Taukah Anda, negara yang memiliki populasi muslim paling banyak di dunia?? Berikut ini saya coba informasikan 10 negara dengan populasi muslim terbanyak di dunia lengkap dengan jumlah populasi nya
1. Indonesia : 182,570,000 orang
Indonesia merupakan negara Muslim terbesar di seluruh dunia. Meskipun 88% penduduknya beragama Islam, Indonesia bukanlah negara Islam. Muslim di Indonesia juga dikenal dengan sifatnya yang moderat dan toleran. Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri.
Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
2. Pakistan : 134,480,000 orang
Pakistan adalah sebuah negara yang terletak di Asia Selatan. Dengan lebih dari 150 juta penduduk, Nama Pakistan diambil dari awalan daerah Punjab, Afghan, Kashmir, Sind dan Baluchistan. Sedangkan dalam bahasa Persi Pak berarti suci dan Stan bermakna negara sehingga para pendiri Pakistan mengharapkan adanya negara suci menurut ajaran Islam.
3. India : 121,000,000 orang
Islam adalah agama yang kedua terbesar kedua setelah agama Hindu (80.5%). Ada sekitar 174 juta Muslim, 16.4% dari jumlah penduduk. Sejak pengenalannya ke India, Islam telah membuat penyumbangan keagamaan, kesenian, falsafah, kebudayaan, kemasyarakatan dan politik kepada sejarah, warisan dan kehidupan India.
4. Bangladesh : 114,080,000 orang
Islam adalah agama terbesar Bangladesh, yang muslim penduduk lebih dari 130 juta dan merupakan hampir 88% dari total jumlah penduduk, berdasarkan sensus 2001. Islam datang ke wilayah Bengal sejak abad ke-13, terutama oleh kedatangan para pedagang Arab, Persia Saints dan penaklukan daerahl Salah satu yang terkenal adalah suci Islam, Shah Jalal.
5. Turki : 65,510,000 orang
Daerah yang terdiri dari Turki moden mempunyai tradisi Islam yang lama dan kaya melatar belakang ke zaman permulaan Seljuk dan Empayar Uthmaniyyah. Orang Turki secara kebudayaan dan sejarah adalah umat Islam.
6. Iran : 62,430,000 orang
Sejarah awal Iran meliputi negara Iran dan juga negara-negara tetangganya yang mempunyai persamaan dalam kebudayaan dan bahasa. Ketika itu, negara-negara ini diperintah oleh kekaisaran-kekaisaran seperti Media dan Akhemenid. Sassania adalah kekaisaran Persia terakhir sebelum kedatangan Islam. Kemudian Persia bergabung menjadi sebagian khilafah Islam awal.
7. Mesir : 58,630,000 orang
Islam menyentuh wilayah Mesir pada 628 Masehi. Ketika itu Rasulullah mengirim surat pada Gubernur Mukaukis -yang berada di bawah kekuasaan Romawi-mengajak masuk Islam. Rasul bahkan menikahi gadis Mesir, Maria. Pada 639 Masehi, ketika Islam di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab, 3000 pasukan Amru bin Ash memasuki Mesir dan kemudian diperkuat pasukan Zubair bin Awwam berkekuatan 4000 orang. Mukaukis didukung gereja Kopti menandatangani perjanjian damai. Sejak itu, Mesir menjadi wilayah kekuasaan pihak Islam.
Di masa kekuasaan Keluarga Umayah, dan kemudian Abbasiyah, Mesir menjadi salah satu provinsi seperti semula. Khalifah Muiz membangun Masjid Besar Al-Azhar (dari “Al-Zahra”, nama panggilan Fatimah) yang dirampungkan pada 17 Ramadhan 359 Hijriah, 970 Masehi. Inilah yang kemudian bekembang menjadi Universitas Al-Azhar sekarang, yang juga merupakan universitas tertua di dunia saat ini.
8. Nigeria : 53,000,000 orang
Islam dianut oleh 50% dari total penduduk Nigeria, Penyebaran Islam di Nigeria dibagi dalam tiga periode, yaitu periode Trans Sahara dan Afrika Utara, periode Atlantik dan periode kemerdekaan. di samping melakukan perdagangan, para pedagang Muslim juga memperkenalkan misi utama ajaran Islam, yaitu mengembangkan perdamaian, keadilan dan kesejahteraan.
9. Algeria (Al-Jazair) : 30,530,000 orang
Islam pertama kali dibawa ke Aljazair oleh Bani Umayyah setelah invasi dinasti dari Uqba bin Nafi, dalam berlarut-larut proses penaklukan dan konversi yang membentang 670-711. Namun, seperti di Timur Tengah itu sendiri, mereka berusaha untuk menggabungkan baru mereka Islam dengan perlawanan terhadap aturan luar negeri kekhalifahan – sebuah ceruk yang Khawarij dan Syiah “ajaran sesat” diisi dengan sempurna.
10. Maroko : 28,780,000 orang
Maroko modern pada abad ke-7 M merupakan sebuah wilayah Barbar yang dipengaruhi Arab. Bangsa Arab yang datang ke Maroko membawa adat, kebudayaan dan ajaran Islam. Sejak itu, bangsa Barbar pun banyak yang memeluk ajaran Islam.
Artikel Terkait:
10 Masjid Tertua di Dunia
10 Negara dengan Manusia Paling Gemuk Terbanyak di Dunia
10 Negara dengan Penduduk Terpadat di Dunia
10 Bahasa yang Paling Banyak Digunakan di Dunia
10 Kerusuhan Terparah Sepanjang Sejara
Kamis, 16 Juni 2011
10 Negara Populasi Muslim Terbanyak di Dunia
Memenuhi Panggilan Allah
Oleh Ali Farkhan Tsani
Sedikitnya ada tiga panggilan Allah yang wajib dipenuhi oleh hamba-hamba-Nya. Pertama, panggilan shalat, yaitu ketika azan berkumandang lima waktu sehari semalam. Seruan lima kali sepanjang 24 jam ini terus menggema susul-menyusul bergantian dari satu masjid ke masjid lainnya. Selesai dari negeri yang satu, berpindah ke belahan bumi yang lain, berputar terus selama bumi masih berotasi mengelilingi porosnya. "Allahu akbar … Allahu akbar …!"
Sahabat Ibnu Abbas adalah orang yang sering kali menangis manakala mendengar panggilan azan bergema. Serbannya sering basah oleh tetesan airmatanya yang terus mengalir mengiringi alunan suara sang muazin. Ketika ada yang menanyakan mengapa sampai begitu? Ibnu Abbas menjawab, "Seandainya semua orang tahu makna seruan muazin itu, pasti tidak akan dapat beristirahat dan tak akan dapat tidur nyenyak." Kalimat Allahu akbar saja mengandung makna panggilan kepada orang beriman yang sedang sibuk mengurusi harta duniawi agar berhenti sejenak, menyambut seruan itu. Mengistirahatkan badan dan segera beramal demi meraih kepentingan dan keuntungan hakiki.
Kedua, panggilan haji. Allah menyeru di dalam firman-Nya: "Dan, berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh ..." (QS al-Hajj [22] : 27).
Oleh karena itulah, mereka yang menunaikan ibadah haji menjawab seruan itu dengan kalimat talbiah, "Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi. Aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi penggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, dan kekuasaan hanyalah milik-Mu semata, tiada sekutu bagi-Mu."
Ketiga, panggilan kematian. Sifat manusia sering kali menunda-nunda panggilan azan. Begitu juga ketika panggilan haji telah tiba, ia pun belum tergerak memenuhinya, walau sudah mampu. Akan tetapi, terhadap panggilan yang satu ini, tidak ada satu pun yang sanggup menghalanginya, apalagi menundanya. Malaikat Izrail, sang pencabut nyawa, atas perintah Tuhannya akan melaksanakan perintah Allah. Ia tidak akan mempercepat walau sesaat jika belum tiba saatnya. Juga tidak akan mengulur waktu walau sedetik apabila sudah datang waktunya.
"Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS al-Munafiqun [63]: 11).
Dalam ayat lainnya, Allah SWT juga sering mengingatkan umat manusia untuk senantiasa memperhatikan seruan-Nya, mengerjakan segala perintah-Nya, dan menjauhi seluruh larangan-Nya.
Dengan penuh kesadaran diri dan keinsafan iman, marilah kita penuhi panggilan Allah berupa azan shalat saat memanggil, dan panggilan haji ke tanah suci bila kita telah mampu menunaikannya.
Demikian juga panggilan-panggilan yang lain, seperti panggilan dakwah, panggilan jihad, dan panggilan kebaikan lainnya. Sebelum datang panggilan Allah yang tidak dapat ditawar-tawar lagi kehadirannya, yakni panggilan kematian. Sementara mereka yang masih hidup pun hanya sanggup berucap, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un." Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami kembali.
Sedikitnya ada tiga panggilan Allah yang wajib dipenuhi oleh hamba-hamba-Nya. Pertama, panggilan shalat, yaitu ketika azan berkumandang lima waktu sehari semalam. Seruan lima kali sepanjang 24 jam ini terus menggema susul-menyusul bergantian dari satu masjid ke masjid lainnya. Selesai dari negeri yang satu, berpindah ke belahan bumi yang lain, berputar terus selama bumi masih berotasi mengelilingi porosnya. "Allahu akbar … Allahu akbar …!"
Sahabat Ibnu Abbas adalah orang yang sering kali menangis manakala mendengar panggilan azan bergema. Serbannya sering basah oleh tetesan airmatanya yang terus mengalir mengiringi alunan suara sang muazin. Ketika ada yang menanyakan mengapa sampai begitu? Ibnu Abbas menjawab, "Seandainya semua orang tahu makna seruan muazin itu, pasti tidak akan dapat beristirahat dan tak akan dapat tidur nyenyak." Kalimat Allahu akbar saja mengandung makna panggilan kepada orang beriman yang sedang sibuk mengurusi harta duniawi agar berhenti sejenak, menyambut seruan itu. Mengistirahatkan badan dan segera beramal demi meraih kepentingan dan keuntungan hakiki.
Kedua, panggilan haji. Allah menyeru di dalam firman-Nya: "Dan, berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh ..." (QS al-Hajj [22] : 27).
Oleh karena itulah, mereka yang menunaikan ibadah haji menjawab seruan itu dengan kalimat talbiah, "Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi. Aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku penuhi penggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, dan kekuasaan hanyalah milik-Mu semata, tiada sekutu bagi-Mu."
Ketiga, panggilan kematian. Sifat manusia sering kali menunda-nunda panggilan azan. Begitu juga ketika panggilan haji telah tiba, ia pun belum tergerak memenuhinya, walau sudah mampu. Akan tetapi, terhadap panggilan yang satu ini, tidak ada satu pun yang sanggup menghalanginya, apalagi menundanya. Malaikat Izrail, sang pencabut nyawa, atas perintah Tuhannya akan melaksanakan perintah Allah. Ia tidak akan mempercepat walau sesaat jika belum tiba saatnya. Juga tidak akan mengulur waktu walau sedetik apabila sudah datang waktunya.
"Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS al-Munafiqun [63]: 11).
Dalam ayat lainnya, Allah SWT juga sering mengingatkan umat manusia untuk senantiasa memperhatikan seruan-Nya, mengerjakan segala perintah-Nya, dan menjauhi seluruh larangan-Nya.
Dengan penuh kesadaran diri dan keinsafan iman, marilah kita penuhi panggilan Allah berupa azan shalat saat memanggil, dan panggilan haji ke tanah suci bila kita telah mampu menunaikannya.
Demikian juga panggilan-panggilan yang lain, seperti panggilan dakwah, panggilan jihad, dan panggilan kebaikan lainnya. Sebelum datang panggilan Allah yang tidak dapat ditawar-tawar lagi kehadirannya, yakni panggilan kematian. Sementara mereka yang masih hidup pun hanya sanggup berucap, "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un." Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami kembali.
Ciri Mukmin Sejati
Oleh Dr Abdul Mannan
Orang beriman dalam Alquran disebut mukmin, jamaknya mukminin. Mukmin ialah orang yang benar-benar beriman kepada Allah SWT. Mematuhi segala perintah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Itulah mukmin sejati. Mukmin sejati kelak akan mendapatkan surga dan keridaan Allah SWT.
Tentu kita ingin menjadi mukmin sejati yang nantinya mendapat rida Allah SWT dan kekal dalam kebahagiaan. "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya." (QS al-Mu'minun [23]: 1-5).
Ayat tersebut menghendaki kita untuk khusyuk dalam shalat, menjauhi perkataan dan perbuatan yang sia-sia, menunaikan zakat dan tidak mendekati zina. Pertanyaannya kemudian, bagaimana caranya kita bisa khusyuk dalam shalat? Mengapa harus menjauhi hal-hal yang tak berguna, wajib zakat, dan dilarang zina?
Untuk shalat khusyuk ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Pertama, memahami bacaan-bacaan shalat. Kedua, berusaha untuk bisa konsentrasi dan tulus ikhlas dalam mengerjakannya (QS al-A'raf [7]: 29). Ketiga, mengerjakannya dengan thuma'ninah, tenang, dan tidak terburu-buru. Bahkan, kalau ingin sempurna lagi lakukanlah shalat secara berjamaah di masjid.
Berikutnya kita mesti menjauhi perkataan dan perbuatan yang sia-sia. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (Muttafaqun Alaih).
Selanjutnya menunaikan zakat. Zakat hakikatnya menyucikan diri dan menjaga diri dari sifat kikir (bakhil) (QS at-Taubah [9]: 103). Dengan demikian, solidaritas sesama Muslim dapat dipelihara dan terus-menerus ditingkatkan. Mengapa kita perlu menjaga diri dari sifat kikir yang dalam Alquran disebut bakhil?
Allah membenci orang kikir (bakhil). “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.
Sebenarnya, kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan, kepunyaan Allahlah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan, Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Ali Imran [3]: 180).
Selanjutnya, tidak mendekati zina. Allah SWT sangat membenci perbuatan zina. Oleh karena itu, pelakunya diberi hukuman dan tercatat sebagai pelaku dosa besar. (QS al-Isra’ [17]: 32).
Dari sini jelas bahwa kalau kita ingin bahagia selamanya baik di dunia maupun di akhirat kita mesti menjadi mukmin sejati. Sebagaimana yang terkandung dalam surah al-Mu’minun.
Tetapi hari ini, bagi sebagian umat Islam, iman tidak lagi penting. Tidak shalat sudah biasa, demikian juga dusta dan kesiasiaan. Kikir menjadi budaya dan zina jadi gaya hidup.
Wahai saudaraku, selagi masih hidup bersegeralah memperbaiki diri, bersungguh-sungguhlah untuk menjadi mukmin sejati. Jika tidak, ja-ngan menyesal apabila kelak akan termasuk golongan orang yang merugi. Wallahu a'lam.
Orang beriman dalam Alquran disebut mukmin, jamaknya mukminin. Mukmin ialah orang yang benar-benar beriman kepada Allah SWT. Mematuhi segala perintah dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Itulah mukmin sejati. Mukmin sejati kelak akan mendapatkan surga dan keridaan Allah SWT.
Tentu kita ingin menjadi mukmin sejati yang nantinya mendapat rida Allah SWT dan kekal dalam kebahagiaan. "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya." (QS al-Mu'minun [23]: 1-5).
Ayat tersebut menghendaki kita untuk khusyuk dalam shalat, menjauhi perkataan dan perbuatan yang sia-sia, menunaikan zakat dan tidak mendekati zina. Pertanyaannya kemudian, bagaimana caranya kita bisa khusyuk dalam shalat? Mengapa harus menjauhi hal-hal yang tak berguna, wajib zakat, dan dilarang zina?
Untuk shalat khusyuk ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Pertama, memahami bacaan-bacaan shalat. Kedua, berusaha untuk bisa konsentrasi dan tulus ikhlas dalam mengerjakannya (QS al-A'raf [7]: 29). Ketiga, mengerjakannya dengan thuma'ninah, tenang, dan tidak terburu-buru. Bahkan, kalau ingin sempurna lagi lakukanlah shalat secara berjamaah di masjid.
Berikutnya kita mesti menjauhi perkataan dan perbuatan yang sia-sia. Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam." (Muttafaqun Alaih).
Selanjutnya menunaikan zakat. Zakat hakikatnya menyucikan diri dan menjaga diri dari sifat kikir (bakhil) (QS at-Taubah [9]: 103). Dengan demikian, solidaritas sesama Muslim dapat dipelihara dan terus-menerus ditingkatkan. Mengapa kita perlu menjaga diri dari sifat kikir yang dalam Alquran disebut bakhil?
Allah membenci orang kikir (bakhil). “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka.
Sebenarnya, kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan, kepunyaan Allahlah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan, Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Ali Imran [3]: 180).
Selanjutnya, tidak mendekati zina. Allah SWT sangat membenci perbuatan zina. Oleh karena itu, pelakunya diberi hukuman dan tercatat sebagai pelaku dosa besar. (QS al-Isra’ [17]: 32).
Dari sini jelas bahwa kalau kita ingin bahagia selamanya baik di dunia maupun di akhirat kita mesti menjadi mukmin sejati. Sebagaimana yang terkandung dalam surah al-Mu’minun.
Tetapi hari ini, bagi sebagian umat Islam, iman tidak lagi penting. Tidak shalat sudah biasa, demikian juga dusta dan kesiasiaan. Kikir menjadi budaya dan zina jadi gaya hidup.
Wahai saudaraku, selagi masih hidup bersegeralah memperbaiki diri, bersungguh-sungguhlah untuk menjadi mukmin sejati. Jika tidak, ja-ngan menyesal apabila kelak akan termasuk golongan orang yang merugi. Wallahu a'lam.
Ulama dan Kekuasaan
Oleh Rony Subayu SQ
Dalam sebuah kitab yang cukup masyhur di dunia tasawuf, Kasyful Mahjub, diceritakan bahwa suatu ketika Khalifah al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah mengundang empat ulama besar ahli fikih untuk datang ke istananya. Mereka adalah Abu Hanifah, Sufyan al-Tsauri, Mis`ar bin Qidam, dan Syuraih.
Sang Khalifah bermaksud mengangkat mereka menjadi hakim agung kerajaan (Qadhi), sebuah jabatan yang sangat strategis lagi menggiurkan. Namun, keempat ulama besar itu sepakat menolak permintaan Khalifah al-Mansur. Sufyan al-Tsauri memilih melarikan diri ke sebuah pelabuhan dan bersembunyi di bawah kapal yang hendak berlayar, sementara yang lain berangkat menuju istana untuk menyampaikan penolakan.
Sesampainya di istana, sang Khalifah menunjuk Abu Hanifah untuk menjadi hakim agung, namun ia berusaha mengelak dengan mengatakan, "Wahai Amirul Mukminin, aku bukanlah orang Arab melainkan sahabat orang-orang Arab. Pemimpin Arab tidak akan menerima keputusan hakim agung seperti aku."
Khalifah pun menerima keberatan Abu Hanifah dan memanggil Mis`ar bin Qidam untuk tampil ke muka. "Engkaulah yang harus menjadi hakim agung," tunjuk Khalifah al-Mansur. Namun, Mis`ar menaggapinya dengan berpura-pura bertingkah laku seperti orang gila. "Keluarkan orang ini (Mis`ar--Red), ia sudah gila!" teriak Khalifah al-Mansur.
Tinggallah seorang ulama lagi, Syuraih pun dititahkan untuk mengisi kekosongan jabatan Qadhi. Syuraih mengajukan keberatan yang sama seperti dilakukan oleh dua ulama sebelumnya. Syuraih berkata, "Wahai Khalifah, aku ini mudah bersedih dan gemar melucu, padahal orang yang penyedih dan suka bercanda tidak layak menjadi hakim." Namun demikian, penolakan Syuraih itu tak diterima oleh Khalifah al-Mansur. Sebaliknya, oleh khalifah, Syuraih didaulat memegang tampuk kehakiman, sebab tak ada lagi ulama yang sangat berkompeten untuk memegang jabatan tersebut. Sementara, ulama lainnya sudah menyatakan penolakannya atas jabatan hakim agung itu.
Kisah yang terjadi pada masa keemasan Islam ini mencerminkan keteguhan ulama dalam memegang prinsip untuk tidak tergoda oleh manisnya kekuasaan. Bagi mereka, kekuasaan merupakan momok yang sangat menakutkan. Karena, hal itu berpotensi mempersempit ruang gerak dan independensi sang ulama. Selain itu, jabatan sebagai hakim itu sangat berat, karena merupakan amanat yang mahaberat dan dapat memalingkan mereka dari ibadah kepada Allah SWT. Karenanya, alih-alih memperebutkan jabatan, para ulama justru berusaha menghindari segala macam bentuk kekuasaan dan godaan duniawi dari diri mereka. Mereka senantiasa menghindarinya dengan berbagai cara.
Berbeda dengan kondisi saat ini, banyak orang termasuk para ulama malah beramai-ramai mendekati kekuasaan, bahkan menggalang kekuatan untuk meraihnya. Akibatnya, ulama tidak lagi membimbing dan mengayomi umat, tetapi memanfaatkannya sebagai pelicin menuju kursi kekuasaan. Alangkah rindunya kita akan kehadiran para ulama seperti Abu Hanifah yang mempertahankan integritas dan kepribadiannya serta sanggup menolak jabatan, setinggi apa pun kekuasaan itu. Kita merindukan ulama yang memilih kesucian hati ketimbang keindahan rumahnya.
Redaktur: Siwi Tri Puji B
Dalam sebuah kitab yang cukup masyhur di dunia tasawuf, Kasyful Mahjub, diceritakan bahwa suatu ketika Khalifah al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah mengundang empat ulama besar ahli fikih untuk datang ke istananya. Mereka adalah Abu Hanifah, Sufyan al-Tsauri, Mis`ar bin Qidam, dan Syuraih.
Sang Khalifah bermaksud mengangkat mereka menjadi hakim agung kerajaan (Qadhi), sebuah jabatan yang sangat strategis lagi menggiurkan. Namun, keempat ulama besar itu sepakat menolak permintaan Khalifah al-Mansur. Sufyan al-Tsauri memilih melarikan diri ke sebuah pelabuhan dan bersembunyi di bawah kapal yang hendak berlayar, sementara yang lain berangkat menuju istana untuk menyampaikan penolakan.
Sesampainya di istana, sang Khalifah menunjuk Abu Hanifah untuk menjadi hakim agung, namun ia berusaha mengelak dengan mengatakan, "Wahai Amirul Mukminin, aku bukanlah orang Arab melainkan sahabat orang-orang Arab. Pemimpin Arab tidak akan menerima keputusan hakim agung seperti aku."
Khalifah pun menerima keberatan Abu Hanifah dan memanggil Mis`ar bin Qidam untuk tampil ke muka. "Engkaulah yang harus menjadi hakim agung," tunjuk Khalifah al-Mansur. Namun, Mis`ar menaggapinya dengan berpura-pura bertingkah laku seperti orang gila. "Keluarkan orang ini (Mis`ar--Red), ia sudah gila!" teriak Khalifah al-Mansur.
Tinggallah seorang ulama lagi, Syuraih pun dititahkan untuk mengisi kekosongan jabatan Qadhi. Syuraih mengajukan keberatan yang sama seperti dilakukan oleh dua ulama sebelumnya. Syuraih berkata, "Wahai Khalifah, aku ini mudah bersedih dan gemar melucu, padahal orang yang penyedih dan suka bercanda tidak layak menjadi hakim." Namun demikian, penolakan Syuraih itu tak diterima oleh Khalifah al-Mansur. Sebaliknya, oleh khalifah, Syuraih didaulat memegang tampuk kehakiman, sebab tak ada lagi ulama yang sangat berkompeten untuk memegang jabatan tersebut. Sementara, ulama lainnya sudah menyatakan penolakannya atas jabatan hakim agung itu.
Kisah yang terjadi pada masa keemasan Islam ini mencerminkan keteguhan ulama dalam memegang prinsip untuk tidak tergoda oleh manisnya kekuasaan. Bagi mereka, kekuasaan merupakan momok yang sangat menakutkan. Karena, hal itu berpotensi mempersempit ruang gerak dan independensi sang ulama. Selain itu, jabatan sebagai hakim itu sangat berat, karena merupakan amanat yang mahaberat dan dapat memalingkan mereka dari ibadah kepada Allah SWT. Karenanya, alih-alih memperebutkan jabatan, para ulama justru berusaha menghindari segala macam bentuk kekuasaan dan godaan duniawi dari diri mereka. Mereka senantiasa menghindarinya dengan berbagai cara.
Berbeda dengan kondisi saat ini, banyak orang termasuk para ulama malah beramai-ramai mendekati kekuasaan, bahkan menggalang kekuatan untuk meraihnya. Akibatnya, ulama tidak lagi membimbing dan mengayomi umat, tetapi memanfaatkannya sebagai pelicin menuju kursi kekuasaan. Alangkah rindunya kita akan kehadiran para ulama seperti Abu Hanifah yang mempertahankan integritas dan kepribadiannya serta sanggup menolak jabatan, setinggi apa pun kekuasaan itu. Kita merindukan ulama yang memilih kesucian hati ketimbang keindahan rumahnya.
Redaktur: Siwi Tri Puji B
Kamis, 02 Juni 2011
Keteladanan dalam Mendidik Anak
Oleh Khofifah Indar Parawansa
Nama Luqmanul Hakim sangat popular dalam dunia Islam, karena nasihat-nasihatnya yang penuh hikmah. Bukan sekadar pesan, namun nasihatnya merupakan pendidikan seorang bapak terhadap anaknya yang penuh dengan kasih sayang serta ajaran tentang akidah dan akhlak. Karena keteladanannya dalam mendidik anak itu pula, Allah mengabadikan namanya dalam Alquran, yakni Surah Luqman.
Tentang asal-usul Luqman, ada beda pendapat di antara para ulama. Ibnu Abbas menyatakan bahwa Luqman adalah seorang tukang kayu dari Habsyi. Riwayat lain menyebutkan, ia bertubuh pendek dan berhidung mancung dari Nubah, dan ada yang berpendapat dia berasal dari Sudan. Dan, ada pula yang berpendapat Luqman adalah seorang hakim di zaman Nabi Daud AS.
Ada enam hal penting yang disampaikan Luqman kepada anaknya. Pertama, larangan mempersekutukan Allah. (QS Luqman: 13). Kedua, berbuat baik kepada dua orang ibu-bapak. (QS Luqman: 14). Ketiga, sadar terhadap pengawasan Allah. (QS Luqman: 16). Keempat, mendirikan shalat, 'amar makruf nahi mungkar, dan sabar dalam menghadapi persoalan. (QS Luqman: 17). Kelima, larangan sombong dan membanggakan diri (QS Luqman: 18). Dan keenam, bersikap sederhana dan bersuara rendah (QS Luqman: 19).
Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Luqman tersebut, terutama soal keteladanan seorang bapak dalam mendidik anak. Luqman menanamkan tauhid dan keimanan kepada Allah SWT, juga norma dan tata cara berhubungan dengan keluarga dan masyarakat luas. Luqman tidak hanya berbicara, tapi langsung memberikan uswah (teladan) kepada anaknya.
Urgensi keteladanan disebutkan dalam hadis nabi. "Barang siapa yang memberikan contoh baik, maka baginya pahala atas perbuatan baiknya dan pahala orang yang mengikuti hingga hari kiamat, yang demikian itu tidak menghalangi pahala orang-orang yang mengikutinya sedikit pun. Dan barang siapa yang memberi contoh buruk, maka baginya dosa atas perbuatannya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Yang demikian itu tanpa dikurangi sedikit pun dosa orang-orang yang mengikutinya." (HR Imam Muslim).
Dalam konteks sekarang, kisah Luqman perlu disosialisasikan secara terus-menerus di tengah bermunculannya kasus anak-anak yang tidak mendapatkan hak sewajarnya dalam keluarga. Mereka hidup nyaris tanpa perlindungan. Bahkan, banyak anak hidup di bawah ancaman dan kekerasan, karena orang tua lari dari tanggung jawab.
Di sisi lain, kini banyak perilaku negatif di masyarakat yang bisa mendorong anak-anak menjadi jauh dari akidah dan akhlak Islam. Tayang televisi yang kurang bermutu, serta maraknya aksi pornografi dan pornoaksi, merupakan bagian dari penyebabnya. Akibatnya, anak-anak kerap mengalami krisis keteladanan.
Untuk itu, keluarga memegang peran penting agar anak-anak menemukan keteladanan dalam hidupnya. Dari keluarga, anak menemukan tata nilai agama dan norma yang berhubungan dengan masyarakat, sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW. Sehingga, terbentuk keluarga sakinah yang senantiasa dinaungi hidayah Allah SWT. Insya Allah.
Penulis adalah Mantan Menteri Peranan Wanita dan Ketua Umum DPP Muslimat NU
Nama Luqmanul Hakim sangat popular dalam dunia Islam, karena nasihat-nasihatnya yang penuh hikmah. Bukan sekadar pesan, namun nasihatnya merupakan pendidikan seorang bapak terhadap anaknya yang penuh dengan kasih sayang serta ajaran tentang akidah dan akhlak. Karena keteladanannya dalam mendidik anak itu pula, Allah mengabadikan namanya dalam Alquran, yakni Surah Luqman.
Tentang asal-usul Luqman, ada beda pendapat di antara para ulama. Ibnu Abbas menyatakan bahwa Luqman adalah seorang tukang kayu dari Habsyi. Riwayat lain menyebutkan, ia bertubuh pendek dan berhidung mancung dari Nubah, dan ada yang berpendapat dia berasal dari Sudan. Dan, ada pula yang berpendapat Luqman adalah seorang hakim di zaman Nabi Daud AS.
Ada enam hal penting yang disampaikan Luqman kepada anaknya. Pertama, larangan mempersekutukan Allah. (QS Luqman: 13). Kedua, berbuat baik kepada dua orang ibu-bapak. (QS Luqman: 14). Ketiga, sadar terhadap pengawasan Allah. (QS Luqman: 16). Keempat, mendirikan shalat, 'amar makruf nahi mungkar, dan sabar dalam menghadapi persoalan. (QS Luqman: 17). Kelima, larangan sombong dan membanggakan diri (QS Luqman: 18). Dan keenam, bersikap sederhana dan bersuara rendah (QS Luqman: 19).
Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Luqman tersebut, terutama soal keteladanan seorang bapak dalam mendidik anak. Luqman menanamkan tauhid dan keimanan kepada Allah SWT, juga norma dan tata cara berhubungan dengan keluarga dan masyarakat luas. Luqman tidak hanya berbicara, tapi langsung memberikan uswah (teladan) kepada anaknya.
Urgensi keteladanan disebutkan dalam hadis nabi. "Barang siapa yang memberikan contoh baik, maka baginya pahala atas perbuatan baiknya dan pahala orang yang mengikuti hingga hari kiamat, yang demikian itu tidak menghalangi pahala orang-orang yang mengikutinya sedikit pun. Dan barang siapa yang memberi contoh buruk, maka baginya dosa atas perbuatannya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Yang demikian itu tanpa dikurangi sedikit pun dosa orang-orang yang mengikutinya." (HR Imam Muslim).
Dalam konteks sekarang, kisah Luqman perlu disosialisasikan secara terus-menerus di tengah bermunculannya kasus anak-anak yang tidak mendapatkan hak sewajarnya dalam keluarga. Mereka hidup nyaris tanpa perlindungan. Bahkan, banyak anak hidup di bawah ancaman dan kekerasan, karena orang tua lari dari tanggung jawab.
Di sisi lain, kini banyak perilaku negatif di masyarakat yang bisa mendorong anak-anak menjadi jauh dari akidah dan akhlak Islam. Tayang televisi yang kurang bermutu, serta maraknya aksi pornografi dan pornoaksi, merupakan bagian dari penyebabnya. Akibatnya, anak-anak kerap mengalami krisis keteladanan.
Untuk itu, keluarga memegang peran penting agar anak-anak menemukan keteladanan dalam hidupnya. Dari keluarga, anak menemukan tata nilai agama dan norma yang berhubungan dengan masyarakat, sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW. Sehingga, terbentuk keluarga sakinah yang senantiasa dinaungi hidayah Allah SWT. Insya Allah.
Penulis adalah Mantan Menteri Peranan Wanita dan Ketua Umum DPP Muslimat NU
Akhlakul Karimah...Oh Indahnya
Oleh Dr Abdul Mannan
Akhlakul karimah merupakan manivestasi keimanan dan keislaman paripurna seorang Muslim. Akhlakul karimah dalam pengertian luasnya ialah perilaku, perangai, ataupun adab yang didasarkan pada nilai-nilai wahyu sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. Akhlakul karimah terbukti efektif dalam menuntaskan suatu permasalahan serumit apa pun.
Sebagai bukti, ketika Muhammad masih belum menerima wahyu, beliau mampu memberikan solusi atas sengketa para pemuka Quraisy yang berebut ingin mengangkat hajar aswad saat pemugaran Ka'bah telah usai. Masing-masing pemuka suku bersikeras dan merasa dirinya paling berhak untuk mengangkat hajar aswad. Pertentangan itu nyaris meletuskan peperangan.
Menghadapi situasi tersebut, beliau meminta sorban, kemudian hajar aswad diletakkan di atas sorban tersebut. Lalu, masing-masing pemuka Qurasisy memegang ujung sorban dan bersama-sama mengangkatnya. Kekisruhan pun mulai reda dan akhirnya sirna karena semua pihak merasa tidak dirugikan.
Bahkan, jauh ketika masa menjelang remaja, Muhammad SAW dicintai masyarakatnya karena kejujurannya. Ternyata masyarakat yang tidak mengenal adab pun ketika itu masih memiliki nurani dengan memberikan gelar al-amin (tepercaya) kepada putra Abdullah itu. Ini bukti bahwa sampai kapan pun akhlakul karimah akan selalu dicintai umat manusia.
Dalam sejarah kehidupan manusia, masalah, konflik, beda pendapat, senantiasa akan hadir. Oleh karena itu, Islam membawa ajaran yang mewajibkan seluruh umatnya memiliki akhlakul karimah. Mengutamakan toleransi dari pada konfrontasi, kasih sayang dari padasifat garang, simpati daripada benci.
Dalam konteks sederhana, orang berakhlak ialah orang yang sportif dalam bahasa olahraga. Apabila salah, ia katakan salah dan apabila benar maka ia pun siap mengungkapkan sesuai fakta yang terjadi. Menang tidak menjadikannya sombong, kalah pun tak membuatnya menjadi pendengki.
Bahkan, yang lebih menarik ialah, ia akan berani mengakui kesalahannya. Bukan malah memutarbalikkan fakta hanya karena gengsi kalau dirinya mengakui suatu kesalahan yang telah diperbuatnya. Maka, tidaklah heran jika Nabi SAW pernah bersabda, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak."
Akhlak akan dimiliki oleh siapa saja yang secara sungguh-sungguh memahami, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam. Dan, siapa saja yang berhasil menjadikan akhlakul karimah sebagai karakter dalam dirinya tentu ia akan menjadi orang yang paling beruntung, baik di dunia maupun di akhirat.
Orang berakhlak tidak memerlukan pencitraan apalagi memaksakan kehendak. Baginya, kepentingan bersama jauh lebih penting daripada kepentingan pribadi dan golongannya.
Betapa indahnya jika semua elemen bangsa memiliki karakter akhlakul karimah. Saling memahami, mengutamakan toleransi dalam berbeda pendapat, saling menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan dan bergerak demi keutuhan bangsa dan negara.
Perlu diingat bahwa kecanggihan teknologi, sistem, dan regulasi apa pun, tidak akan memberi manfaat maksimal jika pribadi-pribadi bangsa ini tidak memiliki akhlakul karimah.
Akhlakul karimah merupakan manivestasi keimanan dan keislaman paripurna seorang Muslim. Akhlakul karimah dalam pengertian luasnya ialah perilaku, perangai, ataupun adab yang didasarkan pada nilai-nilai wahyu sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. Akhlakul karimah terbukti efektif dalam menuntaskan suatu permasalahan serumit apa pun.
Sebagai bukti, ketika Muhammad masih belum menerima wahyu, beliau mampu memberikan solusi atas sengketa para pemuka Quraisy yang berebut ingin mengangkat hajar aswad saat pemugaran Ka'bah telah usai. Masing-masing pemuka suku bersikeras dan merasa dirinya paling berhak untuk mengangkat hajar aswad. Pertentangan itu nyaris meletuskan peperangan.
Menghadapi situasi tersebut, beliau meminta sorban, kemudian hajar aswad diletakkan di atas sorban tersebut. Lalu, masing-masing pemuka Qurasisy memegang ujung sorban dan bersama-sama mengangkatnya. Kekisruhan pun mulai reda dan akhirnya sirna karena semua pihak merasa tidak dirugikan.
Bahkan, jauh ketika masa menjelang remaja, Muhammad SAW dicintai masyarakatnya karena kejujurannya. Ternyata masyarakat yang tidak mengenal adab pun ketika itu masih memiliki nurani dengan memberikan gelar al-amin (tepercaya) kepada putra Abdullah itu. Ini bukti bahwa sampai kapan pun akhlakul karimah akan selalu dicintai umat manusia.
Dalam sejarah kehidupan manusia, masalah, konflik, beda pendapat, senantiasa akan hadir. Oleh karena itu, Islam membawa ajaran yang mewajibkan seluruh umatnya memiliki akhlakul karimah. Mengutamakan toleransi dari pada konfrontasi, kasih sayang dari padasifat garang, simpati daripada benci.
Dalam konteks sederhana, orang berakhlak ialah orang yang sportif dalam bahasa olahraga. Apabila salah, ia katakan salah dan apabila benar maka ia pun siap mengungkapkan sesuai fakta yang terjadi. Menang tidak menjadikannya sombong, kalah pun tak membuatnya menjadi pendengki.
Bahkan, yang lebih menarik ialah, ia akan berani mengakui kesalahannya. Bukan malah memutarbalikkan fakta hanya karena gengsi kalau dirinya mengakui suatu kesalahan yang telah diperbuatnya. Maka, tidaklah heran jika Nabi SAW pernah bersabda, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak."
Akhlak akan dimiliki oleh siapa saja yang secara sungguh-sungguh memahami, meyakini, dan mengamalkan ajaran Islam. Dan, siapa saja yang berhasil menjadikan akhlakul karimah sebagai karakter dalam dirinya tentu ia akan menjadi orang yang paling beruntung, baik di dunia maupun di akhirat.
Orang berakhlak tidak memerlukan pencitraan apalagi memaksakan kehendak. Baginya, kepentingan bersama jauh lebih penting daripada kepentingan pribadi dan golongannya.
Betapa indahnya jika semua elemen bangsa memiliki karakter akhlakul karimah. Saling memahami, mengutamakan toleransi dalam berbeda pendapat, saling menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan dan bergerak demi keutuhan bangsa dan negara.
Perlu diingat bahwa kecanggihan teknologi, sistem, dan regulasi apa pun, tidak akan memberi manfaat maksimal jika pribadi-pribadi bangsa ini tidak memiliki akhlakul karimah.
Langganan:
Postingan (Atom)