Senin, 26 Maret 2012

Luasnya Dimensi Ibadah

Sabtu, 24 Maret 2012 05:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Makmun Nawawi

Diriwayatkan dari Abu Dzar ra, ia berkata, “Orang-orang berkata kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat dan mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Tetapi, mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka’.

Nabi bersabda, ‘Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu yang dengannya engkau bisa bersedekah? Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, amar makruf nahi mungkar adalah sedekah, dan bersetubuh (dengan istrinya) adalah sedekah’. Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami mendapatkan pahala sedangkan ia melampiaskan syahwatnya?’ Rasulullah bersabda, ‘Bukankah seseorang yang menyalurkan syahwatnya pada yang haram ia memperoleh dosa? Demikian pula jika ia menempatkan syahwatnya pada yang halal maka ia pun akan mendapatkan pahala’.” (HR Muslim).

Ketika kita diserbu oleh pesona iklan yang luar biasa dari banyak produk, impian pun melambung tinggi untuk segera memilikinya, seperti rumah, kendaraan, elektronik, atau perkakas rumah yang serbamewah. Ketika gaya hidup mewah sudah menyergap, korupsi menjadi mata pencaharian, maka banyak orang yang berada di bawah garis kemiskinan, hanya bisa gigit jari. Ada yang apatis, muak, jengah, namun tak urung ada pula yang terjerat dalam hayalan yang berkepanjangan.

Di tengah interaksi kehidupan Nabi dan para sahabatnya, bukan tidak ada orang yang kaya raya. Namun, bagaimana kekayaan yang mereka miliki justru dipersembahkan untuk sesuatu yang lebih agung, lebih luhur, dan abadi, yakni di jalan Allah. Sehingga, cita-cita dan obsesi para sahabat yang miskin yang melihatnya pun bukan untuk memiliki harta yang melimpah ruah, kendaraan yang mewah, istana yang megah, atau baju yang indah seperti mereka. Namun, bagaimana mereka juga bisa beramal seperti sahabat yang kaya demi kebahagiaan di akhirat. (QS al-A‘la: 16-17, dan adh-Dhuha: 4).

Hadis di atas mengajarkan kepada kita bahwa dimensi ibadah dalam Islam itu begitu luas. Bukan hanya sebatas harta, namun juga menjangkau banyak sisi kehidupan yang nyaris semua orang bisa melakukannya, tergantung lemah dan kuatnya niat. Jika tidak kuat secara materi maka bisa melalui fisik, pikiran, atau apa pun yang kita mampu. Bukankah tasbih, tahmid, dan tahlil nyaris tidak membutuhkan pengorbanan fisik dan materi sedikit pun dari pelakunya? Demikian pula amar makruf nahi mungkar.

Bahkan, ketika sepasang suami-istri menunaikan haknya masing-masing, di mana mereka bisa mereguk nikmatnya berkeluarga, justru di situ pun terbentang pahala. Karena, ketika hal itu disalurkan kepada yang haram maka pelakunya akan menuai dosa.

Demikian pula dengan perilaku seseorang ketika makan, minum, berbisnis, berjalan, belajar, bekerja, berbicara, menelepon, facebook-an, chatting, berinteraksi dengan sesama, dan aktivitas lainnya, semua itu tetap bernilai ibadah, sepanjang berada dalam koridor yang halal, menjalankan ketaatan, atau menghindari larangan. Karena itu, banyak ruang dan tempat untuk meraih keridaan Allah. Wallahu a‘lam bish-shawab.

Sabtu, 24 Maret 2012

Inilah Keistimewaan Bersedekah

Jumat, 23 Maret 2012 06:58 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein

“Allah menganugerahkannya kepada orang yang berkata baik, bersedekah, berpuasa, dan shalat di kala kebanyakan manusia tidur.” (HR.At-Tirmidzi)


Salah satu ibadah yang dianjurkan Allah SWT adalah bersedekah, baik dikala lapang maupun dikala sempit. Sebab sedekah adalah amal kebaikan sebagaimana al-Quran surah al-A’raf ayat 16 khusus amalan sedekah dilipatkan-gandakan lagi sesuai kehendak Allah, yang kemudian ditambah lagi mendapatkan berbagai keutamaan sedekah.

Marilah kita baca hadis Rasulullah SAW; “Sesungguhnya Allah swt itu Maha Memberi , Ia mencintai pemurah serta akhlak yang mulia, Ia membenci akhlak yang buruk.” (HR. al-Baihaqi)

Hadis di atas juga kita bisa petik hikmahnya bahwa Islam sangat membenci sifat pelit dan bakhil dan sifat suka meminta-minta. Tetapi sebaliknya seorang mukmin itu banyak memberi dan pemurah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah.” (HR. Bukhari)

Kita sudah tidak membantah lagi tentang keistimewaan ibadah sedekah. Sejumlah cendekiawan dan ulama muslim mengatakan bahwa terdapat ratusan dalil yang menegaskan bahwa Allah SWT memberikan pahala yang berlipat ganda dan memuliakan kaum yang bersedekah.

Mengutip kitab yang berjudul Al Inaafah Fimaa Ja’a Fis Shadaqah Wad Dhiyaafah, terdapat keutamaan bersedekah antara lain:

Pertama, sedekah dapat menghapus dosa. Pernyataan ini diperkuat dengan dalil hadist Rasulullah saw, “Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api.” (HR Tirmidzi, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi, 614).

Pengampunan dosa ini tentu saja disertai taubat sepenuh hati, dan tidak kembali melakukan perbuatan-perbuatan tercela serta terhina seperti sengaja bermaksiat, seperti korupsi, memakan riba, mencuri, berbuat curang, atau mengambil harta anak yatim.

Kedua, bersedekah memberikan keberkahan pada harta yang kita miliki. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah saw yang berbunyi, “Harta tidak akan berkurang dengan sedekah. Dan seorang hamba yang pemaaf pasti akan Allah tambahkan kewibawaan baginya.” (HR. Muslim).

Ketiga, Allah melipatgandakan pahala orang yang bersedekah. Hal ini sebagaimana janji Allah SWT di dalam al-Quran. “Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat-gandakan (ganjarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (Qs; al-Hadid: 18)

Keempat, terdapat pintu surga yang hanya dapat dimasuki oleh orang yang bersedekah. Orang memberikan menyumbangkan dua harta di jalan Allah, maka ia akan dipanggil oleh salah satu dari pintu surga.

“Wahai hamba Allah, kemarilah untuk menuju kenikmatan”. Jika ia berasal dari golongan orang-orang yang suka mendirikan shalat, ia akan dipanggil dari pintu shalat, yang berasal dari kalangan mujahid, maka akan dipanggil dari pintu jihad, jika ia berasal dari golongan yang gemar bersedekah akan dipanggil dari pintu sedekah.” (HR Bukhari).

Dan terakhir, orang yang sering bersedekah dapat membebaskan dari siksa kubur. Rasulullah saw bersabda, “Sedekah akan memadamkan api siksaan di dalam kubur.” (HR Thabrani)
Redaktur: Heri Ruslan

Luasnya Dimensi Ibadah

Sabtu, 24 Maret 2012 05:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Makmun Nawawi

Diriwayatkan dari Abu Dzar ra, ia berkata, “Orang-orang berkata kepada Rasulullah SAW, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat dan mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Tetapi, mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka’.

Nabi bersabda, ‘Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu yang dengannya engkau bisa bersedekah? Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, amar makruf nahi mungkar adalah sedekah, dan bersetubuh (dengan istrinya) adalah sedekah’. Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami mendapatkan pahala sedangkan ia melampiaskan syahwatnya?’ Rasulullah bersabda, ‘Bukankah seseorang yang menyalurkan syahwatnya pada yang haram ia memperoleh dosa? Demikian pula jika ia menempatkan syahwatnya pada yang halal maka ia pun akan mendapatkan pahala’.” (HR Muslim).

Ketika kita diserbu oleh pesona iklan yang luar biasa dari banyak produk, impian pun melambung tinggi untuk segera memilikinya, seperti rumah, kendaraan, elektronik, atau perkakas rumah yang serbamewah. Ketika gaya hidup mewah sudah menyergap, korupsi menjadi mata pencaharian, maka banyak orang yang berada di bawah garis kemiskinan, hanya bisa gigit jari. Ada yang apatis, muak, jengah, namun tak urung ada pula yang terjerat dalam hayalan yang berkepanjangan.

Di tengah interaksi kehidupan Nabi dan para sahabatnya, bukan tidak ada orang yang kaya raya. Namun, bagaimana kekayaan yang mereka miliki justru dipersembahkan untuk sesuatu yang lebih agung, lebih luhur, dan abadi, yakni di jalan Allah. Sehingga, cita-cita dan obsesi para sahabat yang miskin yang melihatnya pun bukan untuk memiliki harta yang melimpah ruah, kendaraan yang mewah, istana yang megah, atau baju yang indah seperti mereka. Namun, bagaimana mereka juga bisa beramal seperti sahabat yang kaya demi kebahagiaan di akhirat. (QS al-A‘la: 16-17, dan adh-Dhuha: 4).

Hadis di atas mengajarkan kepada kita bahwa dimensi ibadah dalam Islam itu begitu luas. Bukan hanya sebatas harta, namun juga menjangkau banyak sisi kehidupan yang nyaris semua orang bisa melakukannya, tergantung lemah dan kuatnya niat. Jika tidak kuat secara materi maka bisa melalui fisik, pikiran, atau apa pun yang kita mampu. Bukankah tasbih, tahmid, dan tahlil nyaris tidak membutuhkan pengorbanan fisik dan materi sedikit pun dari pelakunya? Demikian pula amar makruf nahi mungkar.

Bahkan, ketika sepasang suami-istri menunaikan haknya masing-masing, di mana mereka bisa mereguk nikmatnya berkeluarga, justru di situ pun terbentang pahala. Karena, ketika hal itu disalurkan kepada yang haram maka pelakunya akan menuai dosa.

Demikian pula dengan perilaku seseorang ketika makan, minum, berbisnis, berjalan, belajar, bekerja, berbicara, menelepon, facebook-an, chatting, berinteraksi dengan sesama, dan aktivitas lainnya, semua itu tetap bernilai ibadah, sepanjang berada dalam koridor yang halal, menjalankan ketaatan, atau menghindari larangan. Karena itu, banyak ruang dan tempat untuk meraih keridaan Allah. Wallahu a‘lam bish-shawab.

Kamis, 22 Maret 2012

Inilah Pintu-pintu Menuju Kemuliaan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr A Ilyas Ismail

Iman (agama) seperti diterangkan Nabi SAW dalam hadis sahih, memiliki cabang yang banyak sekali jumlahnya, mulai dari komitmen tauhid, “Tidak ada Tuhan selain Allah,” hingga kepekaan terhadap kebersihan dan kesehatan lingkungan, seperti memungut dan menyingkirkan hambatan di jalan. (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Hadis ini mengajarkan kepada kita bahwa iman pada dasarnya bukan hanya kata-kata yang diucapkan (kalimatun tuqal), melainkan suatu keputusan yang menuntut tugas dan tanggung jawab multidimensional, berupa kepatuhan kepada Tuhan (devotional), kepedulian kepada sesama manusia (sosial), dan keluhuran budi pekerti alias akhlaq al-karimah (moral).

Menarik disimak pertanyaan Nabi SAW untuk menguji kadar keimanan para sahabat. Katanya, “Siapa yang pagi ini puasa?”

“Saya tuan,” jawab Abu Bakar.

“Siapa yang hari ini mengantar jenazah?” tanya Nabi lagi.

“Saya tuan,” jawab Abu Bakar.

Nabi bertanya lagi, “Siapa yang hari ini memberi makan orang miskin?”

Abu Bakar pun menjawab, “Saya Tuan.”

Lalu, Nabi bertanya lagi, “Siapa yang hari ini menjenguk orang sakit?”

Lagi-lagi Abu Bakar mengangkat tangan, seraya berkata, “Saya tuan.”

Lalu, beliau bersabda, “Tak menyatu semua itu pada diri seorang, kecuali ia masuk surga.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Kisah ini menarik dan syarat dengan pelajaran. Abu Bakar, sahabat Nabi yang satu ini, memang istimewa. Ia selalu bersama Nabi di kala suka dan duka. Ia adalah sahabat yang menemani Nabi SAW di Gua Hira, saat orang kafir, pembunuh bayaran, mengejar hendak membunuhnya. Ia selalu membenarkan, tanpa ragu sedikit pun, apa-apa yang dibawa dan disampaikan oleh Nabi. Maka, gelar al-Shiddiq layak disandangnya. Ia pun pantas menjadi pengganti Nabi (Khalifah) pertama.

Kisah ini menunjukkan bahwa jalan menuju Allah itu tidaklah tunggal, melainkan berbilang (muta`ddidah). Setiap kebaikan sejatinya adalah pintu atau jalan menuju Tuhan. Setiap orang dapat mengambil pintu atau jalan yang memungkinkan dirinya “bertemu” Allah, setingkat dengan ilmu, kemampuan, dan pengalamannya masing-masing.

Kisah ini juga menunjukkan pilar-pilar kebajikan yang diajarkan Islam. Di antaranya pilar kepatuhan yang tinggi kepada Allah SWT (ibadah). Dalam kasus ini, kebajikan itu ditunjukkan dengan ibadah puasa, shalat, dan mengantar jenazah. Kebajikan ini berdimensi vertikal.

Berikutnya pilar amal saleh, yaitu kebaikan sosial, yang ditunjukkan melalui kesediaan memberi makan kepada orang miskin. Kebajikan ini berdimensi sosial dan horizontal. Lalu berikutnya lagi, adalah pilar akhlak dan keluhuran budi pekerti, yang ditunjukkan dengan menjenguk orang sakit. Kebajikan ini berdimensi moral dan sekaligus sosial.

Dalam Alquran, kebajikan yang diajarkan Nabi SAW seperti diperagakan oleh Abu Bakar al-Shiddiq itu dinamakan al-Birr, yaitu kebajikan yang lapang dan luas (QS al-Baqarah [2]: 177).

Kebajikan di sini menunjuk bukan hanya pada aspek-aspek lahiriah dari agama, melainkan justru aspek batin (inner aspect) yang menjadi kekuatan penggerak lahirnya kebaikan sosial (amal saleh) dan kulaitas-kualitas moral (akhlaq al-karimah). Inilah jalan atau pintu menuju kemulian! Wallahu a`lam.

Redaktur: Heri Ruslan

BNI SYARIAH
STMIK AMIKOM

Share166
2729 reads
rian, Kamis, 22 Maret 2012, 04:50

Ya...Rasulallaloh kami rindu padamu, salawat salam senantiasa tercurah atasmu. semoga negri ini yang kondang dengan penduduk muslim terbesar akan mempunyai pemimpin yang mampu membawa umat menuju kesejahteraan dan membawa islam sebagai agama rakhmatan lil 'alamin....

Rabu, 21 Maret 2012

ARAH Baru Pembacaan atas Hadis


Oleh Asrar Mabrur Faza*


Jika diperhatikan argumen-argumen di atas berbanding terbalik dengan realitanya. Al-Walid bin Uqbah misalnya, adalah sahabat yang pernah berbohong kepada Nabi, mabuk dalam memimpin salat subuh, serta disebut fasik dalam Alquran Surat al-Hujurat (49) ayat 6. Al-Asy’ats bin Qays al-Kindi pernah murtad dan kembali lagi masuk Islam. Bujair bin ‘Abdillah bin Murrah bin ‘Abdillah bin Sa‘ab pernah dilaporkan telah mencuri tas kulit Nabi. Abu Darda’ pernah dinilai berdusta. Abu Hurairah pernah mengalami gangguan kejiwaan karena menderita epilepsi. Abu Hurairah meriwayatkan hadis tentang anjuran bekerja tetapi tidak mengamalkannya, “alias” tunakarya. Pernah sombong di hadapan sahabat Nabi yang lainnya, karena merasa superior dalam hal kekuatan daya hafal. Padahal kita tahu, sikap “kibriya” hanya pantas dimiliki oleh Allah—tidak Muhammad, apalagi seorang Abu Hurairah.

Diskursus epistemologis yang melelahkan yang pernah terjadi antara kelompok ahl al-hadits dengan ahl al-ra’yi –disadari atau tidak– tampaknya “berefek samping” secara paradigmatis terhadap para sarjana-sarjana hadis (muslim) yang muncul belakangan. Abu Hatim al-Razi (kritikus hadis) misalnya, banyak melakukan bantahan terhadap dari Abu Bakr al-Razi/Rhazes (filosof/fisikawan). Sementara Rhazes lebih “menghebatkan” buku-buku astronomi, logika dan medis di atas Alquran seraya menggugat kemukjizatannya, Abu Hatim al-Razi melalui kitab A‘lam al-Nubuwwah-nya mengkafirkan Rhazes seraya melakukan pembelaan-pembelaannya terhadap Alquran.

Berkaitan dengan ide-ide pembaruan pemikiran Islam—wa bilkhusus pembaruan ushul fikih seperti konsep ijma’, keputusan hakim, qiyas dan istish-hab—yang didengungkan Hasan al-Turabi, dinilai oleh Mahmud al-Thahhan (guru besar Hadis) sebagai suatu upaya penentangan terhadap teks-teks agama yang sharih (jelas) dan konsensus para ulama. Bahkan al-Tahhan menganggap al-Turabi telah melakukan pemahaman terhadap teks dengan sesuka hati. Dalam persoalan Ahmadiyah, Ramli Abdul Wahid (guru besar Hadis) mengamini fatwa ulama “sejagad” yang telah mengkafirkan aliran Ahmadiyah. Menurutnya, pemahaman Ahmadiyah tentang adanya nabi setelah Nabi Muhammad yang menerima wahyu dan memiliki banyak mukjizat, telah bertentangan dengan akidah Islam.

Fakta-fakta ini dan fakta yang semisalnya, telah menyuguhkan citra tersendiri bagi sarjana hadis dari masa ke masa di mata para sarjana bidang keilmuan Islam lainnya. Citra yang seakan “merestui” kesan bahwa sarjana hadis adalah model bagi “shaf” atau barisan penentang pemikiran-pemikiran filosofis, upaya-upaya pembaruan, bahkan punya kecenderungan mengkafirkan pandangan kelompok Islam lainnya, seperti Ahmadiyah dan lain-lain. Jika dicermati, sesungguhnya ide-ide filosofis, pembaruan pemikiran, dan keragaman pandangan dalam Islam lebih kental mengarah kepada ide rasionalisasi ajaran Islam.


Menimbang Aspek Rasionalitas Kajian Hadis

Shalah al-Din al-Adlabi mencoba memaknai frasa al-‘aql al-salim—yang digunakannya sebagai standar kajian kritik matan (teks) hadis— dengan arti akal yang mendapat pancaran Alquran dan Hadis yang Sahih. Pengertian dari kalangan sarjana hadis di atas masih bersifat ambigu (baca: multi tafsir) serta cenderung “dogmatik”. Menurut Mustafa al-A’zami, sebenarnya para sarjana hadis “sudah” memperhatikan aspek rasionalitas dalam kajian hadis, dalam empat hal. Pertama, pada saat menerima hadis, seorang rawi haruslah memiliki keahlian untuk bisa membedakan, mengingat, dan mengetahui apa sebenarnya hadis yang diterima dari gurunya. Dengan kata lain, rawi yang memiliki kemampuan seperti ini, akan diterima riwayatnya. Kedua, pada saat mentransfer hadis, seorang rawi tidak diizinkan untuk menyampaikan hadis dla’if (lemah), kecuali menyebutkan aspek-aspek keda’ifannya. Ketiga, saat melakukan penilaian terhadap para rawi hadis. Bagi rawi yang punya aspek keda’ifan (kelemahan), maka tentu riwayatnya ditolak. Keempat, pada saat menentukan status hadis, para sarjana hadis memberikan porsi akal sepantasnya. Apa yang disebutkan al-A’zami ini sebenarnya lebih menitikberatkan kepada aspek rasionalitas dalam kajian sanad atau jalur transmisi hadis (baca: kritik eksternal).

Para sarjana hadis dalam melakukan kajian matan (teks) hadis (baca: kritik internal) juga menggunakan standar rasio. Al-Adlabi mengatakan bahwa hadis yang otentik dari Nabi tidak akan kontradiksi dengan akal sehat (al-‘aql al-salim). Al-Adlabi menjadikan standar kesesuaian terhadap akal ini sebagai salah satu standar kesahihan matan (teks hadis). Bahkan jauh sebelum al-Adlabi, al-Khatib al-Baghdadi menempatkan akal masuk dalam tahapan-tahapan mengevaluasi atas (matan) hadis.


Pembacaan Baru terhadap Hadis

Secara umum, pembacaan yang ditawarkan dibagi kepada dua bagian, yaitu: Kritik Hadis (naqd al-hadits) dan Pemahaman Kandungan Hadis (Fiqh/Fahm al-hadits). Perbedaannya adalah, jika bagian pertama lebih berupaya untuk membuktikan keorisinilan hadis bersumber dari Nabi, maka yang kedua, tidak lebih kepada bagaimana memahami dan menafsirkan pesan yang terdapat dalam hadis yang “disangkakan” dari Nabi itu.

Dalam kaitannya dengan kritik hadis, diawali dengan perbincangan tentang bukti-bukti yang diungkapkan oleh al-A’zami di atas, yaitu bahwa seorang rawi harus menggunakan akalnya pada saat menerima, menyimpan dan mentransfer hadis. Hal ini sesuai dengan tiga tolok ukur ke-dlabith-an (validitas) menurut para sarjana hadis, yaitu: Rawi harus memahami dengan baik hadis yang didengarnya atau diterimanya, rawi harus hafal dengan baik hadis tersebut, dan rawi mampu menyampaikan hadis yang telah dihafalnya dengan baik pada saat diinginkan dan sampai kepada orang lain. Tolok ukur pertama, tidak disepakati oleh para sarjana hadis, mungkin dengan dugaan bahwa rawi yang telah menghafal hadis dengan baik otomatis memahami hadis yang dihafalnya, atau yang terpenting adalah menghafal hadis bukan memahaminya. Akan tetapi faktanya –sebagaimana akan dijelaskan– bahwa tidak semua rawi yang hafal dengan baik bisa memahami hadis yang dihafalnya.

Dalam aplikasi teori inipun, tampaknya berlaku secara diskriminatif terhadap rawi hadis. Dengan kata lain, hanya diterapkan pada rawi selain sahabat Nabi, yaitu tabi’in, tabi’ al-tabi’in dan seterusnya sampai kepada kolektor hadis. Sahabat menjadi “superbody” dalam kritik sanad. Aspek ke-dlabith-an para sahabat Nabi menjadi tidak tersentuh, padahal ada sahabat yang dinilai negatif, misalnya Ibn ‘Umar yang dinilai tidak menghafal hadis dengan baik, Jabir bin ‘Abdillah dinilai melakukan kesalahan (akhtha’a) dalam menyebutkan hadis, ‘Abdullah bin Mas‘ud yang tidak sempurna hafalan hadisnya, dan Abu Hurairah yang tidak mampu memahami dengan baik hadis yang diriwayatkannya.

Al-A’zami tidak memasukkan kriteria keadilan rawi, sebagai bagian dari aspek yang rasional dalam kritik sanad. Sehingga muncul spekulasi bahwa persyaratan keadilan telah mewariskan segudang persoalan dalam kajian kritik sanad. Hal ini bisa dimaklumi, bukan hanya karena ketidakkonsistenan aplikasinya, tetapi juga karena telah bercampur antara keyakinan dogmatis agama (ta‘abbudi) dengan penelitian ilmu-ilmu agama (ta‘aqquli). Sejatinya, dalam ranah penelitian ilmiah, seorang peneliti harus bersikap sekuler, yaitu mampu memisahkan dirinya dari keyakinan dogmatis yang dianutnya. Sebab peneliti bisa saja mengalami kebuntuan, sehingga tidak lagi bersikap objektif. Mungkin penjelasan berikutnya bisa lebih mempertegas hal ini.

Sebagaimana aspek ke-dlabith-an, kaidah keadilan rawi pun tidak diterapkan secara konsisten oleh peneliti hadis pada semua rawi, yaitu pada sahabat Nabi. Sesuai dengan “kredo”: al-shahabah kulluhum ‘udul (seluruh sahabat Nabi bersifat adil). Ibn Shalah mengakui bahwa keadilan seluruh sahabat adalah merupakan kesepakatan umat Islam, meskipun sahabat tersebut pernah terlibat dalam perang saudara (al-fitan). Al-Alusi bahkan “berani” memastikan bahwa para sahabat Nabi tersebut ikhlas dalam beramal ibadah. Al-Gazali juga menambahkan, bahwa keadilan merupakan bagian dari “keimanan”.

Jika diperhatikan argumen-argumen di atas berbanding terbalik dengan realitanya. Al-Walid bin Uqbah misalnya, adalah sahabat yang pernah berbohong kepada Nabi, mabuk dalam memimpin salat subuh, serta disebut fasik dalam Alquran Surat al-Hujurat (49) ayat 6. Al-Asy’ats bin Qays al-Kindi pernah murtad dan kembali lagi masuk Islam. Bujair bin ‘Abdillah bin Murrah bin ‘Abdillah bin Sa‘ab pernah dilaporkan telah mencuri tas kulit Nabi. Abu Darda’ pernah dinilai berdusta. Abu Hurairah pernah mengalami gangguan kejiwaan karena menderita epilepsi. Abu Hurairah meriwayatkan hadis tentang anjuran bekerja tetapi tidak mengamalkannya, “alias” tunakarya. Pernah sombong di hadapan sahabat Nabi yang lainnya, karena merasa superior dalam hal kekuatan daya hafal. Padahal kita tahu, sikap “kibriya” hanya pantas dimiliki oleh Allah—tidak Muhammad, apalagi seorang Abu Hurairah. Dengan demikian, tampaknya “kredo” di atas termasuk ke dalam bagian yang tidak rasional dalam kritik sanad, dan bisa dirumuskan kaidah tandingan: al-shahabah ba’dluhum ‘udul (sebagian sahabat ada yang adil). Bagi peneliti hadis yang sulit mendustakan “kredo” lama, bisa menggunakannya pada hal-hal yang bersifat teologis saja, sedangkan untuk kepentingan riset hadis, digunakan kaidah tandingan ini.

Diktum “tidak kontradiktif dengan akal sehat” sebagai standar kesahihan matan seperti yang dikemukakan oleh al-Adlabi di atas, tidak hanya dapat digunakan dalam kritik hadis saja, tetapi juga dalam fiqh al-hadits. Diktum ini menjadi instrumen bagi penemuan mana di antara pesan-pesan profetik yang layak pakai (ma’mul) dan yang –dalam batas-batas tertentu—sudah kadaluwarsa (ghair ma’mul) dengan menggunakan pendekatan ilmu-ilmu sosial yang relevan jika dihadapkan kepada hadis-hadis yang berbicara dalam persoalan mu‘amalah seperti hubungan sosial, hudud (perkara pidana) misalnya; dan menggunakan pendekatan dogmatis jika berkaitan dengan hadis-hadis yang mengacu kepada keimanan dan eskatologis. Cakupan aplikasinya pun tentu haruslah merata pada semua kitab standar hadis, tanpa eksepsi (pengecualian). Hadis yang telah “lulus” uji periwayatan dan dikatakan sebagai hadis yang rasional, seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim (jika hal ini disetujui), maka muatan pesan keagamaannya juga harus bersifat rasional, dengan kata lain: ma’qul al-naql la yaqtadli ma’qul maqal (periwayatan hadis yang logis, tidak serta-merta menjadikan pesan hadis tersebut juga bernilai logis).

Syuhudi Ismail melalui kajian tekstual dan kontekstual-nya, mungkin bisa menjadi “uswah” (teladan) dalam persoalan ini. Syuhudi berupaya memilah antara hadis yang berlaku universal, temporal, dan lokal. Dari hasil penelitiannya terhadap hadis-hadis yang dinilai ma’qul secara periwayatan (termasuk dalam kitab hadis Shahihain: Bukhari dan Muslim) tentang persaudaraan seagama, perintah berlaku adil, larangan nikah mut‘ah, penafian ras dalam kepemimpinan politik, adalah hadis-hadis yang berlaku universal. Kebolehan meminum khamar, rukyah hilal dengan mata kepala, larangan wanita jadi pemimpin, memelihara jenggot, adalah hadis-hadis yang berlaku temporal atau lokal.

Namun, jika diperhatikan pesan-pesan keagamaan yang dikaji Syuhudi ini, hampir seluruhnya merupakan “ajaran-ajaran kuno” yang belum menyentuh persoalan-persoalan kekinian dan keindonesiaan. Sehingga –sekali lagi– dalam aplikasinya harus dikembangkan kepada persoalan-persoalan seperti tinjauan kembali kepada peran serta wali dalam pernikahan, kepemimpinan wanita dalam salat campuran, titik temu agama-agama, isu terorisme, perlindungan bagi “jamaah” LGBT, pengayoman terhadap kelompok Islam Ahmadiyah dan Islam Syi’ah, kesetaraan gender, dan lain sebagainya.

Dirkursus-dirkusus kontemporer tersebut pun hendaknya dikaji dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar “pembacaan baru” sebagai berikut. Pertama, mafhum makanah al-nabi bi al-qara’in al-waqi’iyyah (memahami posisi Nabi via historisitas hadis), apakah sabda Muhammad diproduksi dalam posisinya sebagai Rasul, manusia biasa, suami, hakim, atau pemimpin politik, karena ketaatan yang “ta’abbudi” hanya dalam posisinya sebagai Rasul. Kedua, taqdim al-ushul ala al-fushul (mendahulukan pokok-pokok agama daripada penerapan-penerapan aspek parsial keagamaan).

Di sinilah penting apa yang disebut dengan maqashid al-syari‘ah dalam praktek keagamaan. Pengembangan prinsip ini mencakup: al-musawah baina al-adyan (keseteraan agama-agama), al-musawah baina al-ajnas (mengusung kesetaraan gender), dlamanu huquqi al-aqalliyin al-mustadl‘afin (keberpihakan terhadap kaum minoritas yang tertindas). Ketiga, al-tawjih bi al-tayassur duna al-ta‘assur (berorientasi kepada memberi kemudahan, bukan menampilkan kesulitan). Dengan demikian, di masa mendatang kajian kehadisan digeluti oleh sarjana hadis tidak lagi mengesankan pencitraan “kedirian” yang literalis, konservatif plus eksklusif, tapi sebaliknya.


*Dosen STAIS Al-Hikmah Medan. Kandidat Doktor UIN Alauddin Makassar

Islam “Moderat”


Oleh Ulil Abshar-Abdalla


Istilah “Islam moderat” akhir-akhir ini kerap kita jumpai dalam banyak tulisan, baik dari kalangan Muslim sendiri atau yang lain. Apa yang dimaksud dengan “Islam moderat”? Esei pendek ini akan mencoba menjawabnya.
Dalam bahasa Arab modern, padanan untuk kata moderat atau moderasi adalah wasat atau wasatiyya. Istilah “mutawassit” kadang-kadang juga dipakai. Islam moderat, dalam bahasa Arab modern, disebut sebagai al-Islam al-wasat. Moderasi Islam diungkapkan dengan frasa wasatiyyat al-Islam.

Istilah “Islam moderat” akhir-akhir ini kerap kita jumpai dalam banyak tulisan, baik dari kalangan Muslim sendiri atau yang lain. Apa yang dimaksud dengan “Islam moderat”? Esei pendek ini akan mencoba menjawabnya.
Dalam bahasa Arab modern, padanan untuk kata moderat atau moderasi adalah wasat atau wasatiyya. Istilah “mutawassit” kadang-kadang juga dipakai. Islam moderat, dalam bahasa Arab modern, disebut sebagai al-Islam al-wasat. Moderasi Islam diungkapkan dengan frasa wasatiyyat al-Islam.

Dalam penggunaan yang umum saat ini, istilah “Islam moderat” diperlawankan dengan istilah lain, yaitu Islam radikal. Islam moderat, dalam pengertian yang lazim kita kenal sekarang, adalah corak pemahaman Islam yang menolak cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh kalangan lain yang menganut model Islam radikal. Tawfik Hamid, seorang mantan anggota kelompok Islam radikal dari Mesir, al-Jamaah al-Islamiyyah, mendefinisikan Islam moderat sebagai, “a form of Islam that rejects… violent and discriminatory edicts” – Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang membenarkan kekerasan dan diskriminasi. (Baca artikelnya yang berjudul “Don’t Gloss Over The Violent Texts” di Wall Street Journal, 1/9/2010).Hakim menyebut secara spesifik hukum dalam agama (shariah) yang ia anggap sebagai pembenar tindakan kekerasan, seperti hukuman mati untuk orang yang murtad, misalnya.
Definisi Hakim tentang Islam moderat ini, bagi sebagian kalangan Islam, mungkin dianggap terlalu “liberal”, sebab menganjurkan oto-kritik terhadap hukum-hukum dalam Islam yang ia anggap sudah tak lagi relevan saat ini. Sebagai mantan anggota Jamaah Islamiyyah, Mesir, yang sudah “bertobat”, Tawfik Hamid paham benar bahwa dalam Islam memang ada beberapa hukum yang bisa “disalah-gunakan” untuk membenarkan tindakan terorisme atau kekerasan secara umum. Contoh yang mudah adalah hukum tentang jihad dengan segala pernik-perniknya. Bagi Hakim, Islam moderat sebagai antitesis Islam radikal adalah model Islam yang menolak kekerasan semacam itu.
Definisi lain diajukan oleh Dr. Moqtedar Khan yang mengelola blog Ijtihad (www.ijtihad.org). Seperti Hakim, Dr. Khan memperlawankan istilah Islam moderat terhadap Islam radikal. Perbedaan antara keduanya, menurut dia, adalah bahwa yang pertama lebih menekankan pentingnya prinsip ijtihad dalam pengertian yang lebih luas, yaitu kebebasan berpendapat (dengan tetap bersandar pada sumber utama dalam Islam, yaitu Quran dan Sunnah), sementara yang kedua lebih menekankan konsep jihad (perang suci).

Yang menarik adalah usaha banyak kalangan Islam modern untuk mengaitkan konsep “Islam moderat” ini dengan konsep “wasat” yang ada dalam Quran. Dalam Quran, terdapat sebuah ayat yang banyak dikutip oleh intelektual Muslim modern untuk menunjukkan watak dasar Islam sebagai agama yang “tengah-tengah” atau moderat, yaitu al-Baqarah:143. Saya akan terjemahkan secara lengkap ayat itu sebagai berikut:
“Dan demikianlah Aku (Tuhan) jadikan kalian umat yang “wasat” (adil, tengah-tengah, terbaik) agar kalian menjadi saksi (syuhada’) bagi semua manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi (syahid) juga atas kalian.”
Kata “wasat” dalam ayat di atas, jika merujuk kepada tafsir klasik seperti al-Tabari atau al-Razi, mempunyai tiga kemungkinan pengertian, yakni: umat yang adil, tengah-tengah, atau terbaik. Ketiga pengertian itu, pada dasarnya, saling berkaitan. Yang menarik, konsep wasat dalam ayat itu dikaitkan dengan konsep lain, yaitu “syahadah”, atau konsep kesaksian. Jika kita ikuti makna harafiah ayat itu, pengertian yang kita peroleh dari sana adalah bahwa umat Islam dijadikan oleh Tuhan sebagai umat yang “wasat” (adil, tengah-tengah, terbaik), karena mereka mendapatkan tugas “sejarah” yang penting, yaitu menjadi saksi (syuhada’) bagi umat-umat yang lain.
Apa yang dimaksud dengan tugas “kesaksian” dalam ayat itu? Saksi atas apakah? Tak ada keterangan yang detil mengenai hal ini dalam ayat tersebut. Tetapi, jika kita rujuk beberapa tafsir klasik, apa yang dimaksud dengan kesaksian di sini adalah tugas yang dipikul umat Islam untuk meluruskan sikap-sikap ekstrem yang ada pada dua kelompok agama pada zaman ketika Quran diturunkan kepada Nabi, yaitu golongan Yahudi dan Nasrani.

Tafsir al-Tabari, misalnya, menyebut bahwa umat Islam dipuji oleh Tuhan sebagai umat yang tengah-tengah karena mereka tidak terjerembab dalam dua titik ekstrim. Yang pertama adalah ekstrimitas umat Kristen yang mengenal tradisi “rahbaniyyah” atau kehidupan kependetaan yang menolak secara ekstrim dimensi jasad dalam kehidupan manusia (seperti dalam praktek selibat). Yang kedua adalah ekstrimitas umat Yahudi yang, dalam keyakinan umat Islam, melakukan distorsi atas Kitab Suci mereka serta melakukan pembunuhan atas sejumlah nabi.

Muhammad Abduh, melalui muridnya Rashid Rida, mengemukakan pendapat yang sedikit berbeda. Dalam tafsirnya yang masyhur al-Manar, Abduh mengemukakan bahwa apa yang dimaksud dengan wasat ialah sikap tengah-tengah antara dua titik ekstrim. Yang pertama, materialisme yang ekstrim yang dianut oleh kalangan “al-jusmaniyyun”, yakni mereka yang hanya memperhatikan aspek wadag atau badan saja, mengabaikan dimensi rohaniah dan spiritual dalam kehidupan manusia. Yang kedua, spiritualisme yang ekstrim yang hanya memperhatikan dimensi rohaniah belaka, tanpa memberikan perlakuan yang adil terhadap dimensi jasmaniah. Kelompok yang menganut pandangan ini, oleh Abduh, disebut sebagai “al-ruhaniyyun”.

Umat Islam, dalam tafsiran Abduh, adalah umat yang “wasat”, moderat, karena mengambil sikap tengah antara materialisme dan spiritualisme. Dengan kata lain, istilah “wasat” dalam ayat di atas, baik dalam pemahaman penafsir klasik seperti al-Tabari (w. 923) dan al-Razi (w. 1209), atau penafsir modern seperti Muhammad Abduh (w. 1905), dipahami dalam kerangka konsep keunggulan umat Islam atas umat-umat yang lain, terutama Yahudi dan Kristen. Rahasia keunggulan itu terdapat dalam sikap umat Islam yang mengambil jalan tengah antara dua titik ekstrem yang mencirikan baik kalangan Kristen atau Yahudi. Istilah “wasat”, dengan demikian, berkaitan dengan konsep superioritas Islam atas agama-agama lain.

Sebagaimana kita lihat, pengertian kata “wasat” mempunyai pergeseran jauh saat ini. Sekarang, istilah itu bukan lagi dimaknai dalam kerangka superioritas Islam atas agama-agama lain, tetapi justru dipahami sebagai kritik internal dalam diri umat Islam sendiri. Istilah itu, sekarang, diperlawankan terhadap corak Islam lain yang ekstrem dan radikal, yakni corak keagamaan yang membenarkan penggunaan kekerasan dalam dakwah.

Perkembangan ini menarik kita cermati karena ciri ekstrimitas yang semula melekat pada golongan lain di luar Islam seperti dimengerti dalam tafsiran klasik di atas, ternyata bisa dijumpai dalam kalangan Islam sendiri. Hal ini juga memperlihatkan bahwa sebuah konsep dalam Quran, seperti kata “wasat” itu, dipahami secara dinamis dari waktu ke waktu. Perubahan konteks sejarah dan tantangan dalam tubuh umat Islam sendiri membuat pemahaman penafsir Quran tentang sejumlah konsep dalam kitab suci itu berubah secara lentur.[]

Senin, 19 Maret 2012

Kunci Perubahan

Kamis, 08 Maret 2012 04:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhtadi Kadi

Syekh Muhammad Ghazali, ulama dan pemikir Islam asal Mesir, mengatakan, “Sesungguhnya rasa aman, damai, dan sejahtera adalah kekuatan yang memberikan cahaya kepada akal untuk berpikir dengan tenang dan kontinu. Karena terkadang, pemikiran tersebut mampu mengubah perjalanan sejarah.”

Banyak orang yang berasumsi bahwa mereka akan sukses dalam hidup ini atau nasib hidupnya akan berubah lebih baik jika ia pindah dari tempat tinggalnya. Artinya, mereka mengikatkan kesuksesannya dengan perubahan tempat dan keadaan. Sungguh, asumsi tersebut adalah salah. Karena, sejatinya yang harus diubah adalah akal yang digelantungi pemikiran, bayangan kelam masa lalu, dan asumsi kekhawaritan masa depan. Selagi akal kita masih berpola pikir seperti itu, perubahan yang ada tidak memiliki pengaruh apa-apa.

“Kamu tidak akan pernah mampu menyelesaikan problematika yang ada selagi pola pikirmu tidak ada perubahan,” demikian petuah orang bijak. Dan, Allah SWT telah menegaskan kepada kita yang diabadikan di dalam Alquran bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum atau seseorang kecuali mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS ar-Ra’du [13]: 11).

Ini artinya, kunci perubahan hidup seseorang ke arah yang lebih baik terletak di dalam dirinya, bukan terletak pada tempat tinggal atau dalam lingkungan yang mengelilinginya. Karena manusia hanyalah produk pemikiran dan keyakinannya. Di samping itu, perilaku dan sikap seseorang bersumber dari akalnya.

Memang tidak dimungkiri bahwa perubahan lingkungan terkadang membawa sebuah kebaikan, tetapi hanya bersifat temporal atau kebetulan. Karena, perubahan ini hanya di permukaan tidak dari akarnya. Juga tak sedikit perubahan tempat hanya sebuah sikap pelarian dari berbagai rintangan serta tantangan dan menjauhi problematika yang ada.

Karena itu, kita mesti mengubah pola pikir dan keyakinan. Kita harus memakai baju keoptimisan dan kebulatan tekad serta husnudzan kepada Allah. Empaskan bayangan kelam masa lalu dan kekhawatiran pada masa depan dari jiwa. Kita harus mulai menghadapi arus kehidupan ini dengan hati yang besar dan akal yang jernih tanpa takut dengan kekalahan ataupun kegagalan. Bukankah di balik kegagalan ada pengalaman yang berharga, dan bukankah pengalaman itu guru yang paling baik?

Sungguh, orang yang tidak mampu mengubah pola pikirnya, maka dia tidak akan mampu mengubah sesuatu apa pun, kapan pun, dan di mana pun ia berada. Tongkat yang bengkok tak mungkin menghasilkan bayangan yang lurus. Hanya dari muara hati yang suci dan akal yang jernih yang melahirkan jiwa-jiwa jujur, tangguh, bertanggung jawab, dan siap melakukan pengorbanan apa pun demi kemaslahatan sesama.
Redaktur: Heri Ruslan

Sabtu, 17 Maret 2012

Hidup Bertawakal

Selasa, 13 Maret 2012 09:51 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Inami Gus'am

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS al-Maidah (5): 23). Di tengah bahtera kehidupan yang terus bergelombang dan tidak pernah surut dari berbagai problematikanya, kita perlu memiliki sebuah pegangan dan ‘navigasi’ yang mengantarkan kita pada pulau tujuan.

Sebagai insan Muslim hendaknya memiliki komitmen dan prinsip hidup. Apa pun lapangan usaha yang ditekuni, bidang keilmuan yang dikaji, maupun aspek kehidupan yang dijalani, setiap Muslim tetap berusaha dan berupaya. Kekuatan yang terpendam dalam setiap diri seorang Muslim ialah potensi besar yang dimiliki dan harus digali.

Memaksimalkan kemampuan diri mengarah pada upaya memaksimalkan ikhtiar kita. Inilah yang Allah sebutkan dalam QS ar-Ra’d ayat 11. Tawakal adalah sikap berserah diri kepada Allah Ta’ala setelah melakukan usaha secara maksimal. Itu bermakna dalam hidup kita tidak ada suatu tindakan atau perbuatan yang tidak memiliki dasar yang jelas. Semua hal dilakukan karena adanya unsur perintah dan meninggalkan segala hal karena memang jelas adanya unsur larangan.

Memaknai tawakal diperlukan pemahaman bahwa terdapat ikatan yang kuat antara manusia sebagai makhluk dan Allah sebagai Sang Pencipta. Ikatan yang berimplikasi pada adanya hubungan ini mestinya dijalin dengan baik oleh manusia. Dengan demikian, pada klimaks usaha yang dilakukan seseorang tetap saja kembali ke muara segala sesuatu, yaitu Allah. Pasrah secara total kepada-Nya.

Kita bersikap menerima dengan ikhlas atas segala yang diberikan Allah Ta’ala dari usaha yang dilakukan. Ini adalah kenyataan yang berat dalam hidup kita. Sebab, yang sering terjadi pada kita adalah selalu menanggapi hal-hal yang tidak mengenakkan dalam hidup kita dengan mengeluh. Kita betul-betul merasa berat ketika mendapat ujian dan cobaan yang, menurut kita, tidak mengenakkan karena cenderung merepotkan atau menyusahkan.

Kita perlu menyadari bahwa manusia tidak memiliki kewenangan untuk menentukan apa yang dikehendakinya. Yang diperbolehkan hanyalah rencana-rencana manusiawi. Meski demikian, sesegera mungkin kembali menyadari bahwa segala yang terjadi merupakan kewenangan Allah Ta’ala. Alquran menyebutkan dengan tegas dan jelas, “Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (QS al-Ahzab (33):38).

Tawakal perlu dipupuk, diutamakan, dan diperjuangkan. Karena sedemikian pentingnya tawakal dalam hidup, hingga kita perlu mengetahui bagaimana cara bertawakal, yaitu merasa cukup terhadap apa yang didapat dan dimiliki, tetap meningkatkan usaha agar lebih baik, membiasakan bersyukur kepada Allah atas pemberian-Nya, mengawali pekerjaan dengan niat ibadah, menyadari bahwa manusia memiliki banyak kekurangan, dan menyerahkan sepenuhnya kepada keputusan Allah setelah melakukan ikhtiar/usaha.

Obat yang paling mujarab untuk mengatasi berbagai masalah hidup adalah membiasakan diri bertawakal kepada Allah Ta’ala. Dalam kehidupan kita, tawakal berfungsi mengurangi tekanan batin/jiwa, terhindar dari kecewa dan stres berat, juga meringankan langkah dalam menjalani hidup sehari-hari. Kita adalah manusia. Kewajiban kita adalah berusaha. Masalah keputusan—berhasil atau gagal—tetap di tangan Allah Ta’ala. Dia Yang Mahakuasa akan memutuskan sebatas yang dikehendaki sesuai dengan usaha yang dilakukan manusia

Selasa, 13 Maret 2012

Rahasia Kotak Infak

Jumat, 03 Pebruari 2012 09:39 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Dr Yunahar Ilyas

Sudah menjadi tradisi di Tanah Air kita, umumnya masjid-masjid dan mushala menyediakan kotak infak. Sebuah kotak infak berukuran besar di letakkan secara permanen di bagian yang dianggap strategis, bisa di teras sebelum pintu masuk, atau di bagian dalam langsung setelah pintu masuk.

Jika ada pengajian, kotak infak diedarkan keliling. Begitu juga waktu penyelenggaraan shalat Jumat, tidak lupa beberapa kotak infak diedarkan dari shaf depan hingga paling belakang. Biasanya jumlah infak pada hari Jumat lebih banyak dibanding dengan infak waktu pengajian.

Begitu jugalah yang terjadi pada sebuah masjid di salah satu kota/kabupaten di Jawa Tengah. Setiap selesai rangkaian ibadah Jumat, beberapa orang takmir, kadang-kadang dibantu oleh jamaah mulai membuka kotak infak dan menghitungnya. Isi kotak infak didominasi uang recehan Rp 500, Rp 1.000, dan Rp 2.000. Sesekali terdapat uang Rp 50 ribu, Rp 20 ribu, dan Rp 10 ribu.

Tetapi yang menarik perhatian, pada setiap Jumat selalu ada satu lembar uang Rp 50 ribu. Lembaran uang tersebut selalu tampil sendirian, kesepian, tidak ada temannya. Berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun selalu ada uang lembaran Rp 50 ribu sendirian. Siapa dermawan itu, tak seorang pun tahu.

Sang dermawan tidak pernah sekalipun memperlihatkan uang Rp 50 ribuan tersebut, baik sengaja ataupun tidak kepada jamaah di sampingnya. Barangkali uang itu memang sudah disiapkannya sedemikian rupa dari rumah, dilipat kecil-kecil, di letakkan di kantong baju, sehingga tidak terlihat orang lain. Begitu kotak infak lewat di depannya, maka tangan kanannya langsung memasukkan uang tersebut ke dalam kotak sambil ditutup dengan tangan kirinya.

Bukan berarti menutupi tangan itu karena yang disumbangkan lebih kecil, lebih besar atau malu karena terlihat orang di sampingnya. Ia berinfak ikhlas karena Allah. Orang yang berinfak dan tidak diketahui oleh yang lain, maka dia akan mendapatkan perlindungan Allah di hari kiamat nanti. (Shahih Muslim No 1712).

Alhasil, selama bertahun-tahun tidak ada seorang pun yang tahu siapa dermawan itu. Pada suatu Jumat, tiba-tiba petugas infak tak menemukan lagi uang Rp 50 ribu itu. Para penghitung saling berpandangan dan bertanya-tanya. Pada Jumat berikutnya mereka tak menemukan uang serupa. Begitu seterusnya. Para penghitung, termasuk takmir masjid jadi penasaran. Mulailah pengurus serius menyelidikinya. Akhirnya pertanyaan itu terjawab.

Pada suatu hari sehabis mengisi pengajian di masjid tersebut, saya diajak oleh pengurus masjid makan di sebuah rumah makan tidak jauh dari masjid. Sewaktu makan-makan itulah seorang pengurus menceritakan kisah uang tersebut. “Ustaz tahu, siapa dermawan itu?” tanya seorang pengurus dengan serius. Dengan antusias saya menunggu jawabannya. Pengurus itu meneruskan ucapannya: “Dermawan itu adalah Pak Haji pemilik rumah makan ini.” Saya menyelidik, “Dari mana Anda tahu?”

“Sebab, uang Rp 50 ribu itu menghilang persis dua hari setelah Pak Haji pemilik rumah makan ini meninggal dunia. Sejak itulah, uang tersebut tak pernah lagi ditemukan.” Semoga Allah SWT memberi ganjaran berlipat ganda akan kedermawanan dan keikhlasan Pak Haji tersebut.
Redaktur: Heri Ruslan

Jangan Seperti Firaun

Kamis, 09 Pebruari 2012 04:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustaz Dr Abdul Mannan

Umumnya manusia di manapun dan kapan pun selalu melihat harta dunia sebagai sumber kebahagiaan. Hal itu mungkin wajar mengingat manusia tidak bisa menafikan materi dalam kehidupannya. Namun demikian, tidak sedikit manusia yang terseret dan terjerembab pada aspek materi, sehingga dengan sengaja melawan aturan Allah SWT. Manusia seperti itu akan semakin jauh meninggalkan eksistensi dirinya.

Ia akan terus terobsesi mengumpulkan harta yang banyak setiap harinya. Akibatnya, agama, norma, dan aturan menjadi tak berguna. Sejauh keinginannya bisa dicapai, apa pun cara harus dilakukan. Inilah manusia yang telah mati hatinya, yang tak akan pernah sadar akan kekeliruannya hingga ajal tiba.

Kondisi ini bisa menimpa siapa saja, baik penguasa, pegawai, pengusaha, cendekiawan, termasuk juga ulama. Itulah mengapa dalam sebuah hadis Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk berhati-hati pada ulama, khususnya ulama suu’ (ulama yang tidak mengamalkan ilmunya sesuai syariah Allah SWT).

Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa ambisi materi pada pemimpin jauh lebih berdampak serius dan masif dibanding yang lain. Alquran memberi bukti akan hal tersebut. Lihatlah kisah Firaun, seorang raja diktator yang dengan kekuasaannya menghalang-halangi manusia dari jalan Allah dan secara terbuka menyatakan perang terhadap Nabi Musa AS.

Harta benda dan kekuasaan yang dimiliki Firaun semakin membuatnya gelap mata, hingga harta benda yang mestinya berguna untuk kehidupan justru menjadi pelicin menuju kebinasaan. Semua itu karena Firaun lupa bahwa apa yang dimiliknya itu tak lebih dari titipan Allah SWT kepadanya.

Nabi Musa yang mendapat mandat dari Allah agar memberikan peringatan kepada Firaun pun tak lagi mampu berbuat banyak. "Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Firaun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan Kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka dan kunci matilah hati mereka maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih." (QS Yunus : 88).

Seperti kita saksikan saat ini, kasus korupsi hampir terjadi setiap hari. Ada dugaan dilakukan secara kolektif. Kemudian, para penguasa tidak begitu peduli dengan kasus tersebut. Akibatnya, praktik korupsi itu hampir terjadi di mana-mana di seluruh penjuru Tanah Air.

Saudaraku, tahanlah dirimu dari berbuat curang, jahat, ataupun kriminal. Jangan sampai kita termasuk orang yang dibutakan mata hati kita oleh gemerlap harta benda. Kemudian, sengsara untuk selama-lamanya di akhirat.

Kita jangan sampai menjadi manusia berwatak Firaun, yang pikiran dan seluruh perilakunya justru mengundang kemurkaan Allah SWT. Ingat saudaraku, Firaun bukannya bahagia, ia bahkan sengsara dan mati dalam keadaan yang sangat nista.

Kembalilah kepada ajaran Allah dan Rasul-Nya. Pelajarilah Alquran dengan baik dan amalkan, jika kita benar-benar mendambakan kebahagiaan hakiki. Jangan seperti Firaun yang gagal menjadikan harta dan takhtanya untuk mengabdi kepada Allah SWT. Wallahu a’lam.
Redaktur: Heri Ruslan

Pemimpin yang Bijaksana

Jumat, 10 Pebruari 2012 04:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nurul H Maarif MA

Suatu ketika, Rasulullah SAW dengan para sahabatnya hendak memasak kambing. Sebagai komando, beliau dengan cekatan melimpahkan pembagian tugas kerja. Sebagian sahabat menawarkan diri untuk mengerjakan tugas-tugas itu.

Ada yang menawarkan diri untuk menjadi penyembelih kambing dan yang lain siap menguliti. Ada juga yang bersedia memasaknya, sedangkan lainnya lagi siap mengambil air, menyiapkan tungku, dan sebagainya. “Saya sendiri akan mencari dan mengumpulkan kayu bakarnya,” ujar beliau.

Mendengar pernyataan ini, sontak saja para sahabatnya protes terkejut. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah SAW, tidakkah engkau lebih baik duduk-duduk saja dan kami yang mencari kayu bakarnya?” sergah sahabat.

Para sahabat ingin tugas-tugas lapangan biarlah dikerjakan oleh mereka dan Muhammad SAW sebagai pemimpin tak perlu repot-repot turut melakukannya. Barang kali dalam bayangan mereka, komando tidak seharusnya terlibat kerja lapangan. Namun, tampaknya hal ini tidak berlaku bagi Muhammad SAW. “Saya tahu kalian bisa menyelesaikan pekerjaan ini, tapi saya tidak suka diistimewakan. Sesungguhnya Allah SWT tidak suka melihat salah seorang hamba-Nya diistimewakan dari kawan-kawannya,” kata Rasul SAW.

Kisah ini dituliskan oleh Abdul Mun’im al-Hasyimi dalam Akhlak Rasul Menurut Bukhari Muslim, (hal 24-25). Inilah kunci kepemimpinan Rasulullah yang tidak ingin ada pengistimewaan. Sebab, beliau ingin melakukan segala sesuatunya selama perbuatan itu bisa dikerjakan sendiri, termasuk mencari kayu bakar.

Beliau ingin ikut kotor tangannya ketika sahabat yang lain juga kotor tangannya. Beliau ingin berkeringat ketika sahabat yang lain juga berkeringat. Beliau tidak ingin hanya duduk-duduk manis, ongkang-ongkang kaki, tunjuk sana tunjuk sini, perintah sana perintah sini, tanpa ikut terlibat di dalamnya.

Inilah keteladanan agung Nabi Muhammad SAW yang kepemimpinnya tidak dibangun di atas telunjuk dan sabdanya, melainkan dengan keringat dan kebersamaan. Inilah sang teladan sejati, pemimpin yang keringatnya terus mengucur karena tak pernah berhenti melayani umatnya.

Bagi seorang teladan sejati, kepemimpinan tidak melulu urusan dunia. Lebih penting lagi, kepemimpinan menyangkut pertanggungjawaban dengan Allah SWT di akhirat kelak. Karena itu, dalam menentukan kebijakan apa pun, pertimbangan pemimpin tidak seharusnya
duniawi atau politis. Tujuannya, supaya pemimpin benar-benar mampu menegakkan kemaslahatan bagi rakyat, karena semua tindak-tanduknya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT (LPJ yang tentu saja paling berat dan mustahil dimanipulasi).

Itu sebabnya, Nabi Muhammad SAW sedari awal mewanti-wanti melalui sabdanya; “Tiap-tiap kalian adalah pemimpin dan tiap-tiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR Bukhari).

Pertanyaannya, masih adakah di negeri ini, pemimpin yang keringatnya terus mengucur memikirkan nasib rakyatnya, karena adanya kesadaran bahwa kelak kepemimpinannya akan diaudit oleh Allah SWT? Kita memang butuh pemimpin yang berkeringat untuk memperbaiki negeri ini.
Redaktur: Heri Ruslan

Sabar dalam Kebinekaan

Minggu, 19 Pebruari 2012 04:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr Asep S Muhtadi

Beragama Islam secara utuh (kafah) itu butuh kesabaran (QS 103: 3). Termasuk sabar dalam menyikapi keberadaan orang-orang yang tidak beragama Islam. Untuk memelihara salah satu misi ajaran Islam tentang perdamaian, diperlukan kesabaran dalam menyikapi perbedaan. Perbedaan harus dihormati, terutama untuk menghindari munculnya beragam bentuk ketegangan sosial yang kerap amat memprihatinkan.

Bukankah perbedaan itu merupakan wujud kebinekaan yang sejak awal merupakan keniscayaan yang diakui Alquran, khususnya bagi bangsa Indonesia? Lalu, mengapa fakta kebinekaan masyarakat kita ini masih saja muncul dalam nuansa yang tidak bersahabat? Tidak jarang fenomena itu hadir dalam wujud kekerasan yang amat merugikan. Kebinekaan dalam berkeyakinan kerap berubah menjadi konflik yang sangat memprihatinkan. Watak ramah masyarakat pun tidak lagi menjadi pemandangan persahabatan yang menyejukkan.

Sistem nilai yang terbuat dalam kebinekaan adalah aturan Tuhan (sunatullah) yang tidak mungkin berubah, diubah, dilawan, dan diingkari. Barang siapa yang mencoba mengingkari hukum kemajemukan budaya maka akan menimbulkan fenomena pergolakan yang tiada berkesudahan. Bahkan, Alquran mengakui keberadaan agama lain yang memiliki kitab suci, kecuali agama yang berdasarkan paganisme dan syirik, dan menyerukan umat Islam untuk hidup berdampingan dengan mereka.

Sejarah kejayaan Islam yang berlangsung dalam harmoni kebinekaan memang telah berlalu, namun spirit keragaman seperti tertuang dalam Alquran tetap menyala hingga kini. Sehingga, perlu direalisasikan dalam kehidupan nyata. Ini bukan merupakan kemustahilan karena ada kesejajaran antara kebinekaan Islam dan kemajemukan modernisme. Akan tetapi, kebinekaan atau yang kini sering muncul dalam terminologi pluralitas kadang-kadang masih ditandai berbagai penyimpangan dalam praktik politiknya.

Hal ini merupakan bentuk kegagalan dakwah karena berbagai interest politik yang picik masih belum mampu diredusir, baik oleh sebagian umat Islam secara khusus maupun umat manusia pada umumnya.

Langkah bijaksana bagi setiap umat adalah bersabar dan sanggup mengendalikan diri untuk tetap menghormati perbedaan. Selain itu, diperlukan pula kesabaran dalam mewujudkan suasana sosial yang kondusif untuk menciptakan toleransi. Sebab, dalam batas-batas sosiologis, toleransi tidak bisa terwujud dengan sendirinya, tapi membutuhkan proses rekayasa kultural sehingga masyarakat dapat terkondisikan secara produktif. Toleransi bukan saja menjadi ajaran yang hanya hadir dalam wacana, tapi sejatinya menjadi perilaku yang membudaya dalam kehidupan secara lebih terbuka.

Lihatlah pemandangan sosial masyarakat yang dibangun Nabi dengan para sahabatnya. Jika dalam terminologi ajaran Islam dikenal istilah harbi dan dzimni untuk menunjuk masyarakat yang berbeda agama, hal itu menggambarkan adanya pemberian tempat khusus secara damai bagi mereka yang berbeda agama selama tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat melanggar kerukunan.

nilah Kunci Agar Hidup Menjadi Indah

I
Rabu, 07 Maret 2012 04:07 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Moch Arif Budiman

Saat ini secara umum umat Islam sudah sangat jauh meninggalkan Alquran. Jangankan men-tadabburi, membacanya saja terkadang sudah tidak sempat lagi, lantaran 'kesibukan' sehari-hari. Sudah barang tentu kita memiliki kesibukan masing-masing, mulai dari bekerja mencari nafkah, belajar, mengurus rumah tangga dan keluarga, serta aktivitas sosial.

Namun, betulkah di tengah atau di antara sekian banyak kesibukan tersebut kita benar-benar tidak mempunyai lagi waktu untuk (sekadar) membaca Alquran? Jika kita mengatakan ya untuk pertanyaan di atas, mungkin kita perlu berkaca kepada kehidupan Rasulullah dan para salafushshalih. Mereka senantiasa berinteraksi secara intensif dengan Kitab Suci ini di sepanjang kehidupan.

Bagi mereka, Alquran adalah wirid (bacaan) harian, ibarat 'makanan' yang wajib dikonsumsi setiap hari sehingga ada yang mengkhatamkan bacaan Alquran setiap 10 hari, seminggu sekali, atau tiga hari sekali. Imam Syafi'i bahkan menuntaskan 60 kali bacaan Alquran pada setiap bulan Ramadhan. Tingkat minimal bacaan Alquran para sahabat adalah sebanyak tiga juz sehari, yaitu ketika mereka dalam keadaan semangat beramal menurun.

Komitmen mereka terhadap Alquran terbentuk sedemikian rupa karena keyakinan yang mendalam bahwa kunci kesuksesan, rahasia kemenangan, dan kebahagiaan hidup tersimpan di dalam Kitab Suci tersebut. Untuk menyingkap kunci dan rahasia tersebut tentu saja harus diawali dengan banyak membacanya (QS 29:45; 33:34), baik pada waktu malam maupun siang (ana'allail wa athrafannahar).

Intensitas membaca yang tinggi juga akan sangat memudahkan seseorang dalam menghafal Alquran. Langkah berikutnya adalah memahami bacaan tersebut (QS 3:7) dengan membaca terjemah dan tafsirnya. Selanjutnya, mengimplementasikan ajaran Alquran dalam kehidupan nyata (QS 2:121; 3:31) dengan cara berusaha ‘berkonsultasi’ dengan kitab pedoman hidup itu dalam menghadapi dinamika dan problematika kehidupan.

Untuk membangun kedekatan dengan Alquran diperlukan perjuangan, kesabaran tingkat tinggi (tashabbur), dan istiqamah karena penghalang dan godaannya memang tidak sedikit, baik yang berasal dari faktor internal, yaitu jiwa yang lemah dan malas maupun faktor eksternal, yaitu setan yang senantiasa berusaha menjauhkan kita dari Alquran dan lingkungan yang tidak kondusif.

Namun, dengan niat ikhlas karena Allah, usaha terus-menerus, dan banyak berdoa, maka kedekatan itu akan tercipta. Kesungguhan kita mendekatkan diri pada Alquran akan mengundang datangnya ma’unah (pertolongan) dari Allah. Hingga pada satu titik tertentu, semua kesulitan dalam perjuangan membangun kebersamaan dengan Alquran itu akan berubah menjadi kenikmatan.

Bahkan, hal tersebut akan menciptakan efek 'ketagihan' yang positif di mana seorang Muslim akan merasa ada yang kurang atau hilang jika satu hari saja tidak berinteraksi dengan Alquran. Dan, dia pun akan selalu berusaha untuk menambah intensitas interaksinya dari waktu ke waktu.

Tiada hidup yang lebih indah dari senantiasa berinteraksi dengan Alquran, mendapatkan taujih rabbani, dan mereguk hikmah ilahiyah pada setiap hari yang kita lalui. Dan, untuk mencapai kenikmatan ini di tengah tumpukan kesibukan kita maka satu-satunya cara adalah dengan mengalokasikan waktu khusus dari hari kita untuk berinteraksi dengan kalam mulia ini, sebagaimana kita mengalokasikan waktu untuk berbagai kegiatan duniawi yang lain. Wallahul musta’an.

Redaktur: Heri Ruslan

Iman dan Amal Shaleh

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Cucu Surahman MA

Sebagai agama yang sempurna, Islam sangat memperhatikan bukan hanya hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT secara vertikal, tetapi juga yang berhubungan dengan sesama manusia secara horizontal. Hal ini terlihat dari doktrin iman dan amal saleh.

Kedua konsep ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena apabila salah satu dari keduanya tiada maka kesempurnaan dari salah satunya akan berkurang. Iman tanpa amal itu hampa sedangkan amal tanpa iman itu percuma. Iman adalah fondasi sedangkan amal adalah implementasi.

Hal ini terlihat dari sabda Nabi SAW: “Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak pula menerima amal perbuatan tanpa iman.” (HR. Ath-Thabrani).

Dalam hadis lain, Nabi bersabda; “Celaka orang yang banyak zikrullah dengan lidahnya tapi bermaksiat terhadap Allah dengan perbuatannya.” (HR. Ad-Dailami). Kesatuan konsep iman dan amal ini tergambar dari ayat-ayat Alquran. Di dalam Alquran, Allah SWT sering kali menggandengkan kata iman dengan amal saleh.

Seperti dalam firman-Nya: “Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya. (QS Al-Baqarah [2]: 82).

Dalam sebuah hadis, Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR Muslim).

Hadis ini dengan jelas memperlihatkan bahwa ada hubungan sebab-akibat antara iman dan amal. Apabila seseorang memiliki keimanan (kepada Allah dan hari kiamat) maka hendaklah ia beramal shaleh, dalam hal ini hendaklah ia berbuat baik kepada tetengganya, memuliakan tamunya, dan berkata baik atau diam.

Doktrin iman dan amal shaleh ini juga mencerminkan bahwa Islam bukan hanya mementingkan urusan pribadi (keshalehan individual) tetapi juga sangat peduli dengan urusan sosial (keshalehan sosial). Seorang manusia sempurna (insan kamil) adalah manusia yang teguh imannya dan banyak amal salehnya.