Selasa, 26 November 2013

Manusia Sok Suci

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dedi Efendi “Janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa” (QS an-Najm [53]: 32). Janganlah kalian menganggap diri kalian suci dan bersih kerena hakikat diri kalian berada dalam ilmu Allah SWT. Janganlah kalian memuji-muji keunggulan kalian sebab mata manusia tidaklah buta. Sungguh, tidak ada manusia yang lebih bodoh dibandingkan dengan manusia yang menganggap dirinya bersih dan suci. Tidak ada manusia yang lebih pandai dibandingkan dengan manusia yang menceritakan kebaikan dan kemuliaan dirinya. Dan, tidak ada manusia yang lebih dungu dibandingkan dengan manusia yang menganggap dirinya tidak pernah salah. Kira-kira demikianlah penjabaran dari pesan Allah SWT pada ayat di atas. Jika direnungkan, apa yang dimiliki oleh manusia hingga ia layak merasa bangga? Bukankah manusia selalu berada dalam curahan nikmat Allah SWT yang tidak akan mampu ia syukuri? Bukankah ia memiliki dosa-dosa yang belum tentu diampuni? Bukankah ia memiliki rahasia yang memalukan yang belum terbongkar? Bukankah ia masih memiliki dosa-dosa yang masih ditutupi oleh Allah SWT? Orang-orang yang bersikap demikian (mengaku diri sok bersih dan suci) tidak sadar dengan hakikat dirinya. Bukankah Allah SWT telah menerima dengan baik amal ibadahnya yang hanya sedikit, kemudian mengampuni dosanya yang sangat besar? Bukankah yang telah memberikan taufik kepadanya hingga ia mampu berpaling dari jalan yang salah adalah Allah SWT? Bukankah Allah telah menutupi kesalahan dan mengampuni dosanya? Dengan demikian, layakkah manusia memamerkan serta mengaku-ngaku bersih dan suci di hadapan Allah SWT? Sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya. Sungguh tidak layak jika seseorang yang mengaku sebagai manusia yang bersih dan suci. Pola pikir yang salah dan keinginan yang buruk telah mengilhami iblis untuk berkata kepada Allah SWT, “Aku lebih baik daripadanya karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah” (QS Shaad [38]: 76). Sifat sombong telah menyebabkan iblis menjadi makhluk terkutuk sepanjang masa. Bila manusia merasa diri sok suci dan paling bersih maka apa bedanya dia dengan perilaku iblis? Jangan sampai dia ikut terkutuk karenanya. Sifat Firaun yang merasa dirinya kuat dan mulia telah mendorongnya untuk berkata, “Bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku?” (QS az-Zukhruuf [43] : 51). Allah SWT lalu menghinakan Firaun. Qarun juga merasa dirinya bersih, kuat, dan mulia sehingga dia berkata, “Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku” (QS al Qashash [28] : 78). Dengan demikian, tidakkah manusia berusaha mengekang diri dan berhenti dari sikap demikian, kemudian menyerahkan penilaian tersebut kepada Allah SWT? Mengapa manusia masih saja menggunakan lisannya untuk menggambarkan dirinya kepada orang lain? Padahal, sikap dan perilaku sudah cukup memberikan gambaran tentang dirinya yang sebenarnya. Karena manusia dipandang bukan dari bualan tentang kebaikan dirinya, tetapi dari sikap, perilaku akhlak,dan amalannya.

Jadilah Pemenang. Hayya alal Falah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Toto Tasmara Tak perlu berkeluh kesah bila matahari tersungkur menyambut kegelapan. Karena sebentar lagi, engkau akan lihat bintang gemintang bertebaran dan bulan purnama menghangatkan penghuni bumi. Ketahuilah, kegagalan bukanlah akhir perjalanan. Kegagalan adalah berita langit yang memberikan pelajaran paling berharga untuk menapaki jalan menuju sukses. Tak perlu takut bila terjatuh. Justru merintihlah penuh rasa getir bila engkau enggan berdiri untuk bangkit. Ingatlah, Tersandung itu bukanlah jatuh! Tak ada anak kecil berlari kencang kecuali mengalami jatuh bahkan terluka. Lihatlah dengan penuh haru, betapa pepohonan di lereng–lereng gunung menyambut hembusan angin dengan wajah semringah. Karena mereka tahu, hanya pepohonan yang diterjang angin badailah yang akan tumbuh kuat mencengkeram tanah dengan akar-akarnya semakin kokoh. Layang–layang naik menjulang karena ia menentang angin, bukan mengikutinya. Kapal yang bagus bukan untuk ditonton atau ditambatkan di pelabuhan, tetapi karena kemampuannya berlayar menerjang samudera di badai topan. Allah berbisik di setiap nurani manusia yang tabah: “Apakah kamu mengira, kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah siapa orang–orang yang bersungguh–sungguh di antaramu, dan belum nyata orang–orang yang sabar. “ ( 3 : 142 ) Setiap hari, muazin selalu menyeru dan mengetuk hati nurani dengan seruan hayya 'alal falah, ayo menuju keberuntungan dan kemenangan, Tapi, renungkan dengan hati yang paling tajam, ternyata seruan hayya ‘alal falah pastilah didahului dengan seruan hayya ‘alas shalah. Seakan–akan memberi isyarat tidaklah kemenangan akan diraih kecuali engkau bergerak, qiyam ruku dan sujud. Meneteskan keringat, mengerahkan segala doa untuk merentangkan jembatan ikhtiar, agar setiap hari kita akan masuk dalam rombongan kaum beruntung, para pemenang, al Muflihuun! Generasi penerima amanah langit, bukanlah manusia kardus yang rapuh tertimpa hujan. Jiwa para pemuda yang berjiwa futuwwah (kestaria ) adalah para pemberani untuk menghadapi tantangan. Karena hanya sang juara (the champ) yang siap menerima tantangan. Sedang para pecundang, tersingkir dari gelanggang dan dilupakan. Di sini, di dalam dera dunia yang menderu debu, tidak ada tempat bagi manusia lemah yang terpuruk di balik selimut kemalasan. Di sini hanya ada tempat untuk mereka yang siap tarung menunjukkan taring dengan terang . Maka, bila mau sejenak bercermin dari para pemenang kehidupan, selalu akan kita jumpai jiwa yang tabah menempuh cita–cita. Jiwa para pemenang selalu bersuka cita, berdendang riang menghadapi tantangan dan ujian. Jangan bersedih, jangan berkeluh kesah. Karena ratapan tak pernah membuat kehidupan berhenti (Ali Imran: 139). Ya , pada kamus para pemenang, tidak akan ditemukan kata menyerah apalagi berputus asa. Mereka punya motto, pemenang tak pernah menyerah dan orang yang menyerah tak pernah menang !

Jumat, 22 November 2013

Mozaik Tokoh Islam

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Haedar Nashir Ahmad Dahlan lahir menjadi sang pencerah. Dia pembaru yang mengguncang kesadaran umat pada zamannya. Lahir di Kauman, Yogyakarta, dan wafat dalam usia muda, 54 tahun. Karya pembaruan terbesarnya ialah Muhammadiyah yang didirikan pada 18 November 1912. Kini, Muhammadiyah telah mengukir kisah sukses untuk memajukan kehidupan bangsa. Charles Kurtzman bahkan menjulukinya sebagai sosok kebangkitan Islam yang liberal. Di Jombang, Jawa Timur, lahir tokoh besar Islam yang lain, Hasyim Asy’ari. Tokoh pembaruan dunia pesantren itu memberi teladan akan kebesaran hati yang tulus. Suatu ketika, seseorang mengadu kepada Hasyim Asy’ari tentang pemikiran kontroversial Ahmad Dahlan. Apa reaksi Hadlratus Syekh? “Ahmad Dahlan punya dalil, jangan memusuhinya dan bantulah dia,” ujar pendiri Nahdlatul Ulama itu. Kiai Hasyim Asy’ari tak pernah menyerang Kiai Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya. Begitu pula sebaliknya. Kedua tokoh besar umat Islam itu memiliki hubungan dekat. Putra Kauman Yogya dan Jombang itu pernah menimba ilmu agama kepada KH Sholeh Darat di Semarang. Ketika bermukim di Makkah, keduanya bahkan sama-sama berguru kepada tokoh utama pembaru Islam, Syekh Khatib al-Minangkabawi. Dua ulama besar itu lama hidup di negeri Wahabi dan memiliki jiwa toleransi yang melintasi. Tidak ada sepercik pun sikap arogansi dan ananiyah untuk saling menegasikan hanya karena berbeda paham dan jalur perjuangan yang dipilih. Ahmad Dahlan juga berkawan dekat dengan Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, tokoh sentral pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ahmad Dahlan beberapa kali diundang ketua Sarekat Islam (SI) itu untuk memberikan pencerahan Islam yang berkemajuan di hadapan anak-anak muda haus ilmu, seperti Sukarno, Semaun, dan kawan-kawan di kediamannya di Paneleh, Surabaya. Keduanya bahkan pernah turun ke daerah, tabligh bersama di hadapan umat. Di luar itu, Ahmad Dahlan bersahabat dengan tokoh-tokoh Boedi Oetomo, kalangan sosialis, serta berinteraksi baik dengan tokoh agama lain tanpa rasa canggung. Memajukan kehidupan Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Tjokroaminoto, serta tokoh lainnya telah memberi uswah hasanah (teladan yang baik) tentang jiwa besar yang tulus, selain visi besar tentang Islam dan kemajuan hidup. Para tokoh Islam pada kemudian hari melanjutkan tradisi ukhuwah dan toleransi itu. Mas Mansur dari Muhammadiyah dan Wahab Hasjbullah dari Nahdlatul Ulama bergandengan tangan membidani Partai Islam Indonesia (1937) dan Majelis Islam ‘Ala Indonesia (1938) yang menghimpun kekuatan politik Islam. Kedua wadah umat inilah yang kelak menjadi embrio lahirnya Partai Islam Masyumi pada 1946 hingga 1962. Visi utamanya agar umat bersatu dan berjaya secara politik. Para pemimpin umat yang berjiwa besar sepanjang sejarah itu berpikir dan bekerja keras untuk kemajuan umat dan bangsanya tanpa pamrih. Mereka hidup bersahaja, tetapi pikiran-pikiran cerdas dan jiwa besarnya telah membangkitkan kesadaran umat untuk hidup berkemajuan. Mobilitas tinggi para tokoh Islam itu bahkan dikhidmatkan untuk mengurus hajat hidup umat dan negerinya hingga lupa mengurus diri dan keluarganya. Jasa mereka untuk bangsa dan negara bahkan luar biasa tanpa mengharapkan balasan, ada di antaranya, Ki Bagus Hadikusuma, Mr Kasman Singodimedjo, dan Prof Kahar Mudzakir—Allahumma yarham—hingga kini belum dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah. Kini, umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan sejagad hidup pada fase baru abad modern. Masalah dan tantangan mengadang di depan yang sarat beban dan harapan. Umat dan bangsa ini harus dipacu untuk maju di segala bidang kehidupan agar sejajar dan bahkan unggul dibanding umat dan bangsa lain. Kemajuan menjadi jantung strategis bagi tegaknya peradaban sebagai manifestasi kekhalifahan dan risalah rahmatan lil ‘alamin. Tanpa kemajuan, suatu umat dan bangsa hanya mampu bertahan hidup, bahkan lama-kelamaan punah. Islam itu sungguh agama yang berkemajuan, din al-hadlarah. Islam mengajarkan agar umatnya menjadi khayra ummah (QS Ali Imran [3]: 110). Menjadi generasi ulul albab (QS Ali Imran [3]: 190-191) dan pandai membaca tanda-tanda zaman (QS Iqra [96]: 1-5). Islam juga mengajarkan umatnya agar menjadi khalifah di muka bumi (QS al-Baqarah [2]: 30 dan Hud: 60), menjadi pelaku perubahan (QS al-Ahzab: 21), menjadi kelompok yang sadar akan masa depan (QS al-Hasyr: 18). Pendek kata, Islam mengajarkan umatnya hidup jaya di dunia dan bahagia di akhirat. Nabi Muhammad SAW mengisyaratkan, pada setiap pergantian abad, lahir para mujadid di muka bumi yang memperbaiki agamanya. Nabi dan kaum Muslimin yang dipimpinnya bahkan hadir untuk takhrij min al-zhulumat ila al-nur, mengeluarkan umat manusia dari kegelapan menuju pencerahan. Nabi akhir zaman itu bahkan mengubah Yatsrib yang semula komunal pedesaan menjadi pusat peradaban yang cerah dan mencerahkan, al-Madinah al-Munawwarah. Dari Madinah itulah, kemudian Islam menguasai dunia dan melahirkan era kejayaan berabad-abad lamanya ketika bangsa-bangsa lain tertidur lelap pada abad kegelapan. Jihad pemimpin Kemajuan merupakan keniscayaan bagi umat dan bangsa ini. Meraih kemajuan merupakan jalan jihad yang melintasi. Berlomba dengan bangsa-bangsa lain harus menjadi etos fastabiq al-khayrat. Di sinilah keniscayaan para tokoh atau pemimpin umat yang sesungguhnya, yakni menjadi lokomotif jihad meraih kenggulan dan kemajuan. Menjadi penggerak pencerahan yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan. Bukan sebaliknya, menjadi pemimpin umat yang membelenggu, memperdaya, dan membodohi umat demi mengawetkan kemapanan dirinya. Umat Islam di negeri ini banyak yang masih rentan secara ekonomi. Mereka berhadapan dengan berbagai tekanan hidup yang sangat berat. Apa yang dapat diperbuat jika umat masih dhuafa-mustadh’afin? Kondisi umat yang ringkih cenderung yadus-sufla (tangan di bawah, penerima) ketimbang yadul-'ala (tangan di atas, pemberi). Lebih banyak menjadi objek ketimbang subjek. Umat yang lemah tentu tidak akan menjadi pilar peradaban Islam yang berkemajuan. Jangankan untuk menjadi rahmatan lil-‘alamin, bahkan untuk mengurusi dirinya pun tertatih-tatih. Para tokoh Islam perlu siuman secara berjamaah atas kenyataan hidup umat yang rentan dan ringkih itu. Seraya berpikir dan bekerja keras bagaimana membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan mereka menuju kondisi yang berkeunggulan. Menjadikan umat mencapai derajat kehidupan yang maju, bersatu, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat di hadapan umat dan bangsa lain. Itulah jihad pencerahan yang berada di pundak para tokoh Islam lintas gerakan di negeri ini. Baik jihad bi al-fikri maupun jihad bi al-fi'li secara total. Pemimpin umat Islam saat ini niscaya agar progresif dan membumi, plus bekhidmat sepenuh hati. Antarpemimpin umat harus tasamuh dan tanawu’ seraya saling mendekat dan bergandengan tangan setulus hati. Cerahkan umat dengan pikiran-pikiran jernih yang mencerdaskan kehidupan dan tegaknya akhlak mulia. “Para pemimpin perlu memudakan pemikiran dan mengembangkan Islam progresif,” kata Sukarno. “Jadilah pemimpin umat meneladani Nabi yang tidur di atas alas tikar, tetapi jelajahnya mengguncang tahta Kisra,” tulis Iqbal. Maka, sungguh ironis manakala masih dijumpai pemimpin umat alergi pikiran-pikiran maju dan tidak membumi pada realitas kehidupan. Apabila mereka lebih banyak bicara ketimbang bekerja. Ketika bargairah tinggi dalam mobilitas masing-masing tanpa menyatukan pikiran dan langkah kolektif yang sinergis. Para pemimpin politiknya lebih sibuk mengurus diri ketimbang melayani umat. Tatkala para ulamanya terus memproduksi fatwa, pendapat, dan pandangan yang kontraproduktif serta mengandung antmosfir saling menyesatkan. Apalagi, kalau para tokoh umat itu saling berseberangan dan menunjukkan gestur permusuhan diam-diam. Hasil akhirnya mudah ditebak bahwa korbannya ialah umat. Umat Islam akan tetap hidup tertinggal di zona dhuafa-mustadhafin.

Belajar dari Tanah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung MA ”Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.'' (QS.22:5) Dalam Kitab Suci Al-Qur’an, ungkapan mengenai tanah banyak ditemukan dalam berbagai bentuk kata dan makna. Tanah disebut dengan turab (3:59), ath-thiin (7:12), dan al-Ardh (11:61). Kemudian, arti tanah pun meluas sesuai konteksnya. Misalnya, shalshaalin yakni tanah liat kering berkaitan dengan penciptaan manusia (15:33). Sha’idan juruza yakni tanah tandus sebagai ujian terhadap manusia (18:8). Sha’idan zalaqon yakni tanah yang licin karena basah disirami hujan (18:40). Juga sha’idan thayyiba yakni tanah yang suci untuk bertayammum (4:43). Ada pula tanah suci yang dihormati di muka bumi yang disebut haraman aaminan (28:57, 29:67), termasuk kesucian Palestina yang disebut al-ardhal muqaddasah (5:21). Tanah adalah asal manusia dan kelak akan menjadi tanah (20:55,30:20,15:28). Setelah manusia mati dan menjadi tulang belulang akan dibangkitkan kembali (23:82,37:16,53,27:67). Kelak orang kafir akan menyesal dan ingin menjadi tanah lagi (78:40). Tanah seringkali dikaitkan dengan air hujan. Banyak ayat yang menjelaskan hujan yang membasahi bumi dan kebun-kebun (2:22,265,35:27). Hujan turun ke bumi yang kering (mati), lalu Allah menyiraminya kemudian tumbuh rerumputan dan pepohonan. Hal ini diumpamakan kebangkitkan manusia di Hari Akhir (6:99,7:57,16:65,35:9). Dalam Kitab Riyaadush-Shalihiin karya Imam Nawawi, diriwayatkan dari Abu Musa ra, Nabi SAW, bersabda : “Sesungguhnya perumpamaan hidayah dan ilmu yang diberikan Allah SWT kepadaku, seperti hujan yang membasahi permukaan bumi.'' (HR. Muttafaq alaih). Dalam Hadits ini, ada tiga jenis tanah yaitu : Pertama ; Tanah Yang Subur. Kelompok ini disebut Nabi SAW. dengan naqiyyatun qobilatil maa-a fa anbatatil kala-a wal ’usybal katsiir (tanah subur yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan banyak tumbuhan dan rerumputan). Ketika musim kemarau datang, lalu langit mendung dan hujan turun menyerap ke dalam tanah. Bibit tanaman tumbuh subur dan berbuah. Tanah yang seperti ini ibarat orang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT yang senantiasa membuka hati dan pikiran untuk menerima ilmu dan hikmah. Tiada henti menuntut ilmu (thalabul ’ilmi), mengajarkan dan mengamalkannya. Mereka selalu takut kepada Allah SWT, (58:11,39:9,35:28). ”Kelebihan orang ’alim (berilmu) terhadap ’aabid (ahli ibadah yang tak berilmu) seperti kelebihanku terhadap orang yang paling rendah diantara kalian. Allah, malaikat dan penghuni langit dan bumi, sampai-sampai semut di sarangnya dan ikan di lautan, senantiasa meminta rahmat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia”. (HR.Turmudzi). Kedua ; Tanah yang Gersang. Kelompok yang kedua yaitu ajaadibu amsakatil maa-a fa nafa’allahu bihan- nasa fa syaribuu wa saqamuu wa zara’uu' (tanah yang gersang namun masih bisa menyimpan cadangan air untuk diminum, mengairi lahan pertanian dan bercocok tanam). Nabi SAW. menyebut kelompok ini sebagai orang yang tidak bisa mengangkat kepalanya, yakni mengabaikan ilmu dan hidayah yang sudah diterimanya. Mereka adalah orang-orang yang berilmu pengetahuan tapi tidak mengajarkan dan mengamalkannya dengan baik. Mereka tahu kebenaran dan kebaikan, namun hanya menyampaikan kepada orang lain. Mengajak orang berbuat baik tapi ia sendiri tidak melakukannya (2:44) dan berkata tapi tak berbuat (61:2-3). Pepatah mengatakan, ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon tak berbuah' (al-‘ilmu bilaa ‘amalin kasy-syajarin bilaa tsamarin). Kelompok manusia seperti ini adalah orang fasik yakni berdosa besar. Hidayah dan ilmunya tidak bisa menerangi jalan hidupnya, meskipun bermanfaat bagi orang lain. Ketiga ; Tanah yang Tandus. Kelompok ketiga yaitu qii’aanun laa tumsiku maa-an wa laa tunbitu kala-an (tanah tandus yang sama sekali tidak bisa menyimpan air dan menumbuhkan tanaman). Tanah jenis ketiga diibaratkan orang yang tidak mau menerima hidayah Allah. Mereka tidak mau belajar dan menuntut ilmu, tidak mau meminta dan menerima nasehat apalagi memberi manfaat bagi orang lain. Ibarat tanah, ia tandus dan berbatu tak bisa ditanami, tak mengandung air untuk dijadikan sumur. Ia hanya hamparan tanah kosong yang tandus dan tak disenangi manusia. Lahirnya manusia hidup tapi seperti mayit berjalan, karena tidak memberi manfaat bagi orang lain, bahkan untuk dirinya sendiri. Kehadirannya hanya menjadi beban dan ganjala. Merekalah orang-orang kafir dan munafik (2:6-20,9:84). Begitu indahnya Allah SWT dan Rasul-Nya memberi perumpamaan. Sungguh, nasehat tersebut sangat menyentuh dan menyentil kita. Seakan Allah SWT dengan bijak dan santun mengingatkan agar kita menjadi kelompok yang pertama, yakni laksana tanah yang subur. Bukan kelompok kedua apalagi yang ketiga. Kalaupun dalam hidup ini kita sering melakukan dosa, namun jika penyesalan masih muncul itu pertanda akan ada kesempatan melakukan kebaikan. Nasehat Imam Ibn Athaillah patut menjadi motivasi. ”Ma’shiatun awrosat dzullan waftiqooron khairun min thaa’atin awrosat ’izzan wastikbaaron (kemaksiatan yang menimbulkan rasa hina dan penyesalan, lebih baik dari pada ketaatan yang melahirkan rasa bangga dan kesombongan). Allahu a’lam bish-shawab. Ketua Yayasan Dinamika Umat dan Dosen Unida Bogor

Selasa, 12 November 2013

Subhanallah, Inilah Keutamaan Sedekah Air

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Moch Hisyam Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Suatu saat ada seorang laki-laki berjalan dan di tengah-tengah perjalanan ia mengalami kehausan. Kemudian, ia mendapatkan sebuah sumur, lalu turun ke dalamnya dan minum darinya. Lantas ia keluar dan tiba-tiba ada seekor anjing yang menjulur-julurkan lidahnya menjilat-jilat tanah karena kehausan, lalu orang itu berkata, ‘Anjing ini benar-benar telah kehausan seperti saya tadi juga kehausan. Ia pun turun ke sumur lagi dan mengisi sepatunya dengan air sampai penuh. Kemudian, ia menggigit sepatunya sehingga ia naik ke atas dan memberi minum anjing itu. Allah pun memuji perbuatan orang itu dan mengampuni dosanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kalau kita menolong binatang juga mendapatkan pahala?” Beliau menjawab, “Menolong setiap makhluk yang mempunyai limpa yang segar itu mendatangkan pahala.” Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dikatakan, “Kemudian Allah memuji perbuatan orang itu dan memberi ampunan kepadanya serta memasukkannya ke dalam surga.” (Muttafaq ‘Alaih) Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim lainnya disebutkan, “Suatu saat ada seekor anjing yang berputar-putar di sekitar sumur yang hampir mati karena kehausan. Kemudian, ada seorang pelacur dari Bani Israil yang melihat anjing itu, lalu ia melepas sepatunya dan mengambilkan air untuk anjing itu, dan ia pun meminumkannya kepada anjing itu. Maka, diampunilah dosa orang itu lantaran perbuatannya itu.” (Bukhari dan Muslim) Banyak hikmah yang dapat kita ambil dari kisah-kisah di atas. Salah satunya adalah keutamaan memberikan atau bersedekah air kepada yang membutuhkan, baik kepada golongan manusia maupun binatang. Itu karena mengalirkan air kepada yang membutuhkannya, baik terhadap manusia maupun makhluk lainnya, merupakan suatau kewajiban. Perilaku tersebut merupakan amal utama yang bisa mendekatkan seorang manusia kepada Allah SWT. Selain itu, dalam hidupnya, manusia maupun makhluk lainnya sangat bergantung pada ketersediaan air. Air merupakan salah satu sumber kehidupan bagi manusia dan makhluk lainnya. Tanpa adanya air, sulit bagi makhluk hidup, terutama manusia, untuk dapat bertahan hidup. Oleh karena itu, memberikan air sama dengan memberikan kehidupan bagi orang lain dan menjaga keberlangsungan hidupnya. Oleh karena itulah, memberikan atau bersedekah air merupakan amal utama. Dalam suatu kesempatan, Saad bin Ubadah RA bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sedekah apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Memberi air.” (Shahih Abu Daud). Oleh karena itu, hendaknya kita berupaya untuk memberi atau bersedekah air kepada orang atau makhluk lain yang membutuhkannya. Sebab, ketika kita melakukan hal ini berarti kita telah melakukan amal utama yang akan mendatangkan pahala, pengampunan dosa, dan jalan meraih surga. Memberi atau bersedekah air dapat diwujudkan dengan memberikan air minum secara langsung kepada orang yang kehausan ataupun kepada binatang lain yang sedang mengalami kehausan. Selain itu, bersedekah pun dapat diwujudkan dengan membangun sumber air atau mengalirkan air ke tempat-tempat yang sulit atau kekurangan air sehingga masyarakat atau lingkungan sekitarnya merasakan kemudahan mendapatkan air, baik untuk minum maupun untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Wallahu’alam.

Jumat, 08 November 2013

Hijrah Sejati: Momentum Perbaikan Akhlak

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ina Salma Febriany “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS : At Taubah (9):36). Dzulhijjah telah pergi, Muharram pun tiba. Muharram, sebagai bulan yang ditetapkan sebagai awal pergantian tahun hijriyah dilakukan pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, yang menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw dari Mekah ke Madinah. Kalender Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan, dengan jumlah hari berkisar 29-30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman Allah pada surah at-Taubah ayat 36 di atas. Sebelumnya, orang Arab pra-kerasulan Rasulullah Muhammad SAW telah menggunakan bulan-bulan dalam kalender hijriyah ini. Hanya saja mereka tidak menetapkan ini tahun berapa, tetapi tahun apa. Misalnya saja kita mengetahui bahwa kelahiran Rasulullah SAW adalah pada tahun gajah. Abu Musa Al-Asyári sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu itu. Mereka adalah Utsman bin Affan r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Sa’ad bin Abi Waqqas r.a., Zubair bin Awwam r.a., dan Thalhah bin Ubaidillah r.a. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam. Ada yang mengusulkan berdasarkan milad Rasulullah saw. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad saw menjadi Rasul. Dan yang diterima adalah usul dari Ali bin Abi Thalib r.a. yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah SAW dari Makka ke Yatstrib (Madinah). Maka semuanya setuju dengan usulan Ali r.a. dan ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya Rasulullah saw. Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriyah ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku pada masa itu di wilayah Arab. Sejarah hijrah memang tak terlepas dari berpindahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah, sesuai dengan perintah Allah untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Namun, hijrah era kekinian dipahami sebagai bentuk transformasi global di seluruh lapisan masyarakat. Jika kita mengamati pemberitaan akhir-akhir ini, maka keadaan yang memiriskan ialah kasus adegan seks yang menimpa generasi muda. Mereka, yang diharapkan menjadi ‘ dzurriyah’ yang memiliki iman, takwa, serta kecerdasan yang membanggakan justru sebaliknya. Rasa malu tak terhingga dirasa oleh guru, kepala sekolah, kawan-kawan, terlebih orang tua. Menanggapi kasus ini, ada sebagian kalangan yang menyalahkan teknologi, ada pula yang menuding orangtua, karena kurangnya pengawasan. Lebih dari itu, masa remaja adalah masa pencarian jati diri. Tentu semua pihak berpengaruh dalam masa-masa ini. Dampak negatif dan positif dari teknologi pasti berpengaruh jika kurangnya kontrol dari segenap pihak. Oleh sebab itu, adanya perhatian khusus dari orangtua, pembekalan dari para guru, serta kesadaran spiritual dan sosial siswa menentukan sikap anak-anak remaja kita saat ini. Sejatinya, pemaknaan hijrah sangatlah dekat, tak perlu mengukur jarak antara Makkah-Madinah. Cukuplah kesadaran pribadi sebagai ukuran, bahwa hijrah sejati ialah perpindahan dinamis—meminimalisasi akhlak madzmumah menuju akhlak mahmudah. Wallahu a'lam bish shawwaab..

Tahun Baru Hijriah 1435 H

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr HM Harry Mulya Zein Tidak terasa beberapa hari lagi kita umat islam akan memasuki tahun baru Hijriah 1435 H. Rasanya peringatan tahun baru hijriah ini kurang diingat, khususnya bagi umat muslim. Sesungguhnya momentum pergantian tahun ini sudah sepantasnya memberikan makna semangat baru untuk berbuat amal kebajikan, untuk bekal menghadap sang Ilahi. Selain itu peringatan tahun baru ini memberikan keyakinan bahwa waktu merupakan merefleksikan diri dalam kehidupan dunia yang akan dipertangungjawabkan di akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-Quran yang berbunyi artinya, “Adalah orang yang merugi jika hari ini sama dengan hari kemarin dan hari esok lebih buruk dengan hari ini. Dan kamu akan termasuk kaum yang beruntung jika hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.” Pemahaman itu memberikan keyakinan bagi kita bahwa waktu bukan sekadar kumpulan angka-angka yang tertera pada jarum jam atau di kalender. Tetapi waktu adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT, Sang Pemilik Zaman. Memaknai pergantian tahun itu sebagai momentum perubahan budaya secara individual (ibda’ binafsih), keluarga dan masyarakat yang selama tahun sebelumnya mungkin masih ada kekurangan atau kealpaan, diarah lebih baik di masa mendatang. Perubahan ini bisa terjadi apabila setiap jiwa umat Islam mampu ‘menghijrahkan’ seluruh kekuatannya (pemikiran dan tindakannya) bagi kemajuan dalam kehidupan secara pribadi. Perubahan yang dimulai dari rumah tangga dan dilanjutkan melalui lembaga pendidikan akan membawa dampak positif sejalan dengan perkembangan. Semua itu harus dimulai dari sekarang sebagai menciptakan generasi muda Islami yang mampu melakukan perubahan dalam kehidupan. Sebab sudah digariskan dalam Islam bahwa“Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang akan mengubahnya”. Karena itu ada tidaknya perubahan dalam kehidupan seseorang atau kelompok masyarakat sangat tergantung pada individu atau kelompok tersebut. Itu langkah minimal yang sejatinya dilakukan setiap muslim dalam memaknai pergantian tahun ini. Intinya, Islam juga mengajarkan, bahwa hari-hari yang dilalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Setiap Muslim dituntut untuk selalu berprestasi, yaitu menjadi lebih baik dari hari ke hari, begitu seterusnya. Dengan keyakinan itu, maka orientasi kerja-kerja keduniaan yang selama ini kita lakukan patut kiranya di tahun 1435 H kita rubah berdasarkan pada nilai-nilai kebajikan (ma’rufat) dan membersihkannya dari pelbagai kejahatan (munkarat). Dalam hal ini, ma’rufat mencakup segala kebajikan (virtues) dan seluruh kebaikan (good qualities) yang diterima oleh manusia sepanjang masa, sedangkan munkaratmenunjuk pada segenap kejahatan dan keburukuan yang selalu bertentangan dengan nurani manusia. Nilai kebaikan bisa diejawantahakn dengan bekerja berprinsip nilai kejujuran dan profesionalitas. Sikap jujur sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW agar dapat berperilaku yang baik dengan “menjauhi dusta karena dusta akan membawa kepada dosa dan dosa membawamu ke neraka. Biasakanlah berkata jujur karena jujur akan membawamu kepada kebajikan dan membawamu ke surga.” (HR Bukhari dan Muslim). Pribadi yang jujur merupakan roh kehidupan yang teramat fundamental, karena setiap penyimpangan dari prinsip kejujuran pada hakikatnya akan berbenturan dengan suara hati nurani. Seperti contoh, para penyelenggara negara pada setiap aktivitas dalam rangka melayani masyarakat tentunya tidak menanggalkan prinsip kejujuran. Dengan pemahaman itu, maka sepatutnya pergantian tahun baru Hijriah 1435 ini kita jadikan sebagai momentum mengubah diri menuju perubahan dalam segala bidang sebagai upaya penyatuan umat Islam Indonesia. Momentum hijriyah ini dinilai tepat untuk mengukit prestasi secara individu serta kelompok.

Senin, 04 November 2013

Orang Terakhir yang Masuk Surga

A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Oleh HM Rizal Fadillah Surga nanti adalah tempat kembali yang menyenangkan, diberikan kepada hamba yang beriman, serta tempat berkumpul orang-orang yang banyak beramal saleh. Keluarga juga akan ber-reuni di surga. “(Yaitu) Surga ‘Adn mereka masuk ke dalamnya bersama dengan orang yang saleh dari bapak ibu dan nenek moyangnya, suami-istrinya, serta anak cucu dan keturunannya. Dan para Malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu. (Sambil mengucapkan), “Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu”. Maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu. (QS AR Ra’du 23-24.) Sementara itu neraka adalah tempat yang buruk. “Dan orang-orang yang melanggar janji kepada Allah setelah diikrarkan, dan memutuskan apa yang diprerintahkan Allah untuk disambungkan, dan berbuat kerusakan di muka bumi, mereka memperoleh kutukan dan tempat kediaman yang buruk (Neraka Jahannam)” (QS Ar Ra’du 25). Seorang ahli zuhud kenamaan Ibnu as Sammak mengunjungi saudaranya yang ingin meminta nasihat kepadanya. “Wahai Ibnu as Sammak, kedudukan nasihat bagi telinga ibarat tabib bagi orang sakit, maka siramilah aku sedikit saja dengan nasehatmu”. Dengan suara datar Ibnu as Saammak kemudian berkata, “Tidakkah engkau khawatir jika kesalahan-kesalahanmu tidak akan dihapus dan dosa-dosamu tidak diampuni ? Lalu di hadapanmu ada kegelapan, kengerian, dan kepedihan. Yang pertama kegelapan alam kubur, kemudian kedahsyatan alam mahsyar, kemudian kegetiran alam penantian, kemudian ketegangan alam titian dan timbangan amal, kemudian putuslah harapan, kemudian Yang Maha Raja dan Yang Mahatinggi memberi ketetapan !” Orang itu bertanya, “Kemudian apa setelah itu ?” Ibnu as Sammak meneruskan, “Memikul beban amal sendiri dan masuk neraka. Yang lebih menyiksa dari itu adalah celaan dan kutukan Dzat Yang Maha Raja, Yang Mahatinggi!” Dalam riwayat diterangkan bahwa di samping tentang keabadian neraka juga ada proses pembersihan yang kemudian membawanya ia ke dalam surga. Allah Yang Maha Penyayang menunjukkan kemurahan kepada hamba-hamba-Nya yang meski berdosa namun tetap diberi rahmat pada akhirnya. Dari Abdullah Ibnu Mas’ud r.a katanya, “Bersabda Rosulullah SAW : Saya mengetahui orang yang terakhir keluar dari neraka dan terakhir pula masuk surga, yaitu seorang laki-laki yang keluar dari api neraka sambil merangkak. Berkata Allah Ta’ala kepadanya: “ Pergilah engkau masuk surga !” Orang itu pun segera berjalan. Sesampai di sana dilihatnya seolah-olah surga telah penuh sesak. Orang itu lalu kembali dan berkata : “Ya Allah ! hamba dapati surga itu telah penuh.” Berkata Allah Ta’ala kepadanya, “Pergilah masuk !“ Orang itu kembali lagi dan dilihatnya masih dalam keadaan penuh, karena itu ia kembali pula menghadap Allah mencerirakan keadaannya seperti semula. Demikianlah orang itu pulang pergi berkali-kali antara surga dan hadirat Allah Ta’ala. Akhirnya Allah berkata kepadanya : “Masuklah engkau ke dalam surga ini. Untukmu seluas dunia dan ditambah sepuluh kali seluas dunia !” Maka berkata orang itu , “Apakah Tuhanku mengejek hamba, padahal Tuhanku adalah Raja ?” Kata Abdullah, “Saya lihat Rasulullah SAW tertawa sehingga tampak gerahamnya seraya berkata,“Orang itulah yang dikatakan penghuni surga yang terendah derajatnya”. (HR Muslim). Dalam Hadis Muslim yang lain dari Abu Dzar ra katanya, ”Bersabda Rasulullah SAW : saya mengetahui orang yang terakhir keluar dari api neraka dan terakhir pula masuk surga yaitu seorang laki-laki yang dibawa di hari kiamat lalu dikatakan dihadapannya : ”Perlihatkanlah kepadanya dosa-dosa yang ringan dan dikatakan kepadanya ‘Pada hari anu dan hari-hari anu engkau telah berbuat ini berbuat itu’ Jawab orang itu ‘Benar !” Dan tidaklah ia dapat mangkir, sedangkan dia khawatir akan diperlihatkan dosa-dosa yang berat berat. Maka dikatakan kepadanya :”Perbuatanmu yang buruk telah diganti dengan kebajikan”. Maka berkatalah orang itu, “Ya Allah! hamba telah berbuat ini dan itu yang belum diperlihatkan!” Kata Abu Dzar, “Kulihat Rasulullah SAW tertawa sehingga tampak gerahamnya”. Orang terakhir yang masuk surga adalah orang terselamatkan bukan karena amalnya, tapi karena anugerah Allah. Happy ending mewarnai akhir episode dari dinamika kehidupan manusia yang berdosa, bodoh, lugu, dan banyak membantah. Tersirami oleh air kesejukkan Allah yang Maha Pemurah. Rasulullah SAW pun tertawa hingga tampak gerahamnya. Gembira melihat umatnya selamat.

Mahalnya Nilai Kejujuran

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr HM Harry Mulya Zein Kejujuran terkesan sudah menjadi sesuatu yang mahal di negeri ini. Berbuat dan berkata dusta (berbohong) terkesan menjadi suatu hal yang lumrah. Kedustaan seakan diumbar tanpa memiliki rasa bersalah dan takut akan ganjaran dosa. Individu, masyarakat dan bangsa yang sudah tidak mengutamakan kejujuran dipastikan kehancuran akan mudah menghampiri kita. Kejujuran adalah dasar dari kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa. Kejujuran adalah prasyarat utama pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang berlandaskan prinsip saling percaya, kasih sayang, dan tolong menolong. Kejujuran adalah inti dari akhlak yang merupakan salah satu tujuan dari diutusnya Rasulullah oleh Allah SWT. Hakikat kejujuran ialah mengatakan sesuatu dengan jujur di tempat (situasi) yang tidak ada sesuatu pun yang menjadi penyelamat kecuali kedustaan. Secara psikologis, kejujuran akan mendatangkan ketentraman jiwa. Sebaliknya seseorang yang tidak jujur pasti tega melakukan perbuatan serta menutupi kebenaran. Kedustaan dan ketidakjujuran akan selalu meresahkan masyarakat, yang pada gilirannnya akan mengancam stabilitas sosial. Ketidakjujuran selalu akan melahirkan kepada ketidakadilan, disebabkan karena orang yang tidak jujur akan tega menginjak-injak keadilan demi keuntungan material pribadi atau golongannya saja. Pribadi yang jujur merupakan roh kehidupan yang teramat fundamental, karena setiap penyimpangan dari prinsip kejujuran pada hakikatnya akan berbenturan dengan suara hati nurani. Seperti contoh, para penyelenggara Negara pada setiap aktivitas dalam rangka melayani masyarakat tentunya tidak menanggalkan prinsip kejujuran. Kejujuran juga akan melahirkan penghargaan terhadap hak hak orang lain. Sebab kejujuran sebagaimana yang telah kita uraikan diatas juga akan menumbuhkembangkan kecintaan terhadap kebenaran, keadilan dan kedisiplinan. Namun kejujuran tidak akan datang begitu saja, tetapi harus diperjuangkan dengan sabar dan sungguh-sungguh. Seorang ulama menegaskan bahwa ada beberapa faktor yang dapat membantu kita dalam mencoba meraih kejujuran. Pertama, akal yang wajib memandang buruk kedustaan apalagi jika kedustaan itu sama sekali tidak mendatangkan kemanfaatan dan tidak mencegah bahaya. Kedua, agama dan syariat yang memerintahkan untuk mengikuti kebenaran dan kejujuran serta memperingatkan bahaya kedustaan. Ketiga, kedewasaaan diri kita yang menjadi salah satu faktor pencegah kedustaan dan kekuatan pendorong menuju kebenaran. Keempat, memperolah kepercayaan dan penghargaan masyarakat. Ada sebuah kata mutiara; “Jadikanlah kebenaran (al Haq) sebagai tempat kembalimu (rujukanmu), kejujuran segai tempat pemberangkatanmu, sebab kebenaran adalah penolong paling kuat dan kejujuran adalah pendamping utama”. Terakhir, ada baiknya kita menyimak pidato Abu Bakar ash-Shiddiq ra. yang dilansir dari kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, bab Masa Khulafaur Rasyidin, karya Ibnu Katsir. Selepas dibaiat, Abu Bakar mulai berpidato setelah memuji Allah Pemilik segala pujian, ‘Amma ba’du, “Para hadirin sekalian, sesungguhnya aku telah terpilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik. Maka jika aku berbuat kebaikan bantulah aku. Dan jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sementara dusta adalah suatu pengkhianatan.” Karena itu, sejatinya pribadi Muslim untuk terus membangun kejujuran dalam melakukan semua aktivitas.

Tahun Baru Hijriah 1435 H

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr HM Harry Mulya Zein Tidak terasa beberapa hari lagi kita umat islam akan memasuki tahun baru Hijriah 1435 H. Rasanya peringatan tahun baru hijriah ini kurang diingat, khususnya bagi umat muslim. Sesungguhnya momentum pergantian tahun ini sudah sepantasnya memberikan makna semangat baru untuk berbuat amal kebajikan, untuk bekal menghadap sang Ilahi. Selain itu peringatan tahun baru ini memberikan keyakinan bahwa waktu merupakan merefleksikan diri dalam kehidupan dunia yang akan dipertangungjawabkan di akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-Quran yang berbunyi artinya, “Adalah orang yang merugi jika hari ini sama dengan hari kemarin dan hari esok lebih buruk dengan hari ini. Dan kamu akan termasuk kaum yang beruntung jika hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.” Pemahaman itu memberikan keyakinan bagi kita bahwa waktu bukan sekadar kumpulan angka-angka yang tertera pada jarum jam atau di kalender. Tetapi waktu adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT, Sang Pemilik Zaman. Memaknai pergantian tahun itu sebagai momentum perubahan budaya secara individual (ibda’ binafsih), keluarga dan masyarakat yang selama tahun sebelumnya mungkin masih ada kekurangan atau kealpaan, diarah lebih baik di masa mendatang. Perubahan ini bisa terjadi apabila setiap jiwa umat Islam mampu ‘menghijrahkan’ seluruh kekuatannya (pemikiran dan tindakannya) bagi kemajuan dalam kehidupan secara pribadi. Perubahan yang dimulai dari rumah tangga dan dilanjutkan melalui lembaga pendidikan akan membawa dampak positif sejalan dengan perkembangan. Semua itu harus dimulai dari sekarang sebagai menciptakan generasi muda Islami yang mampu melakukan perubahan dalam kehidupan. Sebab sudah digariskan dalam Islam bahwa“Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang akan mengubahnya”. Karena itu ada tidaknya perubahan dalam kehidupan seseorang atau kelompok masyarakat sangat tergantung pada individu atau kelompok tersebut. Itu langkah minimal yang sejatinya dilakukan setiap muslim dalam memaknai pergantian tahun ini. Intinya, Islam juga mengajarkan, bahwa hari-hari yang dilalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Setiap Muslim dituntut untuk selalu berprestasi, yaitu menjadi lebih baik dari hari ke hari, begitu seterusnya. Dengan keyakinan itu, maka orientasi kerja-kerja keduniaan yang selama ini kita lakukan patut kiranya di tahun 1435 H kita rubah berdasarkan pada nilai-nilai kebajikan (ma’rufat) dan membersihkannya dari pelbagai kejahatan (munkarat). Dalam hal ini, ma’rufat mencakup segala kebajikan (virtues) dan seluruh kebaikan (good qualities) yang diterima oleh manusia sepanjang masa, sedangkan munkaratmenunjuk pada segenap kejahatan dan keburukuan yang selalu bertentangan dengan nurani manusia. Nilai kebaikan bisa diejawantahakn dengan bekerja berprinsip nilai kejujuran dan profesionalitas. Sikap jujur sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW agar dapat berperilaku yang baik dengan “menjauhi dusta karena dusta akan membawa kepada dosa dan dosa membawamu ke neraka. Biasakanlah berkata jujur karena jujur akan membawamu kepada kebajikan dan membawamu ke surga.” (HR Bukhari dan Muslim). Pribadi yang jujur merupakan roh kehidupan yang teramat fundamental, karena setiap penyimpangan dari prinsip kejujuran pada hakikatnya akan berbenturan dengan suara hati nurani. Seperti contoh, para penyelenggara negara pada setiap aktivitas dalam rangka melayani masyarakat tentunya tidak menanggalkan prinsip kejujuran. Dengan pemahaman itu, maka sepatutnya pergantian tahun baru Hijriah 1435 ini kita jadikan sebagai momentum mengubah diri menuju perubahan dalam segala bidang sebagai upaya penyatuan umat Islam Indonesia. Momentum hijriyah ini dinilai tepat untuk mengukit prestasi secara individu serta kelompok

Minggu, 27 Oktober 2013

Fluktuasi Keimanan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Imanuddin Kamil Dalam tatanan berbangsa dan bernegara, fluktuasi nilai tukar (mata uang) menjadi problem serius yang mengancam. Melemahnya nilai tukar membuat stabilitas ekonomi, politik, sedikit goyah. Jika tidak ditangani dengan cepat, tentu akan menjadi krisis multidimensi. Pada akhirnya, negara dalam ambang kebangkrutan. Fenomena fluktuasi berlaku juga dalam kaidah keimanan. “Iman itu bertambah dan berkurang,” sabda Rasulullah SAW. Iman itu fluktuatif, kadang naik, kadang turun, menguat dan melemah, pasang dan surut. Iman akan bertambah dengan tha’ah dan berkurang dengan maksiat. Fenomena melemahnya keimanan diindikasikan dengan kelesuan dalam melakukan setiap bentuk ketaatan. Malas beribadah, malas membaca Alquran, malas berinfak dan berzakat, merasa berat datang ke majelis ilmu, berat untuk berbuat kebaikan. Pendeknya, lemah iman telah membuat hati dan jiwa kehilangan antusiasme beramal. Pada saat yang sama, gelora untuk berbuat yang tidak baik semakin menguat. Sebab, lemah iman akan menjadikan hati dan jiwa rentan terhadap segala bentuk dan perilaku maksiat. Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah seorang pezina itu berzina, ketika ia memiliki kesempurnaan iman. Dan tidaklah seorang pencuri itu mencuri, ketika ia memiliki kesempurnaan iman serta tidaklah seseorang itu meminum khamr, ketika ia memiliki kesempurnaan iman. Sedangkan pintu tobat masih terbuka setelah itu." (HR Muslim) Dampak dari melemahnya keimanan tentu jauh lebih dahsyat dari sekadar melemahnya nilai mata uang. Lemah iman tak hanya menyengsarakan di dunia, tapi juga di akhirat kelak. Imbas melemahnya keimanan tak hanya mengantarkan bangsa dan negara pada ambang kebangkrutan, tapi juga kehancuran. Kesadaran akan ancaman ‘fluktuasi keimanan’ haruslah menjadi hal penting dalam keberislaman kita. Kemungkinan berkurangnya iman seharusnya membuat kita lebih serius dalam menjaga, merawat, dan memperhatikan perkembangan keimanan. Bahkan, harus jauh lebih serius dibanding perhatian yang diberikan untuk fisik atau jasad. Rasulullah SAW berkali-kali mengingatkan kita untuk senantiasa memperbarui keimanan. "Perbarui iman kalian," sabdanya. Tajdidul iman (memperbarui keimanan) bukan berarti mengulangi keislaman dengan menganggap keislaman atau keimanan yang lalu batal. Tajdidul iman lebih tepat adalah merupakan sebuah bentuk kompensasi kita, usaha kita untuk menjaga kestabilan iman, mengontrol kadar iman yang dimiliki sekaligus meningkatkan kualitasnya. Ada beberapa sebab yang dapat mendongkrak kadar keimanan seseorang sehingga kerja dari tajdidul iman-nya menjadi lebih terarah. Pertama, banyak berzikir. Kedua, tilawah Alquran. Ketiga, menadaburi dan menafakuri ayat-ayat Allah. Kegiatan ini bisa menjadi media taqarub kepada Allah sekaligus meningkatkan kadar iman. Keempat, bergaul dan menyertai orang-orang saleh. Ini bisa dilakukan dengan menghadiri majelis ilmu, majelis zikir, menjalin silaturahim, atau mungkin dengan mem-follow akun-akun yang bisa memberi manfaat, pencerahan, nasihat, dan tausiah. Wallahu a’lam.

Jumat, 25 Oktober 2013

Belajar Ketaatan dari Nabi Ibrahim

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Soraya Khoirunnisa Halim Tanggal 10 Dzulhijjah adalah hari istimewa dimana Umat Muslim di seluruh dunia merayakan Hari Raya Idul Adha. Pada hari tersebut Umat Muslim bersuka cita menikmati daging kurban. Menikmati kelezatan daging yang kita santap seharusnya membuat kita teringat akan peristiwa luar biasa yang menjadi “cikal bakal” Hari Raya Idul Adha. Hari Raya Idul Adha yang kita nantikan setiap tahunnya adalah hadiah besar dari Allah SWT atas keta’atan Nabi Ibrahim dan juga Isma’il. (QS. As-Shaaffaat:102-111) Hadiah besar yang diberikan Allah karena keta’atan paripurna dua makhluknya, namun berkah hadiah itu turut kita nikmati sampai sekarang. Bertahun-tahun lamanya Nabi Ibrahim menantikan hadirnya seorang anak, sampai akhirnya Allah memberikan kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. (QS. As-Shaaffaat: 101). Dialah Isma’il. Tentu tidak dapat dilukiskan bagaimana kegembiraan Nabi Ibrahim. Namun rupanya Allah menguji kecintaan dan keta’atan Ibrahim kepada-Nya. Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk meninggalkan istri dan anaknya yang baru lahir di sebuah padang pasir gersang. Tidak ada tumbuhan, tidak ada air, apalagi makanan. Hati suami dan ayah mana yang tega meninggalkan orang yang dicintainya dalam keadaan seperti itu. Namun Subhanallah, Nabi Ibrahim menjalankannya. Pun dengan istrinya Siti Hajar. Dia ikhlas ditinggalkan suami di padang pasir gersang tersebut. Hanya dia dan anaknya. Siti Hajar yakin, bahwa Allahlah yang menjamin kehidupannya dan anaknya. Juga kehidupan seluruh manusia di muka bumi ini. Demikianlah, Allah mengganti ketaatan dan pengorbanan Siti Hajar dengan berkah yang luar biasa besar. Padang pasir gersang menjadi daerah subur penuh kekayaan alam. Didatangi oleh beratus-ratus juta jamaah setiap tahunnya. Air Zamzam yang tidak pernah kering. Itulah hadiah keta’atan Siti Hajar. Berkahnya masih kita rasakan sampai sekarang. Dengan kekuasaan-Nya, Allah kemudian mempertemukan Ibrahim dengan putra tercintanya, Ismail. Rasa rindu yang luar biasa terbayar sudah melihat anaknya Ismail telah tumbuh menjadi remaja yang saleh. Bahagia sekali rasanya hidup bersama lagi dengan istri dan anak yang dicintainya. Namun rupanya ujian keta’atan belum usai. Melalui mimpi, Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya sendiri. Ismail yang begitu dicintainya. Tatkala Ibrahim menceritakan mimpinya kepada Ismail, Ismail menjawab dengan jawaban yang luar biasa. “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, InsyaAllah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. (QS. As-Shaaffaat:102) Jawaban yang memberitahu kita seberapa besar ketaatan Isma’il kepada Allah. Maka ketika Ibrahim mulai melaksanakan apa yang diperintahkan Allah melalui mimpinya, maka pada saat itulah Allah menebus Ismail dengan seekor sembelihan yang besar. Peristiwa inilah yang menjadi dasar disyari’atkannya qurban yang dilakukan pada hari raya haji. Itulah hadiah besar Allah kepada Nabi Ibrahim dan Ismail atas keta’atan mereka. Hadiah yang turut kita nimati sampai saat ini. Maka, pada Hari Raya Kurban ini, hendaklah kita juga belajar ketaatan Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan juga Nabi Ismail. Sehingga Idul Adha yang kita rayakan setiap tahun tidak hanya berlalu begitu saja. Sekedar berlalu dengan menikmati daging kurban. Namun juga menambah ketaatan kita kepada Allah. Itulah hikmah terbesar daripada Idul Adha. Wallahua’lam.

Keimanan Bukan Warisan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini Peribahasa mengatakan, “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Maksudnya, perilaku seorang anak umumnya tidak akan jauh berbeda dari perilaku orang tuanya. Ringkas kata, orang tua yang baik biasanya melahirkan anak yang baik. Demikian pula sebaliknya, anak yang durhaka biasanya lahir dari orang tua yang durhaka pula. Dalam istilah lain, orang tua bisa diibaratkan mata air dan anak laksana aliran sungainya. Maksud dari perumpamaan ini, mata air yang bersih akan mengalirkan air yang jernih. Sementara, mata air yang kotor tentu mengalirkan air yang keruh. Itulah hukum alam alias sunnatullah yang berlaku di jagat raya ini. Dari sejarah kita mendapatkan informasi seputar sosok-sosok orang tua saleh yang juga memiliki anak-anak saleh. Sebut saja, misalnya, Nabi Ibrahim (1997-1822 SM) yang memiliki putra Nabi Ismail (1911-1774 SM) dan Nabi Ishak (1897-1717 SM), Nabi Ya’kub (1837-1690 SM) memiliki putra Nabi Yusuf (1745-1635 SM), Nabi Daud (1041-971 SM) memiliki putra Nabi Sulaiman (989-931 SM), dan Nabi Zakaria (91 SM-1 M) memiliki putra Nabi Yahya (31 SM-1 M). Kendati demikian, realitas sejarah juga menunjukkan bahwa peribahasa yang sudah sekian lama kita amini itu tidak mutlak kebenarannya. Fakta demikian dikonfirmasi oleh praktik keseharian kita. Bahkan, Al-Qur’an sendiri banyak bercerita tentang beberapa orang tua yang sangat taat tetapi justru melahirkan anak-anak yang luar biasa jahat. Dengan demikian, Al-Qur’an seolah menegaskan kepada kita bahwa buah memang bisa saja jatuh jauh dari pohonnya. Simak kisah Qabil, putra sulung Nabi Adam (5872-4942 SM). Meski putra kandung seorang utusan Allah yang mulia, pembunuhan pertama dalam sejarah manusia justru dilakukan Qabil. Kedengkian telah mendorongnya tega menghabisi adik kandungnya, Habil. Melihat kurban kambing milik Habil diterima Allah sementara kurban gandumnya ditolak, muncul amarah di hati Qabil. Ditambah keputusan sang ayah untuk menikahkan dirinya dengan Labuda yang jelek, sementara Habil dengan Iklima yang molek, dendamnya semakin membara. Bulat sudah hatinya untuk melenyapkan nyawa Habil yang sama sekali tidak berdosa. “...ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Dia (Qabil) berkata, ‘Aku pasti membunuhmu!’ Habil berkata, sungguh Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa. Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sungguh aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam’.” [QS Al-Maidah: 27-28]. Kisah serupa juga terjadi pada Kan’an, putra sulung Nabi Nuh (3993-3043 SM). Menurut Salim Bahreisyi, Nabi Nuh adalah keturunan Nabi Adam yang kesembilan dan merupakan Nabi keempat sesudah Nabi Adam, Nabi Syits (3630-2718 SM), dan Nabi Idris (4533-4188 SM). Ayahnya bernama Lamik bin Metusyalih bin Idris. Tidak kurang 950 tahun, Nabi Nuh mengajak kaumnya kepada ajaran tauhid. Meski siang dan malam berdakwah dalam durasi waktu sepanjang itu, jumlah pengikut Nabi Nuh hanya 70 orang dan delapan anggota keluarganya. Ironisnya, para penentang Nabi Nuh bukan hanya dari orang luar, melainkan juga putra kandungnya sendiri, Kan’an. Kedurhakaan Kan’an sungguh antitesis dari ketaatan sang ayah. Bahkan, Kan’an masih kukuh pada pendiriannya ketika Allah sudah menurunkan azab berupa banjir dahsyat. Dia tetap ogah turut dalam rombongan kapal Nabi Nuh. Berulang kali Nabi Nuh memanggilnya, tetapi Kan’an memilih untuk menaiki gunung tertinggi yang dipikirnya dapat menyelamatkan dirinya dari luapan banjir bandang itu. Seketika tubuh Kan’an disambar gelombang ganas, sehingga lenyap dari pandangan mata ayahnya. Timbullah naluri kebapakan Nabi Nuh. Seraya menanggung duka, Nabi Nuh mengadukan keluh kesah kepada Allah. Tetapi, Allah menjawabnya dengan perintah supaya dia mencoret Kan’an dari daftar nama keluarganya, karena telah menyimpang dari ajaran kebenaran. Kedukaan Nabi Nuh itu direkam dengan jelas dalam Al-Qur’an. “Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata, ‘Ya Tuhanku, sungguh anakku itu termasuk keluargaku, dan sungguh janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya’. Allah berfirman, ‘Wahai Nuh, sungguh dia bukanlah termasuk keluargamu. Sungguh (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sungguh Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan’.” [QS Hud: 45-46]. Kisah Al-Qur’an berhenti di situ. Dibeberkan pula kisah-kisah seputar sosok terhormat yang justru lahir dari orang tua terlaknat. Lihatlah Nabi Ibrahim. Nabi dan Rasul keenam yang dilahirkan di sebuah tempat bernama Faddam A’ram di wilayah Babilonia itu dikenal sebagai Abu Al-Anbiya’ (Bapak Para Nabi). Di negeri yang subur dan makmur itu, Nabi Ibrahim berdakwah kepada para penyembah berhala yang dikomandani Namrud bin Kan’an bin Kusi (2275-1943 SM), penguasa Babilonia kala itu. Nabi Ibrahim bahkan satu-satunya orang yang berani menghancurkan patung-patung berhala yang menjadi sesembahan penduduk negerinya. Putra siapa gerangan Nabi Ibrahim yang tangguh dan gagah berani itu? Azar bin Nahur, begitulah nama ayahnya. Dia adalah seorang pemahat dan penjual patung berhala. Melihat kegigihan Nabi Ibrahim memberangus patung-patung berhalanya, tentu saja Azar marah hebat. Nabi Ibrahim kerap menerima cemoohan, kekasaran, bahkan pengusiran dari ayahnya. Al-Qur’an mengisahkan betapa dakwah santun dari Nabi Ibrahim kepada ayahnya disambut dengan cacian dan sumpah serapah. “...‘Wahai Bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun. Wahai Bapakku, sungguh telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai Bapakku, jangan engkau menyembah setan. Sungguh setan itu durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Wahai Bapakku, sungguh aku khawatir bahwa engkau akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha Pemurah, maka engkau menjadi kawan setan’. Bapaknya berkata, ‘Apakah kamu benci kepada tuhan-tuhanku, Wahai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama’.” [QS Maryam: 42-46]. Keteguhan akidah Nabi Ibrahim jelas bertolak punggung dengan kemusyrikan ayah kandungnya. Persis kisah Nabi Musa (1527-1407 SM). Meski bukan anak kandung Fir’aun (1232-1224 SM), namun Nabi Musa telah dipungut raja durjana bernama Minephtah itu selama 18 tahun. Pertama melihat peti berisi bayi lelaki yang dipungut pembantunya dari sungai Nil itu, Fir’aun segera memerintahkan orang untuk membunuhnya. Tetapi, Fir’aun tidak mampu berbuat banyak, karena permaisurinya, Asiah, sangat menyayangi bayi mungil yang merupakan putra Yukabad itu. Sekali-kali tidak terlintas di benak Fir’aun bahwa kekejaman dan kepongahannya kelak akan berakhir di tangan seorang bayi yang justru diasuh dan dibesarkan dalam istananya. Itulah kenapa ketika Nabi Musa dan Nabi Harun (1531-1408 SM) mendatangi Fir’aun untuk menyampaikan risalah dakwah dan membebaskan Bani Israil dari kekejamannya, Fir’aun tampak begitu geram. Dia merasa selama ini telah membesarkan anak singa yang kini bersiap menerkam dirinya. Kemarahan Fir’aun ini telah dikisahkan Allah dalam Al-Quran. “Fir'aun menjawab, ‘Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. Dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu, dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna’.” [QS Asy-Syuara: 18-19]. Makna dari semua kisah di atas tentu saja keimanan merupakan hidayah dari Allah semata, bukan warisan dari nenek moyang. Kewajiban kita adalah terus berusaha dan berdoa, agar menjadi pribadi beriman sekaligus sanggup melahirkan generasi yang juga beriman kepada Allah. Semoga kita semua termasuk golongan hamba Allah yang selamat di dunia ini dan akhirat nanti.

Doa Empat Sahabat

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh; Muh Nursalim Ketika tawaf, kita saksikan jamaah berebut mencium Hajar Aswad, bahkan hingga terluka atau tidak sengaja melukai orang lain. Ikhtiar itu tidak keliru. Sebab, Rasulullah juga mencium batu hitam tersebut tatkala mengawali memutari Ka’bah. Di samping itu juga ada informasi yang sahih bahwa multazam yang berada di antara Ka’bah dan pintu Ka’bah merupakan tempat mustajab untuk berdoa. Kita jarang mendapati jamaah berebut memegang Rukun Yamani. Padahal, tempat itu juga salah satu tempat mustajab. Informasi ini terdapat dalam kitab Ahbar Makah lil al-Fakihi dan kitab Majabu ad-Dakwah. Disebutkan bahwa Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Mus’ab bin Zubair, dan Abdul Malik bin Marwan tengah berbincang di seputar Ka’bah. Seseorang di antara mereka berkata, “Hendaklah kalian berdiri dan memegang Rukun Yamani dan berdoa kepada Allah atas keinginannya.Sebab, Allah akan mengabulkan berkat keluasan-Nya. Berdirilah, wahai Abdullah bin Zubair. Sebab, engkau adalah orang yang pertama dilahirkan setelah hijrah.” Lalu, Abdullah bin Zubair berdiri memegang Rukun Yamani dan berdoa, “Ya Allah, Engkau Mahaagung. Aku mohon dengan kehormatan wajah-Mu dan kehormatan Arsy-Mu serta kehormatan rumah-Mu. Janganlah engkau matikan aku sebelum aku menjadi penguasa negeri Hijaz.” Lalu, ia duduk. Kemudian, Mus’ab bin Zubair ganti berdiri dan memegang Rukun Yamani lantas berdoa, “Ya Allah, Tuhan segala sesuatu. Kepada-Mulah segala sesuatu berakhir. Aku mohon kepada-Mu dengan kuasa-Mu atas segala sesuatu, janganlah Engkau matikan aku sebelum aku menjadi penguasa Irak dan menikah dengan Sukinah binti Husein.” Lalu, ia duduk. Kemudian, berdirilah Abdul Malik bin Marwan seraya memegang Rukun Yamani dan berdoa, “ Ya Allah, Tuhan tujuh langit dan Tuhan bumi dengan segala tumbuhan yang ada. Aku mohon dengan hamba-hamba-Mu yang taat dan aku mohon dengan kehormatan wajah-Mu, dan aku mohon dengan segala makhluk-Mu, serta dengan semua orang yang sedang tawaf. Aku mohon kepada-Mu, janganlah engkau matikan aku sehingga Engkau anugerahkan aku kekuasaan bumi timur dan barat, dan tidak ada orang yang mengudetaku sehingga ia aku penggal lehernya.” Lalu, ia duduk. Setelah itu, berdirilah Abdullah bin Umar seraya memegang Rukun Yamani dan berdoa, “Ya Allah, Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, aku mohon kepadamu dengan rahmat-Mu yang mendahului murkamu dan aku mohon kepadamu dengan takdir-Mu atas semua makhluk-Mu… janganlah engkau matikan aku sehingga Engkau menunjukkan aku sebagai ahli surga.” Berkata as-Sya’bi, yang melihat peristiwa itu, “Selama hidup aku menyaksikan keempat orang tersebut mendapatkan apa yang mereka minta. Dan, Abdullah bin Umar diberi kabar gembira sebagai ahli surga.” Para sahabat adalah generasi Muslim terbaik sebab mereka mendapat pengajaran Islam langsung dari Rasulullah. Mereka berdoa dengan permintaan yang sangat tinggi dan Allah telah mengabulkannya. Untuk itu, rasanya para jamaah haji perlu meniru “kesuksesan” mereka dalam berdoa dengan memegangi Rukun Yamani. Langkah ini selain untuk memecah konsentrasi jamaah di Hajar Aswad, juga untuk membuktikan bahwa Rukun Yamani ternyata juga merupakan tempat mustajab. Wallahu’alam.

Selasa, 22 Oktober 2013

Empat Amanat Rasulullah SAW di Padang Arafah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh HM Rizal Fadillah Pada 9 Dzulhijjah jamaah haji melaksanakan wukuf di Arafah. Sebagai rukun haji, wukuf merupakan kegiatan ibadah yang penting bahkan dapat disebut terpenting. Sah tidaknya berhaji ditentukan oleh berwukuf tidaknya ia di Arafah. Mereka yang sakitpun selama masih ada nafasnya dibawa ke tempat ini. Ia wukuf sebentar lalu kembali ke rumah sakit yang merawatnya. Di Arafah ini turun ayat terakhir Alquran “Pada hari ini telah Aku sempurnakan Agama untuk kalian dan telah Aku cukupkan ni’mat-Ku kepada kalian, dan telah Aku ridloi Islam sebagai Agama kalian” (QS Al Ma’idah 3). Kegiatan yang menyertai shalat, dzikir dan do’a adalah khutbah. Rasulullah SAW berkhutbah sebelum shalat Dzuhur dan Ashar jama qashar taqdim. Khutbah inilah yang dikenal dengan khutbah wada (khutbah terakhir) karena disampaikan saat beliau berhaji terakhir (hijjatul wada’). Sabda Nabi “Ambilah dariku cara kalian bermanasik haji, mungkin sehabis tahun ini aku tidak akan menunaikan ibadah haji lagi” (HR Muslim). Beliau berkhutbah dengan penuh kesungguhan dan mohon perhatian yang sangat dari jama’ah. Pentingnya isi khutbah, sampai sampai di akhir khutbah Beliau mengangkat telunjuknya ke langit dan menunjuk orang banyak “Allahummasyhad... Allahummasyhad...Allahummasyhad..!” (Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah !). Adapun amanat penting itu ada empat hal, yaitu: Pertama, “Inna dimaa-a-kum wa amwaalakum haroomun ‘alaikum” (Sesungguhnya darahmu dan hartamu haram atasmu sekalian). Ini adalah amanah untuk menjaga persaudaraan. Dilarang sesama mu’min untuk saling menumpahkan darah, menyakiti, dan mengambil hartanya dengan cara yang zalim. Sebaliknya satu dengan yang lain dituntut untuk saling menjaga kehormatan dan kewibawaannya. Mu’min adalah cermin dari saudaranya. Kedua, “Wa ribaal jaahiliyyati maudhu’un” (dan riba jahiliyah itu terlarang). Riba adalah perbuatan dosa dan memakannya sama dengan memakan duri di neraka. Ini menyangkut pergaulan ekonomi yang mesti dilakukan secara halal. Tidak mengandung unsur riba, judi (maisir) dan penipuan (gharar).Meminjamkan uang bukan dengan motif ingin pengembalian yang lebih banyak, melainkan dengan semangat menolong orang yang mengalami kesulitan. Melapangkannya akan berakibat kelapangan di akherat. Ketiga, “Fattaquullaha fien nisaa-i fainnakum akhodztumuhunna biamaanillah” (Jaga dan bertakwalah kepada Allah dalam hal perempuan, sesungguhnya engkau mengambilnya dengan amanah Allah). Begitu mulia Nabi mengamanatkan persoalan istri. Menjaga badan dan hatinya karena Allah. Sikap suami kepada istri menjadi indikator kemuliaan dan kehinaan dirinya sebagaimana Sabda Nabi “Tidaklah memuliakan istrinya selain orang mulia, tidaklah menghinakannya selain dia orang yang hina”. Keempat, “Wa qad taraktu fiikum maa lan tadhilluu ba’dahu in i’tashomtum bihi kitaaballahi” (Dan sesungguhnya aku tinggalkan kepadamu yang jika berpegang padanya tak akan sesat selama-lamanya, Kitabullah). Alquran adalah warisan Allah ‘tsuma awrotsnal kitaab’ yang menjadi bukukeselamatan hidup di dunia dan akherat. Sekeras dan segila apapun zaman yang ada, jika Al Qur’an tetap dibaca dan dijadikan pedoman, maka Allah pasti akan melindungi dan menyelamatkannya. Namun sebaliknya, melepaskan atau menjauhi Alqur’n maka sudah dapat dipastikan Allah akan melepaskan pula dirinya dan Ia pun akan menjadi sasaranpenyesatan dari orang-orang rusak yang ada di zaman itu. Begitulah esensi khutbah Nabi. Amanat Arafah beliau SAW bukan hanya terdengar oleh mereka yang berhaji, tetapi gaungnya terdengar jauh ke ruang yang lebih luas. Dulu, kini, dan yang akan datang. Pada tahun 11 Hijriyah bulan Shafar Rosulullah SAW sakit keras, semakin lama semakin lemah. Sinyal wada’ (perpisahan) saat haji mulai terasa. Demamnya semakin tinggi “demam yang kurasakan sama dengan demam yang dirasakan oleh dua orang diantara kalian”. Nabi berada dipangkuan Siti Aisyah. “Aku merasakan beliau semakin berat dipangkuanku, kuperhatikan wajahnya ternyata penglihatannya memudar, lalu memejamkan mata seraya berucap: Ar Rofiqul A’laa minal Jannah ! (Ar Rofiqul A’laa dari Surga !)”. Saat itu wafatlah Rasulullah SAW.

Paradoks Haji dan Realita Sosial

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Prof Dr Hj Masyitoh MAg (Rektor Univeritas Muhammadiyah Jakarta) Setiap tahun jamaah haji Indonesia terus meningkat secara kuantitas, tapi secara kualitas patut dipertanyakan. Indikatornya banyak, yang nampak kasat mata adalah kesalehan sosialnya. Mereka yang berangkat ke tanah suci Mekah, seolah sulit dibendung meski pada saat multikrisis. Hal itu menandakan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang cukup mampu dalam hal materi. Multikrisis yang mendera bangsa akhir-akhir ini tidak banyak berpengaruh pada kantong-kantong pribadi sebagian besar masyarakat kita. Namun sejalan dengan itu, ternyata masih banyak rakyat yang berada dalam keprihatinan ekonomi, seakan-akan tidak ada lagi perasaan keadilan di negeri ini. Yang kaya terus meningkatkan kekayaannya tanpa mau berbagi dengan orang-orang yang miskin, kalau pun berbagi, tidak ada artinya. Sehingga, jurang antara kaum “the have” dengan kaum dhuafa semakin dalam. Bahkan di tengah masyarakat kita, banyak yang lebih mengutamakan egoismenya untuk pergi haji, sudah haji sekali, ingin dua kali, tiga kali dan seterusnya. Sehingga umat Islam yang belum pernah berhaji semakin panjang antriannya untuk menunggu kuota dan kesempatan berhaji. Masyarakat mampu secara ekonomi lebih banyak mengutamakan ibadah individu dari pada ibadah sosial. Jangan-jangan ketika para jemaah haji Indonesia berdoa di multazam pun, mereka hanya berdoa untuk kesuksesan dan kemakmuran diri sendiri saja, tanpa mau mendoakan masyarakat Indonesia yang sedang krisis tauladan ini. Itu juga sebabnya mungkin mengapa Allah kurang mendengar doa jamaah haji kita, karena mereka hanya berdoa untuk kepentingan diri dan keluarga saja. Mungkin ada yang mendoakan bangsa Indonesia ini, namun senyatanya kondisi negara kita tidak banyak berubah. Doa para hujjaj ini belum dapat menyelesaikan berbagai kesulitan bangsa, karena tidak datang dari lubuk hati yang paling dalam. Banyak para tokoh yang sedang bermasalah, mereka pergi ke tanah suci Mekah, namun apakah ritual di tanah suci dapat menyelesaikan masalah bangsa? Adakah korelasi antara ibadah haji kita dan para pemimpin bangsa dan penyelesaian berbagai masalah bangsa ini? Bisa jadi ibadah itu hanya sekedar simbol dan acara ritual semata, bukan ibadah yang merasuk ke dalam hati dan jiwa yang membuahkan alam pikiran dan perilaku yang tercerahkan, perilaku yang membebaskan kehidupan, perilaku yang menjadi rahmatan lil ‘alamin. Dr Ali Syariati – seorang intelektual Iran yang pemikirannya banyak dijadikan referensi, dalam bukunya Hajj: Reflection on its Rituals memberikan refleksi bahwa Haji adalah sebuah “simbol”. Semakin dalam engkau menyelami lautan ini, semakin jauh engkau dari tepiannya. Haji adalah samudera tak bertepi. Makna haji itu sesuai dengan ‘pemaknaanmu’ sendiri. Jika ada yang mengaku paham keseluruhan makna haji, maka sesungguhnya ia tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang haji. Esensi ritual haji adalah evolusi eksistensial manusia menuju Allah. Haji merupakan drama simbolik dari filsafat penciptaan anak cucu Adam. Refleksi Ali Syariati ini tidak berlebihan, karena banyak orang yang terjebak dengan gerakan ritual fisik dalam ibadah haji, tanpa mendalami pemaknaan bathin yang hakiki. Banyak orang menunaikan ibadah haji ke Mekkah, tapi mungkin tak meraih ma’rifat. Mereka bertawaf mengelilingi Ka’bah, tapi tak berjumpa dengan Tuhan. Mereka ber-sa’i penuh gairah, tapi tak menghayati makna pergulatan Siti Hajar berlari antara bukit Shafa dan Marwa untuk putra tercinta Ismail. Mereka mabit di Mina, namun tak meraih muhasabah diri yang teduh. Mereka berwukuf di terik Arafah sebagai puncak ritual ibadah haji, tapi tak meraih pembebasan diri selain berdoa dan menangis tersedu-sedu untuk kesaktian diri, mereka bahkan melempar jumrah dengan semangat dan ambisius, tapi tak pernah berani melempar setan yang bersarang dalam dirinya. Semestinya para hujjaj itu bertemu atau napak tilas dengan nabi Ibrahim. Belajarlah kepada nabi yang disebut kekasih Allah itu. Nabi yang bertauhid setelah mengalami proses pencarian Tuhan yang demikian panjang. Nabi yang berserah diri secara total ketika diminta mengurbankan putra tercintanya Ismail, padahal kehadiran sang anak telah dirindukannya demikian lama. Nabi yang beristrikan Siti Hajar seorang budak namun Ibrahim tetap penuh cinta kasih, dan tingkah lakunya dilambangkan dalam ibadah sa’i dalam rangka memperjuangkan kebutuhan putra terkasihnya Ismail, sebagai tanggung jawab seorang ibu. Nabi Ibrahim yang selalu mencintai kemakmuran rakyat dan negerinya melalui doanya yang muktabar: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri (Mekkah) ini aman sentosa dan hindarkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah berhala.” (QS. Ibrahim: 35) Kita semua tahu bahwa mayoritas penduduk Indonesia ini beragama Islam, tapi berapa banyak yang Islamnya hanya sebatas ritual, bukan spiritual. Banyak di antara umat Islam yang rajin ke masjid, rajin mengaji, rajin puasa dan mengeluarkan zakat, namun hal itu baru sebatas ritual, sedangkan Islam spiritual akan tercermin dalam perilaku sehari-hari. Apakah kita sudah merasa takut kepada Allah di manapun berada, sehingga kita tidak akan pernah melakukan perbuatan yang tidak baik, itulah makna ihsan, karena kita selalu merasa bahwa seluruh sepak terjang kita senantiasa dalam pengawasan Allah Swt. Apakah kita dengan segera membantu saudara-saudara kita yang terkena musibah, selalu menjaga perasaan orang lain tatkala berbicara, selalu merendahkan diri dan tidak mengumbar kesombongan? Itu di antara bentuk Islam spiritual. Orang yang telah melaksanakan ibadah haji dan kembali ke dalam kehidupan masyarakat, seyogyanya mereka lebih dekat kepada Allah dan keimanannya kepada Allah lebih kuat, seperti yang digambarkan dalam thawaf mengelilingi ka’bah ketika mereka berhaji. Jiwa pengorbanan mereka terhadap kaum yang lemah dan miskin seharusnya lebih tajam seperti yang tergambar dalam ritual sa’i antara bukit Shafa dan Marwa. Mereka seharusnya lebih sering mengintrospeksi diri atau muhasabah an-nafsi seperti yang tergambar ketika mereka bermalam atau mabit di Mina. Jiwa mereka seharusnya lebih tenang dan sabar seperti saat mereka wukuf di Arafah. Mereka seharusnya dapat mengusir hawa nafsu syaitan yang menyesatkannya seperti yang tergambar saat mereka melempar jumroh. Ketika seseorang memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Ka’bah, ia telah berusaha menemukan arah perjalanan hidupnya dan meneguhkan arti keberadaannya. Karena haji adalah gerakan, gerakan adalah Islam, Islam adalah jalan dan orientasinya adalah tauhid. Dengan kata lain, haji merupakan awal migrasi dari pemujaan diri sendiri menuju pencarian keridhaan ilahi, dari ketidakberdayaan menuju ketaqwaan, dari keragu-raguan (ambivalensi) menuju keteguhan hati, dari multiteisme menuju monoteisme. Itulah sekelumit refleksi pemaknaan ibadah haji. Jika kita meyakini tauhid sebagai poros dalam kehidupan beragama, maka simbol-simbol dalam idadah haji akan mampu menyatu dalam alam pikiran dan akan menyingkap tirai keangkuhan, kecongkakan, dan kelalilaman yang sementara ini masih kita peluk dengan eratnya. Pada akhirnya kita akan menjadi orang Islam yang tidak hanya melaksanakan ibadah ritual, tapi juga Islam secara spiritual. Wallahu a’lamu bis shawab.

indahnya doa

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini Namanya Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Ju’fi Al-Bukhari (196 H/810 M-256 H/870 M). Siapa saja yang belajar hadis pasti mengenal ulama bernama populer Imam Bukhari ini. Lahir di Bukhara, Uzbekistan, dia adalah ahli hadis termasyhur sepanjang masa. Tetapi, tahukah Anda bahwa ulama yang hafal puluhan ribu hadis beserta detail sanadnya ini pernah mengalami kebutaan sewaktu kecil? Adalah sang ibunda yang begitu sedih melihat kondisi Bukhari kecil. Ibnu Hajar dalam ‘Hadyu As-Sari’ meriwayatkan bahwa ibunda Imam Bukhari tiada henti berdoa untuk memohon kesembuhan putranya. Allah akhirnya mengabulkan doanya. Pada suatu malam, ibunda Imam Bukhari bermimpi melihat Nabi Ibrahim yang berkata, “Hai Fulanah, sungguh Allah telah mengembalikan penglihatan putramu karena seringnya engkau berdoa.” Pagi harinya, ibunda Imam Bukhari menyaksikan bahwa penglihatan putranya telah kembali normal. Subhanallah. Itulah keajaiban sebuah doa. Simak pula kisah yang dialami Nabi Zakaria (91 SM-1 M) sebagaimana dituturkan Al-Qur’an. Dalam usia senja, Nabi Zakaria gelisah karena belum juga dikaruniai keturunan. Kendati demikian, pantang bagi Nabi dan Rasul Allah ke-22 ini patah arang. Siang dan malam dia terus melabuhkan doa kepada Allah supaya memberinya seorang putra sebagai pewaris obor perjuangan. “Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah dan telah menyala uban di kepalaku, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, Ya Tuhanku. Dan sungguh aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahkanlah aku seorang putra dari sisi Engkau, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub. Dan jadikan dia, Ya Tuhanku, seorang yang diridai.” (QS Maryam: 4-6). Ajaib. Allah menjawab doanya. Padahal, usia Nabi Zakaria saat itu sudah mencapai sembilan puluh tahun dengan kondisi istri, Hannah, yang mandul. Tidak ada yang mustahil bagi Allah. Setiap doa yang keluar dari ketulusan nurani dan kebersihan jiwa akan mengubah segala yang tampaknya tidak mungkin menjadi mungkin. Inilah kabar bahagia bagi kaum beriman. Apalagi Allah sendiri telah menegaskan akan mengabulkan setiap doa hamba sepanjang dia mau taat kepada-Nya. “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, jawablah bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS Al-Baqarah: 186). Memahami ayat di atas, tentu tidak alasan bagi kaum beriman untuk enggan berdoa. Jangan sampai ada anggapan bahwa peran doa sangat sedikit dalam pencapaian sebuah keberhasilan. Itulah pola pikir orang yang sombong dan tidak tahu diri. Merasa diri hebat sehingga perlu mengesampingkan campur tangan Allah dalam setiap tarikan gerak dan langkah. Termasuk pola pikir picik juga ketika orang mau berdoa tetapi minus kemantapan bahwa doanya itu akan didengar Sang Maha Penentu Keputusan. Allah pasti mendengar setiap keluh kesah, sekalipun yang tidak pernah terucap. Tidak ada relung jiwa manusia yang tidak mampu ditembus Allah. Jarak antara Allah dan kita sangat dekat, melebihi urat leher. “Sungguh Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui segala yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS Qaf: 16). Itulah kenapa Islam adalah agama yang sangat kaya doa. Tiada laku kehidupan Muslim yang tidak dimulai dan dipungkasi dengan doa. Menurut Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ada dua macam doa: doa ibadah (penghambaan) dan doa masalah (permintaan). Seluruh ibadah dalam rukun Islam hakikatnya adalah doa. Karena, rangkaian gerakan dan ucapan di dalamnya berintikan permohonan rida Allah. Paketnya langsung dari nas. Kita tinggal pakai, tanpa boleh berkreasi. Lain lagi dengan doa masalah, seperti permintaan pengampunan, kebahagiaan, belas kasih, penghidupan, kesuksesan, dan semacamnya. Meskipun bacaan dari Al-Qur’an dan hadis diutamakan, tetapi kita masih boleh berkreasi dengan bahasa sendiri. Terkabulnya doa jenis ini sangat bergantung kualitas doa ibadah kita. Masih banyak kisah keajaiban doa yang tidak mungkin dikutip semua di sini. Atau boleh jadi malah sudah Anda alami sendiri. Pastinya, tidak ada makhluk di kolong jagat ini yang bisa mengerahkan secuil daya dan upaya sekalipun, tanpa belas kasih dan uluran pertolongan Allah. Tantangan Allah sebagaimana disampaikan kepada kaum kafir Makkah sudah jelas, “Katakanlah, ‘Panggillah mereka yang kalian anggap tuhan selain Allah, niscaya mereka tidak akan memiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya dari kalian dan tidak pula memindahkannya’.” (QS Al-Isra’: 56). Alangkah lebih mulia sekiranya kita sanggup merenungkan dan mengamalkan firman Allah berikut. “Berdoalah kepada Tuhan kalian dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kalian membuat kerusakan di bumi, sesudah Allah memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harap. Sungguh rahmat Allah itu amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-A’raf: 55-56).

Rabu, 24 Juli 2013

Umat Istimewa di Bulan Istimewa

< REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Ustaz Ahmad Dzaki MA Bulan Ramadhan adalah bulan yang ditunggu-tunggu umat Islam untuk melaksanakan ibadah shaum. Bulan ini sangat istimewa karena bulan ini adalah bulan suci yang banyak dimanfaatkan umat Islam melakukan ibadah di siang dan malam hari. Kedatangan bulan Ramadhan tidak disia-siakan oleh umat islam. Mereka berlomba-lomba memperbanyak ibadah di bulan suci ini. Keistimewaan bulan ini banyak diterangkan dalam Al-Qur’an ataupun hadis Rasulullah SAW, bahkan umat Islam merupakan umat yang sangat beruntung di dunia ini dibandingkan dengan umat lain, terutama dalam melaksanakan ibadah shaum di bulan Ramadhan. Sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda, ''Ketika memasuki bulan suci Ramadhan Allah SWT memerintahkan Malaikat Ridwan penjaga pintu surga. “Wahai Ridwan, bukalah pintu-pintu surga untuk umat Nabi Muhammad yang melaksanakan ibadah shaum.” Lalu Allah SWT memerintahkan Malaikat Malik penjaga pintu neraka, “Wahai Malik, tutuplah pintu-pintu neraka dari umat Nabi Muhammad yang melaksanakan ibadah shaum.” Lalu Allah SWT memerintahkan Malaikat Jibril, “Wahai Jibril, turunlah ke bumi, ikatlah setan-setan dengan tali yang kuat, kemudian lemparkanlah mereka ke dalam lautan yang jauh supaya mereka tidak merusak shaum umat kekasihku Muhammad SAW.” Lihatlah hadis di atas. Menjelang bulan suci Ramadhan Allah SWT memerintahkan tiga malaikat untuk melaksanakan tugas yang Allah perintahkan dengan maksud agar shaum umat Nabi Muhammad di bulan Ramadhan ini baik. Alangkah istimewanya umat Nabi Muhammad SAW. Perintah Allah kepada Malaikat Ridwan, mengisyaratkan agar umat Islam melaksanakan shaum dengan sebaik-baiknya, bukan sekadar menahan lapar dan haus, tapi seluruh anggota tubuh juga shaum. Selain itu, di bulan Ramadhan umat Islam juga dianjurkan memperbanyak ibadah karena ganjaran pahala yang berlipat, dan semua ibadah lain yang dianjurkan di bulan suci Ramadhan. Semuanya untuk kepentingan umat Islam. Maka wajarlah kalau semua ibadah di bulan Ramadhan diganjar oleh Allah dengan ganjaran surga, itulah arti dari perintah Allah kepada Malaikat Ridwan menjelang bulan suci Ramadhan. Perintah Allah kepada Malaikat Malik, mengisayaratkan kepada umat Islam untuk menghindari perbuatan dosa, meninggalkan perbuatan yang menjurus kepada kemaksiatan, karena perbuatan tersebut pasti akan diganjar oleh Allah dengan neraka. Sedangkan perintah Allah kepada Malaikat Jibril, mengisyaratkan kepada umat Islam agar melaksanakan shaum Ramadhan dengan sebaik-baiknya, agar hasil Ramadhan dapat diraih yaitu menjadi umat yang bertaqwa. Beruntuglah umat Islam yang melaksanakan ibadah shaum di bulan Ramadhan. Mereka dijaga oleh tiga malaikat menjelang masuknya Ramadhan, agar ibadah shaum mereka tetap baik dan tidak rusak.

Sabtu, 20 Juli 2013

Meraih Derajat Takwa

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Naharus Surur Sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam QS:2:183, puasa diwajibkan bagi orang beriman agar mendapatkan kedudukan takwa di sisi-Nya. Puasa yang kita lakukan, tidak saja menahan lapar, dahaga dan hasrat biologis (sexual), namun juga menahan panca indra dan hati dari perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Semua hal tersebut dilakukan dalam rangka menggapai kedudukan taqwa. Menurut Abu Hurairah ra, ketika beliau ditanya tentang takwa menjelaskan; ”Apakah engkau pernah berjalan di atas jalan berduri? Orang yang bertanya menjawab, “Ya, pernah.“ Abu Hurairah berkata, “Apa yang engkau perbuat?” Orang yang bertanya menjawab, “Jika aku melihat duri, aku akan menghindar darinya, atau melangkahinya, atau mundur darinya.” Abu Hurairah ra berkata, “Itulah takwa” (Ibnu Rajab, jami’ul Ulum wal Hikam). Kedudukan takwa ini menjadi target tahunan dari kaum mukminin dengan pelaksanaan syaum Ramadhan. Ini menunjukkan kedudukan takwa tersebut bertingkat-tingkat yang harus dicapai secara bertahap, sehingga Allah meminta kepada kaum mukminin untuk selalu meningkatkan ketakwaannya, salah satunya dengan melaksanakan syaum Ramadhan. Karena sulitnya mengagapai kedudukan takwa ini, maka Allah-pun juga sudah menyiapkan pahala yang luar biasa, baik hal itu dapat diperoleh di akhirat maupun di dunia ini. Gambaran nikmat yang akan diperoleh di akhirat bisa dibaca dalam firman Allah sebagai berikut: “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada dalam taman-taman dan mata air-mata air, sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar. Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian .” (QS: 51:15-19) Kenikmatan tersebut diperoleh dengan tidak mudah selama hidup di dunia ini, karena dia memiliki karakteristik amal yang harus dilakukan seseorang sebagai upaya menggapai manusia bertakwa: pertama, orang yang selalu berbuat kebaikan. Manusia diciptakan Allah di muka bumi ini dalam rangka beribadah kepada Allah (QS:51:56). Ibadah itu sebagaimana kita ketahui tidak hanya ibadah yang bersifat vertikal yang langsung berhubungan dengan Allah SWT (hablumminallah), namun juga ibadah yang bersifat horizontal (hablumminannas). Sehingga, kaum mukminin tidak usah merasa tidak sedang beribadah ketika sedang berada di kantor, sekolah/kampus/pesantren,pasar/mal ataupun di mana saja berada, selama yang kita lakukan itu karena mencari keridhoan Allah atas semua aktivitas tersebut, maka itulah ibadah di sisi Allah SWT. Apalagi, aktivitas tersebut selalu berorientasi kepada kemaslahatan untuk orang banyak, agar mereka bisa hidup lebih baik di dunia ini dan mendapatkan kemuliaan di akherat kelak. Orang bertakwa selalu sibuk, tidak hanya untuk urusan pribadinya, tapi juga selalu sibuk dalam membantu orang lain agar mendapatkan kebaikan hidup di dunia dan di akherat, sebagaimana firman Allah: “Dan , ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil : Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling. (QS:2:83)

Kamis, 18 Juli 2013

Marhaban ya Ramadhan, Selamat Datang Bulan Suci

Oleh Dr H Harry M Zein “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS al-Baqarah: 183) Marhaban ya Ramadhan, selamat datang bulan suci Ramadhan. Kata itu yang saat ini banyak diserukan umat Islam di seluruh dunia. Di masjid-masjid, mushala, televisi, koran-koran, radio hingga mailing list dan phone sellular pribadi, ungkapan selamat datang tampil dengan berbagai ekspresi yang variatif. Marhaban ya Ramadhan sepatutnya bukan sekadar ucapan selamat datang yang terlontar dari mulut belaka. Sebab bulan yang penuh berkah ini sepatutnya disambut suka cita dan kebahagian hati yang diekspresikan , tetapi kebahagian hati yang diekspresikan dengan perubahan tindakan dan perilaku. Ibadah puasa di bulan suci ini yang diwajibkan untuk orang-orang beriman di seluruh dunia bukan sekadar ibadah. Ibadah puasa di bulan Ramadhan sangat berbeda dengan ibadah lain. Sebab, puasa adalah ibadah ‘rahasia’. Artinya, orang itu berpuasa atau tidak hanyalah orang berpuasa itu sendiri dan Allah saja yang mengetahuinya. Banyak nilai yang kita petik dalam ketika menjalankan ibadah puasa. Tidak sedikit literature dan referensi kajian tentang makna puasa yang mengatakan bahwa beragam nilai yang kita petik dari ibadah puasa di bulan Ramadhan seperti nilai sosial, kesehatan, spiritual hingga kepribadian. Nilai sosial, perdamaian, kemanusiaan, semangat gotong royong, solidaritas, kebersamaan, persahabatan dan semangat prularisme. Ada pula manfaat lahiriah seperti pemulihan kesehatan (terutama perncernaan dan metabolisme), peningkatan intelektual, kemesraan dan keharmonisan keluarga, kasih sayang, pengelolaan hawa nafsu dan penyempurnaan nilai kepribadian lainnya. Ada lagi aspek spiritualitas: puasa untuk peningkatan kecerdasan spiritual, ketaqwaan dan penjernihan hati nurani dalam berdialog dengan al-Khaliq. Semuanya adalah nilai-nilai positif yang terkandung dalam puasa yang selayaknya tidak hanya kita pahami sebagai wacana yang memenuhi intelektualitas kita, namun menuntut implementasi dan penghayatan dalam setiap aspek kehidupan kita. Yang juga penting dalam menyambut bulan Ramadhan tentunya adalah bagaimana kita merancang langkah strategis dalam mengisinya agar mampu memproduksi nilai-nilai positif dan hikmah yang dikandungnya. Jadi, bukan hanya melulu mikir menu untuk berbuka puasa dan sahur saja. Namun, kita sangat perlu menyusun menu rohani dan ibadah kita. Kalau direnungkan, menu buka dan sahur bahkan sering lebih istemawa (baca: mewah) dibanding dengan makanan keseharian kita. Tentunya, kita harus menyusun menu ibadah di bulan suci ini dengan kualitas yang lebih baik dan daripada hari-hari biasa. Dengan begitu kita benar-benar dapat merayakan kegemilangan bulan kemenangan ini dengan lebih mumpuni. Ramadhan adalah bulan penyemangat. Bulan yang mengisi kembali baterai jiwa setiap muslim. Ramadhan sebagai 'Shahrul Ibadah' harus kita maknai dengan semangat pengamalan ibadah yang sempurna. Ramadhan sebagai 'Shahrul Fath' (bulan kemenangan) harus kita maknai dengan memenangkan kebaikan atas segala keburukan. Ramadhan sebagai "Shahrul Huda" (bulan petunjuk) harus kita implementasikan dengan semangat mengajak kepada jalan yang benar, kepada ajaran Al-Qur'an dan ajaran Nabi Muhammad Saw. Ramadhan sebagai "Shahrus-Salam" harus kita maknai dengan mempromosikan perdamaian dan keteduhan. Ramadhan sebagai 'Shahrul-Jihad" (bulan perjuangan) harus kita realisasikan dengan perjuangan menentang kedzaliman dan ketidakadilan di muka bumi ini. Ramadhan sebagai "Shahrul Maghfirah" harus kita hiasi dengan meminta dan memberiakan ampunan. Ramadhan juga sebagai bulan kesabaran, maka kita harus melatih untuk sabar dalam menjalani hidup. Maksud dari sabar yang tertera dalam al-Quran adalah ‘gigih dan ulet’ seperti yang dimaksud dalam (QS. Ali Imran/3: 146). Semoga dengan mempersiapkan diri kita secara baik dan merencanakan aktivitas dan ibadah-ibadah dengan ikhlas, serta berniat "liwajhillah wa limardlatillah", karena Allah dan karena mencari ridha Allah, kita mendapatkan kedua kebahagiaan tersebut, yaitu "sa'adatud-daarain" kebahagiaan dunia dan akherat. Semoga kita bisa mengisi Ramadhan tidak hanya dengan kuantitas harinya, namun lebih dari pada itu kita juga memperhatikan kualitas puasa kita.

Orang yang Merugi di Bulan Ramadhan

, Oleh; Ahmad Dzaki MA Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, ketika Rasulullah SAW akan menaiki mimbar untuk khutbah Jum’at, pada anak tangga pertama beliau mengucapkan amin, ketika naik pada anak tangga kedua beliau juga mengucapkan amin, begitu juga pada anak tangga ketiga beliau mengucapkan amin. Setelah selesai shalat, para sahabat kemudian bertanya, ''Wahai Rasulullah, mengapa engkau mengucapkan amin pada anak tangga pertama sampai ketiga tadi?” Rasulullah SAW menjawab, “Pada anak tangga pertama aku mengucapkan amin, karena malaikat Jibril membisikkan kepada ku, celakalah dan merugilah orang yang ketika disebut namamu wahai Muhammad, dia tidak bershalawat kepadamu , kemudian pada anak tangga kedua, aku mengucapkan amin, karena malaikat Jibril membisikkan kepadaku, celakalah dan merugilah orang yang tinggal bersama kedua orang tuanya tapi tidak membuatnya masuk surga, dan pada anak tangga ketiga aku mengucapkan amin, karena malaikat Jibril membisikkan kepadaku, celakalah dan merugilah orang yang melaksanakan ibadah shaum di bulan Ramadhan, tapi Allah tidak mengampuni dosa-dosanya.” Dari hadis di atas dapat kita lihat ada tiga golongan manusia yang celaka dan merugi, yaitu, pertama orang yang apabila disebut nama Nabi Muhammad SAW, tidak membaca shalawat. Seyogianya umat Islam selalu mencintai Rasulullah SAW yang menjadi panutan hidup, dan setiap kali disebut nama beliau, maka sebagai bentuk rasa cinta dan ta’dzim, kita bershalawat kepadanya “Allahumma shalli wa sallim alaih”. Kedua, orang yang tinggal bersama orang tuanya tapi tidak membuatnya masuk surga. Kewajiban seorang anak adalah ta’at dan patuh kepada kedua orang tua, menyayangi, menghargai dan merawatnya ketika sudah tua. Berapa banyak yang tinggal bersama orang tua, tapi mereka tidak dirawat, tidak diperhatikan, bahkan ada yang dimasukkan ke panti jompo. Sang anak keberatan tinggal dengan orang tuanya yang sudah tua renta. Mereka dianggap menyusahkan, membuat repot, menyita banyak waktu dan alasan-alasan lainnya. Orang seperti ini, akan sangat merugi. Seharusnya dengan merawat orang tuanya yang sudah tua dan menyayangi mereka, akan membawa sang anak masuk surga. Malah sebaliknya, dia tidak masuk surga karena menelantarkan kedua orang tuanya. Naudzubillah. Ketiga, adalah golongan orang yang melaksanakan ibadah shaum di bulan Ramadhan tapi Allah SWT tidak mengampuni dosa-dosanya. Sebagai manusia biasa, tentu kita banyak melakukan perbuatan dosa. Mata kita pernah berbuat dosa, telinga kita pernah berbuat dosa, hidung kita pernah berbuat dosa, mulut kita pernah berbuat dosa, tangan kita pernah berbuat dosa, kaki kita pernah berbuat dosa dan seterusnya. Pada bulan suci Ramadhan ini, kita mendapatkan kesempatan untuk bertaubat kepada Allah SWT, meminta ampun kepadaNya agar dosa-dosa kita diampuni dan taubat kita diterima. Kesempatan ini tidak boleh disia-siakan. Mari kita laksanakan seluruh ibadah di bulan suci ini dengan sebaik-baiknya, melaksanakan shaum dengan sebaik-baiknya, shalat taraweh dengan seikhlas-ikhlas nya, membayar zakat dan lain sebagainya. Semoga Ramadhan tahun ini, kita bisa lebih baik. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita dan menjadikan kita sebagai hambaNya yang shaleh, yang akan keluar sebagai pemenang. Amin ya rabbal alamin. Wallahu 'alam bish shawab.

Rabu, 17 Juli 2013

Inilah Hakikat Puasa Ramadhan

\ REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr HM Harry M Zein Tujuan ibadah puasa adalah untuk mencapai derajat takwa. Orang yang bertakwa adalah orang yang imannya senantiasa aktif membentuk dirinya, sehingga dia tetap istiqamah (konsisten) dalam beribadat, berakhlak mulia dan terjauh dari segenap dosa dan maksiat. Banyak orang yang telah berulang kali puasa setiap tahun, bahkan ada yang sudah puluhan kali berpuasa, namun taqwa masih jauh dari kehidupannya, imannya tidak aktif, ibadatnya tidak istikamah, dan akhlaqnya jauh dari mulia, perbuatan dosa masih mengotori dirinya, yang diperoleh dari ibadah puasa hanya lapar dan haus saja. Mengapa hal itu bisa terjadi? Sebab tidak sedikit manusia menduga bahwa puasa itu hanya sekadar menahan lapar dan haus saja, dan mereka juga memahami bahwa puasa itu adalah pengendalian hawa nafsu selama bulan Ramadan saja, lalu setelah Ramadan mereka kembali dikendalikan oleh hawa nafsunya. Jika hal itu menimpa kita, maka sangat memperhatinkan. Itu artinya kita belum memahami hakikat dari berpuasa. Dimana hakikat puasa bukan sekadar menahan hawa nafsu dari rasa lapar dan haus. Namun hakikat puasa pengendalian diri secara total dengan kendali iman. Selain mengendalikan mulut dari makan dan minum, puasa juga mengendalikan lidah dari perkataan yang tidak terpuji, seperti bohong, bergunjing, bergosip (gibah), caci maki dan lain lainnya. Puasa juga pengendalian mata (ghadhul bashar) dari memandang hal yang diharamkan Allah swt seperti melihat tontonan aurat, tontonan maksiat dan lain lain. Puasa juga mengendalikan telinga dari mendengarkan hal- hal yang tidak diredhai Allah seperti mendegar musik hura-hura, mendengar gosip dan lain-lain. Puasa juga mengendalikan kaki dan tangan dari tingkah laku yang tidak diridhai Allah. Sabda Rasulullah saw berkata, “Siapa yang tidak mampu meninggalkan perkataan dan perbuatan yang tidak terpuji, maka bagi Allah SWT tidak ada artinya dia meninggalkan makan dan minumnya (percuma dia berpuasa).” (HR.Buhari dari Abu Hurarah). Demikianlah hakikat puasa yang akan membawa manusia beriman menuju taqwa yang merupakan puncak kemuliaan manusia di hadapan Allah swt. Puasa juga mengandung makna pembangunan atau pembentuk­kan karakter, penguasaan atas hawa nafsu dan suatu inspirasi ke arah kreativitas individual dan sosial. Puasa juga telah menjadi bagian dari pilar-pilar Islam yang merupakan kewajiban agama bagi semua orang yang berimankan tauhid. Dan karena itu barangsiapa yang menolaknya maka ia termasuk dalam golongan yang ingkar agama. Puasa juga merupakan tanda lahir dari ketaatan, penyerahan dan peribadatan kepada Allah SWT. Allah swt berfirman,“Puasa itu untuk-Ku, karena itu Akulah yang akan memberi ganjar­aannya langsung!” (Bihar al-Anwaar 96:255). Dengan puasa seorang muslim mengungkapkan penyera­hannya (taslim) kepada perintah Allah, sambutannya atas kehendak-Nya, dan merupakan penolakkan yang tegas atas penguasaan hawa nafsu atas dirinya, dan hasrat priba­dinya. Puasa menjadi sebuah manifestasi dari ketaatan makhluk-Nya kepada Kehendak Yang Maha Kuasa. Ekspresi yang diungkapkan lewat puasa ini mewakili bentuk penguasaan diri, dan usaha dalam mengatasi kesenangan-kesenangan jasadi dan berbagai kenikmatan badani demi kecintaan Allah yang penuh berkat, kedekatan kepada-Nya dan gairah untuk memperoleh keridhaan-Nya. Imam Ali bin Abi Thalib as berkata, “Tidurnya orang yang berpuasa itu ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya mustajab (dikabulkan), amalnya diterima. Sesungguhnya bagi seorang yang berpuasa di saat berbuka do’anya tidak tertolak!” (Bihar al-Anwar 93:360) Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya ada satu surga yang pada pintunya ada penjaga yang melarang siapapun masuk kecuali orang-orang yang berpuasa.” (Al-Bihar 96:252) Imam Ja’far al-Shadiq as berkata, “Bagi orang yang berpuasa itu ada dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Tuhannya.” (Furu’ al-Kafi 4:65) Sayyidah Fathimah az-Zahra as berkata, “Dia (Allah swt) menjadikan puasa sebagai penguat keikh­lasan” (A’yan al-Syi’ah 1:316). Karena itu, patut kita memetik hakikat puasa. Semoga kita semua diberikan kemudahan untuk memahami hakikat puasa, sehingga pintu surga terbuka lebar untuk kita. Aamiin. >

Memaknai Puasa Sebagai Ibadah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Faozan Amar Direktur Eksekutif Al Wasath Institute dan Dosen Studi Islam UHAMKA Sebagai seorang Mukmin, kita melaksanakan puasa wajib setahun sekali pada bulan Ramadhan. Akan tetapi, tahukah kita mengapa perlu melaksanakan puasa? Sebagian dari kita mungkin akan menjawab, bahwa kita melaksanakan puasa karena sekadar memenuhi kewajiban. Atau kita berpuasa karena berharap adanya pahala atau sebaliknya karena takut berdosa. Dalam bahasa yang lebih tegas, sebagian dari kita berpuasa karena takut pada ancaman neraka (Shihab, 2008: 53). Puasa Ramadhan, merupakan kewajiban bagi seorang Mukmin yang mukallaf. Dalam Al-Quran dan hadits terdapat penjelasan tentang kewajiban puasa Ramadhan. Dan sebagaimana kita ketahui bahwa Puasa Ramadhan adalah bagian dari Rukun Islam yang wajib dilaksanakan. Namun demikian tidak berarti kita melaksanakan puasa karena landasan kewajiban semata. Pemahaman seperti ini akan membuat kita berpuasa semata-mata menggugurkan kewajiban, walauapun ini tidak sepenuhnya salah. Tetapi jika berkutat hanya pada pemahaman ini membuat kita kurang bisa memaknai ibadah puasa yang kita lakukan. Kita tidak bisa berhenti dengan pemahaman seperti itu. Karena hal itulah yang membuat puasa kita tidak pernah beranjak naik alias stagnan. Bila pemahaman kita masih seperti ini, maka termasuk yang disindir oleh Al-Quran “Dan kami Telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (QS. Al-Balad : 10-11) Pemahaman terhadap puasa hanya semata kewajiban membuat puasa yang kita lakukan tidak pernah meningkat. Memang, meningkatkan pemahaman tentang puasa, tidaklah mudah. Dan inilah yang terus-menerus kita lihat dan kita rasakan dari tahun ke tahun. Tapi, oleh Allah kita diberikan dua jalan, yaitu jalan yang datar, tetap berkutat pada pemahaman yang ada saja, atau jalan yang mendaki, berusaha untuk menggali hal ihwal yang berhubungan dengan puasa agar ada peningkatan kualitas dan kuantitasnya. Puasa bukanlah semata-mata ibadah wajib. Puasa bukanlah menahan haus dan lapar, serta hubungan seksual. Tetapi lebih dari itu, yakni puasa adalah ibadah yang luar biasa karena cakupannya yang meliputi dimensi individual, sosial, dan vertikal (Hidayat, 2008: 112). Seorang Muslim melaksanakan puasa adalah wujud keimanan dan ketundukan kita pada Allah Swt “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183) Puasa adalah tanda keimanan seorang muslim. Pakar Tafsir M Quraish Shihab mengatakan bahwa ayat ini adalah undangan bagi mereka yang beriman walau seberat apapun. Di mana dengannya orang yang beriman menggapai ketakwaan. Kata diwajibkan dalam ayat ini tidak menunjuk siapa pelaku yang mewajibkan. Hal ini menurut Quraish Shihab mengisyaratkan bahwa apa yang akan diwajibkan sedemikian penting dan bermanfaat bagi setiap orang bahkan kelompok, sehingga seandainya bukan Allah yang mewajibkannya, niscaya manusia sendiri yang akan mewajibkan atas dirinya (Shihab, 2007: 401). Dan begitulah realitasnya. Kata-kata minqoblikum dalam ayat ini menunjukkan bahwa ada banyak kelompok umat manusia yang melakukan puasa dengan berbagai cara. Misalnya orang-orang Mesir kuno, sebelum mereka mengenal agama samawi, sudah mengenal puasa. Demikian juga orang-orang Yunani, Romawi, penganut agama Nasrani, Yahudi, Budha, dan lain-lain. Saat kita berpuasa berarti kita sedang melangkah mendekatkan diri dengan sifat Tuhan. Puasa adalah sebuah metode atau cara yang dilakukan manusia untuk menghayati apa yang dihayati oleh Allah (Zuhri, 2007: 45). Hal ini sebagaimana Firman Allah Swt :”...padahal dia memberi makan dan tidak memberi makan?...” (QS. Al-An’am : 14). Allah tidak makan, tapi memberi makan. Jika manusia sudah menghayati keadaan Allah, yang tidak makan, meski tidak seumur hidupnya, maka ia diibaratkan besi yang dimasukkan ke dalam api. Ia akan memiliki sifat api, berubah warnanya menjadi merah, dan jika diletakkan di atas kapas atau kertas akan terbakar karenanya. Demikian pula dengan puasa. Puasa yang benar akan membuat pelakunya mendekat kepada sifat-sifat Tuhan (Zuhri, 2007: 46). Puasa adalah amalan yang sangat pribadi. Saat seseorang berpuasa, tak seorang pun yang mengetahui, apakah ia benar-benar berpuasa atau sekadar pura-pura. Yang mengetahui seseorang berpuasa hanya dirinya dan Tuhan. Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: Setiap amalan anak Adam untuknya satu kebaikan dibalas dengan 10 sampai 700 kebaikan. Allah berfirman, ‘Kecuali puasa, karena dia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya’. (HR. Bukhari dan Muslim). Semoga kita semua dapat memaknai puasa dengan baik dan benar, sehingga meraih derajat takwa. Wallahua’lam.

Selasa, 25 Juni 2013

Kejujuran Bernegara

< Selas REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Ahmad Syafii Maarif Semakin panjang jalan yang dilalui kemerdekaan bangsa yang sampai detik ini menjelang 68 tahun, semakin tersibak penyimpangan kelakuan kolektif kita, terutama seperti yang diperagakan oleh sebagian kaum elite Indonesia. Perasaan berdosa dan berdusta yang mengkhianati sumpah jabatan sudah dianggap ringan tanpa beban moral sama sekali. Lihatlah di layar kaca wajah-wajah para tersangka korupsi yang menebar senyum, tak semiang pun terlihat tanda penyesalan. Pertanda apa semua pertujukan hitam ini? Jawabannya tunggal: sebagian elite bangsa ini secara moral sedang pingsan. Nurani yang pada dasarnya jujur dan bersih sudah lama tidak difungsikan. Akal sehat pun telah tiarap berhadapan dengan kuatnya godaan materi, seks, dan kekuasaan. Dalil-dalil agama yang sering dikutip hanyalah topeng untuk menutupi keserakahan terhadap kesenangan duniawi yang tak pernah merasa puas. Perilaku semacam ini jauh lebih busuk dari kelakuan mereka yang terang-terangan tidak menyukai agama yang mungkin dalam batas-batas tertentu masih bermoral. Pada skala yang lebih makro dalam sistem kekuasaan nasional, Pancasila dan UUD sudah lama menjadi benda mati. Jika ada anak bangsa yang masih mencintai dan mewujudkannya dalam ranah praksisme, jumlahnya semakin menipis dari hari ke hari, di tengah-tengah perlombaan kasar dan ganas dalam memperebutkan rezeki legal dan ilegal dari APBN/APBD/BUMN/BUMD dan peluang-peluang lain yang dapat digasak. Kejujuran berbangsa dan bernegara sudah semakin pupus dan tumbang, sementara yang mendaftar untuk naik haji hampir tak tertampung lagi, saking panjangnya yang antre. Bagaimana kita bisa memahami fenomena yang serba berlawanan ini? Mungkin jawabannya tidak satu karena faktor-faktor penyebabnya saling berselingkuhan satu sama lain. Faktor yang paling dominan dalam bacaan saya adalah cara orang beragama lebih terpukau kepada sisi-sisi luar berupa ritual dan seremoni, tetapi kering dan sepi dari ruh agama yang mengharuskan pemeluknya belajar menjadi manusia baik, apa pun parameter yang digunakan untuk itu. Ini persis seperti kritik tajam Alquran terhadap perilaku elite Quraisy yang tak punya jangkar spiritual sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan kolektif mereka. Inilah makna ayat itu: "Mereka kenal benar akan sisi-sisi luar dari kehidupan duniawi, sedangkan terhadap akhirat (tujuan hidup yang hakiki) mereka sama sekali tidak hirau." (Surah al-Rum ayat 7). Untuk Indonesia, kita sisihkan sebentar kritik Alquran karena tidak semua orang memercayainya. Pakai sajalah Pancasila dan UUD yang semua warga negara harus tuntuk kepadanya. Di mana sekarang dalam realitas berbangsa dan bernegara sila kedua "Kemanusiaan yang adil dan beradab\" di lingkungan tatanan sosial yang rusak berantakan? Adapun sila kelima "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia\" sudah puluhan tahun menggantung di awang-awang. Kita berpura-pura menyebut Pancasila sebagai dasar filosofi negara. Dalam pola pembangunan nasional, sila itu hanyalah disebut sebagai pemanis untuk menipu rakyat. Kemudian jejerkan pula pasal 33 UUD dengan strategi pembangunan negara. Siapa yang menguasai bumi, air, dan semua kekayaan yang terdapat di dalamnya? Jawabannya, bukan lagi negara sebagaimana yang diperintahkan konstitusi, tetapi pihak asing dan agen-agen domestiknya. Dengan kenyataan keras ini, kesimpulan final adalah: kejujuran bernegara sudah lama menghilang di tengah-tengah gencarnya kultur berebut benda dan kekuasaan! Oleh sebab itu, pilihan yang benar ke depan adalah: gerak sejarah nasional harus mengubah arah yang sesat dan menyesatkan ini, jika Indonesia memang mau diselamatkan agar menjadi bangsa dan negara yang berdaulat penuh dan punya harga diri.