Rabu, 23 Februari 2011

Pandangan Hidup Nabi

Oleh Achmad Satori Ismail

Dalam buku Seratus Tokoh Berpengaruh di Dunia Micheal Hart memilih Nabi Muhammad SAW sebagai orang nomor wahid yang paling berpengaruh sepanjang masa. Pilihan seorang Micheal Hart yang notabene adalah non-Muslim merupakan kesaksian jujur yang luar biasa atas kehebatan dan ketokohan Rasulullah SAW. Keputusannya tersebut atas dasar studi yang kokoh dengan mengambil beberapa kriteria yang ditetapkannya secara konsisten. Di antara penyebab kehebatan Rasulullah SAW adalah pandangan hidupnya yang istimewa.

Rasulullah pernah menyatakan manhaj atau pandangan hidupnya dalam sebuah hadis sebagai berikut: Pengetahuan adalah modalku, akal adalah dasar keberagamaanku, cinta adalah landasan hidupku, kerinduan adalah kendaraanku (menuju Allah), zikrullah adalah kebiasaanku, kepercayaan adalah simpanan berhargaku, kesedihan adalah teman dekatku, ilmu adalah senjataku, kesabaran adalah selendangku, zuhud adalah profesiku, rida adalah ghanimah-ku (bagian yang kudapat), keyakinan adalah kekuatanku, kejujuran adalah penolongku, ketaatan (kepada Allah) adalah kecintaanku, perjuangan adalah akhlakku, dan kesenanganku berada dalam menunaikan shalat.

Bila kita renungi pandangan hidup Rasulullah di atas dan mampu kita aplikasikan dalam kehidupan nyata, pastiah umat Islam menjadi umat yang terbaik penuh kesejukan. Umat Islam akan menampilkan kehidupan yang sangat memesona tanpa ada kekerasan. Misalnya saja, manhaj pertama menyatakan pengetahuan adalah modal dalam kehidupanku. Hal ini menuntut kita agar memiliki banyak pengetahuan sehingga kita menjadi khalifah di bumi, tidak mungkin dijajah oleh negara manapun. Umat Islam adalah umat terbesar di dunia dengan 1,3 miliar penganutnya, dan mendiami negara-negara yang kaya tambang, mineral, keanekargaman hayati, dan sebagainya. Sudah seharusnya kita menjadi saksi dunia bukan yang selalu menjadi tertuduh.

Dengan pandangan hidup yang integral, Allah telah memuji Rasulullah SAW dengan firman-Nya: Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas semua akhlak yang agung (QS al-Qalam [68] : 4). Ayat ini menunjukkan bahwa kalau ada pemimpin yang hebat, maka kepemimpinan Rasulullah SAW lebih hebat darinya. Jika Nabi Ayyub as memiliki kesabaran luar biasa saat diuji Allah dengan penyakit kulit, maka kadar kesabaran Rasulullah SAW di atas kesabaran Nabi Ayub as tersebut. Rasul merupakan teladan tertinggi bagi umat manusia yang ingin menggapai kemuliaan dunia dan akhirat (QS al-Ahzab [33}:21). Dalam semua aspek kehidupannya harus dijadikan sebagai uswah hasanah umat manusia.

Dengan kata lain, akhlak dan perilaku Rasulullah harus dijadikan barometer perilaku umat manusia. Bila ada perilaku figur panutan bertentangan dengan perilaku Rasulullah SAW maka kita harus menakarnya dengan akhlak Rasulullah. Inilah tuntutan syahadat Rasul "Aku bersaksi sesungguhnya Nabi Muhmad SAW adalah utusan Allah" Kita wajib menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan tertinggi. Wallahu a'lam

Pandangan Hidup Nabi

Oleh Achmad Satori Ismail

Dalam buku Seratus Tokoh Berpengaruh di Dunia Micheal Hart memilih Nabi Muhammad SAW sebagai orang nomor wahid yang paling berpengaruh sepanjang masa. Pilihan seorang Micheal Hart yang notabene adalah non-Muslim merupakan kesaksian jujur yang luar biasa atas kehebatan dan ketokohan Rasulullah SAW. Keputusannya tersebut atas dasar studi yang kokoh dengan mengambil beberapa kriteria yang ditetapkannya secara konsisten. Di antara penyebab kehebatan Rasulullah SAW adalah pandangan hidupnya yang istimewa.

Rasulullah pernah menyatakan manhaj atau pandangan hidupnya dalam sebuah hadis sebagai berikut: Pengetahuan adalah modalku, akal adalah dasar keberagamaanku, cinta adalah landasan hidupku, kerinduan adalah kendaraanku (menuju Allah), zikrullah adalah kebiasaanku, kepercayaan adalah simpanan berhargaku, kesedihan adalah teman dekatku, ilmu adalah senjataku, kesabaran adalah selendangku, zuhud adalah profesiku, rida adalah ghanimah-ku (bagian yang kudapat), keyakinan adalah kekuatanku, kejujuran adalah penolongku, ketaatan (kepada Allah) adalah kecintaanku, perjuangan adalah akhlakku, dan kesenanganku berada dalam menunaikan shalat.

Bila kita renungi pandangan hidup Rasulullah di atas dan mampu kita aplikasikan dalam kehidupan nyata, pastiah umat Islam menjadi umat yang terbaik penuh kesejukan. Umat Islam akan menampilkan kehidupan yang sangat memesona tanpa ada kekerasan. Misalnya saja, manhaj pertama menyatakan pengetahuan adalah modal dalam kehidupanku. Hal ini menuntut kita agar memiliki banyak pengetahuan sehingga kita menjadi khalifah di bumi, tidak mungkin dijajah oleh negara manapun. Umat Islam adalah umat terbesar di dunia dengan 1,3 miliar penganutnya, dan mendiami negara-negara yang kaya tambang, mineral, keanekargaman hayati, dan sebagainya. Sudah seharusnya kita menjadi saksi dunia bukan yang selalu menjadi tertuduh.

Dengan pandangan hidup yang integral, Allah telah memuji Rasulullah SAW dengan firman-Nya: Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas semua akhlak yang agung (QS al-Qalam [68] : 4). Ayat ini menunjukkan bahwa kalau ada pemimpin yang hebat, maka kepemimpinan Rasulullah SAW lebih hebat darinya. Jika Nabi Ayyub as memiliki kesabaran luar biasa saat diuji Allah dengan penyakit kulit, maka kadar kesabaran Rasulullah SAW di atas kesabaran Nabi Ayub as tersebut. Rasul merupakan teladan tertinggi bagi umat manusia yang ingin menggapai kemuliaan dunia dan akhirat (QS al-Ahzab [33}:21). Dalam semua aspek kehidupannya harus dijadikan sebagai uswah hasanah umat manusia.

Dengan kata lain, akhlak dan perilaku Rasulullah harus dijadikan barometer perilaku umat manusia. Bila ada perilaku figur panutan bertentangan dengan perilaku Rasulullah SAW maka kita harus menakarnya dengan akhlak Rasulullah. Inilah tuntutan syahadat Rasul "Aku bersaksi sesungguhnya Nabi Muhmad SAW adalah utusan Allah" Kita wajib menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan tertinggi. Wallahu a'lam

Kebohongan Publik

Oleh Fahmi Salim***


Akhir-akhir ini kata `bohong', apalagi dikaitkan dengan `publik' sangat sensitif dan bisa jadi mengundang kemarahan pihak yang tertuduh melakukannya.

Dusta dan bohong adalah salah satu sifat tercela yang wajib dihindari oleh setiap Muslim. Rasul SAW bersabda, "Sungguh kejujuran mengantarkan kepada kebajikan dan kebaikan akan mengantarkan kepada surga. Seseorang yang selalu berkata benar (jujur), ia akan ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu berkata benar. Dan sungguh kebohongan mengantarkan kepada kedurhakaan dan kedurhakaan akan meng antarkan ke neraka. Seseorang yang selalu berbohong, ia akan selalu ditulis di sisi Allah sebagai seorang pembohong." (HR Bukhari-Muslim).

Sedemikian pentingnya berkata benar dan tidak bohong, baik menyangkut urusan personal apalagi publik, Rasul selalu mengaitkannya dengan sikap beragama yang benar. Anas bin Malik berkata, "Rasulullah SAW tidak pernah menyampaikan khutbah kepada kami kecuali beliau selalu bersabda: Tidak sempurna iman seseorang yang tidak jujur dan tidak dapat dipercaya, dan tidak sempurna agama seseorang yang tidak bisa menepati janjinya." (HR Ahmad dan Ibnu Hibban).

Dalam fikih jual-beli, yang ada kontrak antara penjual dan pembeli, dikenal konsep `khiyar', yaitu kebebasan memilih selama keduanya belum berpisah. Rasul pun menjelaskan, "Jika keduanya jujur dan jelas, jual beli mereka diberkahi. Namun, jika keduanya menyembunyikan (sesuatu) dan ber bohong maka dicabut keberkahan dari kontrak mereka." (HR Bukhari). Hemat saya, hadis tersebut juga berimplikasi nyata pada konteks politik dan kemaslahatan publik.

Bukankah esensi politik adanya kontrak (baiat) antara pemilih dalam hal ini rakyat dan pemimpin yang terpilih? Maka dalam hal ini, prinsip `khiyar' pun berlaku dalam konteks relasi kekuasaan. Artinya, jika rakyat sebagai pemegang kedaulatan tidak puas dengan kinerja pemimpin yang dipilihnya, mereka berhak menarik mandat politik si pemimpin selaku mandataris.

Sebaliknya, jika pemimpin merasa tidak lagi dipercaya oleh rakyat yang memberinya mandat, langkah yang baik adalah mundur dan mengembalikan mandatnya kepada rakyat. Dengan sikap itu, diharapkan keberkahan akan selalu menaungi negeri dan bangsa ini.

Jika tak ingin dicabut mandatnya, setiap pemimpin mesti memiliki political will untuk memimpin dengan kejujuran, satu kata satu perbuatan. Imam al-Mawardi (wafat 450 H), seorang ahli tata negara Islam, menulis dalam kitab Adabud Dunya wad Din, "Penguasa adalah imam yang diikuti, dan perilakunya harus menjadi contoh yang baik. Jika dia zalim, jangan harap aparat di bawahnya bisa adil, dan jika dia adil maka tak ada seorang pun aparatnya yang berani zalim. Doa pemimpin saleh adalah doa yang paling mungkin terkabul oleh Allah, dan perbuatan baik yang paling prioritas mendapat pahala adalah putusan pemimpin yang benar dalam mengelola kemaslahatan publik." Wallahu A'lam.

Pemimpin Bijaksana

Oleh Toha MT

Suatu saat ketika Rasulullah SAW bersama para sahabat selesai melaksanakan shalat berjamaah, Umar bin Khattab salah satu sahabat dekat Rasul yang berada di shaf depan merasa terganggu pikirannya. Setiap gerakan Rasulullah SAW di depan para sahabat terasa berat dan sukar. Terdengar bebunyian yang demikian mencolok seolah persendian beliau saling bergesekan satu sama lain. Shalat kali ini terasa lebih lama dari biasanya.

Usai shalat, Umar ra yang begitu khawatir dengan kondisi Rasulullah mendatangi beliau. Dengan hati-hati Umar duduk di sisi beliau yang serta-merta beliau sambut dengan senyuman. “Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah engkau sedang menanggung penderitaan yang sangat berat, sakitkah engkau, ya Rasul?” tanya Umar. Rasulullah SAW tersenyum sambil menggeleng, “Tidak wahai Umar, Alhamdulilah aku sehat.

“Mengapa setiap kali engkau menggerakkan tubuhmu, kami mendengar seolah-olah sendi tubuhmu saling bergesekan?” Umar memperlihatkan ekspresi wajah prihatin, penuh kasih saying, dan khawatir. “Kami yakin engkau sedang sakit wahai Rasul.

Meskipun kondisinya agak lemah dan agak pucat, Rasulullah SAW tetap tersenyum. Sepertinya berupaya menjadi pelipur lara dari sesuatu yang tidak beliau katakan meskipun kepada Umar sahabat dekatnya.

Karena jawaban “tidak” atau “aku baik-baik saja” beliau rasakan sudah tidak mencukupi lagi, Rasulullah SAW mengangkat jubahnya hingga bagian perut beliau terlihat nyata. Seketika Umar dan sahabat terpana. Tampak perut beliau begitu kempis, perut itu dililit oleh kain yang membuntal berisi kerikil-kerikil. Kerikil-kerikil yang menimbulkan suara berisik ketika mengimami shalat. Kerikil-kerikil yang memancing keingintahuan Umar dan menyangka beliau sedang dalam kondisi sakit serius.

“Ya Rasul,” suara Umar bergetar oleh rasa iba dan penyesalan, “Apakah jika engkau mengatakan sedang lapar dan tidak punya makanan, kami tidak akan menyediakan dan menyiapkannya untuk engkau?"

Beliau menutup kembali perutnya dengan helai jubahnya yang menjuntai seraya menatap Umar dengan tatapan penuh pancaran cinta yang utuh. “Tidak, ya Umar. Aku tahu, apa pun akan kalian korbankan demi aku, akan tetapi apa yang akan aku katakan di hadapan Allah nanti jika sebagai pemimpin aku menjadi beban bagi umatku?”

Beliau mengedarkan pandangan kepada para sahabatnya yang lain seraya berkata, “Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah dari Allah untukku agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia, terlebih di akhirat.”

Subhanallah, siapa pun yang mendengar kalimat beliau seketika terdiam, ada yang berdenyar merambat ke bola mata mereka, beberapa terisak haru. Umar maklum bahwa dia tidak akan sanggup melangkah lebih jauh, memaksa beliau untuk mengikuti keinginannya.

Mahasuci Allah yang telah mengutus seorang pemimpin yang begitu mulia akhlak dan perkataannya. Alangkah rindunya kita kepada pemimpin sebijaksana beliau yang tidak mau membebani umatnya. Kelak pemimpin seperti inilah yang akan dinaungi oleh naungan Allah pada saat tidak ada naungan selain dari-Nya.

Kasih Rasul

Oleh Nur Faizin


Masyarakat jahiliah adalah masyarakat yang beringas, barbar, dan bersikap keras. Kebanggaan mereka adalah ketika mampu menyelesaikan segala permasalahan dengan kekerasan dan peperangan. Mereka merendahkan klan yang kalah, lemah, dan sering kalah dalam peperangan. Kuda, pedang, dan anak laki-laki yang kuat merupakan simbol yang dibanggakan masyarakat jahiliah di zaman Rasulullah SAW.

Dalam kondisi seperti itulah Rasulullah SAW diutus Allah SWT untuk mengubah fenomena kekerasan dengan kasih, mengubah kebencian dengan sayang, dan peperangan dengan perdamaian. Rasul menegaskan, "Allah SWT hanya memberikan kasih sayangnya kepada hamba-hambanya yang penuh kasih." (HR ath-Thabrani).

Merupakan kesalahan jika Islam dipersepsikan sebagai agama keras atau mengajarkan kekerasan. Begitu juga tindakan-tindakan sebagian pemeluknya yang dapat mencoreng wajah santun dan lemah lembut Islam. Dalam kitab Mizanul Hikmah Imam al-Baqir pernah berkata, "Agama (Islam) ini tidak lain adalah cinta."

Al-Aqra` ibn Habis at-Tamimin suatu hari melihat Rasulullah SAW mencium kedua cucunya, Hasan dan Husain. Dia heran kemudian berkata kepada Rasulullah, "Aku adalah orang yang punya sepuluh anak, namun aku tidak pernah mencium satu pun di antara mereka." Rasulullah SAW kemudian menjawab, "Sesungguhnya orang yang tidak punya kasih sayang tidak akan dirahmati (Allah SWT)." (HR Ahmad dan lain-lain).

Al-Aqra` melihat bahwa kelembutan dan kasih sayang hanya tumbuh dari sifat tak berdaya dan kehinaan. Padahal, kekuatan dan kebesaran yang sesungguhnya adalah jika sesorang mampu menampilkan kelembutan dan kasih sayang. Kelembutan dan kasih sayang itulah justru yang mampu menjadi metode ampuh dalam berdakwah dan menyelesaikan permasalahan. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Kelembutan yang ada dalam segala sesuatu akan menyeimbangkannya, dan kekerasan dalam segala sesuatu akan memperburuknya." (HR Muslim dan lain-lain).

Rasulallah SAW mampu mengganti fenomena kekerasan dan keberingasan masyarakat jahiliah zaman itu dengan kasih dan kelembutan yang diberikan oleh Allah SWT kepada beliau. Dengan kelembutan itulah dakwah beliau berhasil. Firman Allah SWT: "Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu." [QS Ali Imran (03): 159]

Bangsa kita seharusnya mampu menjadi bangsa yang santun, punya kepedulian dan rasa kasih sayang kepada semua orang yang membutuhkannya, termasuk orang-orang yang membutuhkan bimbingan keagamaan karena akidahnya yang sesat. Berdakwah kepada mereka seharusnya dilakukan dengan santun dan penuh kebijaksanaan (bil hikmah) lalu didukung perkataan baik (mauidhah hasanah) atau dengan dialog (mujadalah). Wallahu a`lam.

Kabar Kubur

Oleh : Yanuar Z Arief*

Pernahkah kita bermimpi berada di suatu tempat yang sangat asing, yakni tempat yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya, suatu tempat yg angker dengan berbagai macam hal yg menakutkan, siksaan, dan malangnya lagi kita tak bisa keluar dari tempat tersebut.

Dan mimpi itu seakan-akan nyata adanya hingga kita menangis atau berteriak dalam tidur kita. Setelah terbangun dari mimpi tersebut, dengan nafas masih terengah-engah, kita pun bersyukur dan berucap, "untung ini semua hanya mimpi".

Pernahkah kita meyakini hal mengerikan tersebut akan benar-benar terjadi pada kita?

Rasulullaah SAW berkata: "...Ingatlah kematian, demi Dzat yang nyawaku berada dalam kekuasaan-Nya, kalau kamu mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan tertawa sedikit dan banyak menangis." (Shahih Muslim).

Cepat atau lambat, alam kubur adalah fase yang pasti akan kita jalani. Fase kubur ini menjadi penentu sebelum menapak ke fase berikutnya, yaitu padang masyhar, pengadilan Allah SWT.

Jika sukses kita di fase ini, insya Allah di fase berikutnya kita pun akan sukses, yang puncaknya dengan kehidupan penuh kenikmatan di Jannatun Na'im (surga). Sebaliknya, jika kita gagal di fase ini, dapat dipastikan kegagalan juga yang didapati di fase berikutnya, yangg diakhiri dengan penderitaan tak terperi di neraka jahanam, na'udzubillah.

Semua tahu itu, tapi kadang kita lalai untuk bersiap diri.

Pernahkan kita memikirkan bila kemarin kita mengantarkan teman ke kuburnya, dan mungkin besok atau lusa giliran kita yg diantarkan ke kubur? Dan bila saat itu datang, apakah kita telah benar-benar siap? Akankah kita menyalahkan Yang Maha Pemurah karena tak memberikan kesempatan dan peluang bagi kita untuk bersiap diri?

Sering kita dikejutkan dengan berita orang-orang terkenal mulai dari tokoh masyarakat hingga para selebriti yg telah meninggalkan dunia ini selamanya, padahal masih terngiang prestasi atau karya-karyanya di dunia ini. Bahkan orang-orang di sekitar kita, apakah anggota keluarga, teman dekat atau pun tetangga yang telah meninggalkan kita selamanya, padahal sebelumnya kita masih berjumpa dan bercanda dengan orang-orang yg kita cintai tersebut. Sayangnya tipu daya setan dan beratnya beban hidup membuat kita terlena, hingga kita selalu merasa mendapat "giliran" paling akhir untuk menghadap-Nya.

Sebenarnya itu semua bagian dari early warning system dari Yang Maha Pemurah bagi kita untuk bersiap diri. Selain "sinyal-sinyal" lain yg diberikan Allah SWT kepada diri kita secara langsung. Rambut yg telah berubah warna; mata yang dulunya tajam dan sangat awas sekarang mulai memudar kemampuannya; gigi yang dulunya kuat melahap makanan apa saja, sekarang mulai terasa ngilu kalau menguyah, bahkan beberapa di antaranya mulai tanggal.

Belum terlambat untuk merenungi ayat ini:
"Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui." (QS Al Ankabut: 64).

Marilah kita mulai dengan melaksanakan semua perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya dengan segenap kemampuan kita. Mari kita pastikan, tiada hari yg terbuang tanpa nilai ibadah kepada-Nya, walau itu hanya seulas senyum, tegur sapa serta jabat tangan yang iklhas kepada orang-orang di sekitar kita.

Insya Allah bila tiba giliran kita menghadap-Nya, tak ada teriakan penyesalan dari kubur kita.

Memaknai Hamdallah

Oleh: H Lukman Abdurrahman*)

Dalam keseharian sering kali kita mendengar ungkapan kalimat alhamdulillah, atau disebut hamdalah, diucapkan. Hal ini terutama untuk menyatakan perasaan bersyukur, penyelesaian suatu pekerjaan, kesembuhan dari suatu penyakit, jawaban terhadap pertanyaan tentang kabar, ungkapan terima kasih dan lain-lain. Apa sesungguhnya makna yang terkandung di dalam hamdalah tersebut?

Arti alhamdulillah pada dasarnya mengembalikan seluruh pujian kepada Allah SWT. Pujian apa pun yang terucap atau tergambarkan di alam ini, semuanya hanyalah milik Allah. Pujian yang sering dialamatkan kepada manusia, keindahan alam, keajaiban suatu kejadian dan sebagainya dalam konsep hamdalah menuju kepada Dzat Yang Satu.

Oleh karena itu tidak akan ada kesombongan yang ditampilkan, tidak akan ada kepongahan yang dipertontonkan oleh siapa pun yang merasa memiliki kelebihan di dalam dirinya, karena mereka sadar semua itu hanyalah property Allah. Yang wajar ditampilkan oleh kita manakala memperoleh pujian atau anugrah nikmat adalah mengucapkan kalimat alhamdulillah dengan sepenuh kesadaran akan maknanya.

Kaum cerdik pandai generasi terdahulu selalu memulai buku-buku karangannya dengan ungkapan alhamdulillah ini. Demikian pula mereka mewajibkan kepada semua khaatib shalat Jumat untuk memulai khutbahnya dengan ungkapan ini berdasarkan contoh Nabi SAW. Mereka tentunya juga ingin mencontoh Allah SWT dalam pembukaan kitab suci-Nya dengan kalimat alhamdulillah seperti termaktub di dalam surah Al-Faatihah.

Dalam kitab kuning Hasyiah Jauhar Tauhid karangan Imam Ibrahim Baijuri, disebutkan bahwa ungkapan alhamdulillah terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu puji qadiim (terdahulu) dan puji haadits (terkemudian). Puji qadiim terbagi dua lagi, yang pertama bahwa pujian itu adalah dari Al-Khaaliq kepada Al-Khaaliq. Ini berarti bahwa ucapan hamdalah adalah pujian Allah SWT kepada Diri-Nya sendiri, pujian ini pastilah milik Allah semata. Contoh pujian ini misalnya seperti tercantum di dalam Alquran bahwa “Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (QS Al-Hasyr 22) dan lain-lain. Ayat-ayat tersebut menyatakan kemahaterpujian Allah di alam semesta ini. Allah memuji Dzat-Nya sendiri adalah suatu kepantasan karena tiada ada yang menandingi-Nya.

Yang kedua hamdalah mengandung makna pujian dari Al-Khaaliq kepada makhluk, yakni Allah SWT memuji makhluknya seperti pujian Allah kepada para nabi. Salah satu contoh pujian ini dapat disimak di dalam Alquran surah Al-Qalam 4, dalam hal ini Allah memuji Nabi Muhammad SAW yakni “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”. Pujian ini pun sesungguhnya milik Allah, karena Dialah yang telah menganugerahi Nabi dengan akhlak yang sangat mulia. Artinya keluhuran budi pekerti Nabi merupakan cerminan kemahaterpujian Allah jua.

Hamdalah mengandung makna pujian dari makhluk kepada Al-Khaaliq, yakni pujian-pujian makhluk, manusia khususnya, kepada Allah SWT. Pujian ini pun pada hakikatnya adalah milik Allah jua. Dalam ibadah ritual sehari-hari seperti shalat, ibadah haji dan lain-lain sarat dengan puji-pujian kepada Allah. Bahkan dalam satu sabdanya, Nabi SAW memberikan petunjuk bahwa bagi siapa saja yang akan berdoa kepada Allah, hendaklah ia memanjatkan puji kepada-Nya dan membaca shalawat kepada Nabi lebih dahulu. Oleh karenanya kemudian dalam Ilmu Fiqh hal ini menjadi syarat perlu sebagai bagian dari etika berdoa.

Pujian itu bisa berasal dari makhluk kepada makhluk. Pujian ini pun pada hakikatnya adalah milik Allah. Kekaguman kita kepada prestasi orang lain, binatang, tumbuh-tumbuhan adalah contoh-contoh pujian yang berasal dari makhluk ditujukan kepada makhluk juga. Dalam keseharian, pujian jenis keempat ini yang paling sering kita dengar karena merupakan bumbu-bumbu kehidupan lingkungan manusia dan alam sekitarnya.

Ucapan alhamdulillah pada dasarnya merupakan ekspresi untuk memperkuat nilai-nilai ketauhidan dan menumbuhkan sikap kehambaan yang makin dalam, mestinya. Wallaahu 'alam.

Kamis, 17 Februari 2011

Karakter Umat

Oleh Mucharom Noor

Mengkaji Alquran ayat terakhir dari surah al-Fath [48] yaitu ayat ke-29, akan memberikan pemahaman kepada kita tentang dua hal penting, yaitu siapa sebenarnya Muhammad SAW, dan apa karakteristik umat Muhammad SAW. Siapakah Muhammad itu? Muhammad itu adalah utusan Allah (Muhammadurrasulullah). Jawaban Allah ini juga terdapat dalam surah al-Ahzab [33]: 40, Muhammad adalah utusan Allah dan penutup para Nabi (rasuulallah wa khaatama an-nabiyyiin).

Selanjutnya melalui ayat 29 dari surah al-Fath tersebut, Allah menginformasikan tentang empat karakteristik umat Muhammad SAW. Pertama, memiliki kualitas iman yang kokoh. "Dan orang-orang yang bersama dengan dia (Muhammad) bersikap keras terhadap orang-orang kafir". Hanya dengan iman yang kokoh, orang Islam akan memiliki sikap tegas terhadap segala sifat, perilaku orang-orang kafir, dan menolak segala hal yang berlawanan dengan keimanan. Dengan kekuatan iman dan akhlak, Allah SWT melarang kita bersifat lemah dan selalu berdamai dengan orang kafir (QS Muhammad [47]: 35).

Kedua, penuh kasih sayang. "Tetapi berkasih sayang di antara mereka", yaitu kasih sayang dalam persaudaraan yang dilandasi oleh ikatan iman yang hak, yaitu iman kepada seluruh rukun iman. Karakter ini juga dijelaskan Allah SWT; "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang berselisih), dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapatkan rahmat." (QS al-Hujurat [49] : 10).

Ketiga, tekun beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan. "Mereka rukuk dan sujud (shalat) mencari karunia Allah dan keridaan-Nya." Ikhlas adalah ruh setiap ibadah dalam Islam, tanpa keikhlasan maka segala amal ibadah akan menjadi sia-sia. Imam Nawawi menjelaskan dengan baik, tiga bentuk ibadah yang masih bernilai ikhlas, yaitu ibadah yang dikerjakan dengan niat takut kepada siksa Allah SWT, mengharap pahala dari Allah SWT, dan yang utama adalah berniat untuk mensyukuri nikmat yang telah dianugrahkan Allah SWT.

Karakter keempat adalah selalu tampil dengan akhlak mulia. "Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud." Bekas itu bisa berarti efek, dampak, pengaruh atau buah dari suatu perbuatan tertentu. Sebagaimana firman Allah SWT: "… dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar …" (QS al-Ankabut [29]: 45). Buah dari shalat adalah lahirnya akhlak mulia, yaitu kemampuan menghindarkan diri dari perbuatan keji dan munkar.

Karena itu, maka umat Muhammad SAW tidak cukup hanya memiliki keimanan yang kuat, rasa kasih sayang sesama Muslim dan ketekunan beribadah kepada Allah SWT semata. Umat Muhammad SAW mesti tampil dan berkarakter akhlak mulia, mulia lisannya, mulia pikirannya, mulia hatinya, dan mulia perilaku hidupnya sehari-hari, sebagai buah dari keimanan dan ibadahnya kepada Allah SWT.

Ketika karakter akhlak mulia telah menjadi panglima, maka kesuksesan dan kebahagiaan hidup menanti kita, dan Muhammad SAW telah membuktikannya. Bagaimana dengan kita umatnya? Wallahu a'lam.

Keteladanan Rasulullah

Oleh: Achmad Sjamsudin

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzab [33]: 21).


Rasulullah SAW memang suri teladan yang baik. Dan, indikator keteladanan beliau itu berbuat sebelum berucap (bersabda).

Sebagai contoh, beliau bersabda: "Wanita itu dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, keturunannya (nasab), kecantikannya, dan agamanya. Maka, pilihlah yang karena agamanya, niscaya akan beruntunglah kamu di dunia akhirat." (HR Bukhari, dari Abu Hurairah).

Jauh sebelum mengatakan hadis tunkahu al-Mar'ah tersebut, lalu menekankan pada agama, beliau sudah mengamalkan hadis itu terlebih dahulu. Misalnya, pernikahan beliau dengan Khadijah yang didasari hanya pada akhlak. Khadijah tertarik pada sosok Rasulullah yang mulia itu. Khadijah mendengar perangai pemuda Muhammad yang al-Amin itu dari Maisaroh, pembantunya yang diutus berdagang ke Syam bersama Muhammad. Kejujuran dan akhlak Muhammad yang akhirnya memantapkan hati Khadijah.

Muhammad pun menerima Khadijah bukan karena hartanya (limaaliha). Tapi, semata-mata karena pertimbangan akhlak. Ketinggian akhlak Khadijah ini terbukti selama dia menjadi istri Rasulullah. Meskipun dari sisi finansial Khadijah lebih tinggi kedudukannya dari Rasulullah, keponakan Waraqah bin Naufal itu tetap menjadi istri secara utuh, yakni menghormati dan memuliakan Muhammad sebagai suaminya.

Maka itu, dikatakan oleh siroh nabawiyah, pernikahan Rasulullah dan Khadijah adalah pernikahan yang paling indah dalam sejarah umat manusia. Sebab, pernikahan keduanya didasari pada akhlak (agama). Bukan kekayaan, kecantikan, maupun keturunan.

Pantaslah apabila beliau bersabda sebagaimana hadis di atas. Rasul SAW mengatakan hal itu yaitu menekankan agama atau akhlak sebagai dasar cinta dan pernikahan karena beliau sudah melakukan atau berbuat seperti yang beliau katakan. Beliau sudah membuktikan kata-katanya itu terlebih dahulu.

Inilah kunci utama dari keteladanan (uswah) Rasulullah SAW, yaitu memberi contoh (berbuat) sebelum menyuruh (mengatakan). Dan, ini pulalah 'hakikat keteladanan' yang harus melekat pada diri setiap umatnya.

Sebagai kepala keluarga, misalnya, kita harus berbuat dulu sebelum menyuruh anggota keluarga kita agar mereka mau menjalankannya. Sang ayah harus memberi contoh untuk tidak menonton sinetron terlebih dahulu, umpamanya, sebelum menyuruh anaknya. Insya Allah, sang anak akan meniru tidak menonton sinetron yang telah dicontohkan ayahnya.

Pemimpin negara demikian pula. Seorang presiden harus memberi contoh hidup sederhana terlebih dahulu sebelum menyerukannya kepada seluruh rakyat.
Marilah kita masing-masing mengaktualisasikan 'batasan keteladanan' ini, agar kita benar-benar menjadi 'teladan sejati' seperti halnya Rasulullah SAW. Wallahu a'lam.

Kasih Rasul

Oleh Nur Faizin


Masyarakat jahiliah adalah masyarakat yang beringas, barbar, dan bersikap keras. Kebanggaan mereka adalah ketika mampu menyelesaikan segala permasalahan dengan kekerasan dan peperangan. Mereka merendahkan klan yang kalah, lemah, dan sering kalah dalam peperangan. Kuda, pedang, dan anak laki-laki yang kuat merupakan simbol yang dibanggakan masyarakat jahiliah di zaman Rasulullah SAW.

Dalam kondisi seperti itulah Rasulullah SAW diutus Allah SWT untuk mengubah fenomena kekerasan dengan kasih, mengubah kebencian dengan sayang, dan peperangan dengan perdamaian. Rasul menegaskan, "Allah SWT hanya memberikan kasih sayangnya kepada hamba-hambanya yang penuh kasih." (HR ath-Thabrani).

Merupakan kesalahan jika Islam dipersepsikan sebagai agama keras atau mengajarkan kekerasan. Begitu juga tindakan-tindakan sebagian pemeluknya yang dapat mencoreng wajah santun dan lemah lembut Islam. Dalam kitab Mizanul Hikmah Imam al-Baqir pernah berkata, "Agama (Islam) ini tidak lain adalah cinta."

Al-Aqra` ibn Habis at-Tamimin suatu hari melihat Rasulullah SAW mencium kedua cucunya, Hasan dan Husain. Dia heran kemudian berkata kepada Rasulullah, "Aku adalah orang yang punya sepuluh anak, namun aku tidak pernah mencium satu pun di antara mereka." Rasulullah SAW kemudian menjawab, "Sesungguhnya orang yang tidak punya kasih sayang tidak akan dirahmati (Allah SWT)." (HR Ahmad dan lain-lain).

Al-Aqra` melihat bahwa kelembutan dan kasih sayang hanya tumbuh dari sifat tak berdaya dan kehinaan. Padahal, kekuatan dan kebesaran yang sesungguhnya adalah jika sesorang mampu menampilkan kelembutan dan kasih sayang. Kelembutan dan kasih sayang itulah justru yang mampu menjadi metode ampuh dalam berdakwah dan menyelesaikan permasalahan. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Kelembutan yang ada dalam segala sesuatu akan menyeimbangkannya, dan kekerasan dalam segala sesuatu akan memperburuknya." (HR Muslim dan lain-lain).

Rasulallah SAW mampu mengganti fenomena kekerasan dan keberingasan masyarakat jahiliah zaman itu dengan kasih dan kelembutan yang diberikan oleh Allah SWT kepada beliau. Dengan kelembutan itulah dakwah beliau berhasil. Firman Allah SWT: "Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu." [QS Ali Imran (03): 159]

Bangsa kita seharusnya mampu menjadi bangsa yang santun, punya kepedulian dan rasa kasih sayang kepada semua orang yang membutuhkannya, termasuk orang-orang yang membutuhkan bimbingan keagamaan karena akidahnya yang sesat. Berdakwah kepada mereka seharusnya dilakukan dengan santun dan penuh kebijaksanaan (bil hikmah) lalu didukung perkataan baik (mauidhah hasanah) atau dengan dialog (mujadalah). Wallahu a`lam.

Selasa, 08 Februari 2011

Memberantas Mafia

Oleh Nur Faizin

Bencana korupsi yang melanda negara kita tak kunjung jua menemui ujungnya, bahkan semakin merajalela seakan mustahil dicegah apalagi memberantasnya. Mafia-mafia begitu kuat menyusup hampir di seluruh lembaga dan badan pemerintahan maupun negara. Hukum, peradilan, ajak, politik, dan lain sebagainya.

Mafia adalah perkumpulan atau komplotan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan atau kriminal. Dalam pandangan Islam, berkomplot dalam kejahatan berarti saling membantu dalam kejahatan dan dosa. Alquran menyebutnya sebagai ta`awun alal itsmi. Allah SWT dengan tegas melarangnya dalam firman-Nya: "…. Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan dan janganlah tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran," (QS al-Maidah [5]: 2).

Bagi para mafia, larangan-larangan Allah tak pernah dipertimbangankan. Suap, pemalsuan bukti, dan jual beli hukum adalah hal-hal yang biasa dalam sindikat mereka.

Janji Allah SWT untuk memberikan kemenangan kepada yang benar dan jujur tidak terwujud karena ada mafia yang menghalanginya. Niat baik dan usaha yang gigih melalui proses hukum justru dengan mudah terkalahkan oleh mafia. Hal itu selaras dengan ungkapan al-haqqu bila nidham yaglibuhul bathil bi nidham (kebenaran yang tidak tersistem akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi).

Betapa banyak seruan para ulama dan tokoh agama untuk tidak korupsi dan segera menyelesaikan semua musibah korupsi yang melanda bangsa ini, namun semuanya tak lebih hanya embusan angin belaka. Para ulama dan tokoh agama perlu berdakwah dengan "tangan", yaitu dengan sistem yang terorganisasi, bukan sekadar dakwah retorika saja.

Rasulullah SAW mendoakan agar orang-orang yang berkonspirasi dalam praktik dosa dijauhkan Allah SWT dari rahmat dan kasih sayang-Nya. Ibnu Mas`ud pernah berkata: Rasulallah melaknat pemakan riba, yang memberinya, saksi dan sekretarisnya (HR Baihaqi). Mafia-mafia di negara ini melibatkan berbagai lembaga dan kekuasaan yang saling bekerja sama, semua yang terlibat mafia pasti dijauhkan dari rahmat Allah SWT.

Kita harus yakin bahwa bangsa ini pasti mampu melawan mafia-mafia dalam berbagai lembaga dan badan pemerintahannya, karena Allah SWT telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh akan dijadikan khalifah di bumi. Allah SWT juga berfirman: "Dan katakanlah, 'yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap'." (QS al-Isra` [17]: 81).

Syaratnya adalah para pemegang kekuasaan mampu melaksanakan substansi firman Allah SWT: "Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di bumi, niscaya mereka mendirikan shalat (beribadah ritual), menunaikan zakat (beribadah sosial) menyeru kebaikan (amar makruf), dan mencegah dari perbuatan mungkar (nahi mungkar)." (QS al-Hajj [22]: 41). Wallahu a`lam.