Kamis, 14 Februari 2013

Cinta yang Salah


Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung, MA. Suatu ketika, Baginda Rasulullah Saw pernah berpesan yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Said Al-Khudri, ”Kamu akan mengikuti sunnah (tradisi) orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sampai mereka masuk ke dalam lubang biawak pun, kamu tetap mengikuti mereka. Kami bertanya :’Wahai Rasulullah, apakah yang Tuan maksudkan itu adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani’ ? Rasul Menjawab; ’Kalau bukan mereka siapa lagi?” Keprihatinan yang mendalam bagi kita orang tua yang memiliki anak remaja khususnya dan umat Islam seluruh dunia, terhadap fenomena yang sudah merasuk dan menggerogorti remaja Muslim, bukan hanya di Indonesia tapi juga di berbagai belahan dunia. Tentu saja tidak cukup dengan keprihatinan, tapi harus dengan aksi nyata yakni meningkatkan peranan orang tua dan masyarakat dalam mendidikan generasi muda. Setiap tanggal 14 Februari dirayakan sebagai Valentine’s Day (Hari Kasih Sayang). Kasih sayang yang bermakna kebobrokan moral atau kemaksiatan yang berbaju kasih sayang. Fenomena ini merambah luas baik di perkotaan maupun di pedesaan. Kata Valentine berasal dari bahasa Latin yang berarti 'Yang Maha Perkasa', 'Yang Maha Kuat dan Maha Kuasa'. Kata ini ditujukan kepada Nimroe dan Lupercus, tuhan orang Romawi. Jadi, ketika kita meminta orang menjadi to be my Valentine, berarti itu sama dengan kita meminta orang menjadi 'Sang Maha Kuasa' terhadap diri kita. Di sinilah mulai muncul problem akidah, yakni kemusyrikan. Karena menjadikan sesuatu sebagai ilah (sesembahan dan penguasa hidup) yang bertentangan dengan Tauhid (mengesakan Allah SWT). Perayaan Valentine’s day sendiri berasal dari perayaan ritual Lupercalia yang merupakan rangkaian upacara penyucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Pada hari itu, para pemuda mengundi nama-nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan nama gadis yang keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk bersenang-senang. Ketika Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini menjadi nuansa Katolik dan mengganti nama gadis-gadis tersebut dengan nama Paus atau Pastor. Pada abad ke-3 Masehi, Santo Valentine (seorang pemimpin Katolik) bersama temannya Santo Marius secara diam-diam menentang pemerintahan Kaisar Claudius II. Kaisar memerintahkan menangkap dan memenjarakan Valentine karena menyatakan tuhannya adalah Isa Al-Masih dan menolak menyembah tuhan-tuhan Romawi. Lalu ia dihukum gantung pada 14 Februari 269 M. Dari kejadian itulah, Paus Gelasius meresmikan 14 Februari 496 sebagai Valentine’s Day untuk mengenang Santo Valentine. Oleh karena itu, setiap perayaan, seperti akad nikah, resepsi, acara keluarga dan sejenisnya yang mengaitkan dengan momentum Valentine’s Day, merupakan pengakuan akan ritual agama Romawi dan kristiani tersebut. Apalagi dijadikan sebagai justifikasi untuk melakukan kemaksiatan kolektif yang merusak akidah dan akhlak remaja kita (pesta seks dan hura-hura). Bukan berarti Islam tidak mengajarkan Kasih Sayang. Justru, kasih sayang sendiri berasal dari nama Allah SWT. yakni Ar-Rahman dan Ar-Rahim yang mesti menghiasi (akhlak karimah) setiap pribadi Muslim. Cinta dan kasih sayang adalah fitrah dan karunia Ilahi yang semestinya dimuliakan dan tidak patut diekspresikan dalam bentuk kemaksiatan untuk dan atas nama cinta. Perayaan Valentine’s Day merupakan kejahiliyahan modern yang lebih berbahaya dibanding dengan jahiliyah Bangsa Arab dahulu yang konvensional dan lokal. Meniru dan ikut-ikutan terhadap suatu budaya berarti sama saja dengan mereka. Nabi SAW. mengingatkan hal ini jauh hari, ”Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka”. (HR. Abu Daud dan Imam Ahmad dari Ibnu Umar). Jangan kita biarkan mereka tersesat, karena kita akan bertanggung jawab kelak di hadapan Pengadilan Rabbul Jalil, Allah SWT. Untuk itu, setiap orang tua harus mengawasi dengan ketat anak-anak remajanya pada waktu perayaan itu tiba dan bertanggung jawab menjaga keluarga dari api neraka.(QS.66:6). Allahu a’lam bish-shawab.***

Rabu, 06 Februari 2013

Semangat Bekerja Keras


Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein Tahun baru 2013 baru saja kita jalani. Di tahun ini, semangat bekerja keras dan berusaha harus kita terus tingkatkan. Setiap umat Islam, menjaga semangat dalam bekerja dan berusaha merupakan anjuran Rasulullah SAW yang harus terus dijaga dan dipupuk. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah pernah bersabda, “Tiada makanan yang baik bagi Anak Adam kecuali yang ia dapat dari tangannya sendiri. Sungguh, Nabi Daud AS makan dari hasil tangannya sendiri.” Dalam hadits lain yang diriwayatkan Baihaqi, Rasulullah pernah bersabda “Sesungguhnya, sebaik-baik mata pencaharian adalah seorang berwirausaha.” Islam sebagai agama Allah yang sempurna memberikan petunjuk kepada manusia tentang bidang usaha yang halal dan cara berusaha. Keagungan Islam tidak hanya memerintahkan manusia bekerja untuk kepentingan individual secara halal, namun juga mengajarkan cara manusia berhubungan baik sesama bagi kepentingan dan keuntungan kehidupan mereka di bumi ini. Sebagai umat Islam, menjaga semangat dalam bekerja menjadi sebuah keharusan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Karena itu, Islam benar-benar mengajarkan umatnya untuk bekerja keras, mandiri dan tidak pantang menyerah. Setidaknya terdapat beberapa dalam kandungan Alquran maupun Hadis yang dapat menjadi rujukan pesan tentang semangat kerja keras dan kemandirian ini. Seperti Hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, Rasulullah pernah bersabda, “Amal yang paling baik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan cucuran keringatnya sendiri.” Islam memandang bahwa bekerja merupakan satu kewajiban bagi setiap insan. Karena dengan bekerja, seseorang akan memperoleh penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan juga keluarganya serta dapat memberikan maslahat bagi masyarakat di sekitarnya. Dalam sebuah Hadis disebutkan, “Dari Anas r.a. berkata : Nabi SAW bersabda ” Bukan orang yang baik diantara kamu, orang yang meninggalkan kepentingan dunia untuk mengejar akhiratnya, atau meninggalkan akhirat karena mengejar dunia, sehingga dapat mencapai keduanya, karena dunia bekal untuk akhirat, dan kamu jangan menyandarkan diri pada belas kasihan orang”. Menurut Isa Abduh dan Ahmad Ismail Yahya dalam al-Amal fi al-Isl’m, Islam adalah agama yang menekankan amal atau bekerja. Sebab, amal atau bekerja merupakan salah satu cara praktis untuk mencari mata pencarian yang diperbolehkan Allah SWT. Bekerja dalam Islam merupakan kewajiban bagi setiap individu atau kelompok. Konsep amal dalam Islam sangat luas dan tidak hanya menyangkut soal bisnis atau dagang. Amal adalah setiap pekerjaan yang dilakukan manusia yang pantas untuk mendapatkan imbalan (upah), baik berupa kegiatan badan, akal, indra, maupun seni. Dalam sebuah kitab dijelaskan, orang yang dengan ikhlas bekerja keras, Allah SWT akan memberikan beberapa ganjaran, seperti: pertama, akan diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT. Kedua, dihapuskan dosa-dosa tertentu yang tidak dapat dihapuskan dengan shalat, puasa dan shadaqah. Ketiga, mendapatkan cinta Allah SWT. Keempat, terhindar dari azab neraka dan terakhir bekerja mencari nafkah digolongkan dalam fi sabililah. Karena itu, di tahun baru ini, patut kita terus menjaga semangat bekerja keras dengan keringat kita sendiri. Dengan begitu, kita Insya Allah termasuk ke dalam golongan yang selamat dunia dan akhirat. Amin.

Musibah Banjir


Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein Musibah banjir yang melanda seluruh wilayah Kota Jakarta dan Tangerang membuat panik semua warga. Sepertinya musibah banjir di negeri ini selama kurun waktu lima tahunan, adalah musibah yang teramat parah. Kondisi ini pada dasarnya tidak luput dari prilaku manusia. Jika kita mau membuka kembali Alquran, tampak jelas bahwa bencana alam dan krisis lingkungan akibat dari ulah merusak sebagian dari umat manusia. Dalam sebuah ayat Allah berfirman, ”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS Ar-Rum[30]:41). Ayat ini secara eksplisit menegaskan bahwa kerusakan di muka bumi disebabkan ulah tangan manusia. Bencana yang datang silih berganti bukan fenomena alam. Akan tetapi karena prilaku merusak manusia sendiri yang telah merusak alam ciptaan Allah. Para pemikir Timur dan Barat kontemporer memandang masalah utama kerusakan parah Bumi akibat terjadinya pemisahan serius antara sains dan dari spiritualitas dan nilai-nilai moral. Para pemikir menilai krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini menunjukkan bahwa sebagian besar negara-negara dunia dilanda problem nilai dan spiritualitas. Fritjof Capra memandang krisis lingkungan bermuara pada kesalahan cara pandang manusia modern terhadap alam semesta. Manusia modern pada umumnya masih menganut paradigma mekanistis dan reduksionistis terhadap alam semesta. Implikasinya, alam sebagai objek yang selalu diekspolitasi secara berlebih. Oleh karena itu, pandangan manusia harus diubah menuju paradigma yang holistik dan ekologis. Bahwa merusak alam dan lingkungan merupakan perbuatan dosa dan pelanggaran karena mengakibatkan gangguan keseimbangan di bumi. Ketiadaan keseimbangan itu, mengakibatkan siksaan kepada manusia. Semakin banyak perusakan terhadap lingkungan, semakin besar pula dampak buruknya terhadap manusia, termasuk akan berdampak kepada manusia yang tidak berdosa disekitarnya. Dalam Islam sudah sangat terang, bumi, alam, lingkungan diciptakan Allah swt bukan tanpa arti. Penciptaan alam, lingkungan, bumi merupakan tanda keberadaan Allah, Tuhan Yang Maha Pencipta. Sebagaimana firman Allah swt dalam Alquran bahwa terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya di bumi ini. "Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin,”(QS Adz-Dzariyat [51]:20). Dalam Al-Quran, Allah menyatakan bahwa alam diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Allah berfirman,”Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir,”(QS Al-Jatsiyah [45}:13). Ayat inilah yang menjadi landasan teologis pembenaran Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia. Islam tidak melarang memanfaatkan alam, namun ada aturan mainnya. Manfaatkan alam dengan cara yang baik (bijak) dan manusia bertanggungjawab dalam melindungi alam dan lingkungannya serta larangan merusaknya. Manusia sebagai khalifah (wakil atau pengganti) Allah, salah satu kewajiban atau tugasnya adalah membuat bumi makmur. Ini menunjukkan bahwa kelestarian dan kerusakan alam berada di tangan manusia. Kini manusia harus lebih ramah terhadap alam semesta melebihi sebelumnya. Untuk mewujudkan kedamaian dan keseimbangan dengan lingkungan, manusia harus memiliki ikatan yang kokoh dengan pencipta alam semesta. Orang yang mematuhi aturan Ilahi, maka ia juga memiliki hubungan yang baik dengan sesama manusia dan alam semesta. Merusak dan mencemari lingkungan menyebabkan terjadinya berbagai bencana seperti banjir saat ini. Untuk itu, Islam mengharamkan setiap tindakan yang merusak alam. Dalam Islam, kerusakan lingkungan juga mengakibatkan kerusakan sosial yang menyebabkan terjadinya perampasan terhadap hak jutaan orang. Saatnya menjaga kelestarian lingkungan.

Menghadirkan Kembali Perikehidupan Rasulullah SAW


Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein Umat Islam di penjuru dunia, termasuk di Indonesia akan menggelar peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sebagai ritual peringatan hari kelahiran Rasulullah ini, umat Islam sepertinya ingin menghadirkan kembali perikehidupan Nabi Muhammad SAW lebih dari empat belas abad yang lampau, dalam kehidupan kekinian. Kita ingin, momentum Maulid Nabi benar-benar menghadirkan kembali perikehidupan Rasulullah sebagai panduan hidup dalam bermasyarakat dan bernegara. Maulid Nabi adalah momentum penting dan berarti bagi kita, untuk mengaktualkan dan mengimplementasikan nilai-nilai kebaikan Rosulullah SAW, sebagai uswahtul khasanah atau teladan yang baik bagi kita semua. Dasar awal Islam menjunjung tinggi nilai-nilai universal, seperti keadilan, keadaban, kesantunan, dan toleransi. Islam menjunjung tinggi pengakuan dan penghormatan kepada seluruh masyarakat tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin dan bahasa. Dalam agama Islam, manusia hanya sebagai hamba Allah SWT, yang diberi anugerah akal dan fikiran untuk menjadi manusia yang berakhlak mulia. Akhlak yang berisi nilai-nilai ketauhidan, nilai-nilai kebenaran dan kesucian serta nilai-nilai rahmatan lil alamin; rahmat bagi semesta alam. Nilai rahmatan lil alamain yang akan menghancurkan rasa iri, dengki, fitnah dan kemunafikan di tubuh umat Islam. Ketika nilai-nilai ini diimplementasikan maka sangat diyakini akan terbangun hati-hati yang penuh rasa kekeluargaan, rasa kebersamaan sesama insan, tanpa memandang suku, latarbelakang ekonomi atau pun lainnya, di tubuh umat Islam. Jadi momentum Maulid Nabi tidak hanya membangun kesalehan pribadi, namun juga menciptakan kondisi kesalehan sosial. Terlebih lagi ada sebahagian masyarakat diwilayah Kota Jakarta dan sekitarnya sedang dirundung musibah banjir dan saatnyalah kita untuk menaruh empati dengan mengulurkan bantuan kepada mereka yang sedang kesusahan. Hal ini merupakan implementasi nilai-nilai kebaikan yang dibawa Rasulullah SAW. Maulid Nabi juga merupakan momentum untuk membangkitkan kembali ruh Masyarakat Madani (atau ada yang menyebut masyarakat Madinah) di Kota Tangerang. Ruh-ruh yang terkandung dalam Masyarakat Madani adalah masyarakat yang berakhlak mulia. Masyarakat yang mengaktualisasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai Islam, sebagai uswahtul khasanah; Masyarakat yang mengutamakan kesalehan sosial diatas kesalehan pribadi; Masyarakan yang selalu terjaga dari prilaku-prilaku negatif; Masyarakat dimana hukum sudah ditegakkan; dan Masyarakat yang jauh dari nilai-nilai kemunafikan.

Inilah Umat yang Terbaik Itu


Oleh: Imam Nawawi Umat Islam merupakan umat yang terbaik. Di dalam Alquran ditegaskan, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS [3]: 110). Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda, “Kalian sebanding dengan 70 umat dan kalian adalah sebaik-baik dan semulia-mulia umat bagi Allah.” (HR Tirmidzi). Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan, kemuliaan umat Islam tidak lain karena kemuliaan Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad adalah makhluk paling terhormat dan Rasul paling mulia di sisi Allah SWT. Beliau diutus Allah dengan syariat yang sempurna nan agung yang belum pernah diberikan kepada seorang Nabi dan Rasul sebelumnya. Oleh karena itu, derajat terbaik dari kalangan umat Islam ini ada pada mereka yang konsisten mengikuti ajaran Rasulullah dengan terus-menerus melakukan amar makruf nahi mungkar sebagaimana telah diteladankan oleh manusia paripurna itu (QS al-Ahzab [33]: 21). Amar makruf nahi mungkar tentu sangat luas cakupannya. Karena itu, setiap Muslim berpeluang untuk mengamalkan perintah agung tersebut. Amar makruf bisa diwujudkan dengan mengajak manusia pada keimanan dan ketakwaan dengan cara-cara yang telah disyariatkan oleh-Nya. (QS [16]: 125). Sementara nahi mungkar bisa kita amalkan dengan cara mengajak umat Islam menjauhi hal-hal yang dapat mengundang kemurkaan Allah SWT. Dalam hal nahi mungkar, Rasulullah juga telah memberikan panduan yang sangat jelas untuk umatnya. “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dia mengubah hal itu dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi, hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan itulah bentuk selemah-lemah iman.” (HR Muslim). Berangkat dari hal itu, kriteria umat terbaik itu akan tetap kita miliki, hanya apabila kita mau melakukan amar makruf nahi mungkar secara beriringan. Tidak sekadar amar makruf tetapi tidak nahi mungkar. Atau, sekadar mencegah yang mungkar tetapi tidak mengerjakan yang makruf (kebaikan). Imam Qatadah, sebagaimana dikutip Ibnu Katsir dalam tafsirnya, menjelaskan, suatu waktu Umar bin Khattab pernah berkata, “Barang siapa yang ingin menjadi bagian dari umat ini (umat terbaik), maka ia harus memenuhi syarat yang telah ditetapkan Allah dalam ayat tersebut.” (HR Ibnu Jarir). Namun demikian, amar makruf dan nahi mungkar bisa berjalan efektif manakala umat Islam sendiri memang memiliki identifikasi diri yang pasti dengan ajaran Islam secara keseluruhan (kafah). Karena, mustahil sapu yang kotor bisa digunakan untuk membersihkan lantai yang juga kotor. Rasulullah memerintahkan umatnya untuk konsisten mengikuti sunahnya. Jika tidak, dia ibarat penjual obat yang hanya bisa menawarkan obat penyembuh, tapi tidak bisa mengobati penyakitnya sendiri. Apabila keteladanan itu jauh dari umat Islam maka tidak saja kegagalan yang akan diperoleh, tetapi juga kemurkaan Allah SWT (QS [61]: 3). Karena secara prinsip, amar makruf nahi mungkar, mensyaratkan keteladanan yang merupakan akar dari segala kemuliaan.

iga Pesan Moral dari Air


, Oleh M Subhi-Ibrahim Air dihadirkan oleh Allah dalam kehidupan manusia sebagai rezeki (QS al-Baqarah [2]:22). Namun, air tidak sekadar rezeki, ia pun menjadi ayat kauniyah, tanda kebesaran-Nya, yang perlu dibaca agar kita merengkuh pesan moral (QS adz-Dzariyat [51]: 20-21). Ada sejumlah pesan moral yang dapat dipelajari dari air. Pertama, air itu menghidupi. Allah SWT berfirman, "Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup." (QS al-Anbiya' [21]: 30). Air menumbuhkan tanaman, menyuburkan tanah, bahkan mengalirkan oksigen dalam darah manusia. Di mana pun air berada, ia bermanfaat. Manusia pun selayaknya demikian. Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain." (HR Ahmad). Kedua, ia bergerak tanpa henti. Karena jika ia diam, pasti kotor dan keruh. Imam Syafii berkata, "Saya lihat air yang diam menyebabkan kotor. Bila dia mengalir, ia menjadi bersih. Dan bila tidak mengalir, ia tidak akan jernih. Singa bila tidak meninggalkan sarangnya, dia tidak akan pernah memakan mangsanya. Dan anak panah bila tidak terlepas dari busurnya, tidak akan pernah mengenai sasarannya." Orang yang tidak memiliki aktivitas atau pekerjaan, pikiran dan hatinya kemungkinan besar akan keruh dan kotor. Akibatnya, mata dan hatinya melihat secara negatif segala sesuatunya (suuzhan). Ketiga, Air tak pernah bisa dipecah, atau dihancurkan. Bahkan, ia akan menenggelamkan benda-benda keras yang menghantamnya dan menghanyutkan. Ia hanya akan pecah saat ia mengeras, membeku. Inilah karakter dasar air, yakni mencair, mudah meresap, menguap, dan kembali turun untuk menyejukkan. Karakter cair ini berguna jika seseorang menghadapi masalah. Karena bila kita bersikap mengeras, membatu, maka kita mudah pecah, stres, gampang dilempar ke sana-sini, dan seterusnya dalam menghadapi samudera kehidupan. Ketiga, air berpasrah diri (Islam) secara total pada tatanan (kosmos) alam. Ia mengalir dari tempat tinggi ke arah yang lebih rendah. Ia menguap bila terkena panas, membeku jika tersentuh dingin, meresap di tanah, menguap ke awan, dan turun sebagai hujan. Ia kemudian menyatu di lautan raya, berpencar di sungai, kali, dan selokan. Air mengikuti harmoni alam (sunatullah) yang digariskan Allah SWT. Harmoni alam itu tunduk dan patuh pada prinsip keseimbangan dan keadilan (QS al-Rahman [55]:7). Jika kesimbangan dirusak maka air pun protes. Air berhak atas tempat resapan. Jika tidak ada tempat resapan, air akan terus mencari tempat yang paling rendah. Jika tak ada yang tepat sebagai resapannya maka terjadilah banjir. Banjir merupakan bentuk protes air karena tempat resapan serta jalan kembali ke lautan raya, tergusur oleh kerakusan dan keserakahan tangan manusia (QS ar-Rum [30]: 41). Sudahkah kita seperti air, yang berpasrah, tunduk, dan patuh secara total pada Allah SWT? Sudahkah kita memelihara tatanan kehidupan secara adil? Wallahu a'lam bish shawab.

Kemaksuman Nabi Muhammad SAW


Minggu, 27 Januari 2013, 05:23 WIB Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA Sudah menjadi pengatahuan bersama bahwa setiap Nabi dan Rasul dijaga oleh Allah SWT dari kesalahan dan dosa (Maksum), termasuk Nabi Muhammad SAW. Kesalahan kecil dan tidak berarti bagi kaum awam tidaklah pernah mengkhawatirkan mereka, namun bagi maqam para nabi dan rasul maka hal tersebut bisa menjadi masalah besar dalam kaitannya dengan kredibilitasnya (muru'ah). Hal itu tidak lain karena perbedaan sikap dan pandangan (maqam) dalam melihat substansi sebuah kesalahan dan perbedaan kualitas pribadi masing-masing jiwa. Allah SWT menjaga kemaksuman Nabi Muhammad SAW secara fisik maupun non fisik. Terlahir dalam keadaan tersunat, penjagaan atas keterbukaan auratnya di mata masyarakat, terlindungi dari kemaksiyatan dan keburukan perilaku kaumnya, dan keterjagaan fisiknya terjatuh dalam kemungkaran merupakan beberapa bentuk penjagaan Allah SWT secara fisik terhadap Muhammad SAW. Sedangkan penjagaan non fisik dianugerahkan oleh Allah SWT dalam bentuk ketundukan hawa nafsu Nabi Muhammad pada bimbingan ilahi, pembersihan hatinya dari sifat tercela melalui pembedahan dadanya, dan kegemaran hatinya pada tradisi khalwat sebagai bentuk persiapan hati dan ibadah sebelum datangnya wahyu pertama. Suatu hari Muhammad kecil yang hidup di perkampungan Halimatus Sa'diyah berkeinginan untuk mendengarkan musik pada resepsi pernikahan di Makkah. Berangkatlah Muhammad sore itu dengan berpamitan kepada kawannya sesama penggembala kambing. Ketika waktu malam sampai di Makkah, Muhammad menyaksikan sebuah resepsi pernikahan yang di dalamnya terdapat hiburan musik. Muhammad duduk di tempat itu, namun tiba-tiba dirinya mengantuk, dan ditidurkan oleh Allah SWT. Muhammad baru bangun satelah sinar matahari menerpa dirinya. Pagi hari Muhammad kembali ke kampung ibu susuannya dan ditanya oleh kawannya, "Apa yang kamu saksikan?" Muhamamd menjawab: "Aku tidak melakukan apa-apa." Kemudian Muhammad menceritakan kejadian tertidurnya kepada kawannya. Malam berikutnya Muhammad kembali ke Makkah dengan tujuan yang sama, namun peniduran Allah kembali terjadi pada pengalaman yang kedua. Pada saat kawannya bertanya, Muhammad menjawab bahwa ia tidak menyaksikan dan mendengar apa-apa karena tertidur hingga waktu pagi tiba. Suatu waktu salah seorang pedagang dari Qabilah Az-Zabidi di Yaman dizalimi oleh Al-Ash bin Wail As-Sahmi dari Quraish yang tidak membayar barang dagangan. Merasa tidak ada yang menolong, pedagang dari Yaman tersebut naik ke gunung Abi Qubais dan menyeru kaum Quraish yang berkumpul di tempat itu. Dia berteriak menyerukan supaya haknya yang terzalimi dikembalikan. Az-Zubair bin Abdul Muthalib mengumpulkan beberapa qabilah di antaranya Bani Hasyim, Bani Zuhrah, dan Bani Taim di rumah Abdullah bin Ja'dan untuk membuat perjanjian pengembalian hak orang yang terzalimi tersebut. Muhammad SAW termasuk yang hadir dalam perjanjian itu dan mereka menemui Wail serta mengambil dengan paksa barang milik pedagang Az-Zabidi. Muhammad SAW berkata mengenai kejadian tersebut. "Saya telah menyaksikan di rumah Abdullah bin Ja'dan, sebuah perjanjian yang lebih aku cintai dari pada seekor unta berwarna merah, seandainya saya diajak dalam perjanjian yang sama dalam Islam, maka saya akan bergabung." (Al Bidayah wa Al-Nihayah). Kedua riwayat tersebut yang satu menegaskan mengenai kemaksuman Muhammad secara fisik dan yang lainnya secara non fisik, yaitu berupa kecenderungan dan keperpihakan hati Muhammad pada keadilan. Demikianlah Allah SWT menjaga kemaksuman nabi tercintanya, sebab kemaksuman tersebut dipersiapkan dalam rangka menerima wahyu, sehingga sesuatu yang suci harus diturunkan kepada pribadi yang suci. Lebih dari itu, kemaksuman memberikan penegasan bahwa jika manusia pada umumnya mendapat pengajaran dan bimbingan manusia melalui madrasah insaniyah, maka madrasah para nabi dan rasul adalah madrasah rabbaniyah, sehingga kendati mereka secara fisik sama dengan manusia pada umumnya, tetapi SDM yang terdapat di dalam tubuhnya sungguh benar-benar berbeda dengan manusia biasa. Wallahu A'lam.

Meneladani Prinsip Rasulullah dalam Penegakan Hukum


Oleh: A Ilyas Ismail Dikisahkan, seorang wanita Bani Mahzum, salah satu kelompok yang sangat terpandang dari etnis Quraisy, kedapatan mencuri. Untuk menutupi aib dan rasa malu, para pemuka Bani Mahzum meminta tolong Usamah yang tergolong dekat dengan Nabi Muhammad SAW agar melakukan pendekatan dan lobi kepada Baginda Rasul. Ternyata, Usamah gagal total. Usahanya sia-sia belaka. Nabi langsung menghardik dan memberi peringatan keras kepadanya. "Apakah kamu mau menyuap (korupsi) soal hukum (ketentuan) dari undang-undang Allah?" tegurnya. Dalam kesempatan itu pula, Nabi SAW langsung naik ke atas mimbar dan memberikan peringatan. "Inilah kebiasaan buruk yang telah menghancurkan umat-umat terdahulu. Mereka binasa (diazab oleh Allah) karena mereka tidak berani menghukum orang-orang terpandang dari kalangan mereka. Sebaliknya, mereka menghukum berat orang-orang kecil. Kalau Fatimah, putriku, mencuri, pastilah aku potong tangannya." (HR Bukhari dan Muslim dari Aisyah). Kisah ini sungguh inspiratif dan menjadi teladan yang amat berharga, khususnya bagi masyarakat yang mendambakan kejujuran, keadilan, dan penegakan hukum bagi setiap orang. Melalui kasus ini, Nabi SAW mengajarkan beberapa masalah dasar yang mesti diperhatikan oleh para pemangku kekuasaan, baik di lingkaran eksektutif, legislatif, maupun yudikatif. Pertama, soal keadilan. Keadilan adalah proses sekaligus tujuan dan cita-cita. Adil (al-`adl) atau keadilan menunjuk pada sikap tengah, lurus, dan tidak memihak kepada siapa pun, kecuali pada kebenaran. Dalam konteks hukum, adil bermakna menghukum siapa pun yang salah, tanpa berpihak, dan tanpa pandang bulu. Keadilan menuntut dan menempatkan manusia sama di depan hukum. Di sini prinsip equal before the law tak boleh hanya dipidatokan, tapi dilaksanakan, seperti Rasulullah SAW telah membuktikannya. "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan." (QS al-Nahl [16]: 90). Kedua, soal penegakan hukum (law enforcement). Penegakan hukum terkait pula dengan keadilan di atas. Demi keadilan, hukum harus ditegakkan secara jujur dan adil. Penetapan hukum secara tidak adil, korup, dan penuh kecurangan, seperti kerap terjadi, semua itu jelas melukai dan mencederai rasa keadilan masyarakat. Penegakan hukum tak boleh seperti pedang, hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Inilah yang diperingatkan oleh Allah dan Rasul. "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil." (QS al-Nisa’ [4]: 58). Ketiga, soal kehancuran masyarakat. Bila soal keadilan dan penegakan hukum diabaikan oleh para pemangku kekuasaan, kehancuran pasti terjadi. Tidak bisa tidak! Ini adalah ketentuan atau hukum Allah (sunatullah) yang berlaku secara universal. Inilah pesan penting yang hendak dikabarkan oleh Nabi SAW kepada seluruh umat manusia dalam pidatonya di atas. Perlu diketahui bahwa keadilan adalah hukum kosmik (alam jagat raya). Setiap kelaliman akan menimbulkan keguncangan sosial (social dis-equilibrium) yang pada gilirannya akan membawa pada kehancuran. "Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa.” (QS al-Naml [27]: 69). Wallahu a`lam

Belajar dari Jari-jari Tangan


, Oleh : H. Ahmad Dzaki, MA Dalam kehidupan ini banyak profesi yang bisa dilakukan, sebagai guru, petani, nelayan, pedagang, wartawan dan lain sebagainya. Masing-masing profesi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sayangnya, kadang kita suka membanggakan profesi kita lebih baik dari yang lain, bahkan ada yang sampai takabbur (sombong) karena berprofesi tertentu. Padahal, Allah SWT sudah mengingatkan dalam firman-Nya yang artinya, ''Katakanlah, masing-masing kalian berbuat sesuai dengan kemampuannya.'' Rasulullah saw juga sudah mengingatkanا yang artinya, ''Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya.'' Saat ini, yang terbaik adalah kita lakukan tugas dan pekerjaan kita dengan sebaik-baiknya. Tunjukkan prestasi kita dalam pekerjaan tersebut dan harus professional. Jangan merasa lebih baik dari orang lain. Dialog berikut ini mungkin bisa jadi pelajaran. Suatu hari terjadi perdebatan antara jari-jari tangan. Jari jempol berkata: saya adalah jari yang paling hebat, karena kalau majikan saya mengatakan sesuatu yang bagus, sayalah yang di acung-acungkan sambil mengatakan: bagus…bagus…bagus. Mendengar hal ini, jari telunjuk berkata: ''Siapa yang bilang jari jempol lebih hebat, sayalah yang paling hebat, kalau majikan saya menunjuk sesuatu, sayalah yang digunakan, sayalah jari yang paling terhormat. Jari tengah angkat bicara, ''Hai kalian diam semua. Sayalah jari yang paling mulia. Lihatlah posisi saya! Di sebelah kanan, diapit jari telunjuk dan jempol dan di sebelah kiri, diapit jari manis dan kelingking. Sayalah yang paling mulia. Jari manis tak mau kalah. Dia berucap, ''Saya dong yang paling terhormat. Coba kamu lihat, kalau majikan saya membeli cincin berlian yang harganya mahal, pasti cincin itu dipakaikan di jari manis. Tandanya, saya lah yang paling terhormat. Jari kelingking berucap belakangan, ''Semua salah. Sayalah yang paling hebat. Walaupun bentuk saya kecil dan letaknya paling akhir, saya mempunyai fungsi yang sangat besar.'' Kalau hidung atau telinga majikan saya kotor, kata jari kelingkiing, ''Sayalah yang diberikan kehormatan membersihkannya. Tandanya, saya mendapat perlakukan istimewa dari majikan saya.'' Masing-masing jari berdebat, menonjolkan keistimewaan masing-masing, tak ada mau mengalah. Bila kita analisa, sifat merasa diri paling hebat, paling benar dan paling segala-galanya adalah sifat Iblis laknatullah alaih. (Allah melaknatnya). Jauhilah sifat merasa paling baik, merasa paling hebat, merasa paling mulia dan lain sebagainya karena itu adalah sifat-sifat Iblis. Na’udzubillah. Belajarlah dari perdebatan jari-jari tadi. Seandainya jari-jari bersatu, benda seberat apapun dengan mudah dapat terangkat. Bila jari-jari bercerai berai, benda ringan dan kecil pun tidak akan mudah diangkat. Mudah-mudahan para pemimpin kita bisa belajar dari jari-jari tangan. Mudah-mudahan mereka mau bersatu untuk menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa. Hanya dengan persatuan dan ukhuwah yang erat, beban yang paling berat sekalipun akan dapat diselesaikan dengan baik, semoga. Wallahu 'alam bish-shawab.

Pintu Kebahagiaan


, Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung MA Kebahagiaan (as-sa’adah) adalah harapan meski dipahami berbeda oleh setiap insan sesuai keyakinan dan pemahaman hidupnya. Karena itu, jalan yang ditempuh untuk meraihnya pun berbeda pula. Kebahagian harus dicari dan diusahakan, tidak datang dengan sendirinya (QS.28:77). Makna kebahagiaan seorang Muslim adalah pencapaian dunia dan akhirat, material dan spritual, individual dan sosial, emosional dan intlektual. Sebuah kebahagiaan yang utuh (integrated) dan menyeluruh (komprehensif). Mahatma Gandhi pernah mengatakan .”Happiness is when what you think, what you say and what you do are in harmony”.(Kebahagian adalah ketika apa yang Anda pikirkan, katakan dan lakukan terdapat kesesuaian). Imam Al-Gazali membagi kesenangan manusia itu pada dua tingkatan yakni lazaat yaitu kepuasan (lezat) dan sa’adah (kebahagiaan). Yang pertama lebih pada aspek indrawi dan sesaat (material) sedangkan yang kedua pada aspek batini (rasa dan langgeng). Puncak tertinggi dari kepuasan dan kebahagiaan manusia adalah ma’rifatullah yakni mengenal Allah. Kebahagiaan itu bergerak dalam ranah kalbu (rasa), tapi ekspresinya kongkrit berupa keceriaan, keindahan, kelapangan, ketaatan dan kemanfaatan hidup. Hati manusia adalah tempat berlabuhnya sifat ilahiyyah, maka setiap kata, sikap dan perilaku yang bersesuaian (yang tergambar dalam asma al-husna) akan menentramkan. Sebaliknya, segala yang bertentangan dengannya akan merisaukan. (QS.91:8-10), Dalam sebuah Riwayat, Nabi saw berpesan : “Kebahagiaan manusia itu ada tiga dan deritanya pun ada tiga. Kebahagiaan itu adalah istri yang shalehah, rumah yang bagus dan kendaraan yang baik. Sedangkan derita manusia yaitu : istri yang jahat, rumah yang buruk dan kendaraan yang jelek”. (Hadits Riwayat. Ahmad dari Sa’ad bin Abi Waqash ra). Pertama ; Istri shalehah (al-mar’atush shalihah). Ia adalah jalan mendapatkan anak yang saleh dan rumah yang nyaman (keluarga sakinah). Kriteria kesalehan istri adalah menyenangkan jika dipandang, merasa nyaman jika ditinggalkan, menjaga kehormatan, harta dan patuh jika diperintahkan (HR. Al-Hakim dan An-Nasai). Agama menuntun agar menikah karena agamanya, bukan karena kecantikan dan hartanya sebab akan membuatnya binasa dan durhaka (sombong). “Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah istri salehah”. (Hadits Riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar). Kedua ; Rumah yang bagus (al-maskanush shalih). Dalam riwayat lain dijelaskan dengan “rumah besar yang banyak didatangi tamu” (ad-daru takuunu waasi’atan katsiroh al-marofiqi). Rumah tidak hanya tempat berteduh dari panasnya terik matahari dan dinginnya udara malam serta melepaskan lelah. Tapi ia juga tempat membangun kehidupan keluarga dan pemimpin umat masa depan. Rumah adalah tempat menyusun strategi perjuangan dakwah dan sumber inspirasi meraih kesuksesan. Baitii jannatii (rumahku adalah surgaku). Demikian Nabi saw. Secara fisik, rumah yang bagus adalah besar, lega, bersih dan indah dengan pekarangan tertata rapi. Tapi, secara sosial ia terbuka menerima tamu (silaturrahim) terutama orang-orang lemah (dhuafa dan mustad’afin). Secara spritual ia menjadi tempat dilantunkan ayat suci Al-Qur’an, mengkaji dan mengajarkannya kepada anak-anak (madrasah), ditegakkan shalat dan untuk taqarrub kepada Allah. Ketiga ; Kenderaan yang baik (al-markabush shalih). Kendaraan adalah simbol status sosial, mobilitas dan interaksi sosial dalam mencari keberuntungan hidup. Kendaraan adalah alat untuk mencapai tujuan dengan cepat, mudah, aman dan nyaman. Jika kita menempuh perjalanan dengan kendaraan yang bagus, ber-AC, harum dan cepat, maka perjalanan akan mudah dan menyenangkan. Ketika panas terik tak berkeringat, ketika hujan tak kebasahan, takkala angin kencang tak terhempaskan. Tapi, jangan lupa kendaraan juga harus bermafaat dalam membangun umat, menolong sesama dan mempermudah jalan dakwah. Ketiga pintu kebahagiaan tersebut merupakan satu rangkaian yang tak terpisahkan. Jika salah satunya tiada, yang lain tak bermakna. Kita mesti sadari, ketiga hal tersebut bukan tujuan hidup, tapi hanya sarana untuk meraih kebahagiaan hakiki, yakni berjumpa dengan Allah kelak di surga. Jika ketiga hal itu sebagai faktor eksternal, maka kebahagiaan harus ditopang dengan kualitas internal yakni dikokohkan dengan pondasi keimanan, buka pintunya dengan kunci keikhlasan, hiasi dengan pengharum kesyukuran. Selain itu, pagari dengan tembok kesabaran, isi dengan mebeler ilmu pengetahuan dan selalu bersihkan dengan sapu ketauhidan. Allahu a’lam bish-shawab.