Selasa, 12 Maret 2013

Akhirat 2 Menit 6 Detik


Komentar : 1 Seorang perempuan membaca kitab suci Alquran usai melaksanakan ibadah Shalat Dzuhur di Masjid Istiqlal, Jakarta, Senin (23/7). (Agung Supriyanto/Republika) A+ | Reset | A- REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr Rokhmin Dahuri MS. Peristiwa tsunami kecil di Wasior, Papua yang menelan lebih dari 150 warga, disusul banjir di DKI Jakarta yang mampu menghentikan denyut jantung aktivitas perekonomian ibukota. Tak mau ketinggalan pula gempa dan tsunami di pantai Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat yang merenggut lebih dari 115 nyawa, dan awan panas Gunung Merapi mencapai suhu 8000C di Yogyakarta pun seakan ikut andil ‘menyapa’ manusia. Fenomena alam ini tak ubahnya hanya secuil bukti tentang kekuasaan Allah untuk menggambarkan betapa kecilnya kuasa manusia di dunia. Lebih dari empat miliar tahun planet bumi diciptakan beserta sumberdaya yang terkandung di dalamnya dengan keunikan dan keistimewaan bentuk, motif dan warnanya, tidak lain untuk memfasilitasi keperluan perjalanan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna ini. Manusia pada hakikatnya sebagai makhluk nomaden yang berangkat dari alam azali, berpindah ke alam rahim, alam dunia, alam barzah dan tempat pemberhentian terakhir di alam akhirat. Time limit khalifah di bumi ini sangat singkat laksana seorang pengembara yang mampir untuk sekadar minum, begitulah Rasullullah saw, sang manusia agung pilihan menggambarkannya. Setiap bayi yang lahir di alam fana ini tidak punya pilihan untuk hidup melainkan dengan dua buah kitab, yakni kitab catatan perbuatan baik (sijjin) dan perbuatan buruk (illiyin) yang akan menyertainya sampai akhirat nanti. Ditambah lagi amanah dari Allah yang khusus diberikan kepada manusia, yakni shalat. Suatu ketika sahabat melihat Ali bin Abi Thalib, ra ketika berwudlu kulitnya berwarna kuning, dan bergemetaran badannya ketika shalat. Maka sahabat yang melihatnya bertanya kepada menantu Rasullullah itu, “wahai Ali mengapa engkau kelihatan seperti tidak sehat ketika berwudlu dan shalat?”. Ali bin Abi Thalib pun menjawab “Bagaimana aku tidak gemetar jika gunung, pohon dan makhluk lain ciptaan-Nya saja tidak sanggup memegang amanah ini dari Allah” Hidup di dunia sangatlah singkat, tak sebanding dengan kehidupan di akhirat. Sebagaimana firman Allah Surat Al Ma’arij Ayat 4 “Para malaikat dan jibril naik menghadap kepada Allah, dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun”. Berarti, sehari di akhirat sama dengan 50.000 tahun di dunia. Bila dikoversikan umur manusia berdasar tolok ukur usia Rasullullah SAW 63 tahun maka kehidupan manusia setara dengan dua menit enam detik di akhirat. Belum lagi ibadah yang dilakukan seorang hamba belum tentu diterima oleh Allah SWT. Oleh karena itu, berhitunglah!

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Nur Suharno Perintah berbuat baik kepada orang tua (birrul walidain) ditempatkan setelah larangan mempersekutukan Allah SWT (QS al-An'am [6]: 151). Hal ini menunjukkan pentingnya peran orang tua terhadap masa depan anak (di dunia dan akhirat). Yang pasti, setiap perintah dan larangan Allah SWT membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Setiap pelanggaran terhadap perintah-Nya atau melawan larangan-Nya, akan berdampak buruk bagi pelakunya. Salah satu perintah Allah SWT itu adalah berbuat baik kepada orang tua. Dengan itu, kita menjadi ada (terlahir). Kita menjadi sukses seperti sekarang, salah satunya karena peran keduanya. Bahkan, ridha dan murka Allah pun terletak pada keridhaan dan kemurkaan keduanya. Karena itu, “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS Luqman [31]: 14). “Maka, sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan, rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.’” (QS al-Isra' [17]: 23-24). Kebalikan dari birrul walidain adalah uququl walidain (durhaka kepada orang tua). Setiap kedurhakaan kepada orang tua pasti mendatangkan keburukan bagi pelakunya di dunia dan di akhirat kelak. Di antara bentuk keburukan dari uququl walidain itu adalah, pertama, hidup menjadi terhina. Rasulullah SAW bersabda, “(Sungguh hina) seorang yang mendapati kedua orang tuanya yang masih hidup atau salah satu dari keduanya ketika mereka telah tua, tetapi justru ia tidak masuk surga.” (HR Muslim). Kedua, mendapat murka Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, “Ridha Allah ada di dalam ridha kedua orang tua dan murka Allah ada di dalam murka kedua orang tua.” (HR Tirmidzi). Ketiga, ditolak amal kebaikannya. Rasulullah SAW bersabda, “Tiga macam dosa yang akan menyia-nyiakan segala amal lainnya, yaitu mempersekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, dan lari dari medan jihad.” (HR Thabrani). Keempat, disegerakan balasannya di dunia. Rasulullah SAW bersabda, “Semua dosa akan Allah tunda hukumannya menurut kehendak-Nya sampai hari kiamat nanti, kecuali hukuman terhadap perbuatan zina dan durhaka kepada kedua orang tua atau memutus silaturrahim. Sesungguhnya Allah akan memperlihatkan kepada pelakunya di dunia sebelum datang kematian.” (HR Bukhari). Kelima, terhalang masuk surga. Rasulullah SAW bersabda, “Ada tiga macam dosa yang diharamkan Allah bagi yang melakukannya untuk masuk surga, yaitu yang selalu minum-minuman khamr, mendurhakai kedua orang tua, dan orang yang membiarkan istrinya melacur atau orang yang sengaja menjadi pelacur.” (HR Ahmad, Nasa'i, dan Hakim). Wallahu a'lam. n