benci yang berkaitan dengan masa sekarang, rasa sedih/benci yang berkaitan dengan masa lalu, gangguan orang lain pada dirinya, sesuatu yang membuat hati menjadi sesak sampai-sampai duri yang menusuknya melainkan akan Allah hapuskan dengan sebab hal tersebut kesalahan-kesalahannya” (HR Bukhori no 5641, Muslim no . 2573).

Begitu juga ketika keputusan Allah tidak sesuai harapan kita. Mungkin itu adalah untuk kebaikan jangka panjang kita. Ingatlah, Allah memberikan apa yang kita PERLUKAN, bukan yang kita HARAPKAN, karena bisa jadi apa yang kita harapkan justru mendatangkan mudharat bagi kita.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS Al-Baqarah: 216)

Perpisahan dengan orang-orang yang kita cintai, penyakit yang menggerogoti tubuh kita, merupakan beberapa ujian yang perlu kita ambil sisi positifnya. Jangan kita terus mengeluh dan mengeluh. Karena, tak ada gunanya juga terus meratapi nasib. Sesekali, beranikan diri kita untuk mengambil sisi positif dari itu semua. Karena, di balik semua kejadian, pasti ada hikmahnya. Wallahu a’lam.

Memaknai Syukur Nikmat

Oleh: Akhiril Fajri *)


Apabila direnungkan secara mendalam, ternyata memang banyak nikmat Allah yang telah kita terima dan gunakan dalam hidup ini. Demikian banyaknya sehingga kita tidak mampu menghitungnya. Allah berfirman, ''Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (QS 16: 18).

Hakikat syukur adalah menampakkan nikmat dengan menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan kehendak pemberinya. Sedangkan kufur adalah menyembunyikan dan melupakan nikmat. Allah SWT berfirman, ''Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih'.'' (QS 14: 7).

Pada dasarnya, semua bentuk syukur ditujukan kepada Allah. Namun, bukan berarti kita tidak boleh bersyukur kepada mereka yang menjadi perantara nikmat Allah. Ini bisa dipahami dari perintah Alah untuk bersyukur kepada orang tua yang telah berjasa menjadi perantara kehadiran kita di dunia. Firman Allah SWT, ''Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kamu kembali.'' (QS 31: 14).

Perintah bersyukur kepada orang tua sebagai isyarat bersyukur kepada mereka yang berjasa dan menjadi perantara nikmat Alloh. Orang yang tidak mampu bersyukur kepada sesama sebagai tanda ia tidak mampu pula bersyukur kepada Alloh swt . Nabi bersabda, ''Siapa yang tidak mensyukuri manusia, maka ia tidak mensyukuri Alloh.'' (HR Tirmidzi).

Manfaat syukur akan menguntungkan pelakunya. Allah tidak akan memperoleh keuntungan dengan syukur hamba-Nya dan tidak akan rugi atau berkurang keagungan-Nya apabila hamba-Nya kufur. Allah berfirman, ''Dan siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya lagi Mahamulia.'' (QS 27: 40).

Ada beberapa cara mensyukuri nikmat Allah swt. Pertama, syukur dengan hati. Ini dilakukan dengan mengakui sepenuh hati apa pun nikmat yang diperoleh bukan hanya karena kepintaran, keahlian, dan kerja keras kita, tetapi karena anugerah dan pemberian Alloh Yang Maha Kuasa. Keyakinan ini membuat seseorang tidak merasa keberatan betapa pun kecil dan sedikit nikmat Alloh yang diperolehnya.

Kedua, syukur dengan lisan. Yaitu, mengakui dengan ucapan bahwa semua nikmat berasal dari Alloh swt. Pengakuan ini diikuti dengan memuji Alloh melalui ucapan alhamdulillah. Ucapan ini merupakan pengakuan bahwa yang paling berhak menerima pujian adalah Allah.

Ketiga, syukur dengan perbuatan. Hal ini dengan menggunakan nikmat Alloh pada jalan dan perbuatan yang diridhoi-Nya, yaitu dengan menjalankan syariat , menta'ati aturan Alloh dalam segala aspek kehidupan

Sikap syukur perlu menjadi kepribadian setiap Muslim. Sikap ini mengingatkan untuk berterima kasih kepada pemberi nikmat (Alloh) dan perantara nikmat yang diperolehnya (manusia). Dengan syukur, ia akan rela dan puas atas nikmat Allah yang diperolehnya dengan tetap meningkatkan usaha guna mendapat nikmat yang lebih baik.

Selain itu, bersyukur atas nikmat yang diberikan Alloh merupakan salah satu kewajiban seorang muslim. Seorang hamba yang tidak pernah bersyukur kepada Alloh, alias kufur nikmat, adalah orang-orang sombong yang pantas mendapat adzab Allah SWT.

Allah telah memerintahkan hamba-hambaNya untuk mengingat dan bersyukur atas nikmat-nikmatNya: “Karena itu, ingatlah kamu kepadaKu niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari nikmatKu.” (QS al-Baqarah:152)

Ahli Tafsir, Ali Ash Shobuni menjelaskan bahwa yang dimaksud “Ingat kepada Alloh” itu adalah dengan Ibadah dan Ta’at, maka Alloh akan ingat kepada kita, artinya memberikan pahala dan ampunan. Selanjutnya kita wajib bersyukur atas nikmat Allah dan jangan mengingkarinya dengan berbuat dosa dan maksiat.

Telah diriwayatkan bahwa Nabi Musa as pernah bertanya kepada Tuhannya: ”Ya Robb, bagaimana saya bersyukur kepada Engkau? Robbnya menjawab: ”Ingatlah Aku, dan janganlah kamu lupakan Aku. Jika kamu mengingat Aku sungguh kamu telah bersyukur kepadaKu. Namun, jika kamu melupakan Aku, kamu telah mengingkari nikmatKu”.

Di zaman sekarang ini, betapa banyak orang merefleksikan rasa bersyukur, namun dengan cara-cara yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syukur itu sendiri. Untuk itu, para ulama telah menggariskan tata cara bersyukur yang benar, yakni dengan cara beribadah dan memupuk ketaatan kepada Allah swt dan meninggalkan maksiat.

Alloh swt telah menyatakan dengan sangat jelas bahwa orang-orang yang mau bersyukur atas nikmat yang diberikanNya sangatlah sedikit. Kebanyakan manusia ingkar terhadap nikmat yang diberikan Alloh kepada mereka. “Sesungguhnya Alloh benar-benar mempunyai karunia yang dilimpahkan atas umat manusia, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukurinya.” [QS Yunus: 60]

“Katakanlah: “Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut yang kamu berdoa kepadaNya dengan berendah diri dengan suara yang lembut (dengan mengatakan): ”Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari bencana ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur.” Katakanlah: ”Alloh menyelamatkan kamu daripada bencana itu dan dari segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutukanNya.” (QS Al-An’aam: 63-64).

Ketika manusia ditimpa berbagai macam kesusahan mereka segara berdoa dan berjanji untuk bersyukur pada Allah jika bencana itu dihindarkanNya. Akan tetapi, ketika Allah menghindarkan mereka dari bencana itu, mereka lupa bersyukur bahkan kembali mempersekutukan Allah swt. Betapa banyak orang menangis, meratap, memelas dan merengek-rengek meminta kepada Alloh swt agar dihindarkan dari kesusahan hidup; masalah pribadi, soal pekerjaan, musibah, dsb. Akan tetapi, ketika Alloh menghindarkan mereka dari kesusahan mereka kembali lalai, bermaksiat, bahkan menerapkan aturan-aturan selain aturan Allah. Bukankah hal ini termasuk telah menyekutukan Allah swt? Wallahu a'lam

*) Penggiat At-Tafkir Institute Lampung

Pemimpin yang Mendengar

Oleh Ahmad Syahirul Alim Lc


Seperti biasa, Amirul Mukminin Umar bin Khattab RA menunggang keledainya di tengah kota. Selain untuk bertegur sapa dengan sahabat dan rakyatnya, Khalifah juga memeriksa kondisi rakyatnya, menolong orang-orang yang memerlukan, dan mencegah kezaliman terjadi di negerinya.

Hari itu, seorang nenek tiba-tiba menghentikan keledai yang ditumpangi Umar. Nenek itu langsung menceramahinya. "Hei Umar, aku dulu mengenalmu sewaktu kau dipanggil Umair (Umar kecil), yang suka menakuti-nakuti anak-anak di pasar Ukadz dengan tongkatmu. Maka hari-hari pun berlalu hingga kau disebut Umar, dan kini engkau Amirul Mukminin…''

"Maka bertakwalah engkau kepada Allah atas rakyatmu! Barang siapa yang takut akan ancaman Allah maka yang jauh (akhirat) akan terasa dekat. Barang siapa yang takut akan kematian tidak akan menyia-nyiakan kesempatan, dan barang siapa yang yakin akan al-hisab (hari penghitungan), ia akan menghindari azab (Allah)."

Umar hanya terdiam mendengar perkataan sang nenek tua itu. Tak satu kata pun terucap dari mulutnya. Sampai-sampai Al-Jarud Al-Abidy yang menemani Umar merasa terganggu dengan sikap nenek tua itu. Al-Jarud berkata, "Hei Nenek, Engkau telah berlebihan atas Amirul Mukminin."

"Biarkanlah ia…" cegah Umar Ra kepada Al-Jarud. "Apa engkau tidak mengenalnya? Dialah Khaulah yang perkataannya didengar oleh Allah dari atas tujuh lapis langit maka Umar lebih berhak untuk mendengarnya, tutur Amirul Mukminin.

Bahkan dalam riwayat lain, Umar berkata: "Demi Allah, seandainya ia tidak meninggalkanku sampai malam tiba, aku akan terus mendengarkannya sampai ia menunaikan keinginannya. Kecuali jika datang waktu shalat, aku akan shalat lalu kembali padanya, sampai ia menuntaskan keinginannya."

Umar RA selalu setia mendengarkan keluhan rakyatnya. Amirul Mukminin tak segan-segan untuk memohon maaf jika telah merasa lalai. Ia lalu menuntaskan hajat rakyat yang sudah menjadi kewajibannya. Sebagai Khalifah, ia bahkan pernah memikul sendiri karung gandum dan menyerahkannya pada seorang janda di ujung kota.

Begitulah Umar memberikan keteladanan kepada kita semua. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai pendengaran yang peka terhadap keluhan, bahkan kritikan rakyatnya. Ia menyadari betul, kekuasaannya hanyalah amanah yang harus ia tunaikan kepada para pemiliknya, yaitu rakyat yang dipimpinnya.

Khalifah Umar bukanlah tipe pemimpin yang haus sanjungan. Sebab, ia selalu mengingat firman Allah SWT, "Janganlah sekali-kali kamu menyangka, orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih." (Ali Imran: 188)
Redaktur: Siwi Tri Puji B

Membaca Bencana

Oleh Arsyad Abrar

Gejala-gejala alam seperti gempa bumi, banjir, dan tsunami diartikan sebagian besar oleh kita sebagai petaka. Musibah atau petaka diibaratkan sebagai tamu yang kehadirannya sama sekali tidak pernah diharapkan. Dalam Aquran kita temukan banyak ayat yang membicarakan fenomena alam seperti itu.

Di antaranya, ayat-ayat yang bercerita perihal hari kiamat. Seperti firman Allah dalam QS al-Zalzalah [99]: 1-2, "Apabila bumi itu diguncang dengan guncangan yang dahsyat, dan bumi juga pada waktu itu mengeluarkan segala apa yang ada di dalamnya." Ayat tersebut secara umum menceritakan ada dan betapa dahsyatnya gempa bumi yang terjadi di penghujung hari akhir nanti, di samping juga mengabarkan kepada kita bahwa gempa itu
terjadi karena kuasa-Nya.

Bencana yang tidak kalah dahsyatnya selain gempa bumi adalah tsunami. Dalam Alquran telah diceritakan bahwa petaka ini telah menimpa kaum Nabi Nuh AS dengan bentuk banjir air bah yang sangat besar. Hal itu terjadi tatkala umatnya telah berperilaku melampaui batas dan tidak mau mengikuti apa yang telah Allah ajarkan melalui nabi-Nya.

Bila kita kembalikan kepada kehidupan kita sekarang ini, petaka atau musibah yang terjadi sering kali membuat kita takut dan menimbulkan kegelisahan yang berlebihan. Bahkan, melahirkan suatu penyakit yang membuat kita lupa bahwa itu semua terjadi karena izin dan kehendak Allah SWT.
Musibah, apa pun bentuknya, itu adalah ujian bagi orang-orang beriman yang datang dari Allah. Sejauh mana seorang hamba mampu bersabar hidup pascaterjadinya bencana. Allah SWT berfirman dalam QS al-Baqarah [2]: 155, "Sungguh kami (Allah) akan benar-benar menguji kamu dengan sesuatu yang berupa ketakutan dan kelaparan dan kekurangan dari harta benda, kehilangan jiwa (orang yang kamu sayang), dan buah-buahan dan kabar gembiralah bagi orang-orang yang sabar."

Namun, musibah ini tentunya berbeda bagi orang-orang yang ingkar dan kerap melakukan maksiat kepada Allah. Musibah bagi mereka adalah teguran sekaligus azab sebagai wujud kezaliman yang telah mereka lakukan. Karena kefasikan itulah Allah mengazab mereka. Hal ini dipertegas oleh firman Allah SWT dalam QS al-Isra [17]: 16, "Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila merajalela dan melakukan kedurhakaan (di negeri itu), maka berlakulah perkataan (hukuman) kami, kemudian kami benar-benar binasakan negeri itu."

Cepat tanggap dalam menghadapi berbagai macam persoalan kehidupan adalah penting, apalagi jika itu berkaitan dengan musibah atau bencana yang menelan banyak korban. Pada saat itulah nurani kita sebagai manusia dipanggil untuk berbagi dan ikut merasakan penderitaan saudara kita yang sedang dalam kesulitan. Tidak sekadar menonton pilunya tangisan mereka, tetapi kita mesti mampu membaca pesan yang tersirat di balik bencana.

Membaca bencana bagi rakyat adalah kesiapan untuk saling berbagi mengurangi penderitaan yang ada. Membaca bencana oleh para pemuka agama adalah menghibur mereka dari kesedihan. Sedangkan membaca bencana bagi seorang pemimpin adalah sejauh mana ia mampu membangun dan menyediakan tempat yang layak bagi para korban, mencegah terjadinya banyak korban dengan evakuasi sedini mungkin. Wallahu a'lam.
Redaktur: Siwi Tri Puji B

Shakilah

Oleh Syafiq Basri Assegaff

Mari bicara tentang ikhlas, tentang ketulusan niat. "Ikhlas itu adalah rahasia dari semua rahasia dan Aku menempatkannya di hati hamba yang menjadi kekasih-Ku," demikian firman Allah SWT sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad SAW. Berkaitan dengan hal itu, cucu Nabi Muhammad, Ja'far bin Muhammad Al-Shadiq, memberikan penjelasan bunyi surah 67 ayat 2. "Dia akan menguji siapa di antaramu yang paling baik amalnya.''

Menurut Al-Shadiq, yang dimaksud surah dan ayat tersebut bukanlah siapa yang paling 'banyak' amalnya, melainkan siapa yang paling bermutu (ahsan) dalam tindakannya. Ahsan merupakan kedekatan kepada Allah dan niat. Jelas, ahsan adalah kualitas, bukan kuantitas. Al-Shadiq lalu menambahkan, lebih sulit bertahan dalam keadaan selalu ikhlas dalam bertindak daripada melakukan tindakan itu sendiri. Keikhlasan bergantung apakah Anda menginginkan seseorang memuji atau hanya bertindak untuk Allah semata.

Begitu pentingnya niat, membuat beliau mengatakan, "Sesungguhnya niat itu lebih penting daripada tindakan itu sendiri." Ia kemudian membaca ayat ini, "Katakan setiap amal itu bergantung kepada niatnya-shakilatihi (QS 17:84), dan menambahkan, "Shakilah itu artinya niat." (Baca juga Q.S. 39:2). Kita rupanya harus berhati-hati sebab ada kalanya yang sudah beramal secara sempurna tanpa ria atau ujub pada awalnya, setelah beberapa waktu, terperosok sehingga amalnya dicemari ria.

Ayah Al-Shadiq, Muhammad Al-Bagir, mengatakan, "Bertahan dalam niat baik untuk sebuah amal lebih baik daripada amal itu sendiri." Ketika ditanya, apa maksudnya bertahan dalam niat baik, beliau menjawab, "Seseorang melakukan amal baik kepada familinya atau memberi demi mencari rida Allah. Ia mendapat ganjaran yang dicatatkan baginya. Belakangan, ia menceritakan hal itu kepada orang lain maka apa yang sudah dicatat itu dihapuskan sehingga ia tidak lagi punya catatan ganjaran amal itu. Kemudian, ketika ia kembali menyebutkan soal amal itu lagi (untuk kedua kalinya), ia dicatat sebagai melakukan ria-sementara catatan amal baiknya malah sudah tidak ada sama sekali."

Dengan demikian, ikhlas merupakan tahapan tertinggi cinta dan pengabdian kepada Allah. Menurut Abdullah Al-Ansawi, ikhlas berarti menggugurkan semua ketidakmurnian. Dan ketidakmurnian itu adalah keinginan menyenangkan diri sendiri atau orang (makhluk) lain. "Jika orang masih berada di habitat rasa suka diri, ia belumlah masuk golongan 'yang menuju kepada Allah' (musafir ilaa Allah) dan termasuk yang masih ingin langgeng di bumi (mukhalladun ilaa al-'Ardh)."

Dan yang dikhawatirkan Nabi Muhammad dan para salihin adalah munculnya 'syirk' dalam ibadah pada berbagai tingkatannya. Jika seseorang melakukan suatu amal demi kepuasan diri sendiri, ia itu termasuk ujub. Kalau itu demi kepuasan orang lain, ia adalah ria. Di dalam pandangan orang-orang arif, hal ini dianggap telah membatalkan ibadah dan menjadikannya tidak diterima Tuhan.

Misalnya tahajud 'demi' memperbaiki kualitas hidup, atau memberi zakat 'demi' meningkatkan kekayaan. Meski semua ibadah itu sah (valid) dan orang yang melaksanakannya berarti telah melaksanakan kewajiban syariat, ia dianggap belum melakukan penyembahan kepada Allah secara ikhlas dan tidak pula memiliki kemurnian tujuan. Bagi para arif, semuanya itu merupakan ibadah yang sekadar untuk mencapai tujuan-tujuan yang 'rendah'.
Redaktur: Siwi Tri Puji B

Perumpamaan Amal

Oleh Fajar Kurnianto

Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya perumpamaan orang yang melakukan amal-amal buruk (dosa) kemudian mengerjakan amal-amal baik (saleh), bagaikan seorang yang memakai perisai perang sempit sehingga membuatnya terimpit. Ketika dia mengerjakan satu amal baik, maka perisai itu terasa agak longgar sedikit. Selanjutnya ketika dia mengerjakan satu amal baik lainnya, maka perisai tersebut terasa semakin longgar, hingga orang itu meninggal dunia." (HR Ahmad dari Uqbah bin Amir).

Kewajiban manusia adalah di dalam kehidupan dunia ini adalah melakukan amal baik dan menjauhi amal buruk. Amal baik akan mengarahkan manusia ke jalan kebaikan di dunia dan di akhirat. Sementara amal buruk akan mengarahkan manusia ke jalan keburukan di dunia dan di akhirat. Allah berfirman, "… dan kerjakanlah amal yang baik (saleh). Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS al-Mu'minun [23] m: 51).

Amal buruk harus dijauhi. Dan, bagi orang yang sudah melakukan amal buruk, ia harus meninggalkannya. Rasulullah memberikan perumpamaan tentang hal ini. Bahwa melakukan amal buruk (dosa) itu seperti orang yang memakai baju besi dalam perang yang makin mengimpit, membelit kuat tubuhnya. Semakin ia sering melakukan amal buruk, maka baju besi itu akan semakin mengimpit tubuhnya. Apabila orang itu melakukan amal baik setelah melakukan amal buruk, maka ia ibarat orang yang mengendurkan impitan baju besinya. Semakin banyak amal baik dilakukan, semakin longgar baju besi itu.

Apa maknanya? Pertama, buah dari amal buruk itu adalah penderitaan, kesulitan, dan kesengsaraan hidup. Baik itu di dunia, lebih-lebih di akhirat. Kedua, buah dari amal baik itu adalah kelapangan, keluasan, kemudahan, dan kebahagiaan hidup. Baik itu di dunia, lebih-lebih di akhirat. Karena itu, kunci untuk melepaskan diri dari penderitaan, kesulitan, ataupun kesengsaraan hidup itu sebenarnya sangat mudah: lakukanlah kebaikan, apa pun bentuknya, kapan pun, di manapun; dan jangan sekali-kali melakukan keburukan.

Manusia memang bukan malaikat, yang seratus persen bisa bersih dan suci dari segala dosa. Inilah, misalnya, yang disebut oleh Rasulullah sebagai fluktuasi iman, "Sesungguhnya iman itu dapat bertambah dan berkurang." (HR Muslim).

Akan tetapi, itu tidak bisa dijadikan sebagai alasan bahwa amal buruk itu hal yang wajar. Karena perintah Allah sangat tegas: kerjakanlah amal yang saleh! Tidak ada satu pun ajaran Islam yang memerintahkan untuk beramal buruk. Islam adalah cahaya yang menyingkap kegelapan, mengangkat manusia dari jurang kegelapan menuju ke alam yang benderang, melepaskan manusia dari kesulitan hidup ke kemudahan hidup. Bahagia dunia dan akhirat. Tinggal manusia yang memilih, ingin hidup dalam kegelapan, terimpit dalam kesulitan, dengan beramal buruk, atau ingin hidup dalam terang cahaya, lepas dari impitan kesulitan hidup, dengan beramal baik. Wallahu a'lam.
Redaktur: Siwi Tri Puji B

Tiga Keutamaan Ibu

Oleh: Virani Akbar

"…Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya . Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (QS al-Israa' [17]: 23).

Allah mengajarkan kepada kita agar berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua. Untuk mengatakan kepada keduanya "ah" ( perkataan yang dapat menyakiti hati keduanya ) saja kita tidak diperkenankan apalagi yang lebih dari itu. Pernah suatu ketika datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw, ia bertanya kepada Rasulullah saw," Ya Rasulullah, siapa dari manusia yang paling berhak aku utamakan? Rasulullah saw bersabda "Ibumu". Laki-laki tersebut bertanya kembali, "kemudian siapa lagi?" Rasulullah saw bersabda, "kemudian ibumu". Laki-laki tersebut betanya kembali, "kemudian siapa lagi?" Rasulullah bersabda, "kemudian ibumu". "Kemudian siapa lagi?" Rasulullah bersabda, "kemudian ayahmu". (HR Muslim ).

Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya "Al-Jami'ul Al-Ahkamil Qur'an" mangatakan bahwasanya hadits tersebut menunjukan tiga kecintaan dan pengorbanan seorang ibu. Ketiga perakara itu, pertama adalah pengorbanan seorang ibu ketika dalam keadaan hamil, kedua adalah pengorbanan ketika melahirkan, dan ketika adalah pengorbanan ketika menyusui serta mendidik anak. Ketiga perkara tersebut dilakukannya seorang diri.

Perkara pertama, hamilnya seorang ibu. Saat seorang ibu hamil tubuhnya menjadi rentan akan 'bahaya'. Berat tubuhnya menjadi dua kali lipat, karena memebawa kita di dalam rahimnya. Hal itu berlangsung kurang lebih selama Sembilan bulan. Kecintaannya kepada kita telah dicurahkannya sejak saat itu, ia selalu mendahulukan keselamatan bayinya daripada dirinya sendiri. Ia tidak pedulikan berat beban tubuhnya yang bertambah karena kehdiran kita di rahimnya.

Perkara kedua, saat ibu melahirkan. Saat-saat inilah yang dinantikan oleh seorang ibu. Saat dimana ia dapat melihat buah hatinya setelah selama kurang lebih sembilan bulan mengandungnya. Namun saat-saat ini juga merupakan saat-saat yang paling beresiko tinggi dalam hidupnya. Karena melahirkan rentan sekali dengan kematian. Tak sedikit ibu yang rela mengorbankan nyawanya demi lahirnya sang buah hati.

Perakara ketiga, saat menyusui dan mendidik. Setelah melewati masa-masa kritis ketika melahirkan. Tugas seorang ibu tidak lantas selesai begitu saja. Ia haruslah menyusui bayinya sebagai makanan pertama si bayi. Dalam benaknya hanya ada bagaimana agar bayinya tumbuh sehat. Paling tidak kebutuhan jasadiahnya terpenuhi. Setelah lewat masa menyusi dan bayinya tumbuh dewasa ia harus mendidiknya agar kelak menjadi anak yang soleh dan solehah. Mendidik dengan cinta kasih dan kesabaran yang bagai sang surya menyinari dunia.

Ketiga perkara tersebut yang menjadikan seorang ibu mempunyai tiga keutamaan daripada seorang ayah. Dan ketiga perkara tersebut tidak pernah bisa kita balas sepanjang hayat kita walaupun dengan emas permata seluruh dunia. Wallahu 'alam bi showab

*) Penulis adalah seorang anak yang berusaha berbakti kepada orangtuanya. Tinggal di Riau.
Redaktur: Siwi Tri Puji B

Mata Gelap karena Dunia

Oleh KH Bukhori Yusuf Lc MA

Terdapat beragam corak dan perhatian manusia dalam kehidupan. Ada yang cenderung kepada dunia, ada yang cenderung kepada akhirat. Ada yang cenderung kepada syahwat dan ada yang cenderung kepada taat. Ada yang seluruh kesibukannya untuk mengejar reputasi karier dan ada yang mampu menciptakan keseimbangan dalam hidup. Semuanya terpulang kepada persepsi dan cara pandang masing-masing terhadap hidup dan kehidupan.

Bagi orang beriman, kehidupan dunia hanyalah satu episode dari perjalanan hidup yang panjang, bukan akhir dari kehidupan dan segalanya. Namun, di balik itu, masih terdapat alam kubur dan akhirat. Di sana, manusia berjumpa dengan Tuhannya. Karena itu, ia selalu berkomunikasi dengan Allah, melalui ibadah dan doa setiap hari dan waktu agar perjumpaan itu terlaksana secara sukses dan menyenangkan.

Adapun bagi orang yang tidak beriman, dunia seolah menjadi titik henti terakhir. Karena itu, seluruh hidupnya dipertaruhkan dan dicurahkan hanya untuk mencari kepuasan atau popularitas diri. Inilah yang Allah gambarkan dalam Alquran, "Orang-orang yang tidak mengharapkan adanya perjumpaan dengan Kami, lalu merasa puas dengan kehidupan dunia, merasa tenteram dengannya, serta orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, tempat mereka adalah neraka sesuai dengan apa yang mereka lakukan." (QS Yunus {10}: 7).

Menurut Wahbah Zuhayli dalam tafsir al-Munir, ayat di atas memberikan gambaran tentang empat karakter calon penghuni neraka. Pertama, tidak meyakini adanya pertemuan dengan Allah. Mereka tidak takut kepada hukuman-Nya, peringatan-Nya, ancaman-Nya, serta sama sekali tidak mengharapkan pahala dari-Nya.

Kedua, puas dengan kehidupan dunia. Ini adalah akibat logis dari sikap pertama. Ketika seseorang tidak percaya akan berjumpa dengan Allah, dia tidak akan menyiapkan apa pun untuk pertemuannya nanti dengan Allah. Seluruh capaiannya hanya berorientasi kepada dunia yang pendek. Ukuran kelapangan, kesenangan, dan kegembiraan bertumpu pada dunia dan keduniaan semata. Berbagai upaya untuk mencapainya dilakukan meski dengan menghalalkan segala cara, mempertaruhkan reputasi, menanggalkan harga diri, menyerang kawan sendiri, bahkan harus mengorbankan agama sekali pun.

Ketiga, merasa tenteram dan nyaman dengan dunia. Ini dirasakan ketika kesenangan dan kenikmatan dunia entah berupa harta, wanita, kedudukan, dan jabatan berhasil dicapai.

Keempat, lalai terhadap ayat-ayat-Nya. Yakni, merasa aman dari siksa dan ancaman Allah di dunia ataupun akhirat. Dengan kata lain, sama sekali tidak merasa penting mengambil pelajaran dan tidak merenungkannya.

Manakala empat karakter tersebut terdapat dalam diri manusia, ia akan jauh dari jalan kesempurnaan, dan tidak akan pernah mencapai kebahagiaan.

Sebab, kesempurnaan dan kebahagiaan terletak pada kemampuan manusia menata hidup secara benar dengan menjadikan akhirat sebagai tujuan.
Redaktur: Siwi Tri Puji B

Jumat, 18 Maret 2011

Doa Agar Dikabulkan Maksudnya:

Allahumma innaka ta’lamu sirri wa ‘allaniyati faqbal ma’zirati.

Artinya: “Ya Allah, Engkau mengetahui apa yang aku sembunyikan dan yang aku lahirkan maka terimalah uzurku (niatku).”


Doa Diberi Akhlak Yang Baik :

Allahummahdini liahsanil akhlaqi fa innahu la yahdi liahsaniha illa anta, wasrif ‘anni sayyiaha fa innahu la yasrifu sayyiaha illa anta.


Artinya: “Ya Allah, tunjukkanlah aku pada akhlak yang paling baik, karena sesungguhnya tidak ada yang bisa menunjukkan kepadanya selain Engkau, dan jauhkanlah aku dari keburukan akhlak karena sesungguhnya tidak ada yang bisa menjauhkannya melainkan Engkau.”

Doa Terima Kabar Gembira/Agar Dikabulkan, Panjang Umur | Republika Online

Doa Terima Kabar Gembira/Agar Dikabulkan, Panjang Umur | Republika Online

Doa Agar Dikabulkan Maksud/Diberi Akhlak Baik | Republika Online

Doa Agar Dikabulkan Maksud/Diberi Akhlak Baik | Republika Online

Kamis, 03 Maret 2011

Sakit

Oleh : Riyulasdi SPdI *)

Bukit Uhud menjadi saksi sejarah yang akan menceritakan bukti kepahitan dan kepedihan yang diderita kaum muslimin. Kekalahan menghadapi kaum kafir yang paling telak. Perih memang. Tapi itulah kenyataan yang harus diterima. Puluhan sahabat gugur sebagai syuhada. Puluhan lainnya terluka parah. Bahkan Rasulullah SAW sendiri mengalami banyak luka yang sangat memilukan. Hanya untuk sekedar shalat berjamaahpun Rasulullah dan kaum muslimin harus duduk, karena bagitu banyaknya luka yang menggores di tubuh mereka.

Peristiwa itu tidak hanya meninggalkan duka lara bagi kaum muslimin, yang setiap saat mesti ditangisi dan disesali. Ada hikmah besar yang terhampar luas yang bisa dipetik oleh kaum muslimin dari peristiwa itu. Karena bagaimanapun, pengalaman hidup adalah guru yang paling bijak dalam mengajarkan sesuau kepada kita.

Sebenarnya kaum muslimin pada awalnya tidak berada pada posisi kalah, karena Rasulullah SAW telah membentuk benteng pertahanan dari pasukan pemanah yang akan selalu melindungi barisan kaum muslimin. Ketaatan mereka terhadap perintah Rasulullah SAW memudar saat barisan pemanah itu melihat kaum Muslimin yang lain sibuk memperebutkan harta rampasan perang. Mereka meninggalkan bukit pertahanan mereka untuk ikut ambil bagian dalam harta rampasan perang tersebut. Kesempatan ini adalah momentum yang ditunggu-tunggu oleh kaum musyrikin. Mereka mengambil alih posisi pasukan pemanah dan melakukan serangan balasan bagaikan gelombang laut yang tak mampu dihalangai oleh kaum Muslimin.

Begitulah sejarah mencatat alur peristiwa besar itu. Peristiwa Uhud setidaknya mengajarkan Kaum muslimin tentang konsekuensi yang harus diterima oleh seseorang ketika ia mencoba untuk melanggar perintah Rasulullah saw. Karena bagaimanapun muara kesalahan dari perisiwa itu adalah sikap merasa tidak berbahaya dari tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan meninggalkan posisi pasukan pemanah.

Ternyata sakit tidak selalu meninggalkan kesan kesedihan dan penderitaan bagi seseorang, tapi justru ia menjadi momentum lonjakan kebaikan dalam menyemai dan mengumpulkan butir-butir kebaikan. Dan yang terpenting dan sangat berharga adalah bahwa sakit adalah momentum untuk muhasabah terhadap nikmat kesehatan yang selama ini dinikmati. Disini sakit berungsi sebagai pengontrol terhadap nikmat kesehatan dan kesenangan yang telah dihabiskan.

Sakit merupakan momentum pengumpulan semangat baru terhadap perjuangan yang sedang dilakukan. Di sisi lain sakit merupakan momentum untuk pencapaian sebuah cita-cita, bahkan sakit adalah jejak-jejak untuk mengukir kegemilangan. Jendral Sudirman telah mengajarkan tentang hal itu, cukup lama beliau berteman dengan sakit bahkan untuk sekedar berjalanpun sulit, tapi ternyata sakit tidak membuat beliau patah semangat dalam mengisi bait-bait kemerdekaan, tandu ternyata bukan suatu penghalang bagi beliau untuk menghentikan perjuangan.

Kita hanya berbicara tentang nilai positif dari rasa sakit yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya. Karena sakit sesungguhnya bukan sesuatu pemberian Allah SWT yang buruk, karena Allah SWT tidak pernah memberikan yang buruk kepada hambaNya, sakit yang menurut kita buruk, belum tentu buruk juga dalam pandangan Allah SWT.

Ini adalah janji Allah SWT, "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui" (QS Al Baqarah 216). Begitulah Allah SWT mengajarkan kepada kita tentang pentingnya bersikap positif terhadap sesuatu.

Sakit adalah bagian dari kasih sayang Allah SWT yang sangat besar bagi hambaNya. Justru karena sakitlah Umar Bin Khattab semakin merasa bersyukur kepada Allah SWT, karena diberi kesempatan untuk menghapuskan dosa-dosa kecil. Sakit bisa membuat kita merengkuh pahala kesabaran yang terhampar luas, sabar yang penuh dengan keindahan. "Maka Bersabarlah kamu dengan sabar yang baik." ( QS Al Ma’arij 5 )

Rasulullah SAW sangat mewanti-wanti agar kita harus sangat berhati-hati dengan sakit, karena tidak semua orang mempunyai kekuatan menata masa sakit itu menjadi ladang-ladang kebaikan. "Pergunakanlah masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu," begitu beliau mewasiatkan.

*) seorang guru SDIT di Bukittinggi. Bisa dihubungi di akhriy_u@yahoo.co.id

Keshalihan Sosial

Oleh : Ihsan Faisal MAg

Shalih dalam Alquran banyak diulang dalam beberapa ayat dan semuanya menunjukkan pada satu predikat, yaitu indikator keimanan seseorang. Rangkaian ayat dalam Alquran sering digabungkan antara “alladzina aamanuu” dengan “amilus shalihat.” Hal ini mengandung faidah bahwa antara iman dan amal shalih tidak bisa dipisahkan, bagai dua sisi mata uang (like two sides a coin), satu sama lain saling menyempunakan.

Dalam Kamus al-Munawwir (h.788-789), istilah Shalih mengandung makna al-Jayyid (bagus), al-Baar (sholeh), al-manfa’at (kemanfaatan), al-Ni’mat al-Waafirah (keni’matan yang sempurna), dan lain-lain. Semua istilah tersebut merujuk pada satu kata ‘kebaikan.’ Tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah SWT.

Demikian rumus yang diberikan oleh kebanyakan ulama. Apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk.
Berbuat baik (amal shalih) tentu tidak cukup hanya untuk diri sendiri saja. Hal tersebut hanya memberikan kesan menjadi shalih secara individual, padahal Islam menganjurkan terwujudnya suatu sistem akhlak yang mengerucut pada predikat kesahalihan sosial (kolektif/jama’i).

Islam adalah sebagai sistem aturan (agama) yang berfungsi sebagai rahmatan lil ‘alamin. Karena itu, sasaran akhlak yang baik selain untuk diri sendiri juga untuk Allah SWT, sesama manusia, dan alam secara keseluruhan (M Quraish Shihab, 2000:261-273).

Perintah agama untuk berbuat kebaikan pada dasarnya merupakan washilah yang akan menghantarkan kita pada derajat keridhaan Illahi nanti di akhirat. Perintah dan dorongan berbuat baik itu datang dari Allah melalui para utusan-Nya. Namun sesungguhnya dorongan kepada kebaikan itu sudah merupakan “bakat primordial” manusia, bersumber dari hati nurani (nurani, bersifat nur atau terang) karena adanya fitrah pada manusia. Oleh karena itu berbuat baik merupakan sesuatu yang “natural” atau alami, karena dia tidak lain adalah perpanjangan nalurinya sendiri, alamnya sendiri, yang ada secara primordial, sejak seseorang dilahirkan ke dunia ini.

Maka jika Allah memerintahkan kita berbuat baik, sesungguhnya seolah-olah Dia hanyalah mengingatkan kepada kita akan “nature” kita sendiri, kecenderungan kita sendiri. Dengan kata lain, berbuat baik adalah sesuatu yang manusiawi, yang sejalan dan mencocoki sifat dasar manusia itu sendiri. Dengan sendirinya perbuatan jahat adalah melawan kemanusiaan, menyalahi sifat dasar manusia itu.

Karena itu, dari perspektif ini bisa disimpulkan bahwa perintah berbuat baik dari Allah SWT kepada kita bukanlah untuk kepentingan Allah sendiri. Dia Maha Kaya (al-Ghaniy), tidak membutuhkan pelayanan/service dari makhluk-Nya. Sebaliknya, ketika perbuatan baik dikerjakan manusia maka semuanya akan kembali untuk kebaikan manusia itu sendiri. Hal ini telah Allah tegaskan dalam QS Fushilat : 46, “Barang siapa berbuat baik, maka hal itu untuk dirinya sendiri; dan barang siapa berbuat jahat, maka hal itu adalah atas (kerugian) dirinya sendiri.”

Berbagai kajian ilmiah mengenai manusia telah mengukuhkan bahwa manusia yang reach out, mengulurkan tangan untuk menolong orang lain, adalah orang yang bahagia. Jika suatu kali kita bertemu dengan orang yang membutuhkan pertolongan, kemudian kita menolongnya, sepintas lalu nampak seperti perbuatan kita adalah untuk kepentingan orang tersebut. Tetapi, dalam perenungan yang lebih mendalam, seuntung-untungnya orang yang kita tolong itu, tetap masih beruntung dan bahagia kita sendiri, justeru karena kita mampu menolong. Lebih lanjut, karena perasaan bahagia itu, kita akan mendapatkan dunia ini terasa lapang dan luas untuk kita disebabkan oleh lapang dan luasnya dada (jiwa) kita. Kita dibimbing oleh Allah, berkat perbuatan baik kita sendiri, kepada kehidupan yang luas,lapang dan penuh harapan (Nurcholis Madjid, 1999 : 186-187)

Inilah salah satu makna janji Allah SWT dalam firman-Nya QS. Al-Zumar : 10 “Katakanlah (Muhammad), “wahai-wahai hamba-Ku yang beriman! Bertakwalah kepada Tuhanmu.” Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pehalanya tanpa batas.”

Drs H Hamzah Ya’kub menyebutkan ada beberapa faktor penting dalam membentuk etika atau akhlak yang baik yang akan menghasilkan amal shalih. Dalam bahasa sekarang diistilahkan dengan pembentukan karakter (character building). Beberapa faktor tersebut antara lain : manusia (subjek), instink (naluri), Kebiasaan (habit), Keturunan (hereditas/nasab), lingkungan, ‘Azzam (tekad/motivasi kuat), Suara batin, dan pendidikan (tarbiyah).

Dengan kata lain, kesuksesan seseorang dalam beramal shalih akan banyak ditentukan oleh faktor-faktor tadi. Akan tetapi hal di atas bukan bermakna menafikan peran hidayah Allah SWT yang sudah menjadi sifat mutlak bagi makhluk-Nya.

Terjadinya musibah gempa bumi beberapa hari lalu yang menimpa kita dan saudara-saudara dekat kita di wilayah Kab. Bandung, Bandung Barat dan lebih luasnya Jawa Barat adalah sebagai lahan untuk mengaktualisasikan makna keshalihan sosial kita. Ketika sebagian besar saudara kita sedang membutuhkan pertolongan, maka seharusnya lah kita memberikan apapun yang kita mampu dan yang mereka butuhkan. Kepedulilan sosial kita mengindikasikan tingkat kecerdasan sosial kita (social intellegience).

Kita berusaha simpati sekaligus empati atas segala musibah yang sedang menimpa saudara-saudara kita. Sebaliknya, ketika tidak peduli dengan urusan saudaranya, Rasul SAW sampai memberikan ultimatum: “Barang siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin yang lain, maka dia bukan dari golongan mereka.”

*) Penulis adalah Penyuluh Agama Islam pada Kemenag Kab Bandung & Mahasiswa S3 Hukum Islam UIN SGD Bandung