Senin, 22 Agustus 2011

Islam dan Kesalehan Sosial



Oleh Khofifah Indar Parawansa

Dalam sejarah, Rasulullah SAW dikisahkan punya kedekatan hubungan dengan orang-orang miskin, termasuk anak-anak. Bahkan, ketika masuk ke dalam suatu majelis, Rasulullah memilih duduk dalam kelompok orang-orang miskin.

Rasulullah bersabda, “Siapa yang memakaikan seorang anak pakaian yang indah dan mendandaninya pada hari raya, maka Allah SWT akan mendandani/menghiasinya pada hari kiamat. Allah mencintai terutama setiap rumah, yang di dalamnya memelihara anak yatim dan banyak membagi-bagikan hadiah. Barang siapa yang memelihara anak yatim dan melindunginya, maka ia akan bersamaku di surga.”

Suatu ketika, pada Hari Raya Idul Fitri, Rasulullah seperti biasanya berkunjung ke rumah-rumah warga. Dalam kunjungannya itu, Rasulullah melihat semua orang bahagia. Anak-anak bermain dengan mengenakan pakaian hari raya. Namun, tiba-tiba pandangan Rasulullah tertuju pada seorang anak kecil yang sedang duduk bersedih.

Anak kecil ini memakai pakaian penuh tambalan dan sepatu rusak. Rasulullah lalu bergegas mengham pirinya. Melihat kedatangan Rasulullah, anak kecil itu menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis tersedusedu. Rasulullah lantas meletakkan tangannya di atas kepala anak kecil itu dan dengan penuh kasih sayang, lalu bertanya, “Anakku, mengapa kamu menangis? Hari ini adalah hari raya bukan?”

Anak itu menjawab, “Pada hari raya yang suci ini semua anak menginginkan agar dapat merayakan bersama orang tuanya dengan bahagia. Anak-anak bermain dengan riang gembira. Aku lalu teringat pada ayahku, itu sebabnya aku menangis. Ketika itu hari raya terakhir bersamanya. Ia membelikanku sebuah gaun berwarna hijau dan sepatu baru. Waktu itu aku sangat bahagia. Lalu suatu hari ayahku pergi berperang bersama Rasulullah. Ia bertarung bersama Rasulullah bahu-membahu dan kemudian ia meninggal. Sekarang ayahku tidak ada lagi. Aku telah menjadi seorang anak yatim. Jika aku tidak menangis untuknya, lalu siapa lagi?

Mendengar cerita itu, seketika hati Rasulullah diliputi kesedihan. Dengan penuh kasih sayang ia lalu membelai kepala anak kecil dan berkata, Anakku, hapuslah air matamu. Angkatlah kepalamu dan dengarkan apa yang akan kukata kan kepadamu. Apakah kamu ingin agar aku menjadi ayahmu? Dan apakah kamu juga ingin agar Fati mah menjadi kakak perempuanmu dan Aisyah menjadi ibumu? Bagaimana pendapatmu tentang usul dariku ini?

Anak kecil itu langsung berhenti menangis. Ia memandang dengan penuh takjub orang yang berada tepat di hadapannya. Namun, entah mengapa ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya dapat menganggukkan kepalanya sebagai tanda menerima tawaran Rasulullah. Kemudian, anak kecil itu bergandengan tangan dengan Rasulullah menuju ke rumah.

Sesampainya di rumah, wajah dan kedua tangan anak kecil itu lalu dibersihkan. Ia kemudian diberi pakaian yang indah dan makanan, serta uang. Lalu ia diantar keluar agar dapat bermain bersama anakanak lainnya. Sikap Rasulullah ini menunjukkan Islam sangat menonjolkan kepedulian sosial.

Ramadhan dan Keadilan Oleh Dr M Hidayat Nurwahid MA Pada suatu hari Khalifah Ali bin Abi Thalib tengah berjalan-jalan di pasar. Di suatu tempat, ia


Oleh Dr M Hidayat Nurwahid MA

Pada suatu hari Khalifah Ali bin Abi Thalib tengah berjalan-jalan di pasar. Di suatu tempat, ia melihat benda yang amat menarik perhatiannya, sebuah baju besi, di toko orang Yahudi. Ia perhatikan, baju besi itu persis seperti miliknya yang telah hilang beberapa waktu lalu. Ia berhenti dan mengamati dengan cermat baju besi tersebut. Semakin yakin saja bahwa baju besi itu memang miliknya.

Dengan hati-hati ia bertanya kepada si Yahudi perihal baju besi yang ada di toko. Namun, pemilik toko tersebut mengatakan bahwa itu benar-benar miliknya. Untuk menghindari pertengkaran lebih jauh dan guna mendapatkan penyelesaian, Khalifah Ali membawa permasalahan ini kepada qadhi (hakim), yaitu Syuraih. Segeralah digelar pengadilan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

"Baju besi itu milik saya yang hilang. Barang tersebut terjatuh dari unta yang sedang saya naiki," kata Ali memberi kesaksian di pengadilan. "Tidak! Ini adalah baju besi saya, dan sekarang berada di tangan saya," jawab si Yahudi.

Syuraih mengamati baju besi itu dengan saksama. Akhirnya, ia berkata, "Benar, demi Allah, ya Amirul Mukminin, ini adalah baju besi Anda. Tetapi, untuk menyelesaikan kasus ini, Anda harus menghadirkan dua orang saksi."

Khalifah Ali memanggil pembantunya, Qabarah, dan putranya, al-Hasan. Mereka berdua bersaksi bahwa baju besi itu memang milik Khalifah Ali. "Kesaksian pembantu Anda bisa saya terima, tetapi kesaksian anak Anda saya tolak," kata Syuraih. Karena kesaksian tidak memenuhi syarat, pengadilan memutuskan baju besi tersebut milik si Yahudi.

Orang Yahudi itu pun mengambilnya dan membawa pulang baju besi tersebut. Sebelum pulang ia sempat menyaksikan Khalifah Ali tengah menjabat tangan dan merangkul qadhi sembari berkata, "Sungguh, ini adalah keputusan yang adil dan benar."

Melihat perilaku dua orang saleh tersebut, si Yahudi berpikir kembali. Ia menyaksikan pemandangan yang luar biasa hebatnya. Seorang khalifah, kepala negara, bersedia mengalah di pengadilan untuk urusan yang sebenarnya ia berada di pihak yang benar. Yahudi ini amat terkesan dengan sikap mulia sang khalifah. Demikian pula, seorang qadhi berani menjatuhkan keputusan yang tidak berpihak kepada khalifah. Keduanya memiliki keluhuran budi yang sangat mengagumkan.

Tatkala Khalifah Ali berjalan pulang, si Yahudi mengikuti dari belakang. Tidak sabar ia segera menyampaikan ungkapan hatinya. "Wahai Amirul Mukminin, baju besi ini memang benar milik Anda. Barang ini terjatuh dari untamu dan aku mengambilnya. Sekarang, saksikanlah kalimat syahadat saya, ya Amirul Mukminin," kata orang Yahudi itu sembari mengucap kalimat syahadat.

Khalifah Ali berkata, "Karena engkau telah masuk Islam, maka baju besi ini aku hadiahkan kepadamu, masih aku tambah lagi dengan kudaku ini." Akhirnya, baju besi dan kuda Khalifah Ali resmi menjadi milik orang Yahudi tersebut.

Luar biasa, sebuah keadilan mampu ditegakkan dengan baik. Sejarah mencatat dengan tinta emas perilaku mulia seorang khalifah (pemimpin) yang rendah hati dan seorang qadhi (hakim) yang adil. Marilah kita hadirkan pelajaran serta pesan penting dari kisah spektakuler tersebut dalam ruang kesadaran kebangsaan kita saat ini. Semoga.

Ciri-ciri Islam Indonesia: Islam yang Rahmatan Lil 'alamin



REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Umum Dewan Koordinasi Nasional Gerakan Pemuda Kebangkitan Bangsa (Garda Bangsa) M Hanif Dhakiri menegaskan Islam itu sangat moderat dan anti kekerasan. "Islam tumbuh dan berkembang seiring dengan proses kebudayaan dalam masyarakat. Jadi, tidak benar jika ada sekelompok orang membawa panji-panji Islam tetapi mengobarkan kebencian dan memicu kekerasan bernuansa agama dalam masyarakat," kata Hanif di sela-sela kegiatan Pesantren Kilat Anti-Teror yang diselenggarakan DKN Garda Bangsa di Kantor DPP Partai Kebangkitan Bangsa, Jakarta, Jumat (19/8).

Menurut Hanif yang juga Ketua DPP PKB, Islam menjadi tampak keras ketika ia ditafsirkan dengan pendekatan kepentingan politik dan kekuasaan. Pada dasarnya Islam adalah dien wal ummah, religion and nation (agama dan bangsa). Bukan dien wal daulah, religion and state (agama dan negara).

Dengan begitu, politik Islam semestinya tidak berkepentingan dengan negara Islam, melainkan kebaikan masyarakat secara keseluruhan (rahmatan lil 'alamin). "Jadi, Islam Indonesia itu ya Islam yang rahmatan lil 'alamin. Itu pasti moderat, toleran, anti-kekerasan dan menolak ide negara Islam. Yang mengusung panji-panji Islam tetapi tidak rahmatan lil 'alamin saya kira bukan Islam Indonesia. Itu Islam yang lain, yang asing dalam konteks kebudayaan masyarakat Indonesia yang majemuk," jelas Hanif.

Lebih lanjut, Sekretaris FPKB DPR ini mengatakan bahwa Nahdlatul Ulama beserta seluruh jejaring pesantren di tanah air merupakan jangkar nasionalisme Indonesia. Tradisi pemikiran dan keagamaan NU menjelaskan bahwa kita bisa menjadi orang Indonesia, sekaligus orang Islam.

‎ ​"Anda bisa menjadi orang Sunda, Jawa, Batak, Melayu, Betawi, Aceh dan lain-lain, sekaligus menjadi orang Islam. Kejawaan seseorang tidak dipertentangkan dengan Islam. Demikian pula kesundaan, kebatakan dan lain-lain. Intinya, kita bisa menjadi orang Indonesia dan orang Islam sekaligus. Nggak harus jadi arab dulu baru bisa Islam," imbuhnya.

Kegiatan Pesantren Kilat Anti Teror DKN Garda Bangsa diikuti lebih dari 300 pelajar setingkat SMU se-Jabodetabek. Dalam acara dilakukan pengajian kitab "al-Muqtathofat li ahlil bidayaat" karangan KH. Marzuki Mustamar bersama pengarangnya.




Redaktur: Djibril Muhammad
Sumber: Antara

STMIK AMIKOM

Share139
1256 reads
murtadho, Minggu, 21 Agustus 2011, 21:47

alhamdulillah masih banyak memperjuangkan islam yang santun dan toleran. sy khawatir dgn perkembangan islam yng kaku, mau menang sendiri dan menyalahkan orang lain karena tidak sepaham
Balas
ahmad, Minggu, 21 Agustus 2011, 11:08

saya suka Islam yang ramah, bukan Islam yang marah
Balas

Isi Komentar
Nama

Email

Begini Rasulullah Bersikap pada Fakir Miskin dan Anak-anak

B

Oleh Khofifah Indar Parawansa


Dalam sejarah, Rasulullah SAW dikisahkan punya kedekatan hubungan dengan orang-orang miskin, termasuk anak-anak. Bahkan, ketika masuk ke dalam suatu majelis, Rasulullah memilih duduk dalam kelompok orang-orang miskin.

Rasulullah bersabda, “Siapa yang memakaikan seorang anak pakaian yang indah dan mendandaninya pada hari raya, maka Allah SWT akan mendandani/menghiasinya pada hari kiamat. Allah mencintai terutama setiap rumah, yang di dalamnya memelihara anak yatim dan banyak membagi-bagikan hadiah. Barang siapa yang memelihara anak yatim dan melindunginya, maka ia akan bersamaku di surga.”

Suatu ketika, pada Hari Raya Idul Fitri, Rasulullah seperti biasanya berkunjung ke rumah-rumah warga. Dalam kunjungannya itu, Rasulullah melihat semua orang bahagia. Anak-anak bermain dengan mengenakan pakaian hari raya. Namun, tiba-tiba pandangan Rasulullah tertuju pada seorang anak kecil yang sedang duduk bersedih.

Anak kecil ini memakai pakaian penuh tambalan dan sepatu rusak. Rasulullah lalu bergegas mengham pirinya. Melihat kedatangan Rasulullah, anak kecil itu menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis tersedusedu. Rasulullah lantas meletakkan tangannya di atas kepala anak kecil itu dan dengan penuh kasih sayang, lalu bertanya, “Anakku, mengapa kamu menangis? Hari ini adalah hari raya bukan?”

Anak itu menjawab, “Pada hari raya yang suci ini semua anak menginginkan agar dapat merayakan bersama orang tuanya dengan bahagia. Anak-anak bermain dengan riang gembira. Aku lalu teringat pada ayahku, itu sebabnya aku menangis. Ketika itu hari raya terakhir bersamanya. Ia membelikanku sebuah gaun berwarna hijau dan sepatu baru. Waktu itu aku sangat bahagia. Lalu suatu hari ayahku pergi berperang bersama Rasulullah. Ia bertarung bersama Rasulullah bahu-membahu dan kemudian ia meninggal. Sekarang ayahku tidak ada lagi. Aku telah menjadi seorang anak yatim. Jika aku tidak menangis untuknya, lalu siapa lagi?

Mendengar cerita itu, seketika hati Rasulullah diliputi kesedihan. Dengan penuh kasih sayang ia lalu membelai kepala anak kecil dan berkata, Anakku, hapuslah air matamu. Angkatlah kepalamu dan dengarkan apa yang akan kukata kan kepadamu. Apakah kamu ingin agar aku menjadi ayahmu? Dan apakah kamu juga ingin agar Fati mah menjadi kakak perempuanmu dan Aisyah menjadi ibumu? Bagaimana pendapatmu tentang usul dariku ini?

Anak kecil itu langsung berhenti menangis. Ia memandang dengan penuh takjub orang yang berada tepat di hadapannya. Namun, entah mengapa ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya dapat menganggukkan kepalanya sebagai tanda menerima tawaran Rasulullah. Kemudian, anak kecil itu bergandengan tangan dengan Rasulullah menuju ke rumah.

Sesampainya di rumah, wajah dan kedua tangan anak kecil itu lalu dibersihkan. Ia kemudian diberi pakaian yang indah dan makanan, serta uang. Lalu ia diantar keluar agar dapat bermain bersama anakanak lainnya. Sikap Rasulullah ini menunjukkan Islam sangat menonjolkan kepedulian sosial.

Diterbitkan di Republika cetak dengan judul Islam dan Kesalehan

Jelang Malam Lailatul Qadar: Mengapa Doa Kita Tak Terkabul?



Oleh: Ahmad Nurarifin

Ramadhan bulan penuh berkah, ampunan, dan tentunya bulan yang makbul untuk kita memohon kepada Allah. Memasuki 10 hari terakhir Ramadhan sungguh spesial, karena merupakan salah satu hari dimana terdapat malam lailatul qadhar; malam yang penuh berkah, malam yang lebih baik dari seribu bulan (QS Al Qadar [97] : 3-5).

Sudah sepatutnya sebagai seorang muslim berusaha mempersiapkan diri berbenah supaya termasuk dari golongan yang bisa mendapatkan berkah malam lailatul qadhar.

Teradapat banyak pendapat mengenai kapan terjadinya malam tersebut diantaranya, pertama “Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.” (HR Bukhari).

Kedua, “Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir, namun jika ia ditimpa keletihan, maka janganlah ia dikalahkan pada tujuh malam yang tersisa.” (HR. Muslim)

Yang perlu diperhatikan adalah bahwa Allah akan menilai bukan hanya secara instan, namun dari kontinuitas kita beribadah, tidak serta merta kita hanya memfokuskan penuh beribadah pada hari-hari ganjilnya saja.

Sambil beriktikaf dan memburu Lailatul qadhar, segunung doa dipanjatkan. Akankah instan pula dikabulkan? Belum tentu.

Mengutip Ibrahim bin Adham seorang sufi yang hidup pada abad ke-8 Masehi, pernah berpidato di hadapan jamaah di Basrah, yang rata-rata mereka hampir putus asa dalam doa, lantaran sudah lama berdoa tetapi tidak terkabul.

Kata Ibrahim Adham, “Doamu tidak dikabulkan Allah lantaran sepuluh perkara:
1. Kamu mengenal Allah, tetapi kamu tidak mendatangkan kewajiban kepada-Nya.
2. Engkau membaca Al-Qur’an, tetapi engkau tidak mengamalkan kandungannya.
3. Engkau mengatakan menjadi musuh syetan, tetapi engkau mengikuti dan bersesuaian dengan syetan.
4. Engkau mengatakan menjadi Umat Nabi Muhammad SAW, tetapi engkau tidak mengikuti jejaknya.
5. Engkau berkeinginan masuk surga, tetapi tidak mau beramal yang dapat menghantarkannya ke surga.
6. Engkau menginginkan selamat dari api neraka, tetapi engkau mencampakkan dirimu ke dalamnya.
7. Engkau mengatakan bahwa mati itu pasti, tetapi engkau tidak mau mempersiapkan bekal untuk mati.
8. Engkau sibuk meneliti cela kawan-kawanmu, tetapi engkau tidak mau memperhatikan cela dirimu sendiri.
9. Engkau makan nikmat dari Tuhamu, tetapi engkau tidak pernah bersyukur kepadanya.
10. Engkau ikut mengubur orang mati, tetapi engkau tidak dapat mengambil i’tibar (pelajaran) dari peristiwa itu.

Maka setiap orang yang berdoa dan menginginkan doanya segera terkabul hendaknya bercermin kepada Rasulullah SAW. Bagaimana beliau berdoa. Sesudah itu harus pula mengetahui dan memenuhi etika dan estetika berdoa.

Sesudah itu, perhatikan benar-benar uraian di atas. Saudara akan dapat menjawab di mana letak kesalahan doanya sehingga tidak atau belum terkabul. Pada akhirnya nanti pasti akan sadar bahwa tidak segera terkabulnya doa itu faktornya berada pada diri orang yang berdoa, bukan berada pada Allah.

Penulis adalah sahabat Republika Online yang kini sedang bekerja di Makkah, Arab Saudi.

_____________________________________________________

Meraih Maghfirah Allah



Oleh: P Imron Nurtsani Lc


Ramadhan disebut bulan penyucian diri, karena di bulan ini Allah mencurahkan rahmat dan maghfirah-Nya kepada setiap hamba yang menunaikan ibadah puasa dengan keimanan dan mengharap pahala dari-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits:

Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala diampuni baginya dosa-dosa masa lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah adalah suri tauladan bagi seluruh umat, dimana kita ketahui bahwasanya Rasulullah senantiasa mengajarkan manusia pada kebaikan, kita tahu bahwasanya Beliau adalah seorang hamba yang sudah diampuni setiap dosa selama masa hidupnya, akan tetapi beliau senantiasa memohon ampunan kepada Allah, bahkan Rasulullah setiap harinya beristighfar (memohon ampunan) kepada Allah sebanyak 70 sampai 100 kali dalam sehari sebagaimana dijelaskan dalam dua hadis shahih :

Dari Abu Hurairah RA berkata, ia mendengar Rasulullah SAWbersabda : “Demi Allah. Sungguh aku selalu beristighfar dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR Bukhari).

Rasulullah SAW bersabda, “Wahai sekalian manusia. Taubatlah (beristigfar) kepada Allah karena aku selalu bertaubat kepada-Nya dalam sehari sebanyak 100 kali.” (HR Muslim).

Seperti itulah istighfar Rasulullah SAW sebagai manusia yang sudah diampuni setiap dosa selama hayatnya, maka sungguh harus ribuan bahkan jutaan kali kita memanjatkan istghfar kepada Allah karena diri kita penuh dengan tumpukan dosa yang dilakukan siang dan malam, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits Qudsi:

Allah berfirman dalam hadits Qudsi, “Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa di waktu siang dan malam, dan Aku mengampuni dosa-dosa itu semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku, pasti Aku mengampuni kalian.” (HR Muslim ).

Sungguh maghfirah itu sangat luas dan sangat dekat asalkan kita mendekatkan diri kepada-Nya dengan melaksanakan segala perintah dan manjauhi setiap larangan-Nya.

Ketika Allah menjelaskan bahwasanya kita selaku manusia sering melakukan dosa siang dan malam, maka Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk mengajarkan sebuah doa yang dianjurkan untuk dibaca siang dan malam hari yang masyhur dengan sayyidul istighfar, sebagai doa pengakuan atas setiap dosa dan mengharapkan ampunan dari-Nya.

“Allahumma anta robbi laa ilaha illa anta, kholaqtani wa ana ‘abduka wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu. A’udzu bika min syarri maa shona’tu, abuu-u laka bini’matika ‘alayya, wa abuu-u bi dzanbi, faghfirliy fainnahu laa yaghfirudz dzunuuba illa anta”

[Ya Allah! Engkau adalah Rabbku, tidak ada Rabb yang berhak disembah kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau].” (HR. Bukhari).

Harus diketahui bahwa ada tiga syarat dalam taubat; pertama, kita harus meninggalkan maksiat, kedua, kita menyesali maksiat, dan ketiga, ‘azam (tekad) yang kuat untuk tidak mengulanginya.

Jadikanlah kesempatan Ramadhan tahun ini sebagai sarana untuk meraih maghfirah Allah Swt. Sehingga kita berharap menjadi hamba yang suci dari dosa.

Wallahu a'lam.



Penulis adalah sahabat Republika Online di Kai

Senin, 15 Agustus 2011

Keberkahan Waktu Sahur



Oleh Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MSc


Waktu adalah ibarat pisau atau pedang yang sangat tajam. Jika Anda tidak bisa menggunakannya dengan baik dan tepat, bisa jadi pisau atau pedang itu akan melukai diri Anda sendiri. Itulah salah satu nasihat bijak dari Ali bin Abi Thalib tentang urgensi waktu dalam kehidupan umat manusia.

Karena pentingnya masalah waktu ini, sehingga Allah SWT pun sering bersumpah di dalam Alquran dengan mempergunakan kata-kata waktu. Misalnya "Demi masa." (QS [103]: 1), "Demi waktu dhuha." (QS [93]: 1), "Demi waktu malam." (QS [92]: 1), dan "Demi waktu fajar." (QS [89]: 1).

Di antara waktu yang mendapatkan perhatian Alquran dan as-sunnah adalah waktu sahur. "Orang-orang yang sabar, orang-orang yang jujur, orang-orang yang tunduk dan patuh (pada ketentuan Allah dan Rasul-Nya), orang-orang yang menginfakkan sebagian hartanya, dan orang-orang yang memohon ampun kepada Allah pada waktu sahur." (QS Ali Imran [3]: 17).

Maksudnya, orang-orang yang memiliki kebiasaan atau perilaku tersebut adalah orang-orang yang akan mendapatkan keselamatan dan kesuksesan dalam hidupnya, baik di dunia maupun di akhirat nanti, salah satunya adalah dengan selalu beristighfar.

Mereka itulah orang-orang yang punya kesadaran tauhid yang tinggi kepada-Nya, kesadaran yang menempatkannya pada posisi merendahkan diri dan selalu merasa banyak dosa di hadapan-Nya. Dengan istighfar ini, orang tersebut ingin membersihkan hati, pikiran, dan perilakunya dari perbuatan maksiat kepada Allah SWT. Apalagi dilakukannya pada waktu sahur, suatu waktu yang tidak banyak orang yang mampu bermunajat dan beristighfar kepada-Nya.

Dalam sebuah hadis Qudsi digambarkan bahwa pada waktu sahur tersebut, Allah dengan para malaikat-Nya turun ke langit dunia sambil berfirman, "Adakah di antara hamba-Ku yang memohon ampun, pasti akan Kuampuni. Adakah di antara hamba-Ku yang memohon pertolongan, pasti akan Kuberikan pertolongan kepadanya."

Salah satu amaliyah di dalam bulan Ramadhan yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW (sunnah muakadah) adalah makan pada waktu sahur. "Makan sahurlah kamu sekalian, karena di dalamnya terdapat keberkahan." (HR Imam Bukhari dan Muslim).

Makna keberkahan ini bukan hanya terbatas semata-mata pada makan dan minumnya, tetapi juga pada aktivitas ibadah lainnya yang dilakukan pada waktu sahur tersebut, seperti shalat tahajj\ud, bermunajat kepada Allah SWT, dan membaca Alquran.

Jika bangun pada waktu sahur ini dilakukan satu bulan terus-menerus, diharapkan akan menjadi suatu kebiasaan sekaligus kebutuhan bagi orang-orang yang beriman. Waktu sahur adalah waktu emas (golden time) yang sangat berharga yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin karena di dalamnya terdapat berbagai macam keberuntungan, keindahan, dan kenikmatan. Orang akan khusyu dalam bermunajat kepada Allah SWT, akan khusyu pula dalam beribadah kepada Allah SWT, dan khusyuk pula dalam berzikir kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, mari kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya waktu sahur yang sangat berharga ini. Semoga Allah SWT melimpahkan keberkahan hidup kepada kita semua. Amien. Wallahu a'lam.