Sabtu, 29 Oktober 2011

akim dalam Islam

Oleh M Fuad Nasar MSc

Jabatan yang paling berat tanggung jawab dan risikonya setelah kepala negara ialah hakim. Dalam terminologi fikih klasik, hakim disebut juga qadhi. Qadhiatau ha kim berfungsi sebagai penegak hu kum dan keadilan dalam mengadili perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan. Hakim dipandang sebagai amanah yang mulia. “Jika kamu menghukum, putuskanlah hukum di antara manusia dengan adil. Se sung guhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS al-Maidah [5]: 42).

Rasul bersabda: “ Qadhi (hakim) itu ada tiga golongan; dua golongan dalam neraka dan satu golongan dalam surga.” Nabi menyebut secara garis besarnya kesalahan yang dapat membawa seorang hakim ke dalam neraka dan sifat-sifat yang akan membawa keselamatan dan kebahagiaan di dalam surga.

Dua golongan hakim yang akan terjerumus masuk neraka ialah hakim yang telah mengetahui kebenaran dan keadilan, tetapi dia menye leweng dan berbuat zalim dengan kewenangan memutuskan perkara yang ada di tangannya, serta hakim yang menjatuhkan vonis hukum tanpa ilmu, tetapi dia malu untuk meng akui ketidaktahuannya terhadap hakikat persoalan yang sedang diadilinya. Adapun hakim yang akan masuk surga ialah yang melaksanakan kebenaran dan keadilan melalui kewenangan mengadili dan memutuskan perkara yang diamanatkan kepadanya.

Menarik diperhatikan nasihat Nabi Muhammad ketika memberikan briefing kepada Ali bin Abi Thalib sebelum memangku jabatan hakim di Yaman. Sebagaimana dinukilkan oleh Imam al-Mawardi dalam kitab Al-Ah kaam as-Sulthaniyah, Nabi berpesan, “Apabila engkau mengha dapi dua pihak yang beperkara, janganlah engkau menjatuhkan putusan ba gi salah seorangnya sebelum eng kau mendengarkan keterangan yang lainnya.”

Menurut pandangan Islam, kekeliruan hakim dalam memaafkan dan membebaskan terdakwa adalah lebih baik daripada kekeliruan dalam menjatuhkan hukuman. Hikmahnya adalah untuk memperkecil kemungkinan ketelanjuran hukuman terhadap orang yang tidak bersalah.

Dalam timbangan hukum Islam, lebih baik sepuluh orang lolos dari hukuman duniawi daripada satu orang yang tidak bersalah terhukum akibat kekeliruan hakim. Dalam men jalankan tugasnya, seorang hakim tidak boleh terpengaruh oleh perasaan dendam, benci, keberpihakan pada yang beperkara, ataupun kepentingan kekuasaan. Hakim harus jujur dan adil dalam kondisi apa pun dan siapa pun.

Pada zaman Ibnu Toulun di Mesir, gaji hakim ditetapkan 1.000 dinar emas sebulan. Dan, di zaman Dau lah Fathimiyah di Mesir, gaji hakim ditetapkan 1.200 dinas emas sebulan (setara dengan 3.000 dolar AS sekarang). Dengan gaji sebesar itu dimaksudkan agar para hakim tidak mudah menerima suap atau gratifikasi.

Pada saat ini, gaji yang besar tidak menjamin seorang hakim kebal terhadap suap dan gratifikasi. Integritas hakim lebih banyak ditentukan oleh kekuatan mental spiritualnya dalam mencintai kebenaran dan kesetiaan jiwanya terhadap kesadaran hukum serta kebenaran dan keadilan yang harus ditegakkan walaupun langit akan runtuh. Oleh karena itu, tidak semua sarjana hukum layak untuk mengemban jabatan hakim. Wallahu a'lam.

Mencintai Rasulullah

Oleh Muhammad Itsbatun Najih

Seorang hamba sahaya bernama Tsauban sangat ingin berjumpa dengan Rasulullah. Sebab, ia sangat mencintai dan mengagumi akhlak dan kepribadian Nabi akhir zaman tersebut. Namun, tempat tinggalnya sangat jauh, sehingga ia sulit berjumpa dengan Rasul SAW.

Pada suatu hari, Tsauban dapat bertemu dengan Rasulullah. Kesempatan itu digunakannya untuk mendengarkan segala nasihat dan tausiah dari Rasul SAW. Mengetahui Tsauban, Rasulullah tampak heran, sebab warna kulitnya tidak seperti warna kulit orang yang sehat, tubuhnya kurus, dan wajahnya menandakan kesedihan yang teramat mendalam. Rasul pun bertanya, "Apa yang menyebabkan kamu seperti ini?"

"Wahai Rasulullah, yang menimpa diriku ini bukanlah penyakit, melainkan ini semua karena rasa rinduku padamu yang belum terobati, karena jarang bertemu denganmu. Dan, aku terus-menerus sangat gelisah sampai akhirnya aku dapat berjumpa denganmu hari ini," ujarnya.

"Ketika ingat akhirat, aku khawatir tidak dapat melihatmu lagi di sana. Karena, saya sadar bahwa engkau pasti akan dimasukkan ke dalam surga yang khusus diperuntukkan bagi para nabi. Kalaupun toh saya masuk surga, saya pasti tidak akan melihatmu lagi, karena saya berada dalam surga yang berbeda dengan surgamu. Apalagi jika saya nantinya masuk neraka, maka pastilah saya tidak akan dapat melihatmu lagi selama-lamanya," tukas Tsauban. Mendengar curahan hati si budak Tsauban tersebut, Rasulullah pun menjawab, "Insya Allah engkau (berkumpul) bersamaku di surga."

Kisah di atas menyiratkan akan ganjaran bagi orang yang memiliki kekaguman dan kecintaan akan sosok Nabi Muhammad SAW. Bahkan, kerinduannya untuk bertemu dengan sang pujaan, mengalahkan segalanya hingga kesehatannya menurun drastis.

Bentuk kecintaan pada Rasulullah, bukan diukur melalui berapa banyak pujaan atau pujian untuk Rasulullah SAW, melainkan bagaimana sikap dan perilakunya untuk melaksanakan segala apa yang biasa dilakukan oleh panutannya itu (menjalankan sunah). Artinya, kecintaan itu datangnya dari hati dan diamalkan dengan perbuatan, bukan dengan sekadar kata-kata.

Di saat banyak orang menyebarkan fitnah yang dialamatkan pada Rasul SAW, maka salah satu bentuk kecintaan seorang Muslim yang bisa diwujudkan adalah dengan kembali menelaah lebih dalam sirah kehidupan beliau melalui berbagai literatur tentang pribadi beliau. Sebab, pengetahuan yang minim tentang Rasulullah pada sebagian umat Islam, akan menjadi celah bagi sejumlah pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melemahkan keyakinan umat Islam lewat propaganda dan pemutarbalikkan fakta. Karena itu, dalam membaca sirah nabawiyah pun, harus dipahami makna dan esensi dari akhlak Rasul SAW.

Dan satu hal yang paling esensial dalam menumbuhkan kecintaan pada Rasul SAW adalah meneladani segala perbuatan dan perkataannya. Juga menaati apa yang diperintah dan menjauhi semua yang dilarangnya. Wallahu a'lam.
(-)

Menciptakan Qalbun Salim

Oleh Dr A Ilyas Ismail

Dalam salah satu doanya, Nabi Ibrahim AS memohon kepada Allah SWT agar tidak dihinakan pada hari kiamat. "Janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. (Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (QS al-Syu'ara [26]: 87-89).

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam doa Nabi Ibrahim ini. Pertama, kekhawatiran tentang azab akhirat. Sebagai Nabi, bahkan bapak nabi-nabi, dan bergelar "Khalil Allah" (kekasih Allah), Nabi Ibrahim masih khawatir kalau-kalau dihinakan oleh Allah pada hari Kiamat. Kekhawatiran semacam ini patut dicontoh.

Kedua, devaluasi nilai harta (kekayaan) dan keturunan (pengikut). Untuk ukuran duniawi, harta dan anak-anak, termasuk pengikut, merupakan variabel utama yang menentukan status dan strata sosial manusia. Di akhirat, keduanya menjadi tidak penting karena para malaikat sebagai "aparat Tuhan" tak mungkin "disuap" apalagi diteror.

Ketiga, kebersihan hati sebagai pangkal keselamatan di akhirat. Jaminan keselamatan hanya diberikan kepada orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang bersih atau sehat (qalbun salim). Banyak pendapat dari para pakar, khususnya dari kalangan ahli tafsir, yang pada pokoknya berkisar pada tiga makna. Pertama, seperti dikemukakan Ibnu Katsir, juga al-Alusi, qalbun salim bermakna salamat al-qalb 'an al-syirk aw al-aqa'id al-fasidah (selamatnya hati dari syirik atau kepercayaan-kepercayaan yang sesat). Hati yang sehat berarti memiliki akidah yang benar, lurus, serta bebas dari segala bentuk kemusyrikan.

Kedua, qalbun salim berarti bersih dari penyakit-penyakit hati (salim min amradh al-qulub). Dalam permulaan surah al-Baqarah, dikemukakan tiga golongan manusia, yaitu orang-orang takwa (al-muttaqun), orang-orang kafir (al-kafirun), dan orang-orang munafik (al-munafiqun). Golongan yang disebut terakhir ini adalah orang-orang yang hatinya berpenyakit. "Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya." (QS al-Baqarah [2]: 10).

Ketiga, seperti badan yang sehat, hati yang sehat juga memiliki kesempurnaan dan kekuatan melakukan apa yang menjadi tugas dan fungsinya sesuai maksud penciptaan. Fungsi hati yang utama adalah mengenal Allah, yaitu iman dan takwa. "Al-taqwa ha-huna" (takwa itu di sini), dan beliau menunjuk ke dadanya tiga kali. (HR Baihaqi dari Abu Hurairah).

Tak bisa disangkal, hati yang sehat menjadi pangkal kebaikan dan pendorang amal saleh (ba`its li shalih al-a`mal). Di sini, hanya hati yang disebut sebagai pangkal keselamatan di akhirat, bukan anggota badan yang lain. Hal ini, menurut imam al-Razi, karena kalau hati sehat, seluruh anggota badan yang lain ikut sehat. Sebaliknya, kalau lidah (kata-kata) dan anggota badan lain (perbuatan) tak sehat, sudah bisa dipastikan hati tak sehat (berpenyakit).

Perawatan hati, seperti diajarkan para sufi, menjadi penting. Perawatan hati, seperti halnya perawatan fisik, memerlukan dokter spesial yang tidak lain adalah para ulama. Dokter yang satu ini, menurut Imam Ghazali, selain makin lama makin langka, sebagian dari mereka juga 'berpenyakit'. Maka, waspadalah. Wallahu a`lam.
Redaktur: Siwi Tri Puji

Sahabat Kaum Dhuafa

Oleh Prof Dr Yunahar Ilyas


Namanya Jundub bin Junadah, tetapi lebih dikenal dengan panggilan Abu Dzar al-Ghiffari. Sahabat Nabi ini terkenal dengan sikap zuhudnya serta pandangan khasnya tentang harta. Bagi Abu Dzar, menyimpan harta dalam jumlah yang berlebih dari kebutuhan keluarga adalah haram. Ayat yang sering dikutip Abu Dzar: "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, beritahukanlah kepada mereka, (mereka akan mendapat) siksa yang pedih." (QS at-Taubah [9]: 34).

Abu Dzar tidak pernah menyimpan harta lebih dari persiapan hidup tiga hari. Tidak jarang dia berhari-hari hanya makan beberapa biji kurma dan air. Sewaktu tinggal di Damaskus, pada zaman Khalifah Usman bin Affan, Gubernur Muawiyah bin Abi Sufyan pernah mengujinya dengan mengirimkan uang 100 dinar pada satu malam dan besok paginya memintanya kembali dengan alasan salah kirim. Ternyata uang tersebut sudah habis dibagikan malam itu juga kepada fakir miskin. Abu Dzar berjanji akan mengumpulkannya kembali dalam tiga hari jika Muawiyah menginginkannya.

Suatu hari, seseorang datang ke kediaman Abu Dzar. Tamu itu melayangkan pandangannya ke setiap pojok rumahnya. Dia tidak melihat apa-apa di rumah itu. "Hai Abu Dzar! Di mana barang-barang Anda?" Abu Dzar menjawab, "Kami mempunyai rumah yang lain. Barang-barang kami yang bagus telah kami kirim ke sana."

Tamu itu rupanya mengerti bahwa yang dimaksud Abu Dzar adalah akhirat. Lalu tamu tadi berkata, "Tetapi, Anda juga memerlukan barang-barang itu di rumah ini?" Maksudnya, di dunia. Abu Dzar dengan tangkas menjawab, "Tetapi yang punya rumah (Allah) tidak membolehkan kami tinggal di sini buat selama-lamanya."

Abu Dzar sering menyampaikan kepada kaum dhuafa bahwa pada harta orang-orang kaya itu ada hak mereka. Sebagai gubernur, Muawiyah khawatir kalau-kalau cara pandang Abu Dzar itu akan mendorong orang-orang miskin merampasi harta kekayaan orang kaya. Dia melaporkan Abu Dzar kepada Khalifah Usman di Madinah. Khalifah memanggil Abu Dzar dan dua sahabat ahli tafsir untuk menguji penafsiran Abu Dzar terhadap surah at-Taubah ayat 34 itu. Keduanya menyatakan bahwa yang diancam oleh ayat tersebut adalah orang-orang yang menimbun kekayaan dan tidak menunaikan kewajibannya membayar zakat.

Setelah peristiwa itu, Abu Dzar tidak mau kembali lagi ke Damaskus dan juga tidak mau menetap di Madinah. Dalam pandangan dia, umat Islam di kedua kota tersebut tidak lagi hidup secara sederhana seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW. Dia minta izin tinggal di Rabdzah, sebuah kampung kecil di luar Kota Madinah.

Suatu hari, Abu Dzar berpesan kepada putrinya. Jika lewat kafilah di kampung kita ini, jamulah mereka makan. Setelah itu tanyakan kepada mereka, apakah Abu Dzar termasuk ahli surga atau bukan. Putrinya heran, karena biasanya pertanyaan itu diajukan setelah seseorang meninggal dunia. Mengetahui ada kafilah datang dan putrinya sudah menyiapkan jamuan, Abu Dzar mengambil air wudhu lalu shalat dua rakaat dengan khusyuk. Setelah shalat, dia berbaring dan melipat kedua tangannya, kemudian tenang. Pada saat itulah Allah SWT memanggilnya. Alangkah indahnya kematian sahabat kaum dhuafa ini.

_____________________________________________________

Anda ingin BERSEDEKAH pengetahuan dan kebaikan? Mari berbagi hikmah dengan pembaca Republika Online. Kirim naskah Anda melalui hikmah@rol.republika.co.id, disertai identitas diri. Rubrik ini adalah forum dari dan untuk sidang pembaca sekalian, tidak disediakan imbalan.
Redaktur: Siwi Tri Puji B

Jalan Langsung Kebaikan

Oleh Prof Dr KH Didin Hafidhuddin

Dalam Alquran surah al-Fathir ayat 10, Allah SWT berfirman; "Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras dan rencana jahat mereka akan hancur."

Dari ayat tersebut di atas, sedikitnya ada tiga pelajaran penting yang seyogianya dijadikan bahan renungan sekaligus diusahakan implementasinya dalam kehidupan keseharian oleh orang-orang yang beriman.

Pertama, dalam realitas kehidupan banyak orang yang salah persepsi tentang hakikat kemuliaan hidup (izzah). Harta yang banyak yang kadang kala dihasilkan melalui cara-cara yang tidak benar, jabatan formal yang tinggi yang terkadang didapatkan dengan cara memfitnah dan menghancurkan pihak lain, atau membeli jabatan dengan uang dan fasilitas lainnya. Sering semuanya ini dijadikan sebagai tolok ukur kemuliaan hidup.

Ayat tersebut di atas menegaskan bahwa kemuliaan hidup itu hanyalah akan diraih mana kala seseorang bertindak dan berbuat sesuai dengan ketentuan Allah dan rasul-Nya. Kesungguhan dalam berbuat kebaikan, kejujuran dan amanah, dan keberpihakan pada kemaslahatan bersama, itulah sesungguhnya sesungguhnya hakikat kemuliaan. Meskipun tidak selalu disertai dengan melimpah ruahnya harta atau dengan jabatan formal yang tinggi, tentu akan lebih utama jika harta dan jabatan dipergunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama dalam rangka meraih kemuliaan itu.

Yang kedua, segala amal perbuatan yang terpuji, baik dalam bentuk ucapan maupun tindakan, sesungguhnya memiliki jalur langsung kepada Allah dan akan diangkat serta dilaporkan oleh para malaikat ke hadir at Allah, Zat yang Mahatinggi dan Mahamulia. Karena itu, berbuat baik yang disertai keikhlasan dan kesungguhan harus menjadi lifestyle atau gaya hidup orang yang beriman, termasuk berbuat baik kepada orang yang tidak pernah berbuat baik kepada kita sekali pun.

Dalam hadis sahih riwa yat Imam Muslim, Rasul SAW bersabda; Di antara perbuatan yang sangat utama dan sangat terpuji ( af dhalul-fadhail) adalah engkau mampu bersilaturahim dengan orang yang memutuskannya. Engkau mampu dan bersedia memberi kepada orang yang tak pernah mau memberi ke pada Anda karena kebakhilannya. Eng kau mampu memaafkan orang yang berlaku zalim dan curang kepada Anda.

Yang ketiga, jika kemuliaan yang hakiki diraih melalui ketundukan dan kepatuhan kepada Allah disertai perbuatan amal saleh yang terus-menerus, baik dengan ucapan maupun tin dakan yang dilandasi dengan keikhlasan dan dibingkai dengan kesung guhan, niscaya segala bentuk kejahatan dari orang-orang yang berperilaku jahat, pasti akan mengalami kehancuran dan kebinasaan.

Harus kita yakini bersama bahwa segala bentuk kezaliman dan keburukan akan hancur dengan sendirinya manakala kita istiqamah dalam menebarkan benih-benih kebaikan dan menanam pohon kebajikan.

Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, maka tak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagimu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Yunus : 107). Wallahu a'lam.
Redaktur: Siwi Tri Puji B

Menangislah

Oleh Ustadz Toto Tasmara

Dikisahkan tentang seorang yang menangis terisak kemudian tersungkur tak sadarkan diri. Setelah siuman, dia ditanya: “Ada apa dengan dirimu? Dia menjawab: “Selepas shalat aku berzikir, kemudian aku menghitung-hitung keadaan diriku. Aku mengadili diriku sendiri sebelum datang pengadilan Allah. Bila setiap harinya aku berbuat dosa, apakah karena lalai ibadah atau karena amal-amalku, berarti aku telah menabung 365 dosa setiap tahunnya. Umurku enam puluh tahun dan itu berarti 21.900 dosa yang harus aku pertanggungja wabkan. Padahal, tidak ada satu perbuatan walau sebesar biji zarah sekali pun kecuali akan diperhitungkan Allah SWT di hari kiamat nanti. Lantas betapa aku akan menghadap Tuhanku? Oh, alangkah sedikitnya bekalku untuk menempuh perjalanan yang panjang nanti,” ujarnya.

Orang tersebut menangisi dirinya sendiri, menghitung diri sebelum datang hari perhitungan yang sesungguhnya. Tangisannya adalah penyesalan. Dan setiap orang yang menangis dan menyesali dosanya adalah pintu menuju ke surga. Begitu tingginya nilai tangisan bagi hamba yang merindu sehingga Allah akan membebaskannya dari api neraka. Abu Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan pernah masuk ke dalam neraka seorang yang pernah menangis karena takut kepada Allah.” (HR at-Tirmidzi).

Bagi para perindu surga, lebih baik mereka merintihkan tangisan harapan walau sepi dari hiasan bunga pesta dunia, asalkan dia kelak tersenyum menatap Sang Kekasih di akhir perjalanannya. Kerinduan yang tidak terperi telah memenuhi butiran air mata kaum mukmin. Karena, dalam setiap butiran air matanya, dia menemukan wajah Tuhan yang tersenyum penuh welas asih.

Maka, deraikanlah air mata dalam tangismu yang merindu cinta. Cucurkan air matamu dalam denyut kecemasanmu akan nasib di hari akhir. Sesekali tariklah dirimu dari keramaian dunia untuk bertafakur dan menghitung diri. Engkau tak akan pernah menangkap bayangan wajahmu bila becermin di atas air yang deras dan keruh. Bayanganmu hanya tertangkap di permukaan air yang bening dan mengalir tenang.

Engkau tak akan menemukan wajah Tuhan dalam gelak tawa dan ingar-bingar pesta dunia. Gelak tawa demikian hanya akan menumpulkan ketajaman nuranimu. Ingar-bingar duniamu telah membuat kusam dan kotor kaca-kaca kalbumu. Sinarnya tertahan oleh daun-daun ambisi hawa nafsumu. Apalah artinya gelak tawa bila diakhiri dengan derai air mata dan tangisan penyesalan di hari kemudian?

Berbahagialah orang-orang yang pernah menangis dalam penyesalannya. Berbahagialah orang yang meneteskan air mata karena mewaspadai dirinya di hadapan Allah kelak. Berbahagialah orang yang menangis sebelum datang saatnya dia akan ditangisi. Berbahagialah para pemimpin yang terisak merintih getir memikirkan duka derita nasib rakyatnya. Menangislah sebelum datang suatu masa di mana malaikat pemutus segala kelezatan akan datang menghentikan segala desah napas dan membuyarkan segala impian. Wallahu a'lam.
Redaktur: Siwi Tri Puji B

Jumat, 21 Oktober 2011

Haji dan Spirit Kebersamaan

Oleh Dr HM Harry Mulya Zein

Haji adalah momen yang mampu memberikan inspirasi bagi kemajuan kemanusiaan. Proses ini ditandai dengan jutaan manusia berbondong-bondong ke baitul Ka'bah, simbol pemersatu umat Islam di seluruh dunia.

Haji merupakan panggilan untuk memperlakukan manusia secara sama, adil, tanpa melihat ras, suku, dan latar belakang lainya. Harkat dan martabat mereka sebagai manusia sama, hak dan kewajiban sebagai hamba juga sama. Tujuan dan arah perjuangan hidup mereka hakikatnya juga sama, yaitu berusaha meraih kebahagiaan yang sejati abadi. Itulah sesungguhnya yang menjadi hikmah dan tujuan utama di syariatkannya ibadah haji.

Mengutip Dr Ali Syariati dalam bukunya Hajj, ibadah haji adalah evolusi manusia menuju Allah. Ibadah haji merupakan sebuah demonstrasi simbolis dan falsafah penciptaan Adam. Gambaran selanjutnya, pelaksanaan ibadah haji dapat dikatakan sebagai suatu pertunjukan banyak hal secara serempak. Ibadah haji adalah sebuah pertunjukan tentang penciptaan, sejarah, keesaan, ideologi Islam, dan ummah.

Haji dapat dilihat dari sudut pandang praktis dan konseptual, pilar-pilar doktrin Islam terpenting yang memotivasi bangsa Muslim dan menjadikannya sadar, bebas, terhormat dan, bertanggung jawab secara sosial adalah tauhid, jihad, dan haji.

Dalam bahasa Alquran, hikmah dan tujuan ibadah haji diungkapkan dengan istilah liyasyhaduu manaafi`a lahum, yaitu untuk "menyaksikan" kemanfaatan-kemanfaatan duniawi dan ukhrawi (kebahagiaan sejati) yang mahadahsyat yang akan terus mengalir dan menjadi "milik" mereka yang berhasil menunaikan haji secara mabrur. (QS al-Hajj [22]: 28).

Semua itu, pada akhirnya, mengantarkan seorang haji dapat hidup dengan pengamalan dan nilai kemanusiaan universal. Dalam konteks niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram, haji memiliki makna yang lebih universal dengan nilai-nilai kemanusiaan. Pakaian ihram, juga melambangkan pola, preferensi, status, dan perbedaan-perbedaan tertentu.

Pembedaan tersebut dapat mengantar kepada status sosial, ekonomi, atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis pada pemakainya. Di Miqat, tempat ritual ibadah haji dimulai, perbedaan tersebut harus ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama.

Di Miqat ini, apa pun ras dan suku harus dilepaskan. Semua pakaian yang dikenakan sehari-hari yang membedakan sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan) harus ditinggalkan.

Terakhir, substansi haji adalah mencari dan mengukuhkan sandaran atau landasan yang hakiki begi kehidupan menuju kebahagiaan sejati yang merupakan fokus perhatian dan target pencarian yang dituju oleh seluruh umat manusia. Karena itu, banyak ulama menyebutkan, haji mabrur adalah yang disertai dengan tanda-tanda kemabruran setelah berhaji. Wallahu a'lam.

eradikalisasi Makna Jihad

e

Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar

Jihad adalah sesuatu yang amat mulia dan luhur. Jihad berasal dari akar kata jahada, berarti bersungguh-sungguh. Dari akar kata ini membentuk tiga kata kunci, yakni jihad (perjuangan dengan fisik), ijtihad (perjuangan dengan nalar), dan mujahadah (perjuangan dengan kekuatan rohani).

Ketiga kata tersebut mengantarkan manusia untuk meraih kemuliaan. Jihad yang sebenarnya adalah jihad yang tidak pernah terpisah dengan ijtihad dan mujahadah. Jihad harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan kekuatan ijtihad dan mujahadah.

Jihad tanpa perhitungan matang, apalagi mendatangkan mudarat lebih besar kepada orang yang tak berdosa, tidak tepat disebut jihad. Boleh jadi, itu tindakan nekat atau sia-sia yang dilegitimasi dengan dalil agama. Bahkan, itu mungkin tindakan keonaran (al-fasad).

Jihad bertujuan untuk mempertahankan kehidupan manusia yang bermartabat, bukannya menyengsarakan, apalagi menyebabkan kematian orang-orang yang tak berdosa. Sinergi antara jihad, ijtihad, dan mujahadah inilah yang selalu dicontohkan Rasulullah.

Jihad Rasulullah selalu berhasil dengan mengesankan. Di medan perang dan di medan perundingan, ia selalu menang, disegani, dan diperhitungkan kawan dan lawan. Jihad Rasul lebih mengedepankan pendekatan soft of power.

Ia lebih banyak menyelesaikan persoalan dan tantangan dengan pendekatan nonmiliteristis. Ia selalu mengedepankan cara-cara damai dan manusiawi. Bentrok fisik selalu menjadi alternatif terakhir. Itu pun dilakukan sebatas untuk pembelaan diri.

Kalau terpaksa harus melalui perang fisik terbuka, Nabi selalu mengingatkan pasukannya agar tidak melakukan tiga hal, yaitu tidak membunuh anak-anak dan perempuan, tidak merusak tanaman, dan tidak menghancurkan rumah-rumah ibadah musuh.

Kalau musuh sudah angkat tangan, apalagi kalau telah bersyahadat, tidak boleh lagi diganggu. Rasulullah pernah marah kepada panglima angkatan perangnya, Usamah, lantaran Usamah membunuh seorang musuh yang terperangkap lalu mengucapkan syahadat.

Nabi bersabda, "Kita hanya menghukum apa yang tampak dan Allah yang menghukum apa yang tak tampak (akidah)." Akhlakul karimah tidak pernah ia tinggalkan sekalipun di medan perang.

Kemuliaan jihad tak perlu diragukan. Seseorang yang gugur di medan jihad akan langsung masuk surga, bahkan kalau terpaksa, "Tidak perlu dikafani, cukup dengan pakaian yang melekat di badannya, karena bagaimanapun yang bersangkutan akan langsung masuk surga," kata Rasulullah.

Namun, kekuatan ijtihad tidak kalah pentingnya dengan jihad secara fisik. Nabi secara arif pernah menyatakan, "Goresan tinta pena ulama lebih mulia daripada percikan darah para syuhada."

Demikian pula dengan kekuatan mujahadah, Nabi pernah menyatakan pernyataan seusai peperangan hebat, "Kita baru saja kembali dari medan perang kecil ke medan perang yang lebih besar, yaitu melawan hawa nafsu." Menaklukkan hawa nafsu bagian dari fungsi mujahadah.

0ptimal dalam Kebaikan

Oleh Prof Dr KH Didin Hafidhuddin


Dalam Alquran surah al-Mulk [67] ayat 1-2, Allah SWT berfirman, "Mahasuci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya (ihsan). Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun."

Ayat tersebut memberikan penjelasan secara gamblang bahwa Allah SWT adalah Zat yang Mahakuasa atas segala sesuatu yang kekuasaan-Nya bersifat absolut. Allah pula yang mengangkat dan menurunkan derajat seseorang, sesuai dengan kehendak-Nya. Allah yang menciptakan kehidupan dan kematian. Dan semuanya itu bertujuan untuk menguji manusia manakah yang paling optimal atau ihsan di dalam melakukan perbuatan baik.

Optimalisasi dalam berbuat baik (ihsan) merupakan salah satu watak dan karakter utama orang-orang yang beriman. Artinya, ketika berbuat kebaikan, dilakukannya penuh dengan kesungguhan, perencanaan yang matang, pelaksanaan yang terukur, serta evaluasi yang terarah. Tidak asal mengerjakan atau asal terpenuhi tugas dan kewajibannya.

Rasulullah SAW memberikan contoh bahwa shalat yang akan diterima itu adalah shalat yang diawali dengan wudhu yang baik, terpenuhi syarat dan rukunnya, berdiri, ruku, dan sujud yang dilakukannya secara sempurna dan tuma'ninah. Bahkan, ketika hal ini dilakukan, shalat pun berdoa kepada Allah SWT: "Ya Allah peliharalah orang ini dengan sebaik-baiknya karena ia telah memelihara aku dengan penuh kesungguhan." (HR Imam Bukhari).

Sejalan dengan hal tersebut, para ulama telah menetapkan tiga syarat utama di dalam beribadah. Pertama, dilakukan dengan penuh keikhlasan hanya semata mengharapkan rida Allah SWT. Hal ini sejalan dengan firman-Nya QS al-Bayyinah (98): 5. "Padahal, mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus."

Kedua, dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan ketentuan syariah. Tidak semata-mata berdasarkan pada perasaan atau mungkin tradisi dan kebiasaan saja. Dan yang ketiga adalah pelaksanaannya senantiasa dilakukan dengan penuh kesungguhan (mujahadah).

Tentu saja, kesungguhan ini bukan hanya pada ibadah mahdah (wajib), tetapi pada semua pekerjaan, apalagi yang berkaitan dengan kepentingan publik. Seorang pejabat dinilai bukan ditentukan oleh banyaknya pekerjaan yang dilakukan ataupun lamanya ia menduduki jabatan tersebut, tetapi oleh upaya dan kerja yang dilakukannya dengan penuh kesungguhan mengabdi pada kepentingan bersama.

Misalnya, ia tidak memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri maupun kelompoknya. Sebab, jabatan itu adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan pada masyarakat dan juga kepada Allah SWT di hari kiamat nanti. Karena itu, dalam menghadapi situasi politik dan ekonomi sekarang ini yang sering menghadapi gejolak, maka konsistensi dan optimalisasi para pejabat di dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya merupakan sebuah keniscayaan sekaligus kebutuhan. Wallahu a'lam.
Redaktur: Siwi Tri Puji B

Memimpikan Negeri Bermasjid

M

Oleh: Ustadz Muhammad Arifin Ilham


Sebagai anak bangsa, penulis bermimpi dengan negeri ini. Indah sekali jika menyaksikan para pejabat atau pemegang kekuasaan di negeri ini berduyun-duyun menuju masjid ketika azan berkumandang. 'Arasy-Nya pasti bergetar dan para malaikat pun dibuat terpana, ketika saat-saat krusial sidang kabinet atau rapat paripurna seorang presiden atau wakilnya dan atau ketua DPR tiba-tiba menskorsing rapat. Kemudian, memerintahkan para menteri atau wakil rakyat yang Muslim untuk bergegas memenuhi panggilan suci dan bersegera mendirikan shalat, mulai dari dirinya sendiri, sebagai seorang presiden atau pimpinan di DPR.

Situasi panas atau alot ketika rapat, pelan-pelan akan terkurangi bersamaan basuhan segar air wudhu. Dalam barisan yang rapat dan lurus, mereka pun tegak berdiri menghadap Allah. Bersama-sama mengangkat tangan, membesarkan Sang Pencipta, takbiratul ihram. Mereka juga bersama-sama uluk salam, menengok kanan dan kiri, menebar keselamatan dan kesejahteraan antarsesama. Lalu duduk sesaat, untuk berzikir dan berdoa. Memohon supaya Sang Maha Menatap memberi kebaikan dan jalan keluar dari setiap persoalannya. Allahu akbar, rasanya damai dan tenang. Pastinya tidak akan pernah terbetik untuk saling menyerang antarmereka.

Lebih-lebih ketika shalat usai, kemudian dilanjutkan dengan musafahah, saling bersalaman. Bisa dipastikan cair sudah hubungan alot mereka. Dalam keadaan muka bergurat aura surga tersebut, mereka jalan beriringan dan mendiskusikan persoalan rakyat dan umat yang belum sempat selesai. Menyaksikan seperti itu, malaikat turut berdoa, rahmat dan berkah-Nya untuk mereka.

Rasulullah SAW sangat mencintai masjid, malah saking cintanya akan masjid beliau mendirikan rumah di samping masjid. Masjid itu kunci keberkahan. Baaraknaa haulahu. Kalau seorang suami atau ayah pergi ke masjid, maka istri dan anak-anaknya diberkahi. Kalau pedagang berangkat ke masjid, insya Allah perdagangannya akan diberkahi. Begitu juga, jika pemimpin di negeri ini mau ke masjid, utamanya di waktu Subuh, pastilah penduduknya akan diberkahi. (QS at-Taubah [9]: 18).

Telah lama masjid-masjid di negeri ini bersedih. Ditinggalkan dari lautan peran yang belum maksimal. Mari saatnya kembali ke masjid dengan tujuan memakmurkan dan menghidupkannya, agar kita diberkahi dan diridai.
Banyak sosok manusia besar lahir dari pembiakan syiar dan keberkahan masjid. Masjid adalah sebuah tempat pengaderan pribadi-pribadi tangguh. Rasulullah SAW telah memberi contoh dengan menjadikan syiar masjid sebagai proyek pertama amal jama'i.

Dari masjid lahirlah manusia-manusia besar. Ada negarawan besar seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib. Para penakluk seperti Hamzah, Khalid bin Walid, Saad bin Abi Waqqash, Amr bin Ash, dan Usamah bin Zaid. Ulama-ulama seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas'ud, Zaid bin Tsabit, dan Muadz bin Jabal. Intelijen andal seperti al-Abbas dan Salman al-Farisi. Pengusaha-pengusaha hebat seperti Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah. Dan perawi hadis brilian seperti Abu Hurairah dan Aisyah. Ala kulli hal, kita semua bermimpi akan negeri bermasjid ini.

_____________________________________________________

Anda ingin BERSEDEKAH pengetahuan dan kebaikan? Mari berbagi hikmah dengan pembaca Republika Online. Kirim naskah Anda melalui hikmah@rol.republika.co.id, disertai identitas diri. Rubrik ini adalah forum dari dan untuk sidang pembaca sekalian, tidak disediakan imbalan.

Inilah Sikap Rasulullah SAW pada Kaum Kristiani

Ka

Oleh Dr HM Harry Mulya Zein

Bangsa Indonesia kembali dikejutkan aksi bom bunuh diri. Terbaru adalah pada Ahad, 25 September lalu, di Gereja Bethel Injil Sepenuh Kapunton, Solo, Jawa Tengah. Sebagai umat Islam, kita miris melihat kondisi ini. Perdamaian yang tumbuh subur di negeri Muslim ini kembali tercabik oleh aksi bom bunuh diri. Terlebih aksi bom bunuh diri selalu dikaitkan dengan agama.

Sungguh aneh. Padahal, perdamaian merupakan salah satu ajaran pokok dalam Islam. Perintah untuk selalu berdamai tidak hanya terdapat pada ayat-ayat Alquran tetapi juga dicontohkan langsung dalam kehidupan Rasulullah SAW.

Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang sangat dikenal dengan kepribadian dan budi pekertinya yang baik. Banyak perjanjian yang dibuat Rasul SAW bertujuan untuk menghindari konflik dan berupaya membangun perdamaian. Mulai dari perjanjian Hudaibiyah, piagam Madinah, perjanjian dengan delegasi Najran, dan masih banyak lagi.

Dalam hubungan dengan kalangan non-Muslim, Rasulullah menuliskannya dalam 'Piagam Anugerah' yang kini tersimpan di Gereja St Catherine's Monastery, Bukit Sinai, Mesir. Surat itu diberikan kepada seorang delegasi Kristen yang mengunjungi Nabi SAW pada 628 Masehi di Madinah.

"Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, sebagai perjanjian bagi siapa pun yang menganut kekristenan, jauh dan dekat, bahwa kami mendukung mereka. Sesungguhnya saya, para pelayan, para penolong, dan para pengikut saya membela mereka, karena orang-orang Kristen adalah penduduk saya; dan karena Allah! Saya bertahan melawan apa pun yang tidak menyenangkan mereka.

Tidak ada paksaan yang dapat dikenakan pada mereka. Sekalipun oleh para hakim mereka, maka akan dikeluarkan dari pekerjaan mereka maupun dari para biarawan-biarawan mereka, dari biara mereka. Tidak ada yang boleh menghancurkan rumah ibadah mereka, atau merusaknya, atau membawa apa pun daripadanya ke rumah-rumah umat Islam.

Rasulullah Menyuruh Kita Bersikap Ramah

Oleh Ida Fauziyah

Rasulullah SAW bersabda, "Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia." (HR Thabrani dan Daruquthni, dari Jabir RA).

Hadis di atas kembali mengingatkan jati diri kemanusiaan kita agar selalu bersikap ramah dalam berinteraksi sosial di antara sesama. Suatu sikap yang dalam satu bulan terakhir ini menjadi pertanyaan kita semua, khususnya menyangkut sikap kita sebagai manusia untuk menghargai hak-hak kemanusiaan sesama.

Aksi bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Kepunton, Solo, (25/9) lalu merajalelanya korupsi di berbagai bidang dan pelbagai kerusuhan yang menjurus konflik SARA seperti kasus di Ambon beberapa waktu lalu, makin menguatkan bahwa kita mulai tidak ramah dengan nilai-nilai kemanusian dan kemajemukan. Kita mulai tidak acuh dan tak ramah dalam mengawal bumi pertiwi yang kita cinta ini.

Bila melihat hadis di atas, sangat jelas dan tegas bahwa objek yang dituju dari hadis tersebut adalah "orang beriman". Jadi, sikap keramahan itu menjadi satu hal yang mutlak harus diintegrasikan dalam diri orang yang beriman. Artinya, kualitas keimanan seseorang itu salah satunya bisa diukur dari seberapa jauh ia sebagai seorang mukmin dalam kehidupan sosialnya itu melaksanakan "keramahan" kemanusiaannya (baca menghargai dan menghormati).

Praksisnya, bila orang beriman itu hidup dalam kemajemukan, maka ia bisa menghargai dan menerima segala perbedaan. Bila ia seorang pejabat, maka ia bisa menyuarakan dan amanah pada aspirasi rakyatnya. Dan bila ia seorang pemimpin, maka ia bisa menyalurkan segala energi kepemimpinannya untuk mewujudkan kemakmuran rakyatnya.

Implementasi wujud keramahan tersebut menjadi hal paling esensial, mengingat hakikat orang beriman itu tidak hanya pandai melafalkan sumpah tertentu, akan tetapi yang lebih penting dari itu adalah wujud konkret tindakannya di masyarakat. "Al-imanu tashdiiqun bil qalbi, wa ikrarun bil lisan, wa a'malun bil arkan" (orang beriman itu tidak hanya membenarkan dalam hati, dan mengikrarkan di lisan, tapi lebih dari itu adalah melaksanakan dalam bentuk perbuatan).

Dengan memperhatikan esensi orang beriman ini, maka kalimat berikutnya dari hadis tersebut sangat kontekstual, bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Artinya, keberadaan kita sebagai manusia (dalam posisi apa pun) akan sangat ditentukan seberapa jauh kita bisa memberi manfaat bagi sekelilingnya. Kalau prinsip ini dijadikan pegangan utama, maka tentu tidak ada namanya anasir-anasir tindakan merendahkan kemanusiaan yang muncul di hati.

Tidak ada namanya "kezaliman struktural" manakala kita diberi amanah menjalankan kekuasaan. Tak ada namanya ketakutan akan turunnya pencitraan ketika kita senantiasa berpegang pada kebenaran. Semua tindakan akan tersubordinasikan untuk meraih tujuan hakiki orang beriman, yaitu rida Allah SWT. Semoga Allah senantiasa memberi hidayah kepada kita semua untuk selalu berada pada garis kebenaran-Nya, sampai kita semua menghadap-Nya dengan husnul khatimah. Amin ya Rabbal 'alamin.

Tulisan ini telah dimuat di Republika cetak dengan judul Manusia paripurna

_____________________________________________________

Anda ingin BERSEDEKAH pengetahuan dan kebaikan? Mari berbagi hikmah dengan pembaca Republika Online. Kirim naskah Anda melalui hikmah@rol.republika.co.id, disertai identitas diri. Rubrik ini adalah forum dari dan untuk sidang pembaca sekalian, tidak disediakan imbalan.

ikmah Memaknai Bencana

Oleh KH Said Aqil Siradj


Bencana datangnya tak mudah diterka. Sedangkan, berbagai bencana dahsyat yang terjadi selalu diwarnai oleh beragam penjelasan, sikap, dan pola tindakan. Bencana seolah tak mampu menghadirkan keimanan baru yang semakin memusatkan kepercayaan pada sumber utama kehidupan yakni Allah SWT. Sebabnya, masih sedemikian menancapnya kepercayaan mitologis yang bernuansa takhayul dan khurafat.

Jarak mitos dan nalar rasional pun kian merenggang. Fenomena alam masih lebih banyak dikonstruksi oleh mitos ketimbang ilmu pengetahuan. Demikian dahsyat dan kompleksnya perilaku alam, ilmu pengetahuan, dan teknologi pun masih belum sepenuhnya mampu mencandra geliat alam semesta dengan validitas yang tinggi. Di sela-sela "kenisbian" ini, lalu mitologi pun kian mekar ketimbang sains modern.

Bagaimana agama memaknai bencana? Dalam panduan ajaran Islam, bencana adalah "musibah", bukan petaka atau "azab". Kendati, boleh jadi terdapat dimensi azab Tuhan di dalamnya terutama dalam menghukum perilaku manusia yang merusak (fasad) di alam semesta. Suatu musibah, tentu selalu memerlukan kepasrahan iman dalam sabar dan tawakal, juga hikmah bagi kehidupan. Para korban tak boleh berlama-lama dalam duka dan nestapa, karena jalan hidup masih terbuka dan dibukakan Tuhan. Bencana bukan akhir segala-galanya.

Musibah dalam khazanah Islam adalah apa yang telah menimpa (ashaba) secara tidak menyenangkan, dari yang berkadar ringan hingga berat. Sebab, musibah bisa beragam. Karena ulah manusia sendiri, baik diri sendiri maupun orang lain, yang menyebabkan penderitaan hidup. Atau, karena ulah hukum alam sebagaimana bencana gempa, banjir, tsunami, dan gunung meletus. Kita ingat, hukuman Tuhan seperti yang menimpa kaum Madyan, Saba, dan Firaun, adalah ulah manusia yang berbuat "fasad" (kerusakan).

Bagi setiap orang beriman, musibah apa pun sebab dan jenisnya, betapapun menyakitkan dan menyengsarakan, akhirnya harus diterima sebagai kenyataan "qadha dan taqdir" yang memerlukan pengimanan. Itulah, makna dari rukun iman yang keenam, iman kepada ketentuan Allah yang menimpa diri kita. Dengan naik (mi'raj) ke langit iman, maka siapa pun yang mengalami musibah, seberat apa pun, akhirnya akan sampai ke titik keseimbangan. Titik harmoni dalam suasana jiwa yang thuma'ninah dan mutmainah.

Kosmologi "musibah" dalam mengonstruksi bencana, juga memerlukan ikhtiar-ikhtiar dan pertobatan baru bagi siapa pun yang menjalani kehidupan selama ini. Nabi Yusuf, Ibrahim, Ismail, dan Nabi Muhammad SAW memberi teladan bagaimana menghadapi dan mengubah musibah menjadi suatu energi "kesabaran yang indah" (QS al-Ma'rij: 5; Yusuf: 18, 82), juga menghasilkan sikap "syukur", sebagaimana layaknya orang-orang yang tercerahkan dan mencerahkan kehidupan dalam sosok "ulul azmi" (QS al-Ahqaf: 35).

Musibah bahkan diubah menjadi kepasrahan bertauhid dengan simbol inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, sebagaimana menjadi pakaian orang-orang yang sabar yang bermuara pada raihan berkah dan rahmat Allah (QS al-Baqarah: 155-15

Menciptakan Qalbun Salim

Oleh Dr A Ilyas Ismail

Dalam salah satu doanya, Nabi Ibrahim AS memohon kepada Allah SWT agar tidak dihinakan pada hari kiamat. "Janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. (Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (QS al-Syu'ara [26]: 87-89).

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam doa Nabi Ibrahim ini. Pertama, kekhawatiran tentang azab akhirat. Sebagai Nabi, bahkan bapak nabi-nabi, dan bergelar "Khalil Allah" (kekasih Allah), Nabi Ibrahim masih khawatir kalau-kalau dihinakan oleh Allah pada hari Kiamat. Kekhawatiran semacam ini patut dicontoh.

Kedua, devaluasi nilai harta (kekayaan) dan keturunan (pengikut). Untuk ukuran duniawi, harta dan anak-anak, termasuk pengikut, merupakan variabel utama yang menentukan status dan strata sosial manusia. Di akhirat, keduanya menjadi tidak penting karena para malaikat sebagai "aparat Tuhan" tak mungkin "disuap" apalagi diteror.

Ketiga, kebersihan hati sebagai pangkal keselamatan di akhirat. Jaminan keselamatan hanya diberikan kepada orang yang datang menghadap Allah dengan hati yang bersih atau sehat (qalbun salim). Banyak pendapat dari para pakar, khususnya dari kalangan ahli tafsir, yang pada pokoknya berkisar pada tiga makna. Pertama, seperti dikemukakan Ibnu Katsir, juga al-Alusi, qalbun salim bermakna salamat al-qalb 'an al-syirk aw al-aqa'id al-fasidah (selamatnya hati dari syirik atau kepercayaan-kepercayaan yang sesat). Hati yang sehat berarti memiliki akidah yang benar, lurus, serta bebas dari segala bentuk kemusyrikan.

Kedua, qalbun salim berarti bersih dari penyakit-penyakit hati (salim min amradh al-qulub). Dalam permulaan surah al-Baqarah, dikemukakan tiga golongan manusia, yaitu orang-orang takwa (al-muttaqun), orang-orang kafir (al-kafirun), dan orang-orang munafik (al-munafiqun). Golongan yang disebut terakhir ini adalah orang-orang yang hatinya berpenyakit. "Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya." (QS al-Baqarah [2]: 10).

Ketiga, seperti badan yang sehat, hati yang sehat juga memiliki kesempurnaan dan kekuatan melakukan apa yang menjadi tugas dan fungsinya sesuai maksud penciptaan. Fungsi hati yang utama adalah mengenal Allah, yaitu iman dan takwa. "Al-taqwa ha-huna" (takwa itu di sini), dan beliau menunjuk ke dadanya tiga kali. (HR Baihaqi dari Abu Hurairah).

Tak bisa disangkal, hati yang sehat menjadi pangkal kebaikan dan pendorang amal saleh (ba`its li shalih al-a`mal). Di sini, hanya hati yang disebut sebagai pangkal keselamatan di akhirat, bukan anggota badan yang lain. Hal ini, menurut imam al-Razi, karena kalau hati sehat, seluruh anggota badan yang lain ikut sehat. Sebaliknya, kalau lidah (kata-kata) dan anggota badan lain (perbuatan) tak sehat, sudah bisa dipastikan hati tak sehat (berpenyakit).

Perawatan hati, seperti diajarkan para sufi, menjadi penting. Perawatan hati, seperti halnya perawatan fisik, memerlukan dokter spesial yang tidak lain adalah para ulama. Dokter yang satu ini, menurut Imam Ghazali, selain makin lama makin langka, sebagian dari mereka juga 'berpenyakit'. Maka, waspadalah. Wallahu a`lam.