Rabu, 24 Juli 2013

Umat Istimewa di Bulan Istimewa

< REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Ustaz Ahmad Dzaki MA Bulan Ramadhan adalah bulan yang ditunggu-tunggu umat Islam untuk melaksanakan ibadah shaum. Bulan ini sangat istimewa karena bulan ini adalah bulan suci yang banyak dimanfaatkan umat Islam melakukan ibadah di siang dan malam hari. Kedatangan bulan Ramadhan tidak disia-siakan oleh umat islam. Mereka berlomba-lomba memperbanyak ibadah di bulan suci ini. Keistimewaan bulan ini banyak diterangkan dalam Al-Qur’an ataupun hadis Rasulullah SAW, bahkan umat Islam merupakan umat yang sangat beruntung di dunia ini dibandingkan dengan umat lain, terutama dalam melaksanakan ibadah shaum di bulan Ramadhan. Sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda, ''Ketika memasuki bulan suci Ramadhan Allah SWT memerintahkan Malaikat Ridwan penjaga pintu surga. “Wahai Ridwan, bukalah pintu-pintu surga untuk umat Nabi Muhammad yang melaksanakan ibadah shaum.” Lalu Allah SWT memerintahkan Malaikat Malik penjaga pintu neraka, “Wahai Malik, tutuplah pintu-pintu neraka dari umat Nabi Muhammad yang melaksanakan ibadah shaum.” Lalu Allah SWT memerintahkan Malaikat Jibril, “Wahai Jibril, turunlah ke bumi, ikatlah setan-setan dengan tali yang kuat, kemudian lemparkanlah mereka ke dalam lautan yang jauh supaya mereka tidak merusak shaum umat kekasihku Muhammad SAW.” Lihatlah hadis di atas. Menjelang bulan suci Ramadhan Allah SWT memerintahkan tiga malaikat untuk melaksanakan tugas yang Allah perintahkan dengan maksud agar shaum umat Nabi Muhammad di bulan Ramadhan ini baik. Alangkah istimewanya umat Nabi Muhammad SAW. Perintah Allah kepada Malaikat Ridwan, mengisyaratkan agar umat Islam melaksanakan shaum dengan sebaik-baiknya, bukan sekadar menahan lapar dan haus, tapi seluruh anggota tubuh juga shaum. Selain itu, di bulan Ramadhan umat Islam juga dianjurkan memperbanyak ibadah karena ganjaran pahala yang berlipat, dan semua ibadah lain yang dianjurkan di bulan suci Ramadhan. Semuanya untuk kepentingan umat Islam. Maka wajarlah kalau semua ibadah di bulan Ramadhan diganjar oleh Allah dengan ganjaran surga, itulah arti dari perintah Allah kepada Malaikat Ridwan menjelang bulan suci Ramadhan. Perintah Allah kepada Malaikat Malik, mengisayaratkan kepada umat Islam untuk menghindari perbuatan dosa, meninggalkan perbuatan yang menjurus kepada kemaksiatan, karena perbuatan tersebut pasti akan diganjar oleh Allah dengan neraka. Sedangkan perintah Allah kepada Malaikat Jibril, mengisyaratkan kepada umat Islam agar melaksanakan shaum Ramadhan dengan sebaik-baiknya, agar hasil Ramadhan dapat diraih yaitu menjadi umat yang bertaqwa. Beruntuglah umat Islam yang melaksanakan ibadah shaum di bulan Ramadhan. Mereka dijaga oleh tiga malaikat menjelang masuknya Ramadhan, agar ibadah shaum mereka tetap baik dan tidak rusak.

Sabtu, 20 Juli 2013

Meraih Derajat Takwa

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Naharus Surur Sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam QS:2:183, puasa diwajibkan bagi orang beriman agar mendapatkan kedudukan takwa di sisi-Nya. Puasa yang kita lakukan, tidak saja menahan lapar, dahaga dan hasrat biologis (sexual), namun juga menahan panca indra dan hati dari perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Semua hal tersebut dilakukan dalam rangka menggapai kedudukan taqwa. Menurut Abu Hurairah ra, ketika beliau ditanya tentang takwa menjelaskan; ”Apakah engkau pernah berjalan di atas jalan berduri? Orang yang bertanya menjawab, “Ya, pernah.“ Abu Hurairah berkata, “Apa yang engkau perbuat?” Orang yang bertanya menjawab, “Jika aku melihat duri, aku akan menghindar darinya, atau melangkahinya, atau mundur darinya.” Abu Hurairah ra berkata, “Itulah takwa” (Ibnu Rajab, jami’ul Ulum wal Hikam). Kedudukan takwa ini menjadi target tahunan dari kaum mukminin dengan pelaksanaan syaum Ramadhan. Ini menunjukkan kedudukan takwa tersebut bertingkat-tingkat yang harus dicapai secara bertahap, sehingga Allah meminta kepada kaum mukminin untuk selalu meningkatkan ketakwaannya, salah satunya dengan melaksanakan syaum Ramadhan. Karena sulitnya mengagapai kedudukan takwa ini, maka Allah-pun juga sudah menyiapkan pahala yang luar biasa, baik hal itu dapat diperoleh di akhirat maupun di dunia ini. Gambaran nikmat yang akan diperoleh di akhirat bisa dibaca dalam firman Allah sebagai berikut: “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada dalam taman-taman dan mata air-mata air, sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan di waktu pagi sebelum fajar. Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian .” (QS: 51:15-19) Kenikmatan tersebut diperoleh dengan tidak mudah selama hidup di dunia ini, karena dia memiliki karakteristik amal yang harus dilakukan seseorang sebagai upaya menggapai manusia bertakwa: pertama, orang yang selalu berbuat kebaikan. Manusia diciptakan Allah di muka bumi ini dalam rangka beribadah kepada Allah (QS:51:56). Ibadah itu sebagaimana kita ketahui tidak hanya ibadah yang bersifat vertikal yang langsung berhubungan dengan Allah SWT (hablumminallah), namun juga ibadah yang bersifat horizontal (hablumminannas). Sehingga, kaum mukminin tidak usah merasa tidak sedang beribadah ketika sedang berada di kantor, sekolah/kampus/pesantren,pasar/mal ataupun di mana saja berada, selama yang kita lakukan itu karena mencari keridhoan Allah atas semua aktivitas tersebut, maka itulah ibadah di sisi Allah SWT. Apalagi, aktivitas tersebut selalu berorientasi kepada kemaslahatan untuk orang banyak, agar mereka bisa hidup lebih baik di dunia ini dan mendapatkan kemuliaan di akherat kelak. Orang bertakwa selalu sibuk, tidak hanya untuk urusan pribadinya, tapi juga selalu sibuk dalam membantu orang lain agar mendapatkan kebaikan hidup di dunia dan di akherat, sebagaimana firman Allah: “Dan , ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil : Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling. (QS:2:83)

Kamis, 18 Juli 2013

Marhaban ya Ramadhan, Selamat Datang Bulan Suci

Oleh Dr H Harry M Zein “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS al-Baqarah: 183) Marhaban ya Ramadhan, selamat datang bulan suci Ramadhan. Kata itu yang saat ini banyak diserukan umat Islam di seluruh dunia. Di masjid-masjid, mushala, televisi, koran-koran, radio hingga mailing list dan phone sellular pribadi, ungkapan selamat datang tampil dengan berbagai ekspresi yang variatif. Marhaban ya Ramadhan sepatutnya bukan sekadar ucapan selamat datang yang terlontar dari mulut belaka. Sebab bulan yang penuh berkah ini sepatutnya disambut suka cita dan kebahagian hati yang diekspresikan , tetapi kebahagian hati yang diekspresikan dengan perubahan tindakan dan perilaku. Ibadah puasa di bulan suci ini yang diwajibkan untuk orang-orang beriman di seluruh dunia bukan sekadar ibadah. Ibadah puasa di bulan Ramadhan sangat berbeda dengan ibadah lain. Sebab, puasa adalah ibadah ‘rahasia’. Artinya, orang itu berpuasa atau tidak hanyalah orang berpuasa itu sendiri dan Allah saja yang mengetahuinya. Banyak nilai yang kita petik dalam ketika menjalankan ibadah puasa. Tidak sedikit literature dan referensi kajian tentang makna puasa yang mengatakan bahwa beragam nilai yang kita petik dari ibadah puasa di bulan Ramadhan seperti nilai sosial, kesehatan, spiritual hingga kepribadian. Nilai sosial, perdamaian, kemanusiaan, semangat gotong royong, solidaritas, kebersamaan, persahabatan dan semangat prularisme. Ada pula manfaat lahiriah seperti pemulihan kesehatan (terutama perncernaan dan metabolisme), peningkatan intelektual, kemesraan dan keharmonisan keluarga, kasih sayang, pengelolaan hawa nafsu dan penyempurnaan nilai kepribadian lainnya. Ada lagi aspek spiritualitas: puasa untuk peningkatan kecerdasan spiritual, ketaqwaan dan penjernihan hati nurani dalam berdialog dengan al-Khaliq. Semuanya adalah nilai-nilai positif yang terkandung dalam puasa yang selayaknya tidak hanya kita pahami sebagai wacana yang memenuhi intelektualitas kita, namun menuntut implementasi dan penghayatan dalam setiap aspek kehidupan kita. Yang juga penting dalam menyambut bulan Ramadhan tentunya adalah bagaimana kita merancang langkah strategis dalam mengisinya agar mampu memproduksi nilai-nilai positif dan hikmah yang dikandungnya. Jadi, bukan hanya melulu mikir menu untuk berbuka puasa dan sahur saja. Namun, kita sangat perlu menyusun menu rohani dan ibadah kita. Kalau direnungkan, menu buka dan sahur bahkan sering lebih istemawa (baca: mewah) dibanding dengan makanan keseharian kita. Tentunya, kita harus menyusun menu ibadah di bulan suci ini dengan kualitas yang lebih baik dan daripada hari-hari biasa. Dengan begitu kita benar-benar dapat merayakan kegemilangan bulan kemenangan ini dengan lebih mumpuni. Ramadhan adalah bulan penyemangat. Bulan yang mengisi kembali baterai jiwa setiap muslim. Ramadhan sebagai 'Shahrul Ibadah' harus kita maknai dengan semangat pengamalan ibadah yang sempurna. Ramadhan sebagai 'Shahrul Fath' (bulan kemenangan) harus kita maknai dengan memenangkan kebaikan atas segala keburukan. Ramadhan sebagai "Shahrul Huda" (bulan petunjuk) harus kita implementasikan dengan semangat mengajak kepada jalan yang benar, kepada ajaran Al-Qur'an dan ajaran Nabi Muhammad Saw. Ramadhan sebagai "Shahrus-Salam" harus kita maknai dengan mempromosikan perdamaian dan keteduhan. Ramadhan sebagai 'Shahrul-Jihad" (bulan perjuangan) harus kita realisasikan dengan perjuangan menentang kedzaliman dan ketidakadilan di muka bumi ini. Ramadhan sebagai "Shahrul Maghfirah" harus kita hiasi dengan meminta dan memberiakan ampunan. Ramadhan juga sebagai bulan kesabaran, maka kita harus melatih untuk sabar dalam menjalani hidup. Maksud dari sabar yang tertera dalam al-Quran adalah ‘gigih dan ulet’ seperti yang dimaksud dalam (QS. Ali Imran/3: 146). Semoga dengan mempersiapkan diri kita secara baik dan merencanakan aktivitas dan ibadah-ibadah dengan ikhlas, serta berniat "liwajhillah wa limardlatillah", karena Allah dan karena mencari ridha Allah, kita mendapatkan kedua kebahagiaan tersebut, yaitu "sa'adatud-daarain" kebahagiaan dunia dan akherat. Semoga kita bisa mengisi Ramadhan tidak hanya dengan kuantitas harinya, namun lebih dari pada itu kita juga memperhatikan kualitas puasa kita.

Orang yang Merugi di Bulan Ramadhan

, Oleh; Ahmad Dzaki MA Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, ketika Rasulullah SAW akan menaiki mimbar untuk khutbah Jum’at, pada anak tangga pertama beliau mengucapkan amin, ketika naik pada anak tangga kedua beliau juga mengucapkan amin, begitu juga pada anak tangga ketiga beliau mengucapkan amin. Setelah selesai shalat, para sahabat kemudian bertanya, ''Wahai Rasulullah, mengapa engkau mengucapkan amin pada anak tangga pertama sampai ketiga tadi?” Rasulullah SAW menjawab, “Pada anak tangga pertama aku mengucapkan amin, karena malaikat Jibril membisikkan kepada ku, celakalah dan merugilah orang yang ketika disebut namamu wahai Muhammad, dia tidak bershalawat kepadamu , kemudian pada anak tangga kedua, aku mengucapkan amin, karena malaikat Jibril membisikkan kepadaku, celakalah dan merugilah orang yang tinggal bersama kedua orang tuanya tapi tidak membuatnya masuk surga, dan pada anak tangga ketiga aku mengucapkan amin, karena malaikat Jibril membisikkan kepadaku, celakalah dan merugilah orang yang melaksanakan ibadah shaum di bulan Ramadhan, tapi Allah tidak mengampuni dosa-dosanya.” Dari hadis di atas dapat kita lihat ada tiga golongan manusia yang celaka dan merugi, yaitu, pertama orang yang apabila disebut nama Nabi Muhammad SAW, tidak membaca shalawat. Seyogianya umat Islam selalu mencintai Rasulullah SAW yang menjadi panutan hidup, dan setiap kali disebut nama beliau, maka sebagai bentuk rasa cinta dan ta’dzim, kita bershalawat kepadanya “Allahumma shalli wa sallim alaih”. Kedua, orang yang tinggal bersama orang tuanya tapi tidak membuatnya masuk surga. Kewajiban seorang anak adalah ta’at dan patuh kepada kedua orang tua, menyayangi, menghargai dan merawatnya ketika sudah tua. Berapa banyak yang tinggal bersama orang tua, tapi mereka tidak dirawat, tidak diperhatikan, bahkan ada yang dimasukkan ke panti jompo. Sang anak keberatan tinggal dengan orang tuanya yang sudah tua renta. Mereka dianggap menyusahkan, membuat repot, menyita banyak waktu dan alasan-alasan lainnya. Orang seperti ini, akan sangat merugi. Seharusnya dengan merawat orang tuanya yang sudah tua dan menyayangi mereka, akan membawa sang anak masuk surga. Malah sebaliknya, dia tidak masuk surga karena menelantarkan kedua orang tuanya. Naudzubillah. Ketiga, adalah golongan orang yang melaksanakan ibadah shaum di bulan Ramadhan tapi Allah SWT tidak mengampuni dosa-dosanya. Sebagai manusia biasa, tentu kita banyak melakukan perbuatan dosa. Mata kita pernah berbuat dosa, telinga kita pernah berbuat dosa, hidung kita pernah berbuat dosa, mulut kita pernah berbuat dosa, tangan kita pernah berbuat dosa, kaki kita pernah berbuat dosa dan seterusnya. Pada bulan suci Ramadhan ini, kita mendapatkan kesempatan untuk bertaubat kepada Allah SWT, meminta ampun kepadaNya agar dosa-dosa kita diampuni dan taubat kita diterima. Kesempatan ini tidak boleh disia-siakan. Mari kita laksanakan seluruh ibadah di bulan suci ini dengan sebaik-baiknya, melaksanakan shaum dengan sebaik-baiknya, shalat taraweh dengan seikhlas-ikhlas nya, membayar zakat dan lain sebagainya. Semoga Ramadhan tahun ini, kita bisa lebih baik. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita dan menjadikan kita sebagai hambaNya yang shaleh, yang akan keluar sebagai pemenang. Amin ya rabbal alamin. Wallahu 'alam bish shawab.

Rabu, 17 Juli 2013

Inilah Hakikat Puasa Ramadhan

\ REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr HM Harry M Zein Tujuan ibadah puasa adalah untuk mencapai derajat takwa. Orang yang bertakwa adalah orang yang imannya senantiasa aktif membentuk dirinya, sehingga dia tetap istiqamah (konsisten) dalam beribadat, berakhlak mulia dan terjauh dari segenap dosa dan maksiat. Banyak orang yang telah berulang kali puasa setiap tahun, bahkan ada yang sudah puluhan kali berpuasa, namun taqwa masih jauh dari kehidupannya, imannya tidak aktif, ibadatnya tidak istikamah, dan akhlaqnya jauh dari mulia, perbuatan dosa masih mengotori dirinya, yang diperoleh dari ibadah puasa hanya lapar dan haus saja. Mengapa hal itu bisa terjadi? Sebab tidak sedikit manusia menduga bahwa puasa itu hanya sekadar menahan lapar dan haus saja, dan mereka juga memahami bahwa puasa itu adalah pengendalian hawa nafsu selama bulan Ramadan saja, lalu setelah Ramadan mereka kembali dikendalikan oleh hawa nafsunya. Jika hal itu menimpa kita, maka sangat memperhatinkan. Itu artinya kita belum memahami hakikat dari berpuasa. Dimana hakikat puasa bukan sekadar menahan hawa nafsu dari rasa lapar dan haus. Namun hakikat puasa pengendalian diri secara total dengan kendali iman. Selain mengendalikan mulut dari makan dan minum, puasa juga mengendalikan lidah dari perkataan yang tidak terpuji, seperti bohong, bergunjing, bergosip (gibah), caci maki dan lain lainnya. Puasa juga pengendalian mata (ghadhul bashar) dari memandang hal yang diharamkan Allah swt seperti melihat tontonan aurat, tontonan maksiat dan lain lain. Puasa juga mengendalikan telinga dari mendengarkan hal- hal yang tidak diredhai Allah seperti mendegar musik hura-hura, mendengar gosip dan lain-lain. Puasa juga mengendalikan kaki dan tangan dari tingkah laku yang tidak diridhai Allah. Sabda Rasulullah saw berkata, “Siapa yang tidak mampu meninggalkan perkataan dan perbuatan yang tidak terpuji, maka bagi Allah SWT tidak ada artinya dia meninggalkan makan dan minumnya (percuma dia berpuasa).” (HR.Buhari dari Abu Hurarah). Demikianlah hakikat puasa yang akan membawa manusia beriman menuju taqwa yang merupakan puncak kemuliaan manusia di hadapan Allah swt. Puasa juga mengandung makna pembangunan atau pembentuk­kan karakter, penguasaan atas hawa nafsu dan suatu inspirasi ke arah kreativitas individual dan sosial. Puasa juga telah menjadi bagian dari pilar-pilar Islam yang merupakan kewajiban agama bagi semua orang yang berimankan tauhid. Dan karena itu barangsiapa yang menolaknya maka ia termasuk dalam golongan yang ingkar agama. Puasa juga merupakan tanda lahir dari ketaatan, penyerahan dan peribadatan kepada Allah SWT. Allah swt berfirman,“Puasa itu untuk-Ku, karena itu Akulah yang akan memberi ganjar­aannya langsung!” (Bihar al-Anwaar 96:255). Dengan puasa seorang muslim mengungkapkan penyera­hannya (taslim) kepada perintah Allah, sambutannya atas kehendak-Nya, dan merupakan penolakkan yang tegas atas penguasaan hawa nafsu atas dirinya, dan hasrat priba­dinya. Puasa menjadi sebuah manifestasi dari ketaatan makhluk-Nya kepada Kehendak Yang Maha Kuasa. Ekspresi yang diungkapkan lewat puasa ini mewakili bentuk penguasaan diri, dan usaha dalam mengatasi kesenangan-kesenangan jasadi dan berbagai kenikmatan badani demi kecintaan Allah yang penuh berkat, kedekatan kepada-Nya dan gairah untuk memperoleh keridhaan-Nya. Imam Ali bin Abi Thalib as berkata, “Tidurnya orang yang berpuasa itu ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya mustajab (dikabulkan), amalnya diterima. Sesungguhnya bagi seorang yang berpuasa di saat berbuka do’anya tidak tertolak!” (Bihar al-Anwar 93:360) Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya ada satu surga yang pada pintunya ada penjaga yang melarang siapapun masuk kecuali orang-orang yang berpuasa.” (Al-Bihar 96:252) Imam Ja’far al-Shadiq as berkata, “Bagi orang yang berpuasa itu ada dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka puasa dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Tuhannya.” (Furu’ al-Kafi 4:65) Sayyidah Fathimah az-Zahra as berkata, “Dia (Allah swt) menjadikan puasa sebagai penguat keikh­lasan” (A’yan al-Syi’ah 1:316). Karena itu, patut kita memetik hakikat puasa. Semoga kita semua diberikan kemudahan untuk memahami hakikat puasa, sehingga pintu surga terbuka lebar untuk kita. Aamiin. >

Memaknai Puasa Sebagai Ibadah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Faozan Amar Direktur Eksekutif Al Wasath Institute dan Dosen Studi Islam UHAMKA Sebagai seorang Mukmin, kita melaksanakan puasa wajib setahun sekali pada bulan Ramadhan. Akan tetapi, tahukah kita mengapa perlu melaksanakan puasa? Sebagian dari kita mungkin akan menjawab, bahwa kita melaksanakan puasa karena sekadar memenuhi kewajiban. Atau kita berpuasa karena berharap adanya pahala atau sebaliknya karena takut berdosa. Dalam bahasa yang lebih tegas, sebagian dari kita berpuasa karena takut pada ancaman neraka (Shihab, 2008: 53). Puasa Ramadhan, merupakan kewajiban bagi seorang Mukmin yang mukallaf. Dalam Al-Quran dan hadits terdapat penjelasan tentang kewajiban puasa Ramadhan. Dan sebagaimana kita ketahui bahwa Puasa Ramadhan adalah bagian dari Rukun Islam yang wajib dilaksanakan. Namun demikian tidak berarti kita melaksanakan puasa karena landasan kewajiban semata. Pemahaman seperti ini akan membuat kita berpuasa semata-mata menggugurkan kewajiban, walauapun ini tidak sepenuhnya salah. Tetapi jika berkutat hanya pada pemahaman ini membuat kita kurang bisa memaknai ibadah puasa yang kita lakukan. Kita tidak bisa berhenti dengan pemahaman seperti itu. Karena hal itulah yang membuat puasa kita tidak pernah beranjak naik alias stagnan. Bila pemahaman kita masih seperti ini, maka termasuk yang disindir oleh Al-Quran “Dan kami Telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (QS. Al-Balad : 10-11) Pemahaman terhadap puasa hanya semata kewajiban membuat puasa yang kita lakukan tidak pernah meningkat. Memang, meningkatkan pemahaman tentang puasa, tidaklah mudah. Dan inilah yang terus-menerus kita lihat dan kita rasakan dari tahun ke tahun. Tapi, oleh Allah kita diberikan dua jalan, yaitu jalan yang datar, tetap berkutat pada pemahaman yang ada saja, atau jalan yang mendaki, berusaha untuk menggali hal ihwal yang berhubungan dengan puasa agar ada peningkatan kualitas dan kuantitasnya. Puasa bukanlah semata-mata ibadah wajib. Puasa bukanlah menahan haus dan lapar, serta hubungan seksual. Tetapi lebih dari itu, yakni puasa adalah ibadah yang luar biasa karena cakupannya yang meliputi dimensi individual, sosial, dan vertikal (Hidayat, 2008: 112). Seorang Muslim melaksanakan puasa adalah wujud keimanan dan ketundukan kita pada Allah Swt “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183) Puasa adalah tanda keimanan seorang muslim. Pakar Tafsir M Quraish Shihab mengatakan bahwa ayat ini adalah undangan bagi mereka yang beriman walau seberat apapun. Di mana dengannya orang yang beriman menggapai ketakwaan. Kata diwajibkan dalam ayat ini tidak menunjuk siapa pelaku yang mewajibkan. Hal ini menurut Quraish Shihab mengisyaratkan bahwa apa yang akan diwajibkan sedemikian penting dan bermanfaat bagi setiap orang bahkan kelompok, sehingga seandainya bukan Allah yang mewajibkannya, niscaya manusia sendiri yang akan mewajibkan atas dirinya (Shihab, 2007: 401). Dan begitulah realitasnya. Kata-kata minqoblikum dalam ayat ini menunjukkan bahwa ada banyak kelompok umat manusia yang melakukan puasa dengan berbagai cara. Misalnya orang-orang Mesir kuno, sebelum mereka mengenal agama samawi, sudah mengenal puasa. Demikian juga orang-orang Yunani, Romawi, penganut agama Nasrani, Yahudi, Budha, dan lain-lain. Saat kita berpuasa berarti kita sedang melangkah mendekatkan diri dengan sifat Tuhan. Puasa adalah sebuah metode atau cara yang dilakukan manusia untuk menghayati apa yang dihayati oleh Allah (Zuhri, 2007: 45). Hal ini sebagaimana Firman Allah Swt :”...padahal dia memberi makan dan tidak memberi makan?...” (QS. Al-An’am : 14). Allah tidak makan, tapi memberi makan. Jika manusia sudah menghayati keadaan Allah, yang tidak makan, meski tidak seumur hidupnya, maka ia diibaratkan besi yang dimasukkan ke dalam api. Ia akan memiliki sifat api, berubah warnanya menjadi merah, dan jika diletakkan di atas kapas atau kertas akan terbakar karenanya. Demikian pula dengan puasa. Puasa yang benar akan membuat pelakunya mendekat kepada sifat-sifat Tuhan (Zuhri, 2007: 46). Puasa adalah amalan yang sangat pribadi. Saat seseorang berpuasa, tak seorang pun yang mengetahui, apakah ia benar-benar berpuasa atau sekadar pura-pura. Yang mengetahui seseorang berpuasa hanya dirinya dan Tuhan. Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: Setiap amalan anak Adam untuknya satu kebaikan dibalas dengan 10 sampai 700 kebaikan. Allah berfirman, ‘Kecuali puasa, karena dia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya’. (HR. Bukhari dan Muslim). Semoga kita semua dapat memaknai puasa dengan baik dan benar, sehingga meraih derajat takwa. Wallahua’lam.