Sabtu, 26 Januari 2013

Bahaya Devisit Pahala

, Oleh Naharus Surur..., “Dari Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah SAW bertanya , “ Tahukah kamu siapakah muflis (orang yang bangkrut) itu ?”. Para sahabat menjawab, “ Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan kami ialah orang yang kehabisan uang (dirham) dan barang.” Rasulullah saw bersabda, “ Sesungguhnya orang yang bangkrut di antara umatku ialah orang yang nanti di hari kiamat datang dengan membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat. Di samping itu, dia juga benar-benar pernah mencaci maki si fulan ini, menuduh si fulan, memakan harta si fulan ini, menumpahkan darah si fulan ini, dan memukul si fulan ini. Maka si fulan ini akan diberinya dari pahala kebaikan-kebaikan orang tersebut dan si fulan ini akan diberinya dari pahala kebaikan-kebaikannya. Kemudian jika pahala kebaikan-kebaikannya itu telah habis sebelum mencukupi apa yang menjadi tanggungannya, maka dosa-dosa orang yang dizhalimi itu akan diambilnya untuk dipikulkan kepadanya, kemudian sesudah itu barulah dia dilempar ke dalam neraka. “ (HR: Muslim) Ada dialog menarik antara Rasulullah saw dengan para sahabat yang diriwayatkan Imam Muslim tentang muflis ( orang yang bangkrut). Para Sahabat menjawab pertanyaan Rasulullah SAW tentang siapakah yang dimaksud dengan orang bangkrut itu? Mereka berkata, “ Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan kami ialah orang yang kehabisan uang (dirham) dan barang. Itu persepsi umum, kalau orang yang bangkrut itu adalah orang yang kehilangan atau orang merugi sehingga kehabisan harta dan barangnya. Rasulullah SAW menjelaskan sesungguhnya orang yang bangkrut di antara umatku ini ialah orang yang nanti di hari kiamat datang dengan membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat. Di saat yang sama ia membawa dosa-dosa prilaku sosial (hablumminannas) yang ternyata mengakibatkan devisit pahala di akherat nanti. Dosa-dosa prilaku sosial (hablumminannas) tersebut seperti di bawah ini: Pertama, mencaci maki orang lain. Bila seseorang mencaci-maki seseorang, biasanya akan keluarlah kata-kata yang tak senonoh dari mulutnya sehingga mengakibatkan hilangnya harga diri orang tersebut. Padahal, harga diri dalam Islam sangat dijunjung dan dimuliakan. Apabila manusia merendahkan dan melecehkan harga diri seseorang, dia hakikatnya melampui otoritas Allah SWT. Hanya Allahlah yang paling berhak merendahkan manusia yang menyekutukanNya. Sebagaimana firman-Nya di surah Al-Ahzab ayat 19; ” Mereka bakhil terhadapmu, apabila datang ketakutan , kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati. Apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan. Mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapuskan amalnya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” Kedua, menuduh orang lain. Fitnah adalah amal paling buruk, karena fitnah lebih kejam dari pada membunuh. Firman Allah SWT pada surat Al Baqarah ayat 191, “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu ; dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan.’’ Ketiga, memakan harta orang lain. Ini perbuatan yang sangat merugikan pihak lain apalagi diambil dengan cara-cara yang kasar dan tanpa berperasaan termasuk prilaku korupsi, apalagi merampas harta anak yatim maka sangat besar murka Allah SWT. Ini merupakan peringatan kepada para pengelola dana umat terutama harta anak yatim, sebagaimana firman Allah pada surat An-Nisa ayat 10. “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala .” Keempat,membunuh orang lain. Islam sangat memuliakan manusia sehingga nilai nyawa seseorang sangatlah besar di hadapan Allah SWT. Membunuh satu manusia sama dengan membunuh semua manusia di alam semesta. Firman Allah SWT di surat Al Maidah ayat 52 yang artinya; “Oleh karena itu Kami tetapkan bagi Bani Israil, barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain , atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.’’ Kelima, memukul/menganiaya orang lain. Islam sangat menjunjung persahabatan dan persaudaraan antar sesama. Islam menolak pertikaian sehingga terjadi penganiayaan baik menghina maupun memukul fisik seseorang. Allah saja tidak mau menganiaya hamba-hambaNya, kenapa manusia menganiaya yang lain sebagaimana firmanNya pada surat Ali Imran (3) ayat 108, “Itulah ayat-ayat Allah. Kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu dengan benar; dan tiadalah Allah berkehendak untuk menganiaya hamba-hamba-Nya.” Apabila seorang Mukmin melakukan kelima hal tersebut terhadap yang lain, kelak di akherat ia akan dituntut oleh pihak-pihak yang dizhalimi. Apabila orang tersebut memiliki pahala dari shalat, zakat, haji, dzikir dan yang lainnya, maka diambillah pahala tersebut untuk diberikan kepada pihak-pihak yang didzalimi. Bila pahalanya habis, maka dosa orang yang didzaliminya dilimpahkan kepadanya. Pihak-pihak yang dilanggar tersebut bisa dari keluarga inti (suami,istri, dan anak), keluarga besar dan masyarakat secara umum yang bergantian mendatangi pihak yang melanggar untuk meminta pertanggung-jawabannya. Wajar bila nanti di akherat banyak orang ahli ibadah (ibadah mahdhah) namun devisit pahala karena prilaku sosialnya (ibadah ghaira mahdhah/muamalah) yang buruk. Wallahu a’lam

Rabu, 23 Januari 2013

Salah Satu Tanda Orang Munafik


/Agung Supri Selama ini kita telah mengetahui bahwa tanda-tanda kemunafikan yaitu khianat, curang, dusta, dan fajir, seperti tersebut dalam hadits Abdullah bin Amr. Keempat sifat ini tidaklah terdapat pada seseorang kecuali dia seorang munafik tulen. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga mengabarkan sebuah tanda lain dari tanda-tanda orang munafik, yakni sangat berat dalam melaksanakan shalat Isya dan Shubuh. Di zaman ini, banyak di antara kaum muslimin yang masih merasa berat mengerjakan kedua shalat ini dengan alasan lelah atau ngantuk sepulang kerja maupun alasan lainnya, wallahul Musta’an. Karenanya, wajib atas setiap muslim untuk mengetahui kelima ciri munafik di atas beserta ciri-ciri lainnya agar dia bisa menjaga diri darinya. Barangsiapa yang tidak mengetahui suatu kejelekan, maka kemungkinan besar dia akan terjatuh ke dalamnya. Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata, "Barangsiapa yang ingin bergembira menemui Allah besok dalam keadaan muslim, maka jagalah shalat-shalat itu tatkala dikumandangkan. Karena Allah telah mensyari’atkan sunanul huda (jalan-jalan petunjuk) bagi Nabi kalian Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan sesungguhnya dia (shalat-shalat wajib) itu merupakan sunanul huda (jalan-jalan petunujuk). Andaikan kalian shalat (fardhu) di rumah kalian sebagaimana orang (munafik) yang tinggal di rumahnya, maka kalian telah meninggalkan sunnah (petunjuk) Nabi kalian. Andaikan kalian meninggalkan petunjuk Nabi kalian, maka kalian akan sesat. Tak ada seorang pun yang bersuci, lalu ia memperbaiki bersucinya, kemudian ia ke masjid di antara masjid-masjid, melainkan Allah akan tuliskan kebaikan bagi setiap langkah yang ia ayunkan, Dia (Allah) akan mengangkat derajat orang itu dengannya, dan menghapus dosanya dengannya. Kami telah menyaksikan orang-orang di antara kami, tak ada yang tertinggal dari shalat jama’ah, kecuali orang munafik yang nyata kemunafikannya. Sungguh ada seorang laki-laki didatangkan sambil dipapah di antara dua orang sampai ia ditegakkan dalam shaf." [HR.Muslim dalam Kitab Al-Masajid wa Mawadhi’ Ash-Shalah(654), dan Ibnu Majah dalam Kitab Al-Masajid wa Al-Jama’at (777)] An-Nawawiy rahimahullah berkata, "Dalam perkara ini semua terdapat penekanan masalah shalat jama’ah, menanggung penderitaan dalam menghadirinya, dan bahwa jika seorang yang sakit dan semacamnya mungkin sampai kepada shalat jama’ah, maka dianjurkan untuk menghadirinya." [Lihat Syarh Shahih Muslim (5/159)] Jadi, Shalat jama’ah merupakan ciri khas seorang mukmin. Tak ada yang meninggalkannya, kecuali orang-orang munafik yang dikuasai oleh setan. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tidaklah tiga orang dalam suatu kampung dan pedalaman, yang tidak ditegakkan di antara mereka shalat, kecuali setan akan menguasai mereka. Lazimilah (shalat) jama’ah, karena serigala akan memangsa kambing yang jauh (sendirian)." [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (547), An-Nasa’i dalam As-Sunan (847). Di-hasan-kan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (5577)]

Istighfar, Kalimat Penyelamat dari Azab Allah


Oleh: Yuliasih Diceritakan dari Ibnu Abbas, bahwasanya beliau berkata, “Ketika Nabi Yunus AS merasa tidak dapat lagi mengharapkan keimanan dari kaumnya, beliau memohon kepada Allah SWT. 'Ya Allah sesungguhnya kaumku telah durhaka kepada-Mu dan mereka tetap dalam kekufuran. Oleh sebab itu turunkanlah siksaan-Mu kepada mereka.' Allah SWT berfirman: 'Sesungguhnya Aku akan menurunkan siksa-Ku yang sangat pedih'.” Setelah itu, Nabi Yunus pergi meninggalkan kaumnya dan mengancam mereka bahwa siksa Allah akan turun setelah kurun tiga hari. Beliau pun membawa keluarganya dan dua anak yang masih kecil-kecil. Kemudian ia mendaki gunung yang tinggi dan mengawasi penduduk Ninawa serta menanti siksa yang akan ditimpakan kepada mereka. Allah SWT kemudian mengutus Jibril dan berfirman kepadanya, “Pergilah engkau ke tempat malaikat Malik! Katakan kepadanya agar ia meniupkan angin panas dari neraka sebesar biji gandum, kemudian berangkatlah ke penduduk Ninawa dan timpakanlah siksa itu kepada mereka.” Lalu Jibril pun berangkat ke Kota Ninawa dan melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Tuhannya. Kaum Yunus pun mulai merasakan siksa Allah yang sangat pedih sesuai dengan apa yang telah dikatakannya kepada kaumnya. Ibnu Abbas berkata, “Ketika mereka telah yakin bahwa siksa Allah telah menimpa mereka dan mengetahui bahwa apa yang dikatakan Nabi Yunus itu benar, mereka pun mencari-carinya, namun mereka tidak menemukannya.” Pada akhirnya mereka berkata, “Marilah kita berkumpul serta memohon ampunan kepada Allah SWT.” Kemudian, mereka bersepakat untuk berangkat ke sebuah tempat yang disebut dengan Tal al-Ramad dan Tal al-Taubah. Di tempat itu mereka menaburkan debu pasir di atas kepala dan menginjaki duri-duri dengan kaki mereka sambil memohon ampunan kepada Allah dengan mengangkat suara disertai tangisan dan doa. Atas kesungguhan mereka dalam bertobat dan beristighfar maka Allah SWT pun menerima tobat dan mengampuni dosa-dosanya. Kemudian Allah SWT berfirman kepada Malikat Jibril, “Wahai Jibril angkatlah siksa yang aku timpakan kepada mereka, sesungguhnya aku telah mengabulkan tobat mereka.” Umat Nabi Yunus pun selamat dari siksaan. Salah satu pelajaran yang dapat kita petik dari kisah di atas adalah istighfar (permohonan ampun) merupakan kalimat penyelamat. Artinya, kalimat yang mampu menyelamatkan manusia dari ancaman azab Allah. Kalimat istighfar mengandung makna pengakuan, penyesalan, kesadaran, kerendahan diri, dan keimanan. Dan itu semua merupakan sebab yang dapat mendatangkan kecintaan, pertolongan, dan perlindungan Allah SWT sehingga kita dapat selamat dari siksaan dan kebinasaan. Tidak ada yang dapat menyelamatkan diri kita dari azab Allah, kecuali kita memohon ampun dan segera bertaubat atas segala kesalahan. Sayyidina Ali karamallahu wajhah berkata, “Sungguh aneh orang yang binasa padahal ia memiliki kalimat penyelamat.” Ditanyakan kepadanya, “Apa itu?” Ia berkata, “Istighfar.” (Al-Mustathraf [2]: 344-345). Wallahu

Menghormati Pemimpin


Oleh Prof Dr Imam Suprayogo Setiap komunitas selalu membutuhkan seorang pemimpin. Islam juga mengajarkan yang demikian itu, pemimpin harus ada. Bahkan dalam kegiatan ritual sekalipun, seperti shalat bersama-sama, harus ditunjuk salah seorang di antaranya menjadi imam atau pemimpinnya. Masyarakat yang ideal, manakala memiliki seorang pemimpin yang ditaati, dicintai, dan dihormati. Namun tentu, perlakuan terhadap pemimpin seperti itu, manakala pemimpinnya mampu berbuat baik, adil, dan jujur terhadap mereka yang dipimpinnya. Suasana seperti itu akan melahirkan saling kasih mengasihi antara mereka yang dipimpin dan yang memimpin. Tali hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin, agar menjadi tetap kokoh, seharusnya berupa kasih sayang. Hubungan kasih sayang tidak akan ada yang mengalahkannya. Kasih sayang akan melahirkan ketaatan, penghormatan, dan bahkan juga kesediaan untuk berkorban di antara sesamanya. Dalam alam demokrasi seperti sekarang ini, pemimpin dipilih langsung oleh mereka yang dpimpinnya. Dengan demikian mestinya para pemimpin adalah orang yang paling dicintai, ditaati, dan dihormati oleh mereka yang memilihnya. Dalam memilih sesuatu, tidak terkecuali memilih pemimpin, seharusnya mengambil yang terbaik. Atas dasar proses demokrasi seperti itu, semestinya tidak ada alasan untuk tidak mencintai, menaati, dan menghormati pemimpinnya sendiri. Namun sayang sekali, suasana ideal itu tidak selalu terjadi. Pemimpin yang semula dipilihnya sendiri, ternyata tidak ditaati dan bahkan ditinggalkan. Pemimpin yang bersangkutan dianggap tidak jujur dan tidak adil. Bukankah semestinya tatkala memilihnya, telah menyadari bahwa pemimpin itu sebenarnya adalah orang biasa. Statusnya sebagai manusia biasa, maka tatkala menjadi pemimpin sekalipun tidak pernah luput dari kekurangan dan kesalahan. Manusia selalu disebut sebagai //mahallul khotho wannis-yan// tempatnya salah dan lupa. Mencari pemimpin yang tidak memiliki kesalahan, tak akan pernah mendapatkannya. Sebab semua orang, --kecuali rasul yang maksum, selalu memiliki sifat lupa dan salah itu. Pemimpin, siapapun orangnya, seharusnya diterima secara utuh, baik tatkala sedang melakukan kebenaran maupun tatkala sedang melakukan kesalahan. Apalagi, kesalahannya itu misalnya, tidak disengaja atau tidak dikehaui olehnya. Sebagai orang yang sedang dipimpin, manakala pemimpinnya melakukan kesalahan, harus mengingatkan. Membiarkan pemimpinnya melakukan kesalahan, merupakan kesalahan. Bahkan, dalam shalat sekalipun, ketika imamnya salah, makmum harus mengingatkannya. Siapapun yang salah seharusnya diingatkan dan bukan dihukum. Sebab betapa banyak orang yang akan masuk penjara, manakala setiap orang yang salah harus dipenjara, sementara kesalahan itu sebenarnya adalah milik semua. Kesalahan semestinya tidak selalu harus dibalas dengan hukuman, tidak terkecuali kesalahan seorang pemimpin. Pemimpin harus dihormati, apalagi posisinya diperoleh dari proses yang benar, yaitu lewat pilihan dengan cara-cara yang telah disepakati bersama. Wallahu a lam

Selasa, 22 Januari 2013

Mengenang Bapak Wujudul Hilal Indonesia


Mustofa B. Nahrawardaya - detikNews Abdul Fatah Wibisono Jakarta - Sehari sebelum wafatnya Dr. Abdul Fatah Wibisono, MA, tepatnya Sabtu, 12 Januari 2013, saya memberitahu Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsuddin. Melalui pesan BBM (Blackberry Messenger), saya kirim informasi bahwa pada hari itu, tokoh Muhamammadiyah yang dikenal sebagai ahli Wujudul Hilal itu, sedang milad yang ke-55. Mendengar informasi saya, Din Syamsuddin pun minta saya dan segenap warga Muhammadiyah untuk mendoakannya. Sudah biasa di tradisi kami, apabila ada yang ulangtahun, kami saling mendoakan satu sama lain. Bukan dengan perayaan tiup lilin. Pada hari yang sama, saya mendapat kabar dari Prof. Dr. Suyatno, M.Pd (Rektor Universitas Prof. Dr. HAMKA/UHAMKA), bahwa Ki Fatah--panggilan akrab Dr. Abdul Fatah Wubisono, MA, pada saat itu sedang pada kondisi kritis di ICCU Rumah Sakit Islam Jakarta (RSIJ). Untuk memastikannya, saya coba menelepon beberapa kali ke tim dokter di ruang perawatan, dan memang dibenarkan bahwa Ki Fatah sedang mengalami kondisi kritis setelah hampir 3 bulan dirawat maksimal di RS. Dari beberapa nomor HP saya, SMS dan pesan BBM ternyata mulai berjejal memberitahukan kondisi kritis Ki Fatah, dan sebagian banyak berisi ajakan berdoa untuk kesembuhan beliau. Hari itu memang di antara kami yang ada di Muhammadiyah langsung saling komunikasi terkait kondisi kesehatan Ki Fatah yang kritis. Ketua Umum PP Muhammadiyah yang sedang menggelar pengajian rutin di rumah Margasatwa pun, akhirnya mengajak seluruh jamaah pengajian untuk mendoakan kesembuhan Ki Fatah. Usai pengajian, Prof. Din Syamsuddin pun mengajak saya untuk segera mengunjungi Ki Fatah, sekitar pukul 01.30 dinihari. Di tengah hujan yang mengguyur Jakarta, kami memutuskan untuk membezuk ke ruang ICCU dan mendoakan langsung Ki Fatah. Sekitar 30 menit, kami berdua mendoakan langsung di samping tubuh Ki Fatah yang sudah terbaring dengan balutan banyak selang medis. Saat itu, saya lihat tubuh Ki Fatah sudah memucat, dan mata beliau sudah tertutup rapat. Dengan bantuan alat dan obat pemicu jantung terbaik, Ki Fatah masih tampak bernafas, meski terlihat lemah dan tidak menunjukkan geliat sedikit pun. "Laa yurjaa lahu," ucap Prof. Din kepada saya, setelah menutup doanya. Sepertinya tidak harapan lagi. Kira-kira begitulah terjemahan dalam Bahasa Indonesia-nya. Usai mendoakan dan menemui dokter serta perawat di ruang ICCU, Prof. Din tergopoh-gopoh menemui isteri Ki Fatah yang ada di Ruang Muzdalifah. Kepadanya, disampaikan banyak pesan kesabaran, dan agar siap-siap menerima apa pun apabila terjadi sesuatu pada diri Ki Fatah. Din juga berpesan kepada semua anak-anak agar selalu berdoa untuk kebaikan Ayahandanya itu. Dinihari jelang subuh tersebut, Din sebenarnya sudah pamit kepada isteri Ki Fatah, karena akan ada konferensi di Hensinki, Finlandia pada sore harinya. Sehingga, harus sia-siap terlebih dahulu di rumah Margasatwa. Karena banyak agenda pagi itu, maka nyaris kami tidak tidur. Din sendiri, sebelum ke Finlandia, usai menjenguk Ki Fatah, berencana akan terlebih dahulu menghadiri undangan pernikahan keluarga pemilik RM Ayam Taliwang di Jakarta. Namun, pagi itu habis subuh, telepon saya berdering. Isinya, memberitahukan bahwa Ki Fatah baru saja wafat. Innalillahi wainnailaihiraaji’uun. Tepat sehari setelah milad kelahirannya yang ke-55, Dr. Abdul Fatah Wibisono yang lahir pada 12 Januari 1958, pagi subuh itu meninggalkan kita semua. Tak jadi tidur, akhirnya pagi itu kami kembali ke RSIJ. Setelah menshalatkan jenazah sekitar pukul 08.30, kami semua melepas Ki Fatah yang akan diterbangkan ke Lamongan menggunakan Lion Air pukul 11.00 WIB. Tampak dalam pelepasan jenazah, mantan Wapres Jusuf Kalla, mantan MenkumHAM Patrialis Akbar, mantan Mendiknas Malik Fajar, Wakil Ketua MPR RI Hadjrianto Y Thohari, mantan Wagub DKI Prijanto, Civitas Akademika UIN, UHAMKA, UMJ dan sejumlah Pengurus PP Muhammadiyah serta ratusan takziyah yang memenuhi Masjid RSIJ. Pagi yang sangat mengharukan, kami semua melepas jenazah Ki Fatah Wibisono untuk selama-lamanya. Sekadar diketahui, Ki Fatah adalah guru saya. Banyak ilmu yang saya dapat dari beliau, meskipun perjumpaan kami tidak terlalu sering karena kesibukan masing-masing. Meski di kantor PP Muhammadiyah hanya terpaut satu lantai, namun kami berdua tidak sering bertemu. Kami berhubungan melalui email, SMS dan telepon jika ada sesuatu yang ingin saya tanyakan. Karena kami sama-sama dari Jawa, maka hampir setiap perbincangan, kami selalu memakai Bahasa Jawa pada kondisi tertentu. Candaan-candaan saya dan beliau, sering menggunakan Bahasa Jawa. Maka dari itu, ketika saya membezuk beliau sebulan sebelum wafatnya, kami masih saling tertawa dan sempat dicandaiin oleh isteri almarhum. “Ah, ini kebiasaan. Meski sakit seperti ini, kok masih bisa tertawa ngakak seperti itu,” ujar isteri almarhum. Kami saling akrab dan saling berdiskusi panjang, bisa bermalam-malam, apabila menjelang awal dan akhir Ramadhan. Pasalnya, almarhum semasa hidupnya memang dikenal sebagai Ahli Wujudul Hilal di Muhammadiyah. Kegigihan Ki Fatah atas cara penentuan Hari Besar Umat Islam yang sering bergesekan dengan pemerintah maupun Nahdhatul Ulama, menjadikan beliau banyak dikenal sebagai Bapak Wujudul Hilal, terutama setelah banyak tampil di media televisi. Setiap awal dan akhir Ramadhan, Ki Fatah selalu menjadi salahsatu narasumber metode hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan. Di Sidang Isbat, Ki Fatah adalah sebagai wakil dari Muhammadiyah. Pemirsa televisi Insya Allah masih ingat ketika Prof. Dr. Thomas Djamaluddin (Profesor Riset Astronomi Astrofisika, LAPAN) berseteru dengan Ki Fatah menjelang saat Sidang Isbat pada 29 Agustus 2011 (29 Ramadhan 1432 H) di media massa. Pada saat Sidang Isbat, Ki Fatah mengatakan dengan terus terang bahwa dirinya mengeluh dan tidak bisa menerima begitu saja perkataan Prof. Dr. Thomas Djamaluddin yang dianggapnya kasar di televisi yang mengatakan metode Hisab yang dilakukan Muhammadiyah sudah usang. Oleh karenanya, beliau mohon izin kepada Menteri Agama, bahwa Muhammadiyah akan melakukan Idul Fitri mendahului pemerintah. Alhasil, pada tahun 2012 silam, Muhammadiyah pun tidak ikut Sidang Isbat yang diselenggarakan Kementerian Agama Republik Indonesia. Hal itulah yang menurut saya sebagai akhir dari perdebatan panjang soal metode penentuan awal dan akhir Ramadhan. Menjelang akhir hayatnya, almarhum bahkan masih berjuang keras untuk itu. Belum lama ini, Ki Fatah juga mengundang Thomas Djamaluddin ke UHAMKA, untuk mengajak diskusi soal penentuan awal-akhir Ramadhan tersebut. Saya diundang khusus untuk hadir oleh Ki Fatah. Tidak hanya soal penentuan awal akhir Ramadhan, ketika Muhammadiyah dan banyak Ormas Islam melayangkan Judicial Review atas UU Migas, Ki Fatah termasuk sebagai pelopor terkemuka dalam gerakan ini. Sayangnya, kondisi kesehatan beliau menurun drastis, sehingga tidak bisa mendampingi hingga kepada akhir perjuangan berat ini. Tak bisa dipungkiri, jabatan sebagai Ketua Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, benar-benar membuat hidup beliau dihabiskan untuk mengurusi umat dan memperjuangakan hajat hidup orang banyak, bahkan hingga akhir hayatnya. Selamat jalan Bapak Wujudul Hilal Indonesia! Salam *) Mustofa B. Nahrawardaya, Aktifis Muda Muhammadiyah

Senin, 21 Januari 2013

Gerakan Reformis ala Nabi Yusuf

Dari Nabi Yusuf as, kita dapat memetik pembelajaran mengenai kesuksesan yang diraih dengan melakukan perubahan pada sistem. Tentu saja perubahan ini didasarkan pada kapabilitas, intelektual, dan moralitas. "(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai Ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; Kulihat semuanya sujud kepadaku. Ayahnya berkata: "Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)-mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia." (Terjemahan Q.S. Yusuf: 4-5). Pelajaran yang bisa diambil dari kedua ayat tersebut salah satunya yakni tentang perubahan reformis. Perubahan reformis adalah perubahan yang dilakukan dari dalam, sangat mungkin membutuhkan waktu yang panjang dan menuntut keterkaitan antar generasi, yakni mulai dari Nabi Yaqub as hingga Nabi Yusuf as. Poin pertama mengenai ayat di atas adalah, bahwa setiap diri kita senantiasa memiliki mentor. Mentor di sini dimaksudkan bisa menjadi bahan pembelajaran bagi kita untuk bisa belajar dari kesalahan-kesalahan Beliau. Kemudian, master plan berikut grand design-nya menuntut nilai-nilai kerahasiaan yang harus dijaga. Tokoh-tokoh perubahan dalam reformasi ini menuntut sebuah kualifikasi agar agent of change yang diharapkan, sesuai untuk bisa melanjutkan perjuangan reformasi tersebut. Kualifikasi perspektif yang muncul antara lain, pilihan terbaik, kredibilitas moral, kapasitas intelektual, visioner, dan memiliki ikatan mata rantai dengan sejarah terdahulu. "Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian Ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik. Seorang di antara mereka berkata: "Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah dia ke dasar sumur supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat." (Terjemahan Q.S. Yusuf : 9-10). Dalam ayat ini dapat diketahui, bahwa reformasi dipenuhi tantangan dan hambatan, bahkan mungkin lebih menyakitkan ketimbang revolusi. Agent of change adalah sosok yang senantiasa disikapi secara kontroversial. Dalam ayat di atas, diuraikan bagaimana sikap kakak-kakak Nabi Yusuf as terhadapnya. Mereka menganggap Nabi Yusuf as sebagai sosok yang akan mengancam eksistensinya. Hidup seorang reformis senantiasa dipenuhi dengan sifat kompetitif, masalah yang kompleks, keberanian membela yang haq, dan memiliki semangat yang heroik. Hal yang menjadi menarik yakni tekanan-tekanan yang dilakukan oleh pihak lawan terhadap agent of change tanpa disadari justru akan menjadi investasi perjuangan bagi kekuatan perubahan itu. Tentang takwil mimpi, merupakan suatu perbuatan yang mencerminkan bagaimana seorang pemimpin menyampaikan visinya. "Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf. Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada istrinya: 'Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, boleh jadi dia bermanfaat kepada kita atau kita pungut dia sebagai anak.' Dan demikian pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi (Mesir), dan agar Kami ajarkan kepadanya ta'bir mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya." (Terjemahan Q.S. Yusuf: 20-21). Ayat di atas mencerminkan, bagaimana kekuatan muda seringkali menjadi komoditas politik yang menarik. Oleh sebab itu, jangan menggadaikan idealisme agar tidak dimanfaatkan oleh penggerak-penggerak politik. Senantiasa harus waspada, karena dalam kancah politik tidak ada musuh abadi atau kawan abadi, semuanya abu-abu, tidak pasti. "Yusuf berkata: 'Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.' Maka Tuhannya memperkenankan doa Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Terjemahan Q.S. Yusuf: 33-34). Fakta yang terjadi adalah, sistem jahiliyah merupakan sistem yang dimasuki atau dilandasi oleh pandangan hidup materialistik dan diwarnai oleh berbagai tipu daya kekuasaan. Dasar keyakinan untuk menghadapi ujian duniawi adalah rasa takut kepada Allah, sikap amanah dan pertanggung jawaban publik, serta kesadaran akan risiko politik. "Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?" (Terjemahan Q.S. Yusuf: 39). Dalam ayat tersebut, secara eksplisit dijelaskan mengenai konsistensi yang dijalankan oleh Nabi Yusuf as. Ada tiga hal yang dilakukan oleh Nabi Yusuf as sekalipun berada dalam penjara; Pertama, Beliau tetap menjadikan penjara sebagai lahan dakwah. Kedua, mengelola orang-orang yang ada dalam penjara untuk menjadi alat mobilitas bagi dirinya. Ketiga, penjara bukanlah akhir dari perjalanan dan perjuangan, bahkan mungkin penjara akan menjadi batu loncatan bagi ekskalasi gerakan. "Raja berkata: 'Bawalah dia kepadaku.' Maka tatkala utusan itu datang kepada Yusuf, berkatalah Yusuf: 'Kembalilah kepada tuanmu dan tanyakanlah kepadanya bagaimana halnya wanita-wanita yang telah melukai tangannya. Sesungguhnya Tuhanku, Maha Mengetahui tipu daya mereka.'" (Terjemahan Q.S. Yusuf: 50). Kebenaran menjadi satu-satunya bargaining point dengan kekuasaan. Maka dengan demikian, Nabi Yusuf as membersihkan namanya terlebih dahulu yang telah tercemar karena fitnah yang dilakukan oleh istri raja. "Dan raja berkata: 'Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.' Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: 'Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami.'" (Terjemahan Q.S. Yusuf: 54). Pada akhirnya, Nabi Yusuf as dapat membuat Mesir dan Palestina aman. Dalam beberapa ayat di atas, secara implisit Allah memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya melalui kisah Nabi Yusuf as ini. Allah memberi pelajaran bagi kita semua bahwa kemenangan adalah hak bagi siapa saja yang mampu memelihara konsistensi sikap dan misi perjuangannya. Pun yang dilakukan oleh Nabi Yusuf as, ketika berada dalam penjara sekalipun tetap melakukan dakwah, menjalankan misinya sebagai seorang Nabi. Keterbatasan bukanlah alasan bagi diri kita untuk tidak bergerak. Dan juga poin pentingnya adalah keinginan untuk mewujudkan mimpi. Seorang pemimpin mampu mengelola mimpinya dan memperjuangkannya hingga akhirnya ia dapat terwujud. Rina Nourmasari Mahasiswa Departemen Geografi Universitas Indonesia Fb/Twitter : Rina Nourmasari/@rina_nour

Etika Perniagaan Nabi Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dahnil Anzar Simanjuntak* Sebelum memulai tugas kerasulan, Nabi Muhammad SAW berprofesi sebagai pedagang. Dari aktivitas perdagangan inilah, karakter dan moral seorang anak muda bernama Muhammad bin Abdullah, dikenal oleh banyak kaum. Moral perdagangan yang dipraktikkan Nabi Muhammad dianggap “diluar kewajaran”. Praktik perdagangan yang “wajar” pada saat itu adalah eksisnya tipu muslihat dan alfa-nya kejujuran. Namun, seorang Muhammad justru muncul dengan praktik perniagaan yang “tidak wajar”, nilai-nilai moral luhung seperti kejujuran, komitmen kuat terhadap pelayanan dan penghargaan kepada konsumen, justru dipraktekkan secara utuh oleh Nabi Muhammad. “Ketidakwajaran” itu pun tersiar dari mulut ke mulut, bak marketing modern yang paling efektif, menjadi trigger peningkatan popuritas dan integritas seorang pedagang muda bernama Muhammad, sampai suatu saat popularitas dan integritas ini pun mengundang ketertarikan seorang investor dan konglomerat perempuan saat itu, Siti Khadijah. Syahdan. Jadilah, Muhammad dari pedagang biasa menjadi seorang saudagar besar yang mengendalikan perniagaan Siti Khadijah, yang dalam sejarah kelak menjadi Istri terbaik bagi Muhammad Sang Pedagang. Etika Moral Perdagangan Nabi Muhammad menjadi model terbaik praktik perniagaan, bahkan sebelum beliau menjadi Rasul dan sebelum Alquran turun. Nabi Muhammad keluar dari “standar” bertindak dan berpikir pedagang kebanyakan pada masa itu yang penuh dengan tipu muslihat dengan berbagai motif dan modus kecurangan perdagangan. Beliau muncul, dengan “standar” baru yakni, perdagangan yang jujur dan saling menguntungkan. Sadar atau tak sadar, pada saat itu, sebelum diangkat sebagai Rasullulah, Nabi Muhammad telah melakukan tugas profetiknya. Rasulullah SAW menyuntikkan nilai-nilai baru dalam tatanan jahiliyah pada saat itu, yakni nilai-nilai etika moral perdagangan, dimana perdagangan itu harus selalu dilandasi saling percaya, dan memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak yang melakukan transaksi, kepercayaan (trust) muncul, apabila pada prakteknya, sang pedagang mampu menunjukkan kapasitas kejujurannya dalam praktik perniagaan. Pada masa yang lalu sampai masa kekinian, era model perdagangan modern berkembang, “kejujuran” tetap menjadi asset yang sangat berarti dan penentu bagi eksitensi dan perkembangan perdagangan, yang dalam teori modern sering disebut sebagai “Social Capital”. Mengutip Francis Fukuyama, TRUST, menjadi modal yang sangat penting bahkan paling penting dalam pergaulan ekonomi global. Nabi Muhammad sudah mempraktekkan dan mengajarkannya kepada umatnya, sebelum teori-teori modern melihat unsur moral ini sangat penting dalam perekonomian, sayangnya kebanyakan dari kita alpha terhadap pesan perdagangan yang diajarkan Rasullulah. Kejujuran yang Absen Krisis ekonomi dengan berbagai kausalitasnya membuktikan bahwa kehadiran kejujuran dalam perekonomian dicampakkan. Sehingga praktik spekulasi dan tipu muslihat menjadi bagian integral dalam peradaban ekonomi manusia kekinian, seolah menjadi de javu jaman Jahiliyah hadir dalam bentuk yang berbeda, dan lebih variatif, bahkan berani menggunakan simbol-simbol keagamaan. Mulai yang terkecil, pasar tradisional tempat transaksi perniagaan rakyat dilakukan, nilai kejujuran sulit diidentifikasi, sampai proses perniagaan besar nilai-nilai kejujuran seringkali terpaksa absen hanya karena alasan jangka pendek yakni keuntungan (profit), padahal fakta empirik menunjukkan bahwa eksitensi entitas bisnis yang sering mengabaikan komitmen moral kejujuran dalam jangka panjang eksitensinya akan terpuruk, sebaliknya entitas bisnis yang mengedepankan komitmen moral kejujuran dalam setiap transaksi yang dilakukan, eksitensinya makin ekspansif dan profitable. Agaknya, pengembangan ekonomi Islam harus memulai mengisi kekosongan nilai-nilai etika moral ini, yang justru makin tergerus dengan berbagai variasi praktek kapitalistik yang abai terhadap kehadiran nilai kejujuran namun secara massif justru mengedepankan “ketamakan”, dalam prakteknya. Eksitensi Perbankan Islam sebagai salah satu simbol praktik ekonomi Islam menjadi taruhan yang sangat mahal, sedikit saja praktik moral hazard terjadi, maka reduksi essensi ekonomi Islam bisa mencemari nilai-nilai Islam itu sendiri. * Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Minggu, 20 Januari 2013

Manajemen Emosi

Oleh: Muhbib Abdul Wahab Dalam sebuah peperangan, Ali bin Abi Thalib—Karramallahu wajhah—terlibat duel dengan salah satu jawara kaum musyrik. Ia berhasil menjatuhkan lawannya. Ketika Ali hendak membunuhnya, sang musuh meludahi Ali dan mengenai wajahnya. Atas hal itu, Ali mengurungkan niatnya dan berlalu meninggalkannya. Orang musyrik itu pun memandang aneh sikap Ali. “Hendak ke manakah engkau?” ujarnya. Ali menjawab, “Mulanya, aku berperang karena Allah, namun ketika engkau melakukan apa yang telah engkau lakukan terhadapku (meludahiku), aku khawatir membunuhmu hanya sebagai balas dendam dan pelampiasan kemarahanku. Jadi, aku membebaskanmu karena Allah.” Orang itu pun berkata, “Semestinya kelakuanku lebih memancing kemarahanmu hingga engkau segera membunuhku. Jika agama yang kalian anut sangat toleran, maka sudah pasti ia adalah agama yang benar.” Sekelumit kisah tersebut menunjukkan setidaknya empat nilai akhlak mulia. Pertama, menjaga ketulusan niat dan komitmen. Niat suci untuk berjihad karena Allah SWT yang sudah dibulatkan dalam hati yang bersih tidak boleh dinodai oleh niat lain yang dapat menggugurkan kesucian niat awal. Jika kesucian niat sudah terkontaminasi oleh hal-hal yang tidak mulia, niscaya dapat merusak amal kebaikan dan menjadikannya tidak bermakna, sia-sia di mata Allah SWT. (HR Bukhari dan Muslim). Kedua, menahan diri untuk tidak terprovokasi dan melakukan balas dendam merupakan akhlak yang sangat terpuji, terutama dalam suasana permusuhan dan peperangan. Manusia seringkali tidak bisa mengendalikan diri (emosi) jika dimusuhi. Dalam hal ini, Ali justru tidak sudi membunuh musuh yang terang-terangan telah meludahinya, meskipun beliau dapat melakukannya terhadap musuh yang sudah tidak berdaya. “Orang yang kuat bukanlah karena kehebatan kekuatannya, akan tetapi orang yang kuat itu adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya di saat marah.” (Muttafaq 'alaih). Ketiga, mengelola kemarahan dengan tidak mendendam merupakan energi positif untuk memberi ruang bagi munculnya sikap arif dan mau memaafkan orang lain. Memberi maaf jauh lebih baik daripada melampiaskan balas dendam. Alquran mengajarkan kepada kita untuk membela diri jika diperlakukan secara zalim. Namun, memberi maaf lalu berdamai itu pasti lebih indah dan damai. (QS as-Syura [42]: 39-40). Keempat, sikap lapang dada dan besar hati untuk hidup damai merupakan kata kunci toleransi dan kerukunan hidup. Kemarahan pada dasarnya wajar (manusiawi), tetapi membiarkan kemarahan tanpa kendali adalah awal dari sikap dan perilaku disharmoni. Karena itu, ketika ada seorang sahabat menemuni Nabi dan meminta nasihat kepadanya, beliau menyatakan, “Jangan marah! (beliau mengulanginya sampai tiga kali).” (HR Muslim). Manajemen emosi dan kemarahan dapat diterapi dengan berwudhu, karena marah itu ibarat bara api yang bergejolak dan hanya dapat padam jika disiram dengan air. Manajemen emosi bisa berfungsi lebih efektif dan optimal jika dibarengi dengan zikrullah (mengingat Allah), beristighfar kepada-Nya, mengingat kematian, berbaik sangka, berpikir positif, dan bersabar. Wallahu a'lam.

Menjaga Air untuk Kehidupan

\ REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Heri Ruslan Air adalah sumber kehidupan bagi makhluk hidup di Bumi. Ketiadaan air bisa mengancam kelangsungan hidup dan ekosistem alam. Bagi manusia, selain sebagai konsumsi sehari-hari, benda cair itu juga bermanfaat untuk mandi dan mencuci. Air juga menopang pembangunan infrastruktur, seperti rumah, masjid, perkantoran, dan lainnya. Ini merupakan makna bahwa segala apa yang ada di Bumi memang diperuntukkan bagi kepentingan manusia (QS Luqman [31]:20). Kebutuhan air bersih dan terlindungi sehingga aman untuk minum di Indonesia masih belum maksimal. Sebuah data menyebut, capaian proporsi akses penduduk terhadap sumber air minum terlindungi (akses aman) secara nasional sampai dengan 2011 masih sebesar 55,04 persen. Persentase ini masih belum optimal. Padahal, target MDGs untuk akses itu pada 2015 sebesar 68,87 persen. Di sisi lain, muncul paradoks. Air bersih justru dieksploitasi secara berlebihan. Syekh Yusuf al-Qaradhawi dalam makalahnya berjudul “Al-Biah fil Islam” mengatakan, pentingnya menjaga air sebagai sumber kehidupan telah ditegaskan dalam Alquran Surah al-Anbiyaa' ayat 30. “Dan, dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup.” Karena itu, air adalah kekayaan paling berharga dan warisan penting bagi generasi mendatang. Allah SWT memberikan nikmat air itu secara gratis. Sayangnya, nikmat tersebut tidak dipergunakan dan dimanfaatkan dengan baik dan proporsional oleh manusia. Sering kali pendayagunaan air, kata Sekjen Ulama Internasional ini, tidak optimal dan bahkan di banyak kesempatan cenderung eksploitatif. Hal ini tidak bisa dibiarkan dan harus dicegah. Pasalnya, berbeda dengan kekayaan Bumi atau alam lainnya, air bersifat surut dan tidak bisa dibudidayakan. Ia menegaskan, jika pemakaian yang tak tepat guna dan konsumsi berlebihan tetap terjadi maka tak mustahil krisis air pun akan terjadi. “Dan, Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran, lalu Kami jadikan air itu menetap di Bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya.” (QS al-Mu'minuun [23]:18). Syekh al-Qaradhawi mengajak umat Muslim tampil sebagai garda terdepan menjaga kelestarian air. Ajakan ini bukan tanpa alasan. Islam memiliki segudang tuntunan agar air tetap terjaga, bersih, bebas dari pencemaran, dan laik dikonsumsi. Contoh perhatian Islam terhadap pelestarian air ialah larangan mencemari air sungai ataupun sumber air pegunungan, misalnya, dengan limbah manusia, seperti air seni dan tinja. Dalam hadis riwayat Bukhari Muslim, Rasulullah SAW melarang para sahabatnya buang air besar di sumber air. Di riwayat lain dari Abu Dawud, larangan itu ditekankan pula atas kencing di air kolam ataupun air danau yang tidak mengalir. Sementara, lokasi itu dipergunakan sehari-hari oleh warga sekitar. Menurut Syekh al-Qaradhawi, bentuk pencemaraan saat ini tak hanya terbatas pada kotoran manusia. Melainkan, limbah rumah tangga dan industri. Limbah-limbah tersebut justru lebih berbahaya. Sampah kerap menggunung di kali-kali atau bantaran sungai. Dampaknya pun cukup jelas, paling utama banjir. Soal bahaya limbah industri tak lagi diragukan. Kandungan bahan kimia bisa merusak ekosistem sungai. Akibatnya, air yang telah tercemar tak lagi laik dikonsumsi. Satu lagi bentuk pelestarian terhadap air, katanya, ialah larangan untuk eksploitasi air yang berlebihan. Rasulullah pernah mengingatkan Saad bin Abi Waqash agar berwudhu dengan air secukupnya. Tidak usah berlebih sekalipun berada di lokasi dengan air yang melimpah. Di riwayat lain bahkan Rasul mewanti-wanti munculnya fenomena terlalu berlebihan ketika bersuci (mempergunakan air). Karena itu, hendaknya pendayagunaan air harus dikedepankan untuk dikonsumsi untuk diminum. Peruntukkan yang lain tentu hendaknya didistribusikan secara proporsional. Teladan Nabi agar menjaga kelestarian air mengilhami para sahabatnya. Hal itu seperti yang tergambar dari sikap Bilal bin Rabah. Muazin pertama tersebut selalu mendambakan tinggal di Makkah dan sekitarnya dengan air melimpah, gunung menjulang tinggi, dan pepohonan tumbuh sumbur. Ia pun bersenandung, “Andai saja aku bisa bermalam di lembah dan sekitarku rerumputan hijau membentang dan seandainya aku menikmati gemericik air surga yang mengalir.

Sabtu, 19 Januari 2013

Semangat Bekerja Keras

, Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein Tahun baru 2013 baru saja kita jalani. Di tahun ini, semangat bekerja keras dan berusaha harus kita terus tingkatkan. Setiap umat Islam, menjaga semangat dalam bekerja dan berusaha merupakan anjuran Rasulullah SAW yang harus terus dijaga dan dipupuk. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah pernah bersabda, “Tiada makanan yang baik bagi Anak Adam kecuali yang ia dapat dari tangannya sendiri. Sungguh, Nabi Daud AS makan dari hasil tangannya sendiri.” Dalam hadits lain yang diriwayatkan Baihaqi, Rasulullah pernah bersabda “Sesungguhnya, sebaik-baik mata pencaharian adalah seorang berwirausaha.” Islam sebagai agama Allah yang sempurna memberikan petunjuk kepada manusia tentang bidang usaha yang halal dan cara berusaha. Keagungan Islam tidak hanya memerintahkan manusia bekerja untuk kepentingan individual secara halal, namun juga mengajarkan cara manusia berhubungan baik sesama bagi kepentingan dan keuntungan kehidupan mereka di bumi ini. Sebagai umat Islam, menjaga semangat dalam bekerja menjadi sebuah keharusan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Karena itu, Islam benar-benar mengajarkan umatnya untuk bekerja keras, mandiri dan tidak pantang menyerah. Setidaknya terdapat beberapa dalam kandungan Alquran maupun Hadis yang dapat menjadi rujukan pesan tentang semangat kerja keras dan kemandirian ini. Seperti Hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, Rasulullah pernah bersabda, “Amal yang paling baik adalah pekerjaan yang dilakukan dengan cucuran keringatnya sendiri.” Islam memandang bahwa bekerja merupakan satu kewajiban bagi setiap insan. Karena dengan bekerja, seseorang akan memperoleh penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan juga keluarganya serta dapat memberikan maslahat bagi masyarakat di sekitarnya. Dalam sebuah Hadis disebutkan, “Dari Anas r.a. berkata : Nabi SAW bersabda ” Bukan orang yang baik diantara kamu, orang yang meninggalkan kepentingan dunia untuk mengejar akhiratnya, atau meninggalkan akhirat karena mengejar dunia, sehingga dapat mencapai keduanya, karena dunia bekal untuk akhirat, dan kamu jangan menyandarkan diri pada belas kasihan orang”. Menurut Isa Abduh dan Ahmad Ismail Yahya dalam al-Amal fi al-Isl’m, Islam adalah agama yang menekankan amal atau bekerja. Sebab, amal atau bekerja merupakan salah satu cara praktis untuk mencari mata pencarian yang diperbolehkan Allah SWT. Bekerja dalam Islam merupakan kewajiban bagi setiap individu atau kelompok. Konsep amal dalam Islam sangat luas dan tidak hanya menyangkut soal bisnis atau dagang. Amal adalah setiap pekerjaan yang dilakukan manusia yang pantas untuk mendapatkan imbalan (upah), baik berupa kegiatan badan, akal, indra, maupun seni. Dalam sebuah kitab dijelaskan, orang yang dengan ikhlas bekerja keras, Allah SWT akan memberikan beberapa ganjaran, seperti: pertama, akan diampuni dosa-dosanya oleh Allah SWT. Kedua, dihapuskan dosa-dosa tertentu yang tidak dapat dihapuskan dengan shalat, puasa dan shadaqah. Ketiga, mendapatkan cinta Allah SWT. Keempat, terhindar dari azab neraka dan terakhir bekerja mencari nafkah digolongkan dalam fi sabililah. Karena itu, di tahun baru ini, patut kita terus menjaga semangat bekerja keras dengan keringat kita sendiri. Dengan begitu, kita Insya Allah termasuk ke dalam golongan yang selamat dunia dan akhirat. Amin.

Tiga Misi Risalah Kenabian

< Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA Rasulullah SAW menjalankan misi kenabian selama 23 tahun, 10 tahun di Makkah dan 13 tahun di Madinah. Misi tersebut dijalankan Rasulullah dengan sukses disertai rida Allah SWT, sehingga pada penutup wahyu-Nya, Allah SWT berfirman: "Pada hari ini Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu." (QS. Al-Maidah: 3). Dr Muhammad Basam Al-Zein Dalam karyanya "Muhammad Rasulullah" membagi misi kenabian Muhammad SAW dalam tiga bagian. Pertama, pembacaan ayat-ayat Alquran. Pembacaan di sini berarti bahwa Allah SWT mengajarkan pembacaan dan makna Alquran kepada Muhammad melalui Jibril AS lengkap dengan pengucapan makhraj huruf, tajwid, urutan dan sistem aturan di dalamnya (QS. Ar-Rahman: 1-2). Kemudian pengajaran di sini juga berarti bahwa Rasulullah SAW lalu mengajarkan Alquran kepada para sahabatnya, para sahabat mengajarkan kepada para tabiin, para tabiin mengajarkan kepada tabiit-tabiin, dan begitu seterusnya hingga pada generasi Alquran terakhir hari kiamat nanti. Allah SWT berfirman, "Dan Alquran (Kami turunkan) berangsur-angsur agar engkau (Muhammad) membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap." (QS. Al-Isra': 106). Kedua, penyucian jiwa. Rasulullah SAW telah melakukan penyucian jiwa orang-orang terdekat dan para sahabatnya dengan cara menanamkan dan menumbuhkan keimanan di dalam hati mereka; mengalahkan hawa nafsu mereka; mendidiknya agar sesuai dengan petunjuk Alquran; konsisten dalam keimanan dan takwa; serta berlaku ihsan dalam setiap perbuatan, sehingga ciri khas keberhasilan dari proses penyucian jiwa tersebut adalah menemukan manisnya keimanan. Rasulullah SAW bersabda, "Tiga perkara yang jika terdapat pada diri seseorang maka ia akan mendapatkan manisnya keimanan: Pertama, Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya; Kedua, cinta seseorang semata-mata karena Allah; Ketiga, benci kembali dalam kekufuran sebagaimana benci dilemparkan ke neraka." (HR. Bukhari). Ketiga, pengajaran Alquran, as-sunnah dan al-hikmah. Rasulullah SAW telah mengajarkan ketiga ilmu tersebut kepada para sahabat dan mereka mengajarkan kepada generasi ke generasi hingga saat ini bahkan sampai hari kiamat nanti. Pengajaran ketiga ilmu tersebut merupakan warisan Rasulullah SAW sebagaimana komentar Abu Hurairah RA pada saat melihat sebagian kaum shalat di masjid, sebagian yang lain membaca Alquran, sebagian lagi belajar halal-haram, lalu Abu Hurairah berkata, "Semua itu adalah warisan Muhammad SAW." (HR. Tabrani dengan sanad hasan). Ketiga misi kenabian tersebut tidak lain merupakan pengabulan Allah SWT atas doa Nabi Ibrahim AS. Allah SWT berfirman: "Sungguh, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika (Allah) mengutus seorang Rasul (Muhammad) di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab (Alquran), dan hikmah (sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata." (QS. Ali-Imran: 164). Wallahu a'lam

Musibah Banjir

Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein Musibah banjir yang melanda seluruh wilayah Kota Jakarta dan Tangerang membuat panik semua warga. Sepertinya musibah banjir di negeri ini selama kurun waktu lima tahunan, adalah musibah yang teramat parah. Kondisi ini pada dasarnya tidak luput dari prilaku manusia. Jika kita mau membuka kembali Alquran, tampak jelas bahwa bencana alam dan krisis lingkungan akibat dari ulah merusak sebagian dari umat manusia. Dalam sebuah ayat Allah berfirman, ”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS Ar-Rum[30]:41). Ayat ini secara eksplisit menegaskan bahwa kerusakan di muka bumi disebabkan ulah tangan manusia. Bencana yang datang silih berganti bukan fenomena alam. Akan tetapi karena prilaku merusak manusia sendiri yang telah merusak alam ciptaan Allah. Para pemikir Timur dan Barat kontemporer memandang masalah utama kerusakan parah Bumi akibat terjadinya pemisahan serius antara sains dan dari spiritualitas dan nilai-nilai moral. Para pemikir menilai krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini menunjukkan bahwa sebagian besar negara-negara dunia dilanda problem nilai dan spiritualitas. Fritjof Capra memandang krisis lingkungan bermuara pada kesalahan cara pandang manusia modern terhadap alam semesta. Manusia modern pada umumnya masih menganut paradigma mekanistis dan reduksionistis terhadap alam semesta. Implikasinya, alam sebagai objek yang selalu diekspolitasi secara berlebih. Oleh karena itu, pandangan manusia harus diubah menuju paradigma yang holistik dan ekologis. Bahwa merusak alam dan lingkungan merupakan perbuatan dosa dan pelanggaran karena mengakibatkan gangguan keseimbangan di bumi. Ketiadaan keseimbangan itu, mengakibatkan siksaan kepada manusia. Semakin banyak perusakan terhadap lingkungan, semakin besar pula dampak buruknya terhadap manusia, termasuk akan berdampak kepada manusia yang tidak berdosa disekitarnya. Dalam Islam sudah sangat terang, bumi, alam, lingkungan diciptakan Allah swt bukan tanpa arti. Penciptaan alam, lingkungan, bumi merupakan tanda keberadaan Allah, Tuhan Yang Maha Pencipta. Sebagaimana firman Allah swt dalam Alquran bahwa terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya di bumi ini. "Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin,”(QS Adz-Dzariyat [51]:20). Dalam Al-Quran, Allah menyatakan bahwa alam diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Allah berfirman,”Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir,”(QS Al-Jatsiyah [45}:13). Ayat inilah yang menjadi landasan teologis pembenaran Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia. Islam tidak melarang memanfaatkan alam, namun ada aturan mainnya. Manfaatkan alam dengan cara yang baik (bijak) dan manusia bertanggungjawab dalam melindungi alam dan lingkungannya serta larangan merusaknya. Manusia sebagai khalifah (wakil atau pengganti) Allah, salah satu kewajiban atau tugasnya adalah membuat bumi makmur. Ini menunjukkan bahwa kelestarian dan kerusakan alam berada di tangan manusia. Kini manusia harus lebih ramah terhadap alam semesta melebihi sebelumnya. Untuk mewujudkan kedamaian dan keseimbangan dengan lingkungan, manusia harus memiliki ikatan yang kokoh dengan pencipta alam semesta. Orang yang mematuhi aturan Ilahi, maka ia juga memiliki hubungan yang baik dengan sesama manusia dan alam semesta. Merusak dan mencemari lingkungan menyebabkan terjadinya berbagai bencana seperti banjir saat ini. Untuk itu, Islam mengharamkan setiap tindakan yang merusak alam. Dalam Islam, kerusakan lingkungan juga mengakibatkan kerusakan sosial yang menyebabkan terjadinya perampasan terhadap hak jutaan orang. Saatnya menjaga kelestarian lingkungan.

Jumat, 18 Januari 2013

Luasnya Rahmat Allah

Oleh: Ustaz M Arifin Ilham Harus kita akui bahwa ibadah, amal saleh, dan bentuk-bentuk ketaatan lainnya kepada Allah SWT, masih lebih sedikit bila dibandingkan dengan aneka kemaksiatan dan dosa yang kita lakukan pada-Nya. Sebaliknya, dibanding rahmat-Nya yang sampai kepada kita atau murka- Nya, yang justru deras mengguyur kita adalah rahmat-Nya. Padahal, yang meluncur kencang adalah kemaksiatan dan dosa kita. Seakan murka-Nya tersembunyi di balik kasih sayang atau rahmat Allah. Benarlah demikian adanya. Setiap hari kita menabung dosa, tapi justru dibalas oleh rahmat-Nya. Bukankah kita masih diperkenankan hidup. Udara dunia masih bisa kita hirup. Bahkan, berbagai fasilitas kehidupan pun masih dipenuhi. Alam masih relatif bersahabat dengan kita bila dibandingkan dengan umat-umat terdahulu yang langsung diazab dan direspons oleh alam ketika dosa dan kemaksiatan semakin merajalela. Sekali lagi ini menandakan rahmat Allah di atas murka-Nya. Karena itu, di hadapan para sahabatnya, Rasulullah berpesan, “Tatkala Allah menciptakan seluruh makhluk, Allah menuliskan di dalam kitab-Nya, yang kitab itu berada di sisi-Nya di atas Arsy, yang isinya adalah: “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku.” (HR Bukhari Muslim). Pernah terjadi suatu waktu, rombongan tawanan perang dihadapkan kepada Rasulullah. Di tengah-tengah rombongan itu ada seorang ibu yang sedang mencari-cari bayinya. Tatkala dia berhasil menemukan bayinya itu maka dia pun memeluknya erat-erat ke tubuhnya dan lalu menyusuinya. Saat itulah Rasulullah bertanya kepada rombongan itu. “Apakah menurut kalian ibu ini akan tega melemparkan anaknya ke dalam kobaran api?” Rombongan itu menjawab, “Tidak mungkin, demi Allah. Sementara dia sanggup untuk mencegah bayinya terlempar ke dalamnya.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh, Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini menyayangi anaknya.” (HR Bukhari Muslim). Saudaraku, jika kini kita semakin yakin betapa luasnya rahmat Allah Ta’ala maka seharusnya kita lebih bersemangat lagi untuk menjemputnya dan jangan sampai terlintas dalam benak pikiran untuk berputus asa. Sikap putus asa ini adalah sifat orang-orang kafir dan sesat. “Mereka menjawab, ‘Kami menyampaikan berita gembira kepadamu dengan benar maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa.’ Ibrahim berkata, ‘Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabb- Nya, kecuali orang-orang yang sesat’.” (QS al-Hijr: 55-56). Yakinlah, siapa pun kita masih terbuka peluang meraih rahmat Allah SWT, walaupun banyak dosa dan kotoran kesalahan menyelimuti diri kita. Ingatlah, selama kita masih menghela napas, maka pintu rahmat Allah SWT senantiasa terbentang luas. Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada orang-orang yang memintanya. Karena itu, bersegeralah bertaubat dan meraih rahmat-Nya. Wallahu a’lam.

Sujud

Oleh: Ustaz Yusuf Mansur Harapan, jalan keluar, dan solusi akan selalu ada bila saudara bertuhan Allah. Karena, semua itu Allah yang punya. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Tidak ada yang mustahil untuk Allah. Selalu ada itu semua. Yuk, kita lihat ayat berikut ini. Ayat ini pernah memotivasi saya. Ayat ke-27 Surah as-Sajdah. “Dan, apakah mereka tidak memerhatikan bahwasanya Kami menghalau (awan yang mengandung) air ke Bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanam-tanaman yang daripadanya (dapat) makan binatang-binatang ternak mereka dan mereka sendiri. Maka, apakah mereka tidak memperhatikan?" Saya melihat Allah menghalau awan yang mengandung air ke Bumi yang tandus hingga Bumi itu kemudian subur dan bisa bermanfaat. Siapa yang mempunyai awan tersebut dan siapa yang mempunyai Bumi yang tandus? Tentu saja adalah Allah. Persoalan dan jawaban, Allah yang punya. Subhanallah. Lalu, mengapa kita bisa mencari pertolongan selain Allah? Sedang dua-duanya di tangan Allah? Saya melihat ayat itu. Lalu, saya bahagia. Saya tersenyum. Saya yakin semua harapan pasti selalu ada. Semua jawaban selalu ada. Semua solusi juga selalu tersedia. Itu semua bukannya tidak ada, kok. Persoalannya adalah apakah Allah mau “menghalau” itu semua? Menggiringnya? Hingga ada di hadapan kita? Obat bukannya tidak ada. Tapi, Allah yang belum mengasih (memberi) buat kita. Obat-obat yang diminum sama yang sakit jadi tidak ada pengaruh semua. Duit, pekerjaan, proyek, tagihan, jodoh, bukan tidak ada. Pastinya semua ada. Saya yakin. Allah menyediakan persoalan, pasti berikut jawabannya. Tapi, duit, pekerjaan, proyek, tagihan, jodoh, tidak atau belum disodorkan oleh Allah buat kita. Melihat isi ayat itu, adanya di Surah as-Sajdah, saya lalu tersenyum dan juga bahagia. Sebab apa? Saya baik sangka sama Allah dan kagum sama Allah. Bahwa semua yang kita perlukan—sebagai “awan yang mengandung air”—untuk membuat Bumi yang tandus jadi subur adalah sujud. Ya, sujud. Kita harus bersujud. As-Sajdah berarti sujud. Dan, memang persoalan ini persoalan abad ini juga. Makanya, orang kayak kehilangan arah.

Kejahatan Kemanusiaan

\ Oleh: KH Didin Hafidhuddin Di dalam Alquran dan hadis terdapat berbagai istilah yang pengertiannya jauh lebih luas dari pengertian yang selama ini dipahami. Misalnya, tijarah (perdagangan) selalu dipahami dengan jual beli atau tukar-menukar komoditas tertentu. Tetapi, di dalam Alquran Surah ash-Shaff [61] ayat 10 dan 11, yang juga dikatakan tijarah atau perdagangan dalam bentuk lain yang akan menyelamatkan dari azab neraka, yaitu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya dengan harta dan jiwa. Juga istilah cendekiawan, selama ini selalu dipahami orang yang memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam. Tetapi, di dalam hadis riwayat Abu Dawud, yang dikatakan cendekiawan itu adalah orang yang dengan ilmunya berusaha melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Karena itu, walaupun seseorang memiliki gelar akademik yang tinggi, yang menunjukkan kecendekiaannya, tetapi dia tidak pernah rukuk dan sujud, bermunajat dan berdoa kepada Allah, hakikatnya adalah bukan cendekiawan. Terdapat juga pengertian muflis (orang yang bangkrut), seperti dikemukakan dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah, bukanlah hanya orang yang merugi di dalam kegiatan usahanya, sehingga semua asetnya habis. Namun, orang yang melakukan berbagai macam perintah Allah, seperti shalat, puasa, dan zakat, serta dalam waktu yang bersamaan melakukan kejahatan kemanusiaan. Memfitnah orang lain, melakukan pembunuhan karakter, mencaci maki, mengadu domba, mengambil hak orang lain, bahkan tidak segan-segan pula untuk melukai dan membunuhnya. Jika hal tersebut memang diperlukan untuk mencapai tujuannya, di akhirat nanti, pahala dari kebaikan yang dilakukannya akan diberikan kepada orang yang dianiaya dan dijahatinya, sehingga semua pahalanya habis. Dan apabila masih banyak orang yang dijahatinya, yang tidak sempat memaafkannya, maka keburukan-keburukan orang yang dijahatinya itu akan ditimpakan kepadanya, sehingga akhirnya dia dilemparkan ke dalam neraka. Naudzubillah. Beramal ibadah kepada Allah SWT, harus berbanding lurus dengan kebaikan bagi sesama manusia. Orang yang suka beribadah kepada Allah, tetapi jahat kepada sesama manusia adalah sama buruknya dengan orang yang baik kepada sesama manusia, tetapi tidak mau beribadah kepada Allah SWT. Karena itu, meskipun dalam suasana hiruk pikuk dan kegaduhan dalam berbagai bidang kehidupan saat ini, seorang Muslim harus tetap istiqamah, berbuat baik kepada Allah, dan berbuat baik kepada sesama manusia. Sehingga, hidupnya akan diselamatkan Allah SWT di dunia ini maupun di akhirat nanti. Wallahu a’lam.

Bahaya Harta Haram

Selasa, 15 Januari 2013, 13:33 WIB Oleh: KH Achmad Satori Ismail Dari Jabir bin Abdillah RA, ia berkata, “Telah diriwayatkan kepada kami bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Wahai Kaab bin Ujroh, aku mohonkan perlindungan untukmu kepada Allah dari kepemimpinan orang-orang bodoh.’ Kaab bertanya, ‘Apakah itu, wa hai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Setelahku akan ada para penguasa di mana siapa yang ikut mereka dan membenarkan ucapannya serta mendukung kezalimannya maka mereka bukanlah golonganku dan aku tidak termasuk golongannya dan mereka tidak akan masuk dalam telagaku’.” “Dan barang siapa yang tidak mau ikut mereka, tidak membenarkan ucapannya dan tidak mendukung kezalimannya, maka mereka termasuk golonganku dan aku termasuk golongannya serta mereka akan masuk dalam telagaku.” “Wahai Kaab bin Ujroh, shalat adalah taqarrub, puasa adalah benteng, sedekah menghapuskan kesalahan seperti air memadamkan api. Hai Kaab, tidak akan masuk surga orang yang dagingnya tumbuh dari makanan haram karena neraka lebih dekat dengannya.” (HR Muslim, Nasai, ad-Darami). Allah memerintahkan kita agar selalu makan makanan halal dan menjauhi yang haram sebagai bentuk syukur untuk menambah keberkahan hidup. (QS al-Baqarah [2]: 172). Orang yang memakan makanan halal akan dilindungi dari api neraka. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, ia berkata, “Seseorang di bawah tanggungan Rasulullah SAW bernama Kirkiroh, kemudian ia meninggal. Namun Rasul berkata, ia akan masuk ke neraka. Maka, para sahabat pergi memeriksanya, ternyata mereka menemukan sebuah baju jubah hasil tipuan.” (Shahih Bukhari, hadis No. 2845). Di antara bahaya memakan harta haram, pertama, pelakunya akan masuk neraka. “Barang siapa yang mengambil hak milik orang Muslim dengan menggunakan sumpah, maka Allah akan mewajibkannya masuk neraka dan diharamkan masuk surga.” Seorang bertanya, “Walaupun barang yang kecil, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Walaupun sepotong kayu arok.” (HR Muslim, Nasai, ad-Darami dari Abu Umamah). Kedua, pemakan haram tidak akan mencapai derajat takwa. Orang bertakwa adalah ahli surga. Dari Atiyyah as- Sa’di, Rasulullah SAW bersabda, “Seorang hamba tidak akan mencapai derajat muttaqin sampai meninggalkan sebagian yang halal karena khawatir terperosok pada yang haram.” Ketiga, orang yang makan makanan haram kesadaran beragamanya sempit, artinya tidak banyak beramal yang mendapat pahala sehingga mudah masuk neraka. “Seorang mukmin akan berada dalam kelapangan agamanya selama tidak makan yang haram.” (HR Bukhari). Keempat, pemakan harta haram tidak diterima amalnya dan ditolak doanya. “Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seorang yang memasukkan sekerat daging haram ke perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan barang siapa yang dagingnya tumbuh dari barang haram dan riba maka neraka lebih utama untuk membakarnya.” (HR Muslim, Tirmidzi, Ahmad dan ad-Darami). Orang yang makan harta haram sama dengan berusaha menghancurkan dirinya, merusak ibadahnya, mempermainkan doanya dan menghancurkan keluarga serta keturunannya