Rabu, 30 November 2011

Ikhlas Seperti Kelapa

Oleh Irkhamiyati


Kelapa adalah buah yang memiliki multimanfaat. Mulai dari akar, batang, daun, dahan, hingga buahnya. Akarnya bisa dijadikan bahan kayu bakar dan kerajinan seni. Batangnya bisa digunakan sebagai bahan bangunan rumah. Daunnya bisa buat janur pernikahan maupun tempat untuk ketupat. Lidinya bisa dibuat sapu. Kemudian buahnya, antara air dan isinya, juga mengandung banyak manfaat.

Air kelapa mengandung beragam zat-zat yang menyegarkan tubuh. Ia bisa digunakan sebagai penawar racun dan bahan pengembang untuk membuat roti. Daging (isi) buah kelapa yang masih muda sangat digemari sebagai bahan minuman, seperti es kelapa muda. Ia bisa juga diawetkan menjadi nata decoco, sebagai bahan makanan kudapan pedas atau tidak pedas, dan dapat diolah menjadi gula jawa. Buah kelapa, jika sudah tua isinya, diambil sarinya menjadi santan kelapa yang sangat dibutuhkan dalam membuat berbagai makanan dan masakan.

Itulah gambaran akan manfaat pohon kelapa. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang dikaruniai akal dan pikiran. Karenanya, sudah semestinya apabila kita bisa berkaca dari pohon kelapa tersebut. Sejauh mana manfaat diri kita, baik bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, agama, maupun bangsa kita. Rasulullah SAW bersabda; "Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi yang lainnya."

Bisa jadi kita terjebak dalam rutinitas setiap hari sehingga lupa akan potensi diri sendiri yang sebenarnya bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitar. Memberi manfaat bagi tempat kerja dan keluarga adalah sesuatu yang wajib, tetapi memberi manfaat bagi lingkungan masyarakat di sekeliling kita terkadang terlupakan.

Apa pun profesinya, baik sebagai pedagang, guru, dosen, karyawan, pelajar, mahasiswa, buruh, wiraswasta, bupati, maupun beragam profesi lainnya, dituntut bisa bekerja secara profesional sekaligus memberi manfaat bagi lingkungannya. Namun, apa pun yang kita berikan, hendaknya dilandasi dengan niat tulus dan ikhlas. Gambaran ikhlas bisa kita contoh dan pelajari dari falsafah buah kelapa. Ia sudah terbukti memberi banyak manfaat, mulai dari akar hingga ujung daunnya.

Buah kelapa bisa dijadikan makanan atau kontributor bahan makanan. Sari dari buah kelapa adalah santan kelapa yang sangat banyak manfaatnya untuk bahan makanan. Sebelum menjadi santan, kelapa harus melalui banyak tahapan. Yang pertama saat kelapa dipetik terkadang dipotong keras dengan parang dengan sekuat tenaga. Beda perlakuannya saat memetik buah anggur atau buah halus lainnya, memetiknya dengan halus dan hati-hati.

Saat kelapa jatuh, tidak ada orang yang mau menangkapnya di bawah sehingga kelapa pasti dijatuhkan setelah dipetik. Kemudian, kelapa dikupas kulitnya dan dipecah sehingga terpisahlah air dengan dagingnya. Cara mengupas kulit dan memecahnya pun dengan keras, beda perlakuannya dengan buah yang lain. Setelah itu, kelapa diparut dan diambil air santannya. Dan setelah menjadi santan, ia bisa digunakan untuk apa saja.

Itulah buah kelapa, begitu banyak manfaatnya untuk manusia. Sudah semestinya, demikian pula diri kita, bisa menjadi manfaat bagi orang lain, baik di lingkungan terdekat maupun yang lebih luas lagi.

Belajar Kesederhanaan dari Kiai Rasimin

Oleh Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA


Kiai Ahmad Muhammad Rasimin tinggal di Kampung Jaha, empat kilometer selatan Anyer. Beliau memimpin pesantren salaf. Kehidupannya sangat sederhana. Rumahnya tidak lebih indah dari bilik-bilik para santri. Tak terlihat ada kendaraan bermotor di rumahnya, apalagi mobil.

Para santrinya tinggal di gubuk-gubuk bambu. Antara santri laki-laki dan perempuan dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Para santri laki-laki mandi di kolam yang dialiri oleh sungai tadi, sedangkan para santri perempuan mandi di kamar mandi milik masjid kampung.

Beberapa tahun silam, saya diminta berkhotbah di masjid kampung itu. Setelah itu, kami makan siang di rumah Kiai Rasimin. Sebelum berkhotbah, saya diminta untuk berceramah selama 20 menit dengan menggunakan pengeras suara. Kemudian, saat berkhotbah, saya diminta untuk membaca teks khotbah yang hanya berbahasa Arab dan pengeras suara dimatikan. Teks khotbah kami baca kurang lebih lima menit, sesudah itu kami melaksanakan shalat Jumat.

Kiai Rasimin sangat tawadu. Suatu hari, beliau diminta oleh wali kota Cilegon untuk menunaikan ibadah haji karena belum berhaji. Waktu itu, biaya untuk beribadah haji sebesar tujuh juta rupiah. Namun, tawaran itu ditolak dengan alasan beliau belum wajib berhaji karena belum mampu.

Beliau memberikan solusi agar uang untuk berhaji itu digunakan untuk membangun jembatan yang menghubungkan antara kampung bagian timur dan barat. Sehingga, manfaatnya lebih besar dan pahalanya akan terus melimpah karena ekonomi kampung itu menjadi semarak. Sedangkan jika berhaji untuk beliau, pahalanya kecil. Saran itu pun diterima oleh wali kota Cilegon.

Ketika berkunjung ke Kampung Jaha beberapa waktu lalu, jembatan itu sudah lama dibangun. Dan, Kiai Rasimin masih tetap belum berhaji. Kami sungguh sangat mengagumi sikap dan perilaku Kiai Rasimin. Beliau lebih mendahulukan kepentingan umat daripada kepentingannya sendiri. Barangkali perilaku di negeri kita yang seperti Kiai Rasimin ini jarang dijumpai. Kebanyakan oknumoknum kiai di Indonesia justru bersikap sebaliknya, mereka merengekrengek kepada penguasa untuk dapat diberangkatkan ke Makkah.

Beberapa tahun lalu, saat diselenggarakannya Seminar Zakat di Padang, Sekretaris Dewan Fatwa Suriah, Prof Dr Ala al-Din al-Za'tari, menceritakan kehidupan seorang syekh. Suatu hari, syekh ini kedatangan tamu yang bermaksud meminta restu untuk berhaji yang kedua kali. Syekh memberikan saran agar biaya berhaji kedua itu digunakan untuk membantu anak yatim. Sang tamu pun menuruti nasihatnya.

Tahun berikutnya, sang tamu datang lagi, dan syekh memberikan saran agar keinginannya untuk berhaji yang kedua diberikan untuk membantu janda-janda miskin di kampungnya. Ia pun kembali ke kampungnya dan menyerahkan uangnya untuk janda-janda miskin, sebagaimana saran syekh.

Setahun kemudian, sang tamu datang lagi dan menyampaikan keinginan yang sama untuk berhaji. Lagi-lagi, syekh ini memberikan saran agar uangnya diberikan kepada orang fakir yang tak punya rumah di kampungnya. Karena menurut syekh, membantu orang yang membutuhkan (miskin), jauh lebih bermanfaat dibandingkan berhaji berulang-ulang.

Tulisan ini dimuat di Republika cetak dengan judul Kesederhanaan Kiai Rasimin
Redaktur: Siwi Tri Puji B

Amal Orang Kafir Laksana Fatamorgana

Oleh: Rizki Kuncoro Hadi


"Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya." (QS An-Nur: 39)

Dalam ayat ke-39 surat An-Nur ini, Allah menyatakan bahwa amal-amal baik orang kafir itu laksana fatamorgana di tanah datar yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apapun.

Sering dalam kehidupan sehari-hari kita mendapati orang-orang non muslim yang berlaku baik, seperti ia sangat menghargai waktu, memiliki etos kerja tinggi, memiliki sifat dermawan kepada sesama, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Namun, sekali lagi melalui ayat ini seolah Allah ingin mempertegas bahwa apa yang mereka (orang kafir) lakukan itu tidak bernilai di sisi Allah. Mengapa? Karena orang kafir beramal tidak didasarkan atas iman.

Ada sebuah analogi sederhana untuk membuktikan betapa sia-sianya amal tanpa dilandasi keimanan. Jika ada seseorang bekerja untuk perusahaan A, lantas ia menginginkan gaji dari perusahaan B. Apakah perusahaan B akan memberikan gaji kepada seseorang yang tidak bekerja untuk perusahaannya? Seseorang tersebut ibarat orang kafir, ia beramal untuk Tuhan selain Allah, apakah mungkin Allah memberikan Surga-Nya untuk orang kafir?

Lantas kita pun berpikir tentang dosa orang kafir. Apakah orang kafir yang tidak sholat itu dosa? Jelas tidak, karena kekafirannya. Dosa bagi orang kafir adalah karena kesyirikannya, ia menyekutukan Allah dengan tuhan yang lain. Dan, dosa syirik adalah sebesar-besarnya dosa. Hanya dengan rahmat Allah-lah dosa syirik seorang kafir diampuni ketika ia bertaubat.

Namun kita yang seorang muslim pun harus berhati-hati dengan amal kita, karena tidak tertutup kemungkinan amal-amal kita pun laksana fatamorgana yang tak memiliki nilai di sisi Allah manakala kita beramal tetapi tidak didasari iman kepada Allah. Mari kita merefleksikan diri kita, apakah amal-amal kita telah didasarkan atas keimanan?

1. Beramal dengan ilmu
Amal baik adalah segala sikap, tindakan, ucapan yang memiliki dasar “ilmu”. Amal yang dilandasi dengan ilmu memiliki ciri, (a) al-ashwab yakni benar yang berarti tidak menyalahi segala yang sudah ditetapkan oleh Allah, (b) al-akhlash yakni memilih amal kebaikan yang paling tidak disukai nafsu.

2. Hati yang menerima
Seseorang yang beramal didasarkan atas iman maka hatinya pun menerima setiap amal-amal yang ia lakukan.

3. Dilakukan karena yakin
Yakin akan kebenarannya dan yakin akan ketulusannya.

4. Diserta hati khudu’ (merasa rendah dan hina)
Maka tak boleh bagi seorang beriman yang ketika berdoa berkata, “Ya Allah ampunilah hamba jika Engkau ingin”

5. Ditunaikan karena cinta dan rindu kepada Allah
Amal seorang muslim merupakan manifestasi kecintaan dan kerinduan seorang hamba kepada Sang Khaliq.

6. Dirancang sebagai investasi untuk mendapatkan husnul khotimah
Seorang mukmin yang beramal dengan didasari iman, ia berharap agar mati dalam keadaan husnul khotimah, yang sulit dicapai jika tidak dirancang dengan amal-amal shaleh yang dilakukan dengan istiqomah.

Penulis adalah Aktivis Dakwah Kampus UGM Yogyakarta

Kamis, 03 November 2011

Antara Materi dan Ketakwaan

Ahmad Syahirul Alim Lc

Dalam memilih parameter kebahagiaan dan kesuksesan, umat manusia terbagi pada dua golongan. Golongan pertama menjadikan ketakwaan sebagai tolok ukur kebahagiaan, sedangkan golongan kedua menggunakan materi sebagai ukurannya.

Mereka yang menjadikan ketakwaan sebagai tolok ukur, berlandaskan pada kalam Allah SWT bahwa manusia yang paling mulia ialah yang paling bertakwa (QS 49: 15). Mereka percaya, baik rezeki yang berlimpah maupun kekurangan materi, merupakan ujian dari Allah atas ketakwaan mereka (QS 8: 28). Sehingga, mereka tak pernah merasa rugi jika kehilangan materi ataupun berbangga diri jika mendapatkan kelimpahannya (QS 57: 23).

Mereka tetap berlomba-lomba untuk mengeluarkan tabungan, baik secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan (QS 14: 31), untuk membersihkan diri dari keserakahan dan ketamakan (QS 9: 103). Mereka bukan pembenci materi. Bisa jadi mereka termasuk orang-orang yang ulung mendulang kekayaan. Namun bagi mereka, tak ada gunanya materi berlimpah jika tiada takwa di hati. "Sebaik-baik harta ialah harta yang saleh (bersih) di tangan orang saleh." (HR Ahmad).

Golongan yang kedua ialah mereka yang menjadikan materi sebagai acuan bagi kebahagiaan, kesuksesan, dan tujuan dari kehidupannya. Bagi mereka itu, kekayaan materi, gelar kehormatan, dan kekuasaan adalah segalanya. Mereka sedih jika tidak mendapatkan yang diinginkan, namun merasa sombong jika sudah digenggaman. Bahkan, mereka merasa dimuliakan oleh Allah jika mendapatkan kekayaan, namun sebaliknya merasa hina bila ketiadaan harta (QS 89:15-16).

Di sisi lain, mereka tak pernah puas untuk terus menambah pundi-pundi kekayaan mereka, bahkan "andaikan mereka memiliki dua gunung harta niscaya mereka mengharapkan yang ketiganya, hingga tak ada yang memuaskan perut mereka kecuali tanah (kematian)". (HR Bukhari). Dan, mereka tak akan rela untuk kehilangan sepeser pun darinya, bahkan andai kata mereka menguasai pundi-pundi kekayaan milik Allah (QS 17: 100).

Dalam beribadah, mereka menjadikan materi sebagai tolok ukur. Apabila mereka mendapat kebaikan dalam bentuk materi mereka merasa ibadah mereka bermanfaat, namun jika sebaliknya mereka merasa ibadah mereka sia-sia (QS 22: 11).

Sebagian di antara mereka juga ada yang menghitung-hitung secara matematis infaknya yang berlipat ganda dan berharap kekayaan beranak pinak. Mereka salah memahami bahwa janji Allah itu untuk melipatgandakan kebaikan yang mereka dapatkan (QS 9: 121) dan bukan mengalikan angka nominal yang mereka sumbangkan. Dampaknya, pada saat mereka tidak segera mendapatkan kekayaan, mereka protes pada Allah dan berputus asa dari rahmat-Nya. Naudzubillah.

Adapun kita, Allah telah memberikan dua pilihan. Apakah mengikuti jalan golongan pertama yang mengutamakan ketakwaan sehingga bisa mensyukuri setiap keadaan, ataukah mengikuti golongan kedua yang mengejar kebendaan sehingga menjerumuskan kita pada kekufuran. "Sesungguhnya Kami telah menunjukkan padanya (manusia) jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir."(QS 76: 3). Wallahu a'lam.

Mencari Kebenaran

Oleh Prof Dr Yunahar Ilyas

Seperti biasa, Salman al-Farisi menjalankan tugasnya sebagai seorang hamba sahaya di Kota Yatsrib. Hari itu dia bertugas di ladang kurma tuannya, seorang Yahudi dari Bani Quraizhah. Tatkala sedang berada di atas pohon kurma, seseorang datang menyampaikan berita dengan nada marah kepada tuannya yang sedang duduk di bawah pohon kurma. "Celakalah Bani Qailah. Sekarang mereka berkumpul di Quba' menyambut kedatangan laki-laki dari Makkah yang mendakwakan dirinya Nabi."

Salman sudah lama ingin mendengar berita itu. Ia tidak sabar untuk segera menemui Nabi yang baru datang tersebut. Salman segera turun dari pohon kurma dan bertanya kepada tamu itu, "Apa kabar Anda? Coba kabarkan kembali kepadaku!" Tuannya langsung marah dan memukul Salman sambil menghardi,: "Kerjakan tugasmu kembali! Ini bukan urusanmu!" Salman kembali sadar bahwa dia sekarang berstatus sebagai hamba sahaya. Bukan orang merdeka.

Dia berasal dari Jayyan, Kota Isfahan, Persia. Bapaknya seorang petani kaya yang terpandang dan pemeluk agama Majusi yang taat. Dia ingin putra kesayangannya juga menjadi pemeluk Majusi yang taat. Oleh sebab itu Salman dikirimnya ke kuil, menjaga api yang mereka sembah jangan sampai padam. Tapi, jalan hidupnya berubah setelah dia tertarik menyaksikan cara beribadah orang-orang Nasrani di gereja. Akhirnya dia kabur dari rumah bapaknya, dan memulai pengembaraannya dari satu gereja ke gereja lain, belajar agama dari satu pendeta kepada pendeta lainnya sampai akhirnya dia bertemu dengan pendeta di Amuria.

Setelah guru terakhirnya wafat, dia ikut sebuah kafilah Arab yang berjanji akan membawanya ke tanah Arab. Sebagai imbalannya Salman menyerahkan seluruh ternaknya kepada kafilah tersebut. Sayang dia ditipu. Kafilah itu menjualnya sebagai hamba sahaya kepada seorang Yahudi dari Yatsrib. Sejak itulah Salman tinggal di Yatsrib dan menunggu-nunggu kedatangan Nabi terakhir itu.

Besoknya Salman datang ke Quba, menyuguhkan sepiring kurma kepada Nabi dan menyatakannya sebagai sedekah. Nabi menerima kurma dari Salman, lalu membagi habis kepada sahabat-sahabatnya. Satu biji pun tidak beliau makan. Setelah di Madinah, Salman datang lagi menyuguhkan sepiring kurma kepada Rasulullah, kali ini menyatakannya sebagai hadiah. Nabi segera memakan sebiji kurma lalu mempersilakan para sahabat makan bersamanya. Apa yang dikatakan gurunya dulu tepat, Nabi yang terakhir itu tidak menerima sedekah, tapi menerima hadiah.

Salman semakin yakin bahwa beliau memang Nabi terakhir yang diutus. Tetapi untuk memastikannya, Salman ingin membuktikan satu hal lagi. Apakah memang di punggung beliau ada tanda kenabian. Kesempatan itu di dapatnya waktu di Baqi. Tatkala itu Nabi mengantar jenazah seorang sahabat, Salman sengaja mengitari Nabi berusaha melihat punggung Nabi.

Rupanya Nabi paham dan menjatuhkan kain yang menyelimuti punggungnya sehingga Salman dapat melihat tanda kenabian itu. Serta-merta dia memeluk Nabi, menciumi beliau sambil menangis. Itulah perjalanan panjang Salman mencari kebenaran. Berbahagialah Salman al-Farisi pada hari kematiannya, dan berbahagia pula dia kelak pada hari dibangkitkan kembali di akhirat.

elajar Mengakui Kesalahan

Oleh Ustaz Makmun Nawawi

Seperti biasa, saat pagi jalan-jalan cukup ramai. Tampak seorang pengemudi mobil ditemani seseorang di sampingnya, melarikan mobilnya amat kencang. Begitu kencangnya, hingga nyaris kehilangan kendali. Guna menyelamatkan diri, ia terpaksa harus menyalip motor yang ada di depannya. Pengendara yang disalip atau dilewati itu, yang kebetulan membonceng anak kecil langsung terperangah, kaget, seraya menumpahkan sumpah serapahnya. Sadar dengan kejadian tadi, pengemudi mobil itu menurunkan kecepatannya. Kondisi itu dimanfaatkan sang pengendara motor untuk mengejarnya, agar leluasa meluapkan amarahnya.

Usai menerima buncahan kemarahan pengendara motor, sang sopir kembali menaikkan kecepatannya. Bukan untuk ngebut lagi, tapi agar ia bisa melewati motor tersebut. Karena setelah mobilnya berada di depan motor, ternyata ia menghentikan mobilnya, lalu turun, dan menyetop si pengendara motor. Melihat kejadian itu, teman si sopir sudah ketar-ketir khawatir terjadi perkelahian besar-besaran seperti yang kerap terjadi di jalan-jalan.

Tapi, rupanya dugaannya meleset, karena begitu motor berhenti, ternyata sopir tadi justru menjulurkan tangannya, seraya mengakui kesalahan yang sudah diperbuatnya dan meminta maaf kepada si pengendara motor. Subhanallah.

Di tengah banyak orang yang sangat berat mengakui kesalahan, bahkan amat mahir dalam berapologetik dan mencari segudang alasan pembenaran atas kesalahan yang sudah dilakukannya, peristiwa di atas bisa menjadi pelajaran indah. Bukan menghindar atau lari dari kesalahan yang diperbuatnya, melainkan berani meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan. Ia menafikan beragam fenomena perilaku kriminal yang amat lihai berkelit dengan sejumlah alibi.

Padahal, kesadaran seseorang untuk mengakui kesalahan adalah mutiara berharga yang mengantarkan dirinya memiliki sikap tawadhu, yang dijanjikan Nabi: "Tidaklah seseorang itu tawadhu karena Allah, kecuali Allah akan meninggikannya." (HR Muslim).

Itulah akhlak yang dimiliki oleh orang-orang saleh, yang sangat ringan dalam mengakui kesalahan. Kita lihat misalnya Ka'ab, Murarah, dan Hilal yang tak ikut Perang Tabuk. Juga Ma'iz bin Malik atau seorang wanita Ghamidiyah yang langsung menghadap Nabi dan dengan terang-terangan mengaku berzina, seraya siap menerima segala risiko dari pertobatannya itu demi membersihkan dirinya sehingga bisa menemui Rabbnya dengan tanpa noda.

Takut posisi dan kehormatannya rusak, boleh jadi itulah faktor yang menghalangi seseorang untuk mengakui kesalahan. Padahal, tak harus demikian, malah dengan menyadari dan mengakui kesalahannya bisa menaikkan kehormatan dan integritas diri seseorang. Abul Hasan al-Asy'ari, misalnya, mantan imam besar mazhab Mu'tazilah. Saat ia sadar bahwa haluan pemikiran yang diikutinya salah, Abul Hasan pun memublikasikannya di hadapan publik.

Dengan pengakuan tersebut, tak membuat derajatnya surut, tapi justru menjadikannya sebagai tonggak utama dalam pengokohan pilar-pilar akidah umat. Harus diakui, untuk pertama kalinya dalam sejarah, julukan "ahlus sunnah" itu disematkan kepada kelompok Asy'ariyah.