Sabtu, 21 April 2012

Inilah Prinsip Kemudahan dalam Islam

Minggu, 15 April 2012, 06:35 WIB REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr A Ilyas Ismail Kemudahan merupakan salah satu prinsip penting dalam Islam. Ia merupakan anugerah Allah SWT, diberikan agar manusia tetap bersemangat dan tekun dalam menjalankan ajaran agama, terutama dalam situasi sulit. (QS al-Baqarah [2]: 185). Dikisahkan, Amr bin Ash pada suatu malam yang teramat dingin dalam sebuah pertempuran yang panjang, mengalami “mimpi basah.” Khawatir membawa akibat buruk kepadanya, ia tidak mandi jenabah, tetapi bertayamum, lalu shalat Subuh bersama teman-temannya yang lain. Kasus ini dilaporkan kepada baginda Nabi SAW. Lalu, Nabi SAW bertanya, “Hai Amr, Apakah kamu shalat Subuh sedangkan kamu dalam keadaan junub?” “Ya, tuan,” jawab Amr. “Aku khawatir atas diriku,” tegas Amr lagi. Ia kemudian membaca ayat ini: “Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS Al-Nisa’ [4]: 29). Mendengar jawaban Amr, Rasulullah SAW tersenyum dan diam tak berkata lagi. (HR Bukhari). Prinsip kemudahan (taysir) sangat jelas dalam Islam, seperti tampak dalam kisah Amr ini. Setiap kesulitan, pada dasarnya, menuntut kemudahan (al-Masyaqqah tajlib al-taysir). Kalau diperhatikan secara seksama, setiap ibadah dalam Islam disediakan kemudahan-kemudahan. Sekadar contoh, bersuci dalam kondisi normal harus dilakukan dengan air. Tapi, dalam kondisi sulit, seperti menimpa sahabat Amr tadi, bersuci dapat dilakukan dengan tayamum. Shalat, seperti umum diketahui, harus dilakukan dengan berdiri. Akan tetapi, bagi yang tak mampu berdiri, ia boleh melakukannya dengan duduk, bahkan dengan berbaring saja. Begitu juga disediakan kemudahan dalam ibadah puasa, haji, dan seterusnya. Dalam terminologi fikih, kemudahan-kemudahan itu dinamakan “Rukhshah,” yaitu pengurangan beban sebagai wujud kasih sayang Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya. Meskipun mudah dan disediakan banyak kemudahan, namun kemudahan itu bukan sesuatu yang gratis (free of charge). Kemudahan-kemudahan itu menuntut persyaratan dan kondisi-kondisinya sendiri. Misalnya, adanya kesulitan (masyaqqah) seperti telah dikemukakan. Persyaratan lain ialah bahwa kemudahan (alternatif) yang disediakan bukanlah dosa atau perkara yang dilarang oleh Allah SWT. Dalam hadis shahih disebutkan bahwa setiap kali Nabi dihadapkan pada dua pilihan, beliau selalu memilih yang paling mudah dari keduanya (aysaruhuma). Akan tetapi, kalau pilihan kemudahan itu merupakan dosa maka beliau adalah orang yang mula-mula lari dan menjauhkan diri darinya. (HR. Bukhari dari Aisyah). Berbagai kemudahan agama itu diberikan oleh Allah SWT untuk tujuan dan maksud yang mulia. Pertama, memastikan agar manusia dapat menjalankan agama tanpa susah payah dalam dimensi ruang dan waktu. Kedua, mendorong dan memotivasi manusia agar rajin dan semangat menjalankan agama, lantaran bisa dilakukan dengan mudah dan tanpa kesulitan. Karena agama itu mudah maka tidak boleh ada opini yang menggambarkan bahwa agama (beragama) itu seolah-olah menyusahkan. Inilah pandangan yang ditolak Allah. “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj [22]: 78). Wallahu a`lam!

nilah Virus Perusak Amal

Kamis, 19 April 2012, 10:27 WIB Sungguh beruntung dan mulia seseorang yang diberikan kelebihan harta, lalu mengeluarkan sebagian hartanya tersebut di jalan Allah (fi sabilillah) dengan penuh ketaatan. Dan, sungguh akan rugi dan hina orang yang memiliki kelebihan harta ketika hartanya tersebut hanya digunakan untuk bermegah-megah sehingga ia menjadi lalai dari ketaatan kepada Allah SWT. Banyak di antara kita yang sadar terhadap pentingnya berinfak dan bersedekah, tetapi terkadang tidak sadar kalau kualitas ibadah infak tersebut menjadi rusak akibat perbuatan kita sendiri. Dalam Alquran banyak ayat yang menjelaskan tentang virus-virus yang merusak amal ibdah, termasuk infak atau sedekah seseorang. Pertama, karena mengungkit-ungkit sedekah yang telah diberikan (manna) serta merendahkan dan menyakiti hati orang yang menerima pemberian tersebut (adza). Perbuatan seperti ini adalah virus yang mengakibatkan ibadah infak menjadi sia-sia, yakni tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang diinfakkannya. Amal yang demikian diibaratkan Alquran seperti debu di atas batu besar yang licin, kemudian ditimpa hujan lebat sehingga debu-debu itu menjadi sirna dan tinggallah batu itu menjadi bersih. (QS al-Baqarah [2]:264). Kedua, berinfak karena riya, yaitu pamer dan ingin dipuji oleh orang lain. Termasuk gejala virus ini adalah seseorang yang berinfak atau bersedekah dengan tujuan mendapatkan suara untuk kepentingan politiknya, bukan karena mencari keridaan Allah SWT. Perumpamaan infak seperti ini sama dengan perumpamaan di atas. Pahala dan ganjarannya luput. Ketiga, menginfakkan atau memberikan sedekah kepada orang yang membutuhkan, tapi harta atau barang yang diberikan yang paling jelek. Sedangkan, harta yang bagus justru disimpan untuk keperluan sendiri. Islam memerintahkan kepada umatnya supaya berinfak dengan harta yang paling bagus dan melarang memberikan sesuatu sebagai sedekah dengan harta yang paling buruk dan jelek. “Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya dan Maha Terpuji.” (QS al-Baqarah [2]:267). Berkaitan dengan sebab-sebab turunnya ayat tersebut, Sahal bin Hanif mengatakan, “Orang-orang terbiasa memisahkan hasil perkebunannya yang tidak berkualitas, lalu mereka mengeluarkannya sebagai ibadah sedekah. Karena itulah, Allah menurunkan ayat di atas.” (HR Abu Dawud, Nasa’i, dan Hakim). Dari penjelasan di atas, mudah-mudahan kita semua terhindar dari jenis-jenis virus tersebut. Dengan demikian, infak dan sedekah yang dikerjakan selama di dunia ini diterima di sisi Allah SWT serta mendatangkan banyak manfaat dan keutamaan bagi diri kita dan orang lain. Wallahu al-musta’an.

Senin, 09 April 2012

Logika Iman

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Nawawi

Dalam kajian epistemologi Islam disimpulkan bahwa logika manusia sangat efektif untuk bisa menerima, mencerna, sekaligus menjelaskan kebenaran. Sebaliknya, akal secara otomatis akan kehilangan kekuatan nalar rasionalnya manakala dipaksa untuk mempertahankan kebatilan.

Hal ini tidak lain karena akal adalah instrumen strategis pada setiap manusia untuk bisa memahami maksud dan kehendak Allah SWT. Melalui akal, manusia bisa mempelajari firman-Nya, meneladani rasul-Nya sekaligus mengamalkan setiap perintah dan menjauhi larangan-Nya. Namun, seiring dengan dinamika kehidupan, logika sering kali kandas ketika harus berhadapan dengan konsekuensi berat tatkala harus memeluk kebenaran.

Di sinilah logika manusia dipertaruhkan. Logika iman dan nafsu bertempur dalam hati yang gejalanya bisa dilihat dari kebingungan, kegusaran, kegelisahan, bahkan mungkin perilaku tidak rasional dari seseorang. Ketika seseorang lebih memilih logika nafsu maka ia akan semakin terjerembab pada pilihan-pilihan yang menjauhkan dirinya dari sifat-sifat kemanusiaannya.

Seperti yang telah dilakukan Firaun yang justru menajamkan logika nafsunya. Karena, sifat paranoid akan kebenaran mimpinya bahwa kelak akan ada seorang lelaki yang akan meruntuhkan kerajaan dan menggantikan tahtanya, tanpa banyak berpikir, Firaun langsung mengambil keputusan bahwa semua bayi laki-laki yang lahir di seantero Mesir harus dibunuh.

Begitu pula dengan Namrudz. Ia tega mengeluarkan perintah untuk menghukum Nabi Ibrahim AS dengan hukuman yang sangat sadis dan tak manusiawi. Ironisnya, Namrudz melakukan itu hanya karena dia kalah debat dengan Nabi Ibrahim AS soal Tuhan. Bagi Namrudz, Tuhan itu adalah berhala yang menjadi sembahannya. Sementara bagi Nabi Ibrahim AS, Tuhan itu adalah Allah SWT.

Tetapi, kebenaran adalah kebenaran. Sekalipun logika nafsu berkuasa dan menjadi penentu dalam kehidupan sosial masyarakat. Kebenaran tetap tak bisa dilenyapkan. Justru mereka yang menolak logika iman akan terjerembab dalam kenistaan, sebagaimana Firaun dan Namrudz. Oleh karena itu, ikutilah apa yang telah dibawa oleh Rasulullah kepada kita semua.

“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhanmu maka berimanlah kamu, itulah yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan Allah sedikit pun) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS [4]: 170).

Logika iman ialah daya nalar rasional yang disandarkan sepenuhnya kepada Alquran dan sunah. Jadi, pandangannya tentang baik dan buruk sepenuhnya merujuk pada apa yang baik atau buruk menurut Allah SWT. Akal dan hatinya diliputi keyakinan kuat bahwa Allah SWT benar-benar Maha Mengetahui.

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS [2]: 216).

Minggu, 01 April 2012

nilah Keistimewaan Bersedekah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein

“Allah menganugerahkannya kepada orang yang berkata baik, bersedekah, berpuasa, dan shalat di kala kebanyakan manusia tidur.” (HR.At-Tirmidzi)รข€¨

Salah satu ibadah yang dianjurkan Allah SWT adalah bersedekah, baik dikala lapang maupun dikala sempit. Sebab sedekah adalah amal kebaikan sebagaimana al-Quran surah al-A’raf ayat 16 khusus amalan sedekah dilipatkan-gandakan lagi sesuai kehendak Allah, yang kemudian ditambah lagi mendapatkan berbagai keutamaan sedekah.

Marilah kita baca hadis Rasulullah SAW; “Sesungguhnya Allah swt itu Maha Memberi , Ia mencintai pemurah serta akhlak yang mulia, Ia membenci akhlak yang buruk.” (HR. al-Baihaqi)

Hadis di atas juga kita bisa petik hikmahnya bahwa Islam sangat membenci sifat pelit dan bakhil dan sifat suka meminta-minta. Tetapi sebaliknya seorang mukmin itu banyak memberi dan pemurah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah.” (HR. Bukhari)

Kita sudah tidak membantah lagi tentang keistimewaan ibadah sedekah. Sejumlah cendekiawan dan ulama muslim mengatakan bahwa terdapat ratusan dalil yang menegaskan bahwa Allah SWT memberikan pahala yang berlipat ganda dan memuliakan kaum yang bersedekah.

Mengutip kitab yang berjudul Al Inaafah Fimaa Ja’a Fis Shadaqah Wad Dhiyaafah, terdapat keutamaan bersedekah antara lain:

Pertama, sedekah dapat menghapus dosa. Pernyataan ini diperkuat dengan dalil hadist Rasulullah saw, “Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api.” (HR Tirmidzi, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi, 614).

Pengampunan dosa ini tentu saja disertai taubat sepenuh hati, dan tidak kembali melakukan perbuatan-perbuatan tercela serta terhina seperti sengaja bermaksiat, seperti korupsi, memakan riba, mencuri, berbuat curang, atau mengambil harta anak yatim.

Kedua, bersedekah memberikan keberkahan pada harta yang kita miliki. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah saw yang berbunyi, “Harta tidak akan berkurang dengan sedekah. Dan seorang hamba yang pemaaf pasti akan Allah tambahkan kewibawaan baginya.” (HR. Muslim).

Ketiga, Allah melipatgandakan pahala orang yang bersedekah. Hal ini sebagaimana janji Allah SWT di dalam al-Quran. “Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat-gandakan (ganjarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (Qs; al-Hadid: 18)

Keempat, terdapat pintu surga yang hanya dapat dimasuki oleh orang yang bersedekah. Orang memberikan menyumbangkan dua harta di jalan Allah, maka ia akan dipanggil oleh salah satu dari pintu surga.

“Wahai hamba Allah, kemarilah untuk menuju kenikmatan”. Jika ia berasal dari golongan orang-orang yang suka mendirikan shalat, ia akan dipanggil dari pintu shalat, yang berasal dari kalangan mujahid, maka akan dipanggil dari pintu jihad, jika ia berasal dari golongan yang gemar bersedekah akan dipanggil dari pintu sedekah.” (HR Bukhari).

Dan terakhir, orang yang sering bersedekah dapat membebaskan dari siksa kubur. Rasulullah saw bersabda, “Sedekah akan memadamkan api siksaan di dalam kubur.” (HR Thabrani)
Redaktur: Heri Ruslan

Inilah Tiga Bentuk Kecerdasan Bersyukur

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab

Nikmat dan karunia Allah yang diberikan kepada umat-Nya, termasuk kepada bangsa ini, sungguh tak terbatas dan tidak akan pernah bisa dihitung tuntas. Namun, hari demi hari, waktu demi waktu, tampaknya warga bangsa ini, termasuk para pemimpinnya, tidak kunjung cerdas dalam mensyukuri nikmat-Nya. Para pemimpin yang sudah bergelimang dengan fasilitas mewah ternyata masih mengeluh dan mengeluh.

Secara psikologis, orang yang mengeluh itu pertanda sedang menderita sakit. Orang yang banyak mengeluh itu pada dasarnya terkena gangguan mental. Sebaliknya, orang yang banyak bersyukur itu pertanda sedang dalam keadaan sehat. Karena itu, bersyukur itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang sehat rohaninya.

Menurut Ibn al-Qayyim dalam kitabnya, Madarij as-Salikin, syukur itu tampak pada bibir hamba dengan mengakui dan memuji keagungan Tuhannya, dalam hatinya dengan semakin meyakini dan mencintai-Nya, dan pada anggota badannya dengan semakin tunduk, khusyuk, dan taat kepada-Nya.

Cerdas bersyukur ada tiga hal. Pertama, mengakui (i’tiraf) nikmat pemberian Allah dalam hatinya. Hati yang cerdas dan ikhlas tidak akan pernah berdusta terhadap segala anugerah yang diberikan oleh-Nya. Bersyukur harus dimulai dari kesucian hati untuk mengakui sifat Allah yang Maharahman dan Rahim. Melalui pengakuan tulus ini, hamba belajar menjadi pengasih dan penyayang serta tidak menyia-nyiakan kasih sayang-Nya.

Kedua, memuji Sang Pemberi Nikmat (Mun’im) dan membagi pemberian itu dalam bentuk perkataan dan pembaruan (tahdits) maupun perbuatan dan keteladanan (QS ad-Dhuha [93]: 11). Bersyukur bukan sekadar mengucapkan alhamdulillah, melainkan juga harus disertai dengan pendayagunaan kenikmatan itu sesuai dengan tujuan diberikannya nikmat itu.

Ketiga, menundukkan kenikmatan (taskhir al-ni’am) untuk ketaatan, bukan untuk kemaksiatan. Diberi indera pendengaran disyukuri dengan selalu mendengarkan yang positif. Mata dimanfaatkan untuk melihat yang baik-baik. Akal dimanfaatkan untuk berpikir positif dan kreatif. Kesehatan untuk kebaikan dan kemaslahatan. Diamanati jabatan sebagai pemimpin, bisa dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan kejujuran.

Jadi, cerdas bersyukur itu membuahkan ketaatan sekaligus kenikmatan. “Melaksanakan shalat itu bersyukur, berpuasa juga bersyukur, dan melaksanakan segala kebaikan karena mengharap rida Allah adalah syukur. Syukur yang paling utama adalah memuji Sang Pemberi Nikmat.” (HR Ibnu Jarir).

Cerdas bersyukur merupakan salah satu kunci kesuksesan hidup. Orang yang bersyukur pasti berusaha menjadikan kualitas hidupnya meningkat atau menjadi lebih baik. (QS Ibrahim [14]: 7).

Orang yang bersyukur akan senantiasa melihat segala hal secara jernih, objektif, cerdas, dan penuh kebersyukuran sehingga hatinya tenang, tidak waswas, tidak merasa ada ancaman atau biasa-biasa saja. Jika salah satu Asma’ al-Husna itu as-syakur (Maha Bersyukur), sudah semestinya kita sebagai hamba-Nya lebih tahu diri lagi untuk banyak bersyukur atas kemurahan dan karunia-Nya. Wallahu a’lam