Senin, 18 Juni 2012

ra’-Mikraj dan Spirit Pluralisme dalam Perintah Shalat

Oleh Sobih Adnan* “Begitu tingginya Islam mengapresiasi agama-agama sebelumnya, Cyril Glassé, mengatakan “...the fact that one Revelation should name others as authentic is an extraordinary event in the history of religions”. Perhatian Islam tersebut harus tetap kita apresiasi yakni ajakan untuk menemukan dasar-dasar kepercayaan yang sama, yang dalam hal ini tidak lain ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau tauhid, monoteisme. Ajakan itu, diperlukan, karena dasar kepercayaan atau keimanan akan sangat menentukan apakah suatu agama cukup kuat mendukung pesannya sendiri. Inti pokok dari ajaran para nabi ialah memusatkan penghambaan diri dan pengabdian mutlak hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, diikuti dengan perlawanan kepada tirani dan menegakkan keadilan dan keseimbangan. Perlawanan terhadap tirani dan keimanan kepada Tuhan adalah pegangan hidup yang kukuh, suatu kebenaran yang jelas berbeda dari kepalsuan. Karena itu Islam dan sebagaimana agama-agama sebelumnya adalah agama hanif, artinya selalu cenderung kepada yang suci dan baik.” Bagi umat Muslim, peristiwa Isra’-Mikraj merupakan ujian keimanan terbesar sepanjang masa kenabian Muhammad. Sebuah perjalanan spiritual Muhammad dari Masjid Al-Haram di Mekah menuju Masjid Al-Aqsha di Palestina. Dilanjutkan dengan “terbang” menuju Sidrat Al-Muntaha (langit lapis ke-7) yang dilakukan hanya dalam waktu semalam saja. Tentu, untuk mempercayai hal seperti ini memerlukan tingkat kepasrahan pendengar yang luar biasa, sebelum kemudian ditemukan sebuah esensi dari apa yang diperoleh dalam perjalanan istimewa Muhammad tersebut, yakni kewajiban menjalankan perintah shalat. Di sisi lain, Abu Jahal—Musuh Nabi—menemukan semacam senjata telak untuk merapuhkan komunitas muslim yang sudah mulai terbentuk. Provokasi yang diluncurkan ke tengah masyarakat Arab kali ini tidak akan sesulit saat menghadapi gagasan-gagasan Islam sebelumnya. Jika saja esensi dari perjalanan spiritual tersebut tidak segera dipaparkan Muhammad, mungkin kini dalam kajian sejarahpun Islam tidak pernah tercatat. Masyarakat Arab, Isra’-Mikraj, dan Shalat Isra’-Mikraj terjadi sekitar tahun 620-621 Masehi. Jika dalam hitungan kalender Islam peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 27 bulan Rajab. Yang menarik adalah kisah perjalanan Muhammad yang sangat membutuhkan keimanan kuat untuk mempercayainya tersebut terjadi pada tahun di mana Muhammad baru 10 tahun memproklamasikan dan berdakwah tentang keIslaman, usia yang dirasa belum cukup matang dan kuat dalam setiap sejarah komunitas, negara, terlebih agama. Maka, sangat wajar jika predikat muslim yang tingkat keimanannya masih dini tersebut harus goyah dan masyarakat Arab meresponnya dalam bentuk pengusiran Muhammad dari Makkah, bahkan percobaan pembunuhan atas dirinya. Di sisi lain Muhammad membawa pengaruh besar dalam alur dan potensi ekonomi masyarakat pada masa itu. Selain pada peternakan, persenjataan, ladang, dan lainnya, salah satu potensi ekonomi yang terbilang besar bagi masyarakat Arab adalah produksi patung-patung sesembahan. Sejak semula bendera La Ilaha Illa Allah yang dikibarkan Muhammad di mata kaum elit Arab sudah dianggap cukup mengganggu peluang ekonomi, karena para produsen patung terancam akan berkurangnya kuantitas konsumen di wilayahnya. Kemudian melalui peristiwa Isra’-Mikraj inilah Muhammad dianggap melakukan bentuk perlawanan yang lebih besar, yakni perlawanan kultural, melalui perintah shalat, gaya menyembah yang menurut mereka baru, padahal sebenarnya telah lama dilaksanakan oleh nabi-nabi lain sebelum Muhammad. Selain permasalahan teologis dan ekonomi, masyarakat Arab pada masa itu juga memiliki kekhawatiran lain dengan hadirnya berita Isra’-Mikraj yang dialami oleh Muhammad. Trend kesukuan Arab menjadi terusik dengan ritual peribadatan yang diesensikan shalat. Shalat dikampanyekan Muhammad tanpa memandang perbedaan kelas, golongan, suku, serta tingkatan ekonomi penyembah. Tidak seperti yang sebelumnya kerap mereka temui, setiap ritual, simbol, waktu, dan ruang yang digunakan untuk melakukan ibadah sarat dengan pertimbangan ekonomi dan status sosial. Hal seperti ini dipandang akan menjadi penggugat atas kekuatan dan keistimewaan Quraisy, yang pada masa itu masih berpredikat sebagai suku terkuat di jazirah Arab. Shalat, Isra’-Mikraj, dan Semangat Keberagaman Tidak secara keseluruhan para ulama menyepakati bahwa Isra’-Mikraj merupakan proses perjalanan Muhammad untuk menerima perintah shalat. Karena pada dasarnya di dalam ayat yang menerangkan tentang peristiwa Isra’-Mikraj tersebut tidak menyebutkan proses mandat tentang shalat itu sendiri. Tuhan hanya menceritakan bagaimana dengan kekuasaan-Nya mampu menjalankan seorang hamba dengan jarak tempuh yang sangat jauh, akan tetapi dalam waktu yang luar biasa singkat (Al-Isra 17: 1). Di samping itu dalam sejarah Islam juga diterangkan bahwa shalat merupakan syariat dari masa ke masa, hanya saja beberapa tamsil, ibrah, dan pengalaman nabi dalam peristiwa Isra’-Mikraj ini melahirkan kesimpulan bahwa umat Muhammad diwajibkan atasnya melaksanakan shalat wajib lima waktu. Islam tidak hanya berdiri berdasarkan suatu fondasi yang tunggal. Dapat dilihat di dalamnya bahwa Islam sebenarnya bisa dijadikan semacam refleksi agama-agama terdahulu. Dalam hal ini, ibadah shalat cukup mewakili sejarah pembentukan identitas agama Islam. Semisal, shalat Shubuh merupakan representasi dari ibadah yang pernah dilakukan oleh Adam saat turun ke bumi. Shalat Dzuhur merupakan bentuk syukur yang dilakukan Ibrahim dan Ismail atas ketuntasannya menjalankan perintah Tuhan untuk membangun rumah ibadah: Ka’bah. Shalat Ashar adalah hal yang dilakukan oleh Yunus saat mengungkapkan kepasrahan di perut ikan Nun. Shalat Maghrib merupakan bentuk permenungan dan syukur Isa atas terbebasnya Maryam dari fitnah dan tuduhan-tuduhan. Serta Shalat Isya adalah ritual syukur Musa yang selamat dari kejaran Fir’aun. Menyebutkan nama-nama nabi sebelum Muhammad memang tidak bisa dimonopoli oleh Islam itu sendiri. Karena dalam ajaran agama-agama monoteistik yang tergolong Abrahamik yakni Islam, Kristen, juga Yahudi akan bersama-sama menemukan tokoh-tokoh yang hampir sama, dan disebut nabi-nabi. Maka jika mengaitkan sejarah shalat dengan ritual –ritual yang pernah dilakukan oleh nabi-nabi terdahulu niscaya dengan sendirinya berarti menelusuri hubungan Islam dengan agama-agama yang terlahir lebih awal. Di samping itu, keberlangsungan ajaran nabi-nabi terdahulu keberadaannya harus diakui melalui para penganutnya yang hadir dan berdampingan hingga kini. Walhasil, sejarah shalat bisa dijadikan media refleksi yang strategis mengenai hubungan agama-agama, juga merupakan ibadah pokok umat Islam yang mengamanatkan tentang penghargaan dan pengakuan terhadap keberagaman. Begitu tingginya Islam mengapresiasi agama-agama sebelumnya, Cyril Glassé, mengatakan “...the fact that one Revelation should name others as authentic is an extraordinary event in the history of religions”. Perhatian Islam tersebut harus tetap kita apresiasi yakni ajakan untuk menemukan dasar-dasar kepercayaan yang sama, yang dalam hal ini tidak lain ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau tauhid, monoteisme. Ajakan itu, diperlukan, karena dasar kepercayaan atau keimanan akan sangat menentukan apakah suatu agama cukup kuat mendukung pesannya sendiri. Inti pokok dari ajaran para nabi ialah memusatkan penghambaan diri dan pengabdian mutlak hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, diikuti dengan perlawanan kepada tirani dan menegakkan keadilan dan keseimbangan. Perlawanan terhadap tirani dan keimanan kepada Tuhan adalah pegangan hidup yang kukuh, suatu kebenaran yang jelas berbeda dari kepalsuan. Karena itu Islam dan sebagaimana agama-agama sebelumnya adalah agama hanif, artinya selalu cenderung kepada yang suci dan baik. Selain tentang perintah shalat, dalam peristiwa Isra’-Mikraj Muhammad juga memperoleh pengalaman-pengalaman spiritual yang dapat dijadikan sebagai kunci toleransi agama-agama dalam konteks kekinian. Melalui beberapa ‘ibrah dan tamtsil (percontohan) juga dialog Muhammad dengan nabi-nabi sebelumnya menunjukkan tentang pentingnya tradisi keterbukaan komunikasi antar agama. Inilah Isra’-Mikraj. Seperti nabi, isra menjadikan dirinya untuk memahami keberagaman dari hal privat seperti shalat, hingga ke masyarakat dan umat. [] *Alumni Workshop Jaringan Islam Liberal (JIL) tahun 2011. Mahasiswa jurusan Pemikiran Islam, Fakultas Ushuluddin, Institut Studi Islam Fahmina (ISIF)