REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr H Samsul Maarif MA
Saat ini, hampir seluruh wilayah di Indonesia dilanda hujan. Bahkan, sejumlah daerah sudah mengalami banjir. Kejadian hujan dan banjir oleh sebagian warga dianggap sebagai musibah atau bencana bukan dianggap sebagai rahmat. Anggapan seperti ini adalah bentuk negative thinking dalam menyikapi fenomena alam. Padahal, sebagai umat yang berpikir maju ke depan seharusnya hujan dan banjir disikapi dengan positive thinking, sehingga semua segera dapat diselesaikan dengan baik dan berencana.
Memang benar ada hujan dan banjir yang merupakan suatu bencana bagi penduduk tertentu sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi Nuh AS (QS Hud [11]: 37, al-Qamar : 11-12), atau hujan batu pada masa Nabi Luth AS. Hal ini berbeda jika banjir yang terjadi seperti pada keluarga Saba' (Abd Syams bin Yasyjab bin Ya'rab bin Qahthan (QS Saba' [34]: 16) dengan berbagai kriteria yang dinyatakan dalam Alquran.
Apa pun bentuknya, hujan adalah berkah yang diturunkan oleh Allah, sebagaimana firman Allah pada surah al-Anfal [8]: 11), al-Furqan [25]: 48-49, dan lainnya. Hujan itu menjadi berkah untuk membersihkan dari berbagai hal, menumbuhkan tanah yang mati, dan lain sebagainya. Jika kita melihat struktur air, maka dapat ditemukan dalam satu molekul air terdiri atas satu atom oksigen yang besar (bermuatan positif) ditempeli dua atom hidrogen yang kecil (bermuatan negatif).
Karenanya, bagian oksigen molekul air tersebut masih dapat menarik atom hidrogen dari molekul air lainnya, termasuk zat-zat kimia lain. Selain sebagai pelarut yang baik, air juga termasuk makanan yang sangat penting bagi manusia, setelah oksigen dari udara untuk bernapas.
Dalam salah satu hadisnya, Nabi SAW menyatakan bahwa doa ketika sedang hujan oleh Allah dikabulkan. "Dua ketika (di mana doa) tidak ditolak atau sedikit sekali yang ditolak: (yaitu) berdoa ketika azan dan ketika pertempuran sedang berkecamuk (dan dalam satu riwayat mengatakan) dan ketika hujan." (HR Abu Daud).
Sedangkan kejadian banjir karena hujan tidak diperkenalkan dalam Alquran. Sebab, Alquran memperkenalkan hujan sudah sesuai dengan ukuran yang sesuai dengan kapasitas bumi. (QS al-Mu'minun [23] :18). Banjir merupakan human and social error, kesalahan manusia dan kesalahan sosial, kesalahan lingkungan sosial yang tidak akrab dengan ekosistem dan bukan "God Error." Curah hujan tetaplah sebagai rahmat Allah untuk alam semesta. Hanya saja, penghuni alam semesta ini (utamanya manusia) menolaknya dengan berbagai cara.
Penyebab terjadinya banjir adalah karena kesalahan manusia. Bagi orang yang beriman, banjir tidak semata-mata musibah, tapi bagaimana ia menjadi rahmat. Caranya adalah dengan berupaya melakukan antisipasi atau mengatasi banjir tersebut. Dengan banjir, banyak ahli bermunculan.
Dengan banjir, tersedia beragam lapangan pekerjaan. Bahkan, dari banjir orang dapat beramal melalui penghimpunan dana untuk membantu korban banjir. Karena itu, dengan adanya banjir, hendaknya kita senantiasa mensyukuri nikmat Allah untuk saling berbagi dengan sesama. Kita harus banyak mengingat Allah SWT yang Mahabijaksana atas segala kuasa-Nya.
Rabu, 25 Januari 2012
Kekayaan Hakiki
Oleh: Prof Dr KH Achmad Satori Ismail
Khubeib bin Adi RA berkata, “Kami sedang berada di suatu majelis, tiba-tiba Rasulullah SAW datang dan di kepalanya terdapat bekas air.” Sebagian dari kami berkata, “Kami melihat engkau berjiwa tenang.” Beliau mejawab, “Ya, Alhamdulillah.” Kemudian orang-orang berdiskusi panjang lebar tentang hakikat kekayaan. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Tidak mengapa kekayaan itu bagi orang bertakwa dan kesehatan bagi orang bertakwa lebih baik dari kekayaan, sedangkan kenyamanan dan kekayaan jiwa termasuk dalam kenikmatan.” (HR Ibnu Majah).
Kekayaan hakiki tidak terletak pada banyaknya harta, deposito, saham, dan properti. Tidak sedikit pemilik harta yang gelisah dan sengsara. Dia berusaha siang malam menumpuk harta, namun kikir bersedekah karena takut miskin. Dia tidak ridha dengan rezeki yang dibagi oleh Allah sehingga miskin hati. Kemiskinan hati inilah yang mendorong manusia mati-matian menumpuk harta dan enggan berjuang di jalan Allah.
Rasulullah SAW pernah bertanya kepada Abu Dzar ra, “Wahai Abu Dzar, apakah banyaknya harta adalah kekayaan?” Aku menjawab, “Ya, benar, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kamu menganggap sedikitnya harta adalah kemiskinan?” Aku menjawab, “Benar, ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya kekayaan itu adalah kekayaan hati dan kemiskinan adalah kemiskinan hati.” (HR An-Nasai, Ibnu Hibban, Thabrani).
Makna hakiki kekayaan dalam pandangan Rasulullah SAW adalah kekayaan jiwa. (HR Bukhari, Muslim, Ahmad dll).
Kemiskinan hati adalah penyakit berbahaya. Orang miskin hati bisa mengumpulkan harta tanpa memedulikan halal atau haram. Tidak jarang mereka berani menipu dalam bisnis, mengurangi timbangan, mencuri, dan korupsi. Para sahabat adalah teladan orang-orang yang kaya jiwa. Mereka meletakkan harta di tangan bukan di hati. Mereka tidak ragu memberikan hartanya untuk jihad fi sabilillah. Pada saat pengiriman jaysul ‘usrah Umar bin Khattab ra memberikan separuh hartanya, Abu Bakar menginfakkan semua hartanya, demikian juga sahabat-sahabat yang lain.
Pemilik dunia adalah orang yang memiliki tiga kriteria; hidup tenteram dan aman di tengah masyarakatnya, sehat jasmaninya, dan memiliki makanan cukup untuk sehari itu. (HR Tirmidzi).
Imam Syafi’i menegaskan, “Bila anda memiliki hati yang serba puas maka anda sejajar dengan pemilik semua isi dunia.” Agar memiliki kekayaan hakiki kita harus; Pertama, tidak melihat pada harta orang lain. (QS. Thaha: 131). Kedua, puas dengan pembagian rezeki dari Allah. “Puaslah dengan apa yang diberikan Allah kepadamu pasti kamu menjadi orang yang paling kaya.” (HR Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi).
Bila Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang maka dijadikanlah kekayaan jiwanya dan ketakwaannya berada di hatinya dan bila Allah menghendaki keburukan pada seseorang maka dijadikanlah kemiskinan itu berada di pelupuk matanya. (HR Ibnu Asakir dan Baihaqi).
Ketiga, melihat kepada orang yang lebih rendah dalam hal harta "karena hal demikian lebih layak dan tidak meremehkan nikmat Allah atas kamu.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi). Orang kaya hati akan bahagia di dunia dan akhirat.
Khubeib bin Adi RA berkata, “Kami sedang berada di suatu majelis, tiba-tiba Rasulullah SAW datang dan di kepalanya terdapat bekas air.” Sebagian dari kami berkata, “Kami melihat engkau berjiwa tenang.” Beliau mejawab, “Ya, Alhamdulillah.” Kemudian orang-orang berdiskusi panjang lebar tentang hakikat kekayaan. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Tidak mengapa kekayaan itu bagi orang bertakwa dan kesehatan bagi orang bertakwa lebih baik dari kekayaan, sedangkan kenyamanan dan kekayaan jiwa termasuk dalam kenikmatan.” (HR Ibnu Majah).
Kekayaan hakiki tidak terletak pada banyaknya harta, deposito, saham, dan properti. Tidak sedikit pemilik harta yang gelisah dan sengsara. Dia berusaha siang malam menumpuk harta, namun kikir bersedekah karena takut miskin. Dia tidak ridha dengan rezeki yang dibagi oleh Allah sehingga miskin hati. Kemiskinan hati inilah yang mendorong manusia mati-matian menumpuk harta dan enggan berjuang di jalan Allah.
Rasulullah SAW pernah bertanya kepada Abu Dzar ra, “Wahai Abu Dzar, apakah banyaknya harta adalah kekayaan?” Aku menjawab, “Ya, benar, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kamu menganggap sedikitnya harta adalah kemiskinan?” Aku menjawab, “Benar, ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya kekayaan itu adalah kekayaan hati dan kemiskinan adalah kemiskinan hati.” (HR An-Nasai, Ibnu Hibban, Thabrani).
Makna hakiki kekayaan dalam pandangan Rasulullah SAW adalah kekayaan jiwa. (HR Bukhari, Muslim, Ahmad dll).
Kemiskinan hati adalah penyakit berbahaya. Orang miskin hati bisa mengumpulkan harta tanpa memedulikan halal atau haram. Tidak jarang mereka berani menipu dalam bisnis, mengurangi timbangan, mencuri, dan korupsi. Para sahabat adalah teladan orang-orang yang kaya jiwa. Mereka meletakkan harta di tangan bukan di hati. Mereka tidak ragu memberikan hartanya untuk jihad fi sabilillah. Pada saat pengiriman jaysul ‘usrah Umar bin Khattab ra memberikan separuh hartanya, Abu Bakar menginfakkan semua hartanya, demikian juga sahabat-sahabat yang lain.
Pemilik dunia adalah orang yang memiliki tiga kriteria; hidup tenteram dan aman di tengah masyarakatnya, sehat jasmaninya, dan memiliki makanan cukup untuk sehari itu. (HR Tirmidzi).
Imam Syafi’i menegaskan, “Bila anda memiliki hati yang serba puas maka anda sejajar dengan pemilik semua isi dunia.” Agar memiliki kekayaan hakiki kita harus; Pertama, tidak melihat pada harta orang lain. (QS. Thaha: 131). Kedua, puas dengan pembagian rezeki dari Allah. “Puaslah dengan apa yang diberikan Allah kepadamu pasti kamu menjadi orang yang paling kaya.” (HR Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi).
Bila Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang maka dijadikanlah kekayaan jiwanya dan ketakwaannya berada di hatinya dan bila Allah menghendaki keburukan pada seseorang maka dijadikanlah kemiskinan itu berada di pelupuk matanya. (HR Ibnu Asakir dan Baihaqi).
Ketiga, melihat kepada orang yang lebih rendah dalam hal harta "karena hal demikian lebih layak dan tidak meremehkan nikmat Allah atas kamu.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi). Orang kaya hati akan bahagia di dunia dan akhirat.
Rumah yang Penuh Berkah
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yusuf Assidiq
Rumah merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Di sanalah seseorang mendapatkan tempat berlindung dari cuaca panas dan dingin, atau tempat kembali setiap kali bepergian. Di rumah pula, segenap anggota keluarga dapat melakukan berbagai aktivitas.
Selain itu, rumah juga berfungsi sebagai tempat pembinaan. Rumah adalah lokasi terbaik dalam menyemai benih-benih kebaikan serta keimanan dari sebuah keluarga. Sehingga, tidak berlebihan jika setiap orang mendambakan rumah yang nyaman, sejuk, agar mendukung terciptanya keluarga sakinah.
Tidaklah cukup hanya sekadar membangun fisik rumah secara mewah serta mentereng. Namun yang terpenting adalah membangun suasana kondusif dengan dinaungi nilai-nilai Islami dan pada akhirnya sanggup menenteramkan batin penghuninya.
Rasulullah SAW banyak memberikan tuntunan kepada umat yang ingin menjadikan tempat tinggal mereka penuh harmoni dan keberkahan. Syekh Shaleh Ahmad asy-Syaami dalam Berakhlak dan Beradab Mulia, mengatakan, umat perlu meniru rumah Rasulullah SAW.
Nabi SAW memberikan panduan agar jangan berlebihan dalam membangun tempat tinggal. Melainkan, rumah seorang Muslim adalah yang cukup untuk sekadar mampu menutupi dari pandangan orang lain dan melindunginya dari bahaya hewan buas.
Paling tidak, pedoman sebuah rumah yang baik adalah yang bisa memberikan rasa nyaman serta asri. ‘’Dengan begitu, penghuninya akan merasa nyaman, juga merasa terlindungi,’’ papar Syekh asy-Syaami.
Sikap dan tindak tanduk penghuni rumah turut memberikan kontribusi bagi terciptanya suasana tenteram. Nabi SAW menekankan, agar setiap Muslim memperhatikan adab ketika hendak masuk rumah.
‘’Jika kamu hendak masuk rumah, maka sebaiknya kamu ucapkan salam, karena hal itu akan membawa keberkahan bagi kamu dan keluargamu.’’ (HR Tirmidzi)
Ada beberapa hal lain yang patut mendapat perhatian. Rasulullah mencontohkan, saat masuk rumah, jangan secara tiba-tiba, tanpa sepengetahuan keluarga yang ada di dalam, agar mereka tidak kaget. Itulah tujuannya seseorang mengucapkan salam lebih dulu.
Beliau juga berdoa saat pulang ke rumah. ‘’Segala puji hanya milik Allah SWT semata, Zat yang telah memberiku kecukupan dan tempat berlindung, yang telah memberiku makan dan minum, yang telah memberiku karunia dan melebijkannya. Ya Allah, aku meminta kepada-Mu selamatkanlah aku dari api neraka.’’
Dan ketika sudah masuk dalam rumah, beliau biasanya membuka pembicaraan dengan mengajukan pertanyaan. ‘’Nabi menanyakan bagaimana keadaan mereka (anggota keluarga yang lain),’’ tutur Syekh asy-Syaami.
Hendaknya, segala aktivitas yang dilakukan di rumah, tidak terlepas dari niat untuk meraih ridha Allah SWT. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah menekankan, ketika masuk rumah dan sebelum makan di rumah, seseorang sebaiknya menyebut asma Allah.
Maka setan pun berkata, ‘’Tidak ada tempat bermalam dan tidak ada makan malam bagi kalian.’’ Akan tetapi, jika tidak menyebut asma Allah, setan berkata, ‘’Malam ini kalian mendapatkan tempat bermalam dan hidangan makan malam.’’
Dianjurkan pula kepada penghuni rumah untuk senantiasa melingkupi suasana rumah dengan bacaan Alquran. Sabda Nabi SAW, ‘’Jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan. Sungguh, rumah yang di dalamnya selalu dibacakan ayat-ayat Alquran, tidak dimasuki setan.’’ (HR Tirmidzi)
Rasulullah juga menjaga keharuman di dalam rumah beliau. Ini mengingat beliau sangat menyukai wewangian. Oleh sebab itu, di dalam rumah sebaiknya penghuni benar-benar menjadi kebersihan, khususnya kamar mandi untuk menghindari munculnya bau yang kurang sedap.
Dari pandangan Syekh Yusuf al Qardhawi, setidaknya terdapat empat elemen terwujudnya rumah yang Islami. Pertama, luas dan bersih, kedua, menghias rumah secara halal dan tidak berlebihan, ketiga, tidak memajang patung di rumah. ‘’Serta keempat, tidak memelihara anjing,’’ ungkap ulama terkemuka itu.
Apabila keluarga itu berkelebihan, dianjurkan untuk memelihara anak yatim, sesuai sabda Rasulullah. ‘’Sebaik-baik rumah kaum Muslimin ialah rumah yang terdapat di dalamnya anak yatim yang diperlakukan (diasuh) dengan baik, dan seburuk-buruk rumah kaum Muslimin ialah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim tapi anak itu diperlakukan dengan buruk.’’ (HR Ibnu Majah).
Rumah merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Di sanalah seseorang mendapatkan tempat berlindung dari cuaca panas dan dingin, atau tempat kembali setiap kali bepergian. Di rumah pula, segenap anggota keluarga dapat melakukan berbagai aktivitas.
Selain itu, rumah juga berfungsi sebagai tempat pembinaan. Rumah adalah lokasi terbaik dalam menyemai benih-benih kebaikan serta keimanan dari sebuah keluarga. Sehingga, tidak berlebihan jika setiap orang mendambakan rumah yang nyaman, sejuk, agar mendukung terciptanya keluarga sakinah.
Tidaklah cukup hanya sekadar membangun fisik rumah secara mewah serta mentereng. Namun yang terpenting adalah membangun suasana kondusif dengan dinaungi nilai-nilai Islami dan pada akhirnya sanggup menenteramkan batin penghuninya.
Rasulullah SAW banyak memberikan tuntunan kepada umat yang ingin menjadikan tempat tinggal mereka penuh harmoni dan keberkahan. Syekh Shaleh Ahmad asy-Syaami dalam Berakhlak dan Beradab Mulia, mengatakan, umat perlu meniru rumah Rasulullah SAW.
Nabi SAW memberikan panduan agar jangan berlebihan dalam membangun tempat tinggal. Melainkan, rumah seorang Muslim adalah yang cukup untuk sekadar mampu menutupi dari pandangan orang lain dan melindunginya dari bahaya hewan buas.
Paling tidak, pedoman sebuah rumah yang baik adalah yang bisa memberikan rasa nyaman serta asri. ‘’Dengan begitu, penghuninya akan merasa nyaman, juga merasa terlindungi,’’ papar Syekh asy-Syaami.
Sikap dan tindak tanduk penghuni rumah turut memberikan kontribusi bagi terciptanya suasana tenteram. Nabi SAW menekankan, agar setiap Muslim memperhatikan adab ketika hendak masuk rumah.
‘’Jika kamu hendak masuk rumah, maka sebaiknya kamu ucapkan salam, karena hal itu akan membawa keberkahan bagi kamu dan keluargamu.’’ (HR Tirmidzi)
Ada beberapa hal lain yang patut mendapat perhatian. Rasulullah mencontohkan, saat masuk rumah, jangan secara tiba-tiba, tanpa sepengetahuan keluarga yang ada di dalam, agar mereka tidak kaget. Itulah tujuannya seseorang mengucapkan salam lebih dulu.
Beliau juga berdoa saat pulang ke rumah. ‘’Segala puji hanya milik Allah SWT semata, Zat yang telah memberiku kecukupan dan tempat berlindung, yang telah memberiku makan dan minum, yang telah memberiku karunia dan melebijkannya. Ya Allah, aku meminta kepada-Mu selamatkanlah aku dari api neraka.’’
Dan ketika sudah masuk dalam rumah, beliau biasanya membuka pembicaraan dengan mengajukan pertanyaan. ‘’Nabi menanyakan bagaimana keadaan mereka (anggota keluarga yang lain),’’ tutur Syekh asy-Syaami.
Hendaknya, segala aktivitas yang dilakukan di rumah, tidak terlepas dari niat untuk meraih ridha Allah SWT. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah menekankan, ketika masuk rumah dan sebelum makan di rumah, seseorang sebaiknya menyebut asma Allah.
Maka setan pun berkata, ‘’Tidak ada tempat bermalam dan tidak ada makan malam bagi kalian.’’ Akan tetapi, jika tidak menyebut asma Allah, setan berkata, ‘’Malam ini kalian mendapatkan tempat bermalam dan hidangan makan malam.’’
Dianjurkan pula kepada penghuni rumah untuk senantiasa melingkupi suasana rumah dengan bacaan Alquran. Sabda Nabi SAW, ‘’Jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan. Sungguh, rumah yang di dalamnya selalu dibacakan ayat-ayat Alquran, tidak dimasuki setan.’’ (HR Tirmidzi)
Rasulullah juga menjaga keharuman di dalam rumah beliau. Ini mengingat beliau sangat menyukai wewangian. Oleh sebab itu, di dalam rumah sebaiknya penghuni benar-benar menjadi kebersihan, khususnya kamar mandi untuk menghindari munculnya bau yang kurang sedap.
Dari pandangan Syekh Yusuf al Qardhawi, setidaknya terdapat empat elemen terwujudnya rumah yang Islami. Pertama, luas dan bersih, kedua, menghias rumah secara halal dan tidak berlebihan, ketiga, tidak memajang patung di rumah. ‘’Serta keempat, tidak memelihara anjing,’’ ungkap ulama terkemuka itu.
Apabila keluarga itu berkelebihan, dianjurkan untuk memelihara anak yatim, sesuai sabda Rasulullah. ‘’Sebaik-baik rumah kaum Muslimin ialah rumah yang terdapat di dalamnya anak yatim yang diperlakukan (diasuh) dengan baik, dan seburuk-buruk rumah kaum Muslimin ialah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim tapi anak itu diperlakukan dengan buruk.’’ (HR Ibnu Majah).
Rabu, 18 Januari 2012
Pelajaran dari Kisah Tiga Orang Bani Israel
Oleh Ina Febriany
REPUBLIKA.CO.ID, Bersedekah adalah aktivitas ibadah nan mulia, namun disadari atau tidak sering dilupakan oleh sebagian orang. Kadangkala, saat kita sedang dalam keadaan berlimpah materi, ada saja kebutuhan yang harus dipenuhi. Sedangkan dalam keadaan sempit, maka shadaqah pun terasa sulit. Bagaimana bersedekah, sedang kebutuhan saja kian membelit? Akibatnya, hati kian sempit, dan merajalelalah sifat pelit. Naudzubillah.
Banyak orang berkata, sedekah tidak akan menjadikan si pemberi pelit. Ungkapan itu ada benarnya. Namun, setiap orang memiliki persepsi masing-masing tentang hakikat sedekah mengingat makna shadaqah itu sendiri luas.
Rasulullah Saw bersabda, “Senyum kepada saudara muslim itu sedekah.” Ada pula yang memaknai sedekah bukan dari segi senyuman, namun pemberian--yakni mereka yang membiasakan dirinya untuk bersedekah dalam keadaan apapun-- baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Ada yang kalau sedang lapang saja mau memberi, namun kala sempit ia nyaris mengesampingkan sedekah. Atau ada pula yang sama sekali enggan bersedekah.
Dalam Qs Ali Imran, Allah berfirman, ''Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 133-134).
Allah telah berjanji--bagi siapapun hamba-Nya, lelaki maupun perempuan beriman, dalam keadaan lapang maupun sempit, tulus ikhlas, tidak ada unsur pamer dalam memberi, Allah akan melipatgandakannya sesuai dengan kehendak Allah, Sang Maha Meluaskan dan Menyempitkan Rezeki.
''Barang siapa yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan (Al-Baqarah: 245)
Salah seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah Saw, “ Sedekah yang bagaimana yang paling besar pahalanya ? ” Nabi Saw menjawab, “ Saat kamu bersedekahhendaklah kamu sehat dan dalam kondisi kekurangan. Jangan ditunda sehingga rohmu di tenggorokan baru kamu berkata untuk Fulan sekian dan untuk Fulan sekian.” (HR. Bukhari)
Rasulullah menganjurkan kita untuk senantiasa membudidayakan sedekah dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi dalam keadaan kaya, ada amanat yang harus ditunaikan. Jika dalam keadaan kaya, itu adalah ujian dari Allah sebab Allah ingin melihat apakah hamba-Nya mampu mengolah apa yang Allah titipkan melalui sedekah. Sedangkan orang dalam keadaan sempit, itu pun cobaan dari Allah--sebab Allah ingin melihat apakah ia tetap berbagi meski dalam keadaan sulit materi.
Ada kisah mengenai tiga orang Bani Israil yang ketiga-tiganya diuji Allah Swt. semoga kita dapat memetik hikmah dari kisah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim ini.
Dari Abi Hurairah r.a, beliau mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Ada tiga orang Bani Israil (seorangnya) ditimpa penyakit kusta, seorangnya ditimpa penyakit rontok rambutnya dan seorang lagi buta. Maka Allah telah menguji ketiga-tiganya dengan mengutus kepada mereka seorang malaikat.
Malaikat tersebut telah mendatangi orang yang berpenyakit kusta dan bertanya kepadanya, “Apakah yang paling engkau sukai?”
Jawab sang penyandang kusta, “Warna yang bagus serta kulit yang baik dan sembuh dari kotoran yang menyebabkan manusia memandang jelek kepadaku.''
Maka malaikat itu menyapunya dan lalu hilanglah penyakit itu dan diberi warna serta kulit yang baik. Malaikat bertanya lagi, “Harta apakah yang paling engkau sukai?”
Ia menjawab, “Unta atau sapi.'' Maka malaikat memberikan unta yang sedang mengandung sepuluh bulan dan mendoakan orang yang berpenyakit kusta tersebut.
Kemudian malaikat mendatangi orang yang berpenyakit rambut rontok lalu bertanya, “Apakah yang paling engkau sukai?”.
Lelaki kedua menjawab, “Rambut yang bagus dan sembuh dari penyakit yang menyebabkan manusia memandang jelek padaku.” Maka malaikat membersihkannya lalu hilanglah penyakit itu serta diberikan rambut yang baik.
Malaikat bertanya lagi, “Harta apakah yang paling Engkau sukai?” Ia menjawab, “Sapi,''. Maka ia diberikan sapi yang sedang bunting serta mendoakannya pula.
Kemudian malaikat datang ke orang buta, “Apakah yang paling engkau sukai?”
Ia menjawab, “Aku ingin Allah mengembalikan penglihatanku semoga aku dapat melihat manusia. Malaikat meyapu matanya dan Allah mengembalikan penglihatannya.
“Harta apakah yang paling kamu sukai?” tanya malaikat. Jawab si buta, “Kambing biri-biri,” Maka dia diberikan seekor biri-biri yang telah melahirkan anak lalu mendoakan si buta agar selalu mendapat barakah Allah Swt.
Maka, kedua lelaki (berpenyakit kusta dan rambut rontok) mengurusi kelahiran unta dan sapi begitu juga dengan lelaki buta. Setelah sekian lama, lelaki yang berpenyakit kusta telah memiliki satu lembah berisi unta, sedang lelaki berambut rontok telah memiliki lembah berisi sapi dan lelaki buta telah memiliki satu lembah berisi kambing biri-biri.
Selang beberapa waktu, malaikat kembali mendatangi lelaki yang berpenyakit kusta dengan menjelma sebagaimana keadaan lelaki sebelumnya (berpenyakit kusta).
Ia mengadu kepada lelaki tersebut, “Aku seorang lelaki miskin yang telah kehabisan bekal sewaktu aku bermusafir. Aku tidak mempunyai tempat untuk mengadu pada hari ini selain pada Allah dan pada Engkau. Aku memohon padamu demi yang telah memberikan padamu warna serta kulit yang baik juga harta seekor unta yang dapat membantuku meneruskan perjalananku.
''Aku mempunyai banyak tanggungan,'' jawab mantan penyandang kustal.
Malaikat menjawab, ''Aku rasa aku mengenalimu. Bukankah dulu kau berpenyakit kusta dan manusia memandang jelek kepadamu? Bukankah dulu kau orang fakir lalu Allah megaruniakan harta kepadamu ?''
Bekerja, Jangan Meminta
Oleh Dr A Ilyas Ismail
Pada suatu hari, sahabat Abu Sa`id al-Khudzri tidak memiliki apa pun untuk sarapan pagi. Istrinya meminta al-Khudzri agar datang kepada Rasulullah SAW. Sudah umum diketahui, siapa pun datang dan meminta sesuatu kepada Rasul, beliau pasti memberikannya. Namun, al-Khudzri menolaknya, sampai suatu ketika ia begitu terpaksa, lalu datang ke rumah Nabi. Sesampainya di kediaman Nabi, beliau sedang memberi wejangan (khutbah). "Siapa merasa cukup, Allah mencukupkannya. Siapa memelihara diri (dari minta-minta), Allah pun memeliharanya." Mendengar nasihat Nabi itu, al-Khudzri mengurungkan niatnya dan kembali pulang ke rumahnya. (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Beberapa pelajaran berharga bisa dipetik dari kisah ini. Pertama, al-Khudzri, seperti para sahabat umumnya, memiliki tingkat kepatuhan yang sangat tinggi terhadap seruan Nabi. Mereka tak pernah menawar, tetapi selalu taat dan patuh (sami`na wa atha`na). "Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan, apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." (QS al-Hasyr [59]: 7).
Kedua, al-Khudzri berusaha menjaga dan memelihara diri dari sikap minta-minta, lantaran hal demikian termasuk perbuatan yang tercela. Seperti diceritakan dalam Alquran, meski mendapat kesulitan, para sahabat pantang meminta-minta (mengemis). (QS al-Baqarah [2]: 273).
Ketiga, jalan untuk mendapatkan rezeki adalah bekerja dan berusaha, bukan minta-minta. Sejak mendengar nasihat Nabi SAW, al-Khudzri tak pernah lagi berpikir minta-minta, tetapi bekerja dan berusaha. Seperti diakui al-Khudzri dalam kisah ini, bahwa dengan usaha dan kerja keras, ia dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya, bahkan ia tergolong orang yang paling kaya di kalangaan sahabat Anshar.
Kerja menjadi penting karena ia merupakan indikator keberadaan manusia. Tanpa kerja, manusia sama dengan tidak ada (wujuduhu ka `adamihi). Kerja juga penting, karena ia menjadi satu-satunya jalan agar manusia bisa mengaktualisasikan bakat-bakat dan kemampuan yang dimilikinya.
Seterusnya, kerja penting karena hanya dengan bekerja manusia dapat membebaskan diri dari ketergantungan secara ekonomi dengan pihak-pihak lain. Lebih lanjut, kerja menjadi lebih penting lagi, karena dengan bekerja manusia bisa memperbanyak investasi kebaikan untuk kebahagiaannya sendiri di dunia dan akhirat. (QS al-Kahfi [18]: 110).
Belajar dari pengalaman al-Khudzri ini, kita sesungguhnya tak boleh membantu orang-orang miskin hanya dengan membagi-bagikan uang semata. Cara ini selain tidak mendidik, juga tidak produktif, karena menciptakan ketergantungan abadi. Yang terbaik adalah membantu mereka agar mereka bisa membantu diri sendiri, dengan filosofi Help people for the help himself. Caranya, mereka dibantu agar mengenali potensi-potensi mereka dan mengaktualisakannya sebaik mungkin, sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka secara mandiri, baik material maupun spiritual. Inilah sesunggunya etos dan pesan moral yang disampaikan Nabi SAW kepada al-Khudzri, yaitu kerja dan bukan minta-mita. Wallahu alam.
Redaktur: Heri Ruslan
Belajar Tawakkal (dalam Mengais Rezeki) dari Seekor Burung
Oleh: Nuri Nawan
"Sungguh, seandainya kalian bertawakal kepada Allah sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. At-Tirmidzi).
Ternyata ada beberapa sifat dan sikap yang dilakukan oleh burung dalam mencari makanannya, yaitu:
1. Burung selalu bangun pagi
Tidak ada burung yang bangunnya kesiangan, kecuali burung sakit, atau burung malam (burung hantu). Namun jika dilihat secara umum, burung selalu bangun pagi. Ia bangun dengan penuh optimisme, riang dan gembira tanpa ada rasa khawatir sedikitpun akan makan apa hari ini, tidak pernah khawatir akan rizki yang pasti sudah disiapkan oleh Alloh. Bahkan di celah persiapannya, dia sambil sibuk bernyanyi dan membangunkan manusia, seolah dia menunjukkan kepada kita akan rizki Alloh yang selalu siap kita jemput. Seolah ia menunjukkan kepada kita bagaimana ia bertasbih kepada Alloh, melalui kicauannya.
Contohlah burung saat ia bangun pagi, ia selalu menyempatkan diri untuk bersyukur, memuji Alloh yang Maha Pemurah, dan bertasbih kepada Alloh melalui nyanyiannya. Kita diberi infrastruktur jauh lebih istimewa daripada burung, mari kita gunakan waktu kita untuk bangun pagi, bersyukur, bertasbih dan bermunajat kepada Alloh, seperti yang dilakukan oleh burung.
2. Burung berusaha berdiri, persiapan. sblm terbang
Dalam usaha mencari rizki, kita juga harus melakukan “pemanasan”, persiapan fisik maupun mental, maupun fikiran guna kesempurnaan ikhtiar kita.
3. Burung terbang dan mengepakkan sayap melawan gravitasi bumi.
Dalam usaha mencari rizki, jarang sekali tanpa hambatan ataupun kesulitan yang kita hadapi, seperti burung saat terbang dia berusaha sekuat tenaga untuk melawan grafitasi bumi, agar tidak terjatuh.
Seperti kita, di setiap usaha ada saja penolakan, kelelahan, kesulitan, kebuntuan berfikir yang kadang kita temui, namun yakinlah, bahwa semua itu akan membuat kita menjadi lebih taft, lebih tangguh, lebih ahli di kemudian hari, seperti otot-otot sayap burung, karena setiap hari melawan kuatnya gravitasi bumi, dia akan menjadi lebih kuat dan kuat lagi, hingga jika dalam cuaca ekstrim sekalipun, dia telah terbiasa. Jika kita telah terbiasa dengan “ hujan badai “ sulitnya mencari rizki, maka disaat ada cuaca normal, semua kondisi wajar, kita akan dengan mudah menaklukkan tantangan kehidupan tersebut.
4. Saat terbang selalu yakin dan tak pernah ragu
“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. Ath Tholaq: 3)
Saat kita telah berdo’a, dan bertawakkal kepada Alloh, maka jangan pernah ragukan hasilnya, karena yakinlah, Alloh telah mempersiapkan rizki untuk kita. Burung tak pernah ragu saat terbang, dia selalu yakin bahwa, disana ada harapan, yang telah dipersiapkan oleh Alloh.
5. Terbang dgn insting, ke tempat yang rimbun dan subur
Dalam usaha mencari rizki, diperlukan “ilmu” yang relevan, guna menunjang kesempurnaan ikhtiar. Jikalau burung hanya dibekali insting oleh Alloh, untuk mencari tempat-tempat yang rimbun dan subur makanan, maka kita diberi panca indra dan akal pikiran yang luar biasa oleh Alloh, yang bisa kita gunakan untuk menganalisa dimana tempat-tempat yang subur dan rimbun akan rizkia Alloh
6. Setelah makan, dia bawa pulang sebagian rizkinya
Saat mencari rizki, jangan pernah lupakan beban amanah keluarga, anak istri yang selalu menanti hasil ikhtiar yang kita lakukan
7. Jika mengambil makanan, burung tidak pernah merusak
Saat mengambil makanan, burung selalu dengan cara yang indah dan santun, tidak pernah ia melakukan perusakan dalam proses pencarian makanan, bahkan ada beberapa jenis burung yang membantu proses pembuahan beberapa tanaman.
Malu rasanya, jika kita dalam proses mencari rizki kita, harus merugikan orang, harus merusak hak-hak orang, harus menyakiti dan mengecewakan orang lain.
“ Barang siapa yg merasa lelah di sore hari karena mencari rizki dgn tangannya, maka akan diampuni dosa dosanya.” (HR Tabroni)
"Sungguh, seandainya kalian bertawakal kepada Allah sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. At-Tirmidzi).
Ternyata ada beberapa sifat dan sikap yang dilakukan oleh burung dalam mencari makanannya, yaitu:
1. Burung selalu bangun pagi
Tidak ada burung yang bangunnya kesiangan, kecuali burung sakit, atau burung malam (burung hantu). Namun jika dilihat secara umum, burung selalu bangun pagi. Ia bangun dengan penuh optimisme, riang dan gembira tanpa ada rasa khawatir sedikitpun akan makan apa hari ini, tidak pernah khawatir akan rizki yang pasti sudah disiapkan oleh Alloh. Bahkan di celah persiapannya, dia sambil sibuk bernyanyi dan membangunkan manusia, seolah dia menunjukkan kepada kita akan rizki Alloh yang selalu siap kita jemput. Seolah ia menunjukkan kepada kita bagaimana ia bertasbih kepada Alloh, melalui kicauannya.
Contohlah burung saat ia bangun pagi, ia selalu menyempatkan diri untuk bersyukur, memuji Alloh yang Maha Pemurah, dan bertasbih kepada Alloh melalui nyanyiannya. Kita diberi infrastruktur jauh lebih istimewa daripada burung, mari kita gunakan waktu kita untuk bangun pagi, bersyukur, bertasbih dan bermunajat kepada Alloh, seperti yang dilakukan oleh burung.
2. Burung berusaha berdiri, persiapan. sblm terbang
Dalam usaha mencari rizki, kita juga harus melakukan “pemanasan”, persiapan fisik maupun mental, maupun fikiran guna kesempurnaan ikhtiar kita.
3. Burung terbang dan mengepakkan sayap melawan gravitasi bumi.
Dalam usaha mencari rizki, jarang sekali tanpa hambatan ataupun kesulitan yang kita hadapi, seperti burung saat terbang dia berusaha sekuat tenaga untuk melawan grafitasi bumi, agar tidak terjatuh.
Seperti kita, di setiap usaha ada saja penolakan, kelelahan, kesulitan, kebuntuan berfikir yang kadang kita temui, namun yakinlah, bahwa semua itu akan membuat kita menjadi lebih taft, lebih tangguh, lebih ahli di kemudian hari, seperti otot-otot sayap burung, karena setiap hari melawan kuatnya gravitasi bumi, dia akan menjadi lebih kuat dan kuat lagi, hingga jika dalam cuaca ekstrim sekalipun, dia telah terbiasa. Jika kita telah terbiasa dengan “ hujan badai “ sulitnya mencari rizki, maka disaat ada cuaca normal, semua kondisi wajar, kita akan dengan mudah menaklukkan tantangan kehidupan tersebut.
4. Saat terbang selalu yakin dan tak pernah ragu
“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. Ath Tholaq: 3)
Saat kita telah berdo’a, dan bertawakkal kepada Alloh, maka jangan pernah ragukan hasilnya, karena yakinlah, Alloh telah mempersiapkan rizki untuk kita. Burung tak pernah ragu saat terbang, dia selalu yakin bahwa, disana ada harapan, yang telah dipersiapkan oleh Alloh.
5. Terbang dgn insting, ke tempat yang rimbun dan subur
Dalam usaha mencari rizki, diperlukan “ilmu” yang relevan, guna menunjang kesempurnaan ikhtiar. Jikalau burung hanya dibekali insting oleh Alloh, untuk mencari tempat-tempat yang rimbun dan subur makanan, maka kita diberi panca indra dan akal pikiran yang luar biasa oleh Alloh, yang bisa kita gunakan untuk menganalisa dimana tempat-tempat yang subur dan rimbun akan rizkia Alloh
6. Setelah makan, dia bawa pulang sebagian rizkinya
Saat mencari rizki, jangan pernah lupakan beban amanah keluarga, anak istri yang selalu menanti hasil ikhtiar yang kita lakukan
7. Jika mengambil makanan, burung tidak pernah merusak
Saat mengambil makanan, burung selalu dengan cara yang indah dan santun, tidak pernah ia melakukan perusakan dalam proses pencarian makanan, bahkan ada beberapa jenis burung yang membantu proses pembuahan beberapa tanaman.
Malu rasanya, jika kita dalam proses mencari rizki kita, harus merugikan orang, harus merusak hak-hak orang, harus menyakiti dan mengecewakan orang lain.
“ Barang siapa yg merasa lelah di sore hari karena mencari rizki dgn tangannya, maka akan diampuni dosa dosanya.” (HR Tabroni)
Yuk, Menabung di 'Bank Akhirat'...Bunganya Menggiurkan
Oleh: Nandang saputra
Ketika ingin menabung atau mendepositokan uang di bank konvensional, biasanya para nasabah akan mencari bank yang memberikan bunga paling besar. Di samping segi keamanannya dan keterpercayaannya.
Jika di bank-bank konvensional mungkin hanya menawarkan beberapa belas persen dalam setahun, bank yang satu ini menawarkan bunga 700 persen untuk tiap kali setoran. Bukan dalam setahun, tapi setiap kali setoran diberikan bunga 700 persen.
Itu belum termasuk “promo-promo” yang diadakan bank tersebut. Untuk membuka rekeningnya tidak ada batasan minimal. Berapapun akan diterima. Tidak ada biaya administrasi per bulannya. Mau? Inilah 'bank Akhirat'.
Tidak ada setoran minimal yang ditentukan untuk membuka rekening tabungan. “Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu…” (QS Al-Baqoroh: 267)
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya, memperoleh pahala yang besar.” (QS Al-Hadiid: 7)
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu lalu ia berkata: ‘Ya Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shale?” (QS Al-Munaafiquun: 10)
Dari tiga keterangan tersebut tidak dijelaskan besaran pasti untuk kita melakukan setoran. Yang diminta hanya sebagian. Bisa sebagian kecil, bisa sebagian besar. Tergantung diri kita masing-masing maunya berapa. Ketika kita sudah menyedekahkan harta kita, maka otomatis catatan kebaikan di buku amal kita akan bertambah.
Dan, “bunga” yang kita dapatkan dari hasil sedekah kita adalah 700 persen. “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Alloh adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada setiap bulir seratus benih. Alloh melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Alloh Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqoroh: 261)
Hitung-hitungannya, menurut saya: 1 butir benih x 7 bulir x 100 benih = 700 benih. Itu minimalnya. Kalo kita lihat di hitungan tersebut, setiap benih itu bisa menghasilkan tujuh bulir. Kalo kita punya 700 benih berarti jadi 4.900 bulir yang akan menghasilkan lagi 100 biji pada masing-masing bulir. Begitu seterusnya. Tak akan pernah berhenti. Hal itu bisa kita lihat di ayat tersebut. “Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.”
Bank akhirat ini memang tidak punya kantor resmi. Tapi kita bisa melakukan setoran di mana saja. Misal, ke orang tua, sanak-saudara, anak-anak yatim, orang miskin, dan musafir.
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: ‘Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.’ Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (QS Al-Baqoroh: 215)
Mudah kan?
Juga, tak perlu khawatir salah catat setoran. “Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-Baqoroh: 121)
Dengan membuka rekening di bank akhirat ini berarti kita telah menyimpan harta kita dalam bank teraman di dunia bahkan di akhirat. Yang namanya tabungan tentu saja harta yang kita tabung sebenarnya masih ada hak kita. Hanya saja kita memang tidak memegangnya. Apalagi di bank akhirat ini kita tidak bisa melakukan penarikan tunai. Tapi kita bisa merasakan manfaat dari tabungan kita tersebut. Bisa di dunia ini atau di akhirat nanti. Wallahu a'lam bish-shawab.
Bergerak Itu Berkah
Oleh : Meylina Hidayanti
Ibnul Qoyyim rahimatulullah pernah berkata, ''Suatu keuntungan, kebaikan, kenikmatan, kesempurnaan, semuanya tak akan diperoleh, kecuali dengan merasakan kesulitan.'' Menurutnya, semua itu tak bisa dicapai kecuali melewati jembatan keletihan. Semua orang cerdik pandai sepakat bahwa kenikmatan tidak didapati melalui kenikmatan. Dan bahwa orang yang lebih mengutamakan istirahat, kelak akan kehilangan istirahat.
Ia melanjutkan, ''Dan bahwa kebahagiaan dan kenikmatan itu tergantung sejauh mana seseorang melewati kengerian dan memikul beban dalam memperolehnya. Tak ada kebahagiaan bagi orang yang tak memiliki obsesi untuk bahagia. Tak ada kelezatan bagi orang yang tak bersabar memperolehnya. Tak ada kenikmatan bagi orang yang tidak mau berkorban untuk kenikmatan, tidak ada istirahat bagi orang yang tak mau berletih-letih untuk istirahat.''
Maka, berjuang dan perjuangkanlah untuk menggapai apa yang ingin kau capai.Uuntuk meraih apa yang ingin kau raih, maka teruslah bergerak. Bergerak dengan perlahan namun pasti. Bersabar dan terus tegar. “Wajib bagi seseorang yang cerdas untuk berusaha menggapai puncak yang bisa ia capai. Andaikata anak adam bisa membayangkan bahwa ia sanggup ke langit maka anda akan melihat bahwa diamnya ia di bumi adalah perkara yang sangat dibenci,” ucap Ibnu Jauzi.
Bergeraklah…
Alam mengajarkan kita untuk senantiasa bergerak agar tercipta sebuah kesempurnaan sebagaimana fungsinya ia diciptakan. Sebagaimana air, apabila ia terus tergenang dalam sebuah wadah, maka ia akan jauh dari sebuah nilai kebermanfaatan dan kenikmatan, karena menimbulkan beragam jentik-jentik penyakit di dalamnya.
"Menjadi ada adalah karunia, sebab kita tidak dapat mengadakan diri kita sendiri. Tapi menjadi ada saja tidaklah cukup, kita ada karena diperintahkan untuk memiliki makna,” kata Ahmad Zairofi.
Begitulah hakikat sebuah kebermaknaan dalam penciptaan, untuk terus bergerak menghadirkan kebermanfaatan dan perubahan. Sebagaimana bumi dan matahari yang tak pernah malas untuk bergerak. ia terus berputar pada porosnya sehingga tercipta keseimbangan dalam alam galaksi bima sakti. “Dan matahari berjalan di tempat peredarannya…”(QS.36:38).
Sebagaimana pula dalam sebuah siklus hidrologi, uap air pun terus bergerak. “Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menjadikan awan bergerak perlahan, kemudian mengumpulkannya, lalu Dia menjadikannya bertumpuk-tumpuk, lalu engkau lihat hujan keluar dari celah-celahnya…” (QS.24 : 43).
Bergerak adalah Keberkahan...
Mukmin yang cerdas adalah yang senantiasa mampu mengendalikan diri dan menata dirinya untuk hari esok. Sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw pada salah satu hadis, bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Jika hari ini sama dengan hari kemarin, maka kita termasuk dalam golongan orang-orang yang merugi.
Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" (QS.Al Hasyr:18).
Bagaimana mungkin kita mampu menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat jika enggan untuk bergerak?
Maka,
Teruslah bergerak, untuk menghasilkan sebuah kebermaknaan dalam penciptaan.
Kekayaan Hakiki
Oleh: Prof Dr KH Achmad Satori Ismail
Khubeib bin Adi RA berkata, “Kami sedang berada di suatu majelis, tiba-tiba Rasulullah SAW datang dan di kepalanya terdapat bekas air.” Sebagian dari kami berkata, “Kami melihat engkau berjiwa tenang.” Beliau mejawab, “Ya, Alhamdulillah.” Kemudian orang-orang berdiskusi panjang lebar tentang hakikat kekayaan. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Tidak mengapa kekayaan itu bagi orang bertakwa dan kesehatan bagi orang bertakwa lebih baik dari kekayaan, sedangkan kenyamanan dan kekayaan jiwa termasuk dalam kenikmatan.” (HR Ibnu Majah).
Kekayaan hakiki tidak terletak pada banyaknya harta, deposito, saham, dan properti. Tidak sedikit pemilik harta yang gelisah dan sengsara. Dia berusaha siang malam menumpuk harta, namun kikir bersedekah karena takut miskin. Dia tidak ridha dengan rezeki yang dibagi oleh Allah sehingga miskin hati. Kemiskinan hati inilah yang mendorong manusia mati-matian menumpuk harta dan enggan berjuang di jalan Allah.
Rasulullah SAW pernah bertanya kepada Abu Dzar ra, “Wahai Abu Dzar, apakah banyaknya harta adalah kekayaan?” Aku menjawab, “Ya, benar, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kamu menganggap sedikitnya harta adalah kemiskinan?” Aku menjawab, “Benar, ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya kekayaan itu adalah kekayaan hati dan kemiskinan adalah kemiskinan hati.” (HR An-Nasai, Ibnu Hibban, Thabrani).
Makna hakiki kekayaan dalam pandangan Rasulullah SAW adalah kekayaan jiwa. (HR Bukhari, Muslim, Ahmad dll).
Kemiskinan hati adalah penyakit berbahaya. Orang miskin hati bisa mengumpulkan harta tanpa memedulikan halal atau haram. Tidak jarang mereka berani menipu dalam bisnis, mengurangi timbangan, mencuri, dan korupsi. Para sahabat adalah teladan orang-orang yang kaya jiwa. Mereka meletakkan harta di tangan bukan di hati. Mereka tidak ragu memberikan hartanya untuk jihad fi sabilillah. Pada saat pengiriman jaysul ‘usrah Umar bin Khattab ra memberikan separuh hartanya, Abu Bakar menginfakkan semua hartanya, demikian juga sahabat-sahabat yang lain.
Pemilik dunia adalah orang yang memiliki tiga kriteria; hidup tenteram dan aman di tengah masyarakatnya, sehat jasmaninya, dan memiliki makanan cukup untuk sehari itu. (HR Tirmidzi).
Imam Syafi’i menegaskan, “Bila anda memiliki hati yang serba puas maka anda sejajar dengan pemilik semua isi dunia.” Agar memiliki kekayaan hakiki kita harus; Pertama, tidak melihat pada harta orang lain. (QS. Thaha: 131). Kedua, puas dengan pembagian rezeki dari Allah. “Puaslah dengan apa yang diberikan Allah kepadamu pasti kamu menjadi orang yang paling kaya.” (HR Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi).
Bila Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang maka dijadikanlah kekayaan jiwanya dan ketakwaannya berada di hatinya dan bila Allah menghendaki keburukan pada seseorang maka dijadikanlah kemiskinan itu berada di pelupuk matanya. (HR Ibnu Asakir dan Baihaqi).
Ketiga, melihat kepada orang yang lebih rendah dalam hal harta "karena hal demikian lebih layak dan tidak meremehkan nikmat Allah atas kamu.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi). Orang kaya hati akan bahagia di dunia dan akhirat.
Redaktur: Chairul Akhmad
Menjadi Keluarga Allah
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr Abdul Mannan
Diakui atau tidak, era modern telah menggiring sebagian besar umat Islam hanyut dalam kesibukan duniawi. Nyaris waktu 24 jam tersita untuk urusan kerja, bisnis, ataupun beragam kegiatan lainnya. Bahkan, karena begitu sibuknya, tidak sedikit di antara Muslim yang mulai meninggalkan kitab sucinya, Alquran, baik meninggalkannya dalam arti mulai jarang membaca, memahami, menadaburi, maupun meninggalkannya dalam arti tidak lagi begitu antusias untuk menata hidup dengan menerapkan nilai-nilainya.
Alquran tidak lagi menjadi panduan dalam memandang hidup dan kehidupan ini. Akibatnya, sangat jarang atau mungkin sangat langka pada zaman ini kita menemukan seorang Muslim yang ucapan dan perbuatannya benar-benar sesuai dengan kandungan Alquran.
Sebaliknya, cukup banyak umat Islam yang mulai asing dengan kitab sucinya. Padahal, Alquran adalah mukjizat akhir zaman yang dijamin kebenaran dan keautentikannya oleh Allah SWT. Hal ini Allah SWT tegaskan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.” (QS 15: 9).
Oleh karena itu, tidak semestinya seorang Muslim membiarkan diri jauh dari Alquran. Setidaknya, kecintaan terhadap Alquran harus selalu kita upayakan terjaga dan terpelihara setiap saat, di mana pun, dan dalam keadaan apa pun.
Sebab, Allah SWT memberikan banyak keutamaan bagi kaum Muslimin yang mau membaca dan menadaburi Alquran. Satu di antara keutamaan membaca Alquran adalah berupa pahala yang besar. “Sesungguhnya Alquran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS 17: 9).
“Barang siapa membaca satu huruf dari Kitabullah (Alquran), maka dengannya ia akan mendapat satu kebaikan; satu kebaikan dilipatgandakan menadi sepuluh kali; aku tidak mengatakan alif lam mim adalah satu huruf, tapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud ra).
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah SAW menegaskan bahwa mempelajari Alquran itu sangat besar pahalanya. “Hendaklah seorang di antara kamu berangkat setiap hari ke masjid, lalu mempelajari dua ayat dari Kitabullah (Alquran). Itu lebih baik baginya daripada dua ekor unta. Jika bisa tiga (ayat), ya tiga (ayat), hadiah untanya sebanyak jumlah ayat-ayat (yang dipelajari) itu.” (HR Muslim).
Hal ini sudah cukup memberikan satu argumentasi yang sangat kuat bahwa seyogianya umat Islam itu mentradisikan diri untuk selalu membaca Alquran. Sesibuk apa pun, setiap Muslim wajib membaca dan menadaburi Alquran.
Alquran adalah firman Allah SWT. Membacanya akan mendatangkan pahala besar, menadaburinya akan meneguhkan keyakinan, dan mengamalkannya akan mengundang keridaan Allah SWT. Bahkan, Allah SWT akan menjadikan mereka sebagai anggota keluarga-Nya. “Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga dari kalangan manusia. Beliau ditanya, ‘Siapa mereka wahai Rasulullah?’ Rasul SAW menjawab, ‘Mereka adalah ahlul Qur’an, mereka adalah keluarga Allah, dan orang-orang khusus-Nya.’” (HR Ahmad dan Ibnu Maja
Diakui atau tidak, era modern telah menggiring sebagian besar umat Islam hanyut dalam kesibukan duniawi. Nyaris waktu 24 jam tersita untuk urusan kerja, bisnis, ataupun beragam kegiatan lainnya. Bahkan, karena begitu sibuknya, tidak sedikit di antara Muslim yang mulai meninggalkan kitab sucinya, Alquran, baik meninggalkannya dalam arti mulai jarang membaca, memahami, menadaburi, maupun meninggalkannya dalam arti tidak lagi begitu antusias untuk menata hidup dengan menerapkan nilai-nilainya.
Alquran tidak lagi menjadi panduan dalam memandang hidup dan kehidupan ini. Akibatnya, sangat jarang atau mungkin sangat langka pada zaman ini kita menemukan seorang Muslim yang ucapan dan perbuatannya benar-benar sesuai dengan kandungan Alquran.
Sebaliknya, cukup banyak umat Islam yang mulai asing dengan kitab sucinya. Padahal, Alquran adalah mukjizat akhir zaman yang dijamin kebenaran dan keautentikannya oleh Allah SWT. Hal ini Allah SWT tegaskan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.” (QS 15: 9).
Oleh karena itu, tidak semestinya seorang Muslim membiarkan diri jauh dari Alquran. Setidaknya, kecintaan terhadap Alquran harus selalu kita upayakan terjaga dan terpelihara setiap saat, di mana pun, dan dalam keadaan apa pun.
Sebab, Allah SWT memberikan banyak keutamaan bagi kaum Muslimin yang mau membaca dan menadaburi Alquran. Satu di antara keutamaan membaca Alquran adalah berupa pahala yang besar. “Sesungguhnya Alquran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS 17: 9).
“Barang siapa membaca satu huruf dari Kitabullah (Alquran), maka dengannya ia akan mendapat satu kebaikan; satu kebaikan dilipatgandakan menadi sepuluh kali; aku tidak mengatakan alif lam mim adalah satu huruf, tapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud ra).
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah SAW menegaskan bahwa mempelajari Alquran itu sangat besar pahalanya. “Hendaklah seorang di antara kamu berangkat setiap hari ke masjid, lalu mempelajari dua ayat dari Kitabullah (Alquran). Itu lebih baik baginya daripada dua ekor unta. Jika bisa tiga (ayat), ya tiga (ayat), hadiah untanya sebanyak jumlah ayat-ayat (yang dipelajari) itu.” (HR Muslim).
Hal ini sudah cukup memberikan satu argumentasi yang sangat kuat bahwa seyogianya umat Islam itu mentradisikan diri untuk selalu membaca Alquran. Sesibuk apa pun, setiap Muslim wajib membaca dan menadaburi Alquran.
Alquran adalah firman Allah SWT. Membacanya akan mendatangkan pahala besar, menadaburinya akan meneguhkan keyakinan, dan mengamalkannya akan mengundang keridaan Allah SWT. Bahkan, Allah SWT akan menjadikan mereka sebagai anggota keluarga-Nya. “Sesungguhnya Allah mempunyai keluarga dari kalangan manusia. Beliau ditanya, ‘Siapa mereka wahai Rasulullah?’ Rasul SAW menjawab, ‘Mereka adalah ahlul Qur’an, mereka adalah keluarga Allah, dan orang-orang khusus-Nya.’” (HR Ahmad dan Ibnu Maja
Sabtu, 14 Januari 2012
Hujan adalah Rahmat
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr H Samsul Maarif MA
Saat ini, hampir seluruh wilayah di Indonesia dilanda hujan. Bahkan, sejumlah daerah sudah mengalami banjir. Kejadian hujan dan banjir oleh sebagian warga dianggap sebagai musibah atau bencana bukan dianggap sebagai rahmat. Anggapan seperti ini adalah bentuk negative thinking dalam menyikapi fenomena alam. Padahal, sebagai umat yang berpikir maju ke depan seharusnya hujan dan banjir disikapi dengan positive thinking, sehingga semua segera dapat diselesaikan dengan baik dan berencana.
Memang benar ada hujan dan banjir yang merupakan suatu bencana bagi penduduk tertentu sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi Nuh AS (QS Hud [11]: 37, al-Qamar : 11-12), atau hujan batu pada masa Nabi Luth AS. Hal ini berbeda jika banjir yang terjadi seperti pada keluarga Saba' (Abd Syams bin Yasyjab bin Ya'rab bin Qahthan (QS Saba' [34]: 16) dengan berbagai kriteria yang dinyatakan dalam Alquran.
Apa pun bentuknya, hujan adalah berkah yang diturunkan oleh Allah, sebagaimana firman Allah pada surah al-Anfal [8]: 11), al-Furqan [25]: 48-49, dan lainnya. Hujan itu menjadi berkah untuk membersihkan dari berbagai hal, menumbuhkan tanah yang mati, dan lain sebagainya. Jika kita melihat struktur air, maka dapat ditemukan dalam satu molekul air terdiri atas satu atom oksigen yang besar (bermuatan positif) ditempeli dua atom hidrogen yang kecil (bermuatan negatif).
Karenanya, bagian oksigen molekul air tersebut masih dapat menarik atom hidrogen dari molekul air lainnya, termasuk zat-zat kimia lain. Selain sebagai pelarut yang baik, air juga termasuk makanan yang sangat penting bagi manusia, setelah oksigen dari udara untuk bernapas.
Dalam salah satu hadisnya, Nabi SAW menyatakan bahwa doa ketika sedang hujan oleh Allah dikabulkan. "Dua ketika (di mana doa) tidak ditolak atau sedikit sekali yang ditolak: (yaitu) berdoa ketika azan dan ketika pertempuran sedang berkecamuk (dan dalam satu riwayat mengatakan) dan ketika hujan." (HR Abu Daud).
Sedangkan kejadian banjir karena hujan tidak diperkenalkan dalam Alquran. Sebab, Alquran memperkenalkan hujan sudah sesuai dengan ukuran yang sesuai dengan kapasitas bumi. (QS al-Mu'minun [23] :18). Banjir merupakan human and social error, kesalahan manusia dan kesalahan sosial, kesalahan lingkungan sosial yang tidak akrab dengan ekosistem dan bukan "God Error." Curah hujan tetaplah sebagai rahmat Allah untuk alam semesta. Hanya saja, penghuni alam semesta ini (utamanya manusia) menolaknya dengan berbagai cara.
Penyebab terjadinya banjir adalah karena kesalahan manusia. Bagi orang yang beriman, banjir tidak semata-mata musibah, tapi bagaimana ia menjadi rahmat. Caranya adalah dengan berupaya melakukan antisipasi atau mengatasi banjir tersebut. Dengan banjir, banyak ahli bermunculan.
Dengan banjir, tersedia beragam lapangan pekerjaan. Bahkan, dari banjir orang dapat beramal melalui penghimpunan dana untuk membantu korban banjir. Karena itu, dengan adanya banjir, hendaknya kita senantiasa mensyukuri nikmat Allah untuk saling berbagi dengan sesama. Kita harus banyak mengingat Allah SWT yang Mahabijaksana atas segala kuasa-Nya.
Redaktur: Heri Ruslan
Saat ini, hampir seluruh wilayah di Indonesia dilanda hujan. Bahkan, sejumlah daerah sudah mengalami banjir. Kejadian hujan dan banjir oleh sebagian warga dianggap sebagai musibah atau bencana bukan dianggap sebagai rahmat. Anggapan seperti ini adalah bentuk negative thinking dalam menyikapi fenomena alam. Padahal, sebagai umat yang berpikir maju ke depan seharusnya hujan dan banjir disikapi dengan positive thinking, sehingga semua segera dapat diselesaikan dengan baik dan berencana.
Memang benar ada hujan dan banjir yang merupakan suatu bencana bagi penduduk tertentu sebagaimana yang terjadi pada masa Nabi Nuh AS (QS Hud [11]: 37, al-Qamar : 11-12), atau hujan batu pada masa Nabi Luth AS. Hal ini berbeda jika banjir yang terjadi seperti pada keluarga Saba' (Abd Syams bin Yasyjab bin Ya'rab bin Qahthan (QS Saba' [34]: 16) dengan berbagai kriteria yang dinyatakan dalam Alquran.
Apa pun bentuknya, hujan adalah berkah yang diturunkan oleh Allah, sebagaimana firman Allah pada surah al-Anfal [8]: 11), al-Furqan [25]: 48-49, dan lainnya. Hujan itu menjadi berkah untuk membersihkan dari berbagai hal, menumbuhkan tanah yang mati, dan lain sebagainya. Jika kita melihat struktur air, maka dapat ditemukan dalam satu molekul air terdiri atas satu atom oksigen yang besar (bermuatan positif) ditempeli dua atom hidrogen yang kecil (bermuatan negatif).
Karenanya, bagian oksigen molekul air tersebut masih dapat menarik atom hidrogen dari molekul air lainnya, termasuk zat-zat kimia lain. Selain sebagai pelarut yang baik, air juga termasuk makanan yang sangat penting bagi manusia, setelah oksigen dari udara untuk bernapas.
Dalam salah satu hadisnya, Nabi SAW menyatakan bahwa doa ketika sedang hujan oleh Allah dikabulkan. "Dua ketika (di mana doa) tidak ditolak atau sedikit sekali yang ditolak: (yaitu) berdoa ketika azan dan ketika pertempuran sedang berkecamuk (dan dalam satu riwayat mengatakan) dan ketika hujan." (HR Abu Daud).
Sedangkan kejadian banjir karena hujan tidak diperkenalkan dalam Alquran. Sebab, Alquran memperkenalkan hujan sudah sesuai dengan ukuran yang sesuai dengan kapasitas bumi. (QS al-Mu'minun [23] :18). Banjir merupakan human and social error, kesalahan manusia dan kesalahan sosial, kesalahan lingkungan sosial yang tidak akrab dengan ekosistem dan bukan "God Error." Curah hujan tetaplah sebagai rahmat Allah untuk alam semesta. Hanya saja, penghuni alam semesta ini (utamanya manusia) menolaknya dengan berbagai cara.
Penyebab terjadinya banjir adalah karena kesalahan manusia. Bagi orang yang beriman, banjir tidak semata-mata musibah, tapi bagaimana ia menjadi rahmat. Caranya adalah dengan berupaya melakukan antisipasi atau mengatasi banjir tersebut. Dengan banjir, banyak ahli bermunculan.
Dengan banjir, tersedia beragam lapangan pekerjaan. Bahkan, dari banjir orang dapat beramal melalui penghimpunan dana untuk membantu korban banjir. Karena itu, dengan adanya banjir, hendaknya kita senantiasa mensyukuri nikmat Allah untuk saling berbagi dengan sesama. Kita harus banyak mengingat Allah SWT yang Mahabijaksana atas segala kuasa-Nya.
Redaktur: Heri Ruslan
Kekayaan Hakiki Sabtu, 14 Januari 2012 00:05 WIB Oleh: Prof Dr KH Achmad Satori Ismail Khubeib bin Adi RA berkata, “Kami sedang berada di suatu maje
Oleh: Prof Dr KH Achmad Satori Ismail
Khubeib bin Adi RA berkata, “Kami sedang berada di suatu majelis, tiba-tiba Rasulullah SAW datang dan di kepalanya terdapat bekas air.” Sebagian dari kami berkata, “Kami melihat engkau berjiwa tenang.” Beliau mejawab, “Ya, Alhamdulillah.” Kemudian orang-orang berdiskusi panjang lebar tentang hakikat kekayaan. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Tidak mengapa kekayaan itu bagi orang bertakwa dan kesehatan bagi orang bertakwa lebih baik dari kekayaan, sedangkan kenyamanan dan kekayaan jiwa termasuk dalam kenikmatan.” (HR Ibnu Majah).
Kekayaan hakiki tidak terletak pada banyaknya harta, deposito, saham, dan properti. Tidak sedikit pemilik harta yang gelisah dan sengsara. Dia berusaha siang malam menumpuk harta, namun kikir bersedekah karena takut miskin. Dia tidak ridha dengan rezeki yang dibagi oleh Allah sehingga miskin hati. Kemiskinan hati inilah yang mendorong manusia mati-matian menumpuk harta dan enggan berjuang di jalan Allah.
Rasulullah SAW pernah bertanya kepada Abu Dzar ra, “Wahai Abu Dzar, apakah banyaknya harta adalah kekayaan?” Aku menjawab, “Ya, benar, wahai Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kamu menganggap sedikitnya harta adalah kemiskinan?” Aku menjawab, “Benar, ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya kekayaan itu adalah kekayaan hati dan kemiskinan adalah kemiskinan hati.” (HR An-Nasai, Ibnu Hibban, Thabrani).
Makna hakiki kekayaan dalam pandangan Rasulullah SAW adalah kekayaan jiwa. (HR Bukhari, Muslim, Ahmad dll).
Kemiskinan hati adalah penyakit berbahaya. Orang miskin hati bisa mengumpulkan harta tanpa memedulikan halal atau haram. Tidak jarang mereka berani menipu dalam bisnis, mengurangi timbangan, mencuri, dan korupsi. Para sahabat adalah teladan orang-orang yang kaya jiwa. Mereka meletakkan harta di tangan bukan di hati. Mereka tidak ragu memberikan hartanya untuk jihad fi sabilillah. Pada saat pengiriman jaysul ‘usrah Umar bin Khattab ra memberikan separuh hartanya, Abu Bakar menginfakkan semua hartanya, demikian juga sahabat-sahabat yang lain.
Pemilik dunia adalah orang yang memiliki tiga kriteria; hidup tenteram dan aman di tengah masyarakatnya, sehat jasmaninya, dan memiliki makanan cukup untuk sehari itu. (HR Tirmidzi).
Imam Syafi’i menegaskan, “Bila anda memiliki hati yang serba puas maka anda sejajar dengan pemilik semua isi dunia.” Agar memiliki kekayaan hakiki kita harus; Pertama, tidak melihat pada harta orang lain. (QS. Thaha: 131). Kedua, puas dengan pembagian rezeki dari Allah. “Puaslah dengan apa yang diberikan Allah kepadamu pasti kamu menjadi orang yang paling kaya.” (HR Ahmad, Tirmidzi, dan Al-Baihaqi).
Bila Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang maka dijadikanlah kekayaan jiwanya dan ketakwaannya berada di hatinya dan bila Allah menghendaki keburukan pada seseorang maka dijadikanlah kemiskinan itu berada di pelupuk matanya. (HR Ibnu Asakir dan Baihaqi).
Ketiga, melihat kepada orang yang lebih rendah dalam hal harta "karena hal demikian lebih layak dan tidak meremehkan nikmat Allah atas kamu.” (HR al-Hakim dan al-Baihaqi). Orang kaya hati akan bahagia di dunia dan akhirat.
Sabtu, 07 Januari 2012
enapa Dunia Islam Terbelakang?
K
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Ada tiga penyakit mental yang dianggap oleh Arsalan sebagai “biang kerok” kemunduran dunia Islam: pesimisme (tasya’um), rendah diri (al-istikhdza’) dan cepat putus asa (inqitha’ al-amal). Pada penutup bukunya, Arsalan mengutip ayat yang dalam pandangannya merupakan kunci kebangkitan dunia Islam, yakni Al-Ankabut (29):69. Bunyi ayat itu: wa ‘l-ladzina jahadu fina lanahdiyannahum subulana – mereka yang berjuang (jihad) di jalanKu, Aku akan menunjukkan mereka jalan-jalan menuju Aku.
Pertanyaan tentang kenapa dunia Islam terbelakang sudah kerap dikemukakan sejak lama. Orang yang pertama kali mengajukan pertanyaan ini adalah Amir Syakib Arsalan (1869-1946), seorang aktivis, pemikir dan sastrawan dari Libanon yang terkenal karena bukunya yang berjudul Limadza Ta’akhkhar al-Muslimun wa Limadza Taqaddama Ghairuhum? (Kenapa Umat Islam Terbelakang, dan Kenapa Umat Lain Maju). Buku ini terbit pertama kali sebagai sebuah artikel panjang di Majalah Al-Manar yang dipimpin oleh Rashid Ridha di Mesir pada pada 1936.
Belakangan, artikel itu diterbitkan sebagai buku pada 1940 dengan kata pengantar oleh Rasyid Ridha.
Kisah bagaimana buku ini terbit menarik untuk dituturkan di sini. Buku Arsalan itu ditulis sebagai respon terhadap pertanyaan yang diajukan oleh seorang pembaca Majalah Al-Manar dari Jawa bernama Muhammad Basuni Imran. Surat itu dikirim ke redaksi Al-Manar pada bulan Rabi’ al-Akhir 1248 H (1929 M).
Oleh Rashid Ridha pertanyaan itu kemudian dikirim ke Syakib Arsalan. Yang terakhir ini langsung tergerak menuliskan jawaban. Kebetulan saja, saat menerima surat pertanyaan dari tanah Jawa itu, ia baru saja kembali dari perjalanan ke Andalusia, negeri yang dulu, selama kurang lebih tujuh abad, berada di bawah kekuasaan Islam (711-1492), dan kemudian direbut kembali oleh bangsa Kristen di Eropa dalam peristiwa yang dikenal dengan “reconquista”. Kenangan akan hilangnya tanah Islam itu membuat Arsalan sedih. Tepat pada saat itulah, ia menerima surat dari Jawa. Dalam waktu tiga hari ia menyelesaikan bukunya itu.
Apa penjelasan Arsalan tentang kemunduran dunia Islam? Ada dua. Pertama, dalam pandangan Arsalan, bangsa-bangsa non-Muslim maju karena mereka tetap berpegang pada tradisi keagamaan mereka sendiri. Arsalan menyebut dua contoh: Jepang dan Eropa, simbol kemajuan dunia pada awal abad ke-20. Dua dunia itu maju tanpa harus mengabaikan tradisi keagamaan mereka. Penjelasan kedua, bangsa-bangsa itu maju karena kerja keras untuk meraih kemajuan, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan.
Dalam pandangan Arsalan, kemajuan bangsa-bangsa Islam hanya bisa dicapai melalui jalan yang sama yang ditempuh oleh bangsa-bangsa non-Islam, yakni berpegang pada tradisi, serta kerja keras. Hukum kemajuan berlaku secara “konsisten” bagi bangsa Islam dan non-Islam. Ada tiga penyakit mental yang dianggap oleh Arsalan sebagai “biang kerok” kemunduran dunia Islam: pesimisme (tasya’um), rendah diri (al-istikhdza’) dan cepat putus asa (inqitha’ al-amal). Pada penutup bukunya, Arsalan mengutip ayat yang dalam pandangannya merupakan kunci kebangkitan dunia Islam, yakni Al-Ankabut (29):69. Bunyi ayat itu: wa ‘l-ladzina jahadu fina lanahdiyannahum subulana – mereka yang berjuang (jihad) di jalanKu, Aku akan menunjukkan mereka jalan-jalan menuju Aku.
“Jihad” adalah kata kunci yang disebut oleh Arsalan. Tetapi, ini bukanlah jihad dalam pengertian “perang suci” sebagaimana kita jumpai pada kelompok Islam garis keras. Baginya, jihad adalah kerja keras dan kesediaan untuk melakukan pengorbanan (al-tadlkhiyah).
Jawaban Arsalan, di mata kita sekarang, mungkin terasa sederhana dan simplistik. Tetapi, ada pengamatannya yang cukup tajam dan, saya kira, masih relevan hingga saat ini. Gagasannya bahwa kemajuan harus bertopang pada tradisi, bukan malah memusuhinya, saya kira senada dengan pandangan yang dikemukakan oleh banyak ilmuwan sosial pada abad ke-20.
Robert Wuthnow, seorang profesor sosiologi dari Universitas Princeton, misalnya, mengemukakan tentang pentingnya peran “community of discourse” dalam tiga perubahan penting di Eropa: Reformasi Protestan, Pencerahan, dan Revolusi Sosialis. Apa yang oleh Wuthnow disebut sebagai “komunitas wacana” adalah suatu arena perdebatan, di mana tradisi dan kekinian saling berdialog. Unsur tradisi sangatlah penting di sana. Suatu komunitas wacana menjadi kurang bermakna tanpa suatu tradisi yang melatarinya. Apa yang dikemukakan oleh Wuthnow menggaungkan sebagian apa yang telah dikemukakan oleh Arsalan sebelumnya, tentang pentingnya konteks tradisi dalam mencapai suatu kemajuan.
Pertanyaan tentang alasan kemunduran dunia Islam terus bertahan hingga saat ini. Sebuah tulisan pendek yang cukup provokatif yang ditulis oleh seorang penulis Pakistan, Dr. Farrukh Saleem, menarik untuk kita simak sejenak. Judul artikel itu “Why are Jews so powerful and Muslim so powerless?”, dimuat di situs Blitz yang didirikan oleh Salah Uddin Shoaib Choudhury, seorang wartawan Bangladesh yang mendedikasikan diri untuk melawan ideologi kaum Jihadis Muslim. Dalam artikelnya itu, Saleem mengemukakan sejumlah data yang menarik (validitas data-data ini bisa saja diperdebatkan).
Inilah sejumlah data perbandingan yang dikemukakan oleh Saleem. Jumlah bangsa Yahudi di seluruh dunia saat ini adalah 14 juta. Sementara jumlah umat Islam adalah 1,4 milyar. Tetapi, keunggulan numerik umat Islam ini tak berkorelasi dengan prestasi mereka dalam, misalnya, bidang ilmu pengetahuan dan ekonomi. Selama 105 tahun sejarah hadiah Nobel, sebanyak 180 Hadiah Nobel telah dimenangkan oleh bangsa Yahudi. Sementara, dari 1,4 milyar umat Islam, baru ada tiga ilmuwan/sastrawan Muslim yang memenangkan hadiah tersebut (di luar Hadiah Nobel di bidang perdamaian).
Salah satu pemenangnya ialah Prof. Abdus Salam dari Pakistan. Ia memenangkan Hadiah Nobel di bidang fisika pada 1979. Yang sangat ironis, di negerinya sendiri, Abdus Salam tak diakui sebagai seorang Muslim, karena ia pengikut kelompok Ahmadiyah.
Data lain yang dikemukakan Saleem: Jumlah seluruh universitas di 57 negeri Muslim yang menjadi anggota Organisasi Konferensi Islam (OIC/OKI) hanyalah sekitar 500. Sementara di Amerika Serikat saja, terdapat 5.748 universitas. Di India, negeri dari mana Pakistan memisahkan diri, ada 8.407 universitas. Perbandingan ini memang sangat fantastis karena begitu “njomplang”.
Melihat perbandingan semacam ini, sangat jelas di mana letak masalah yang dihadapai oleh dunia Islam, yaitu kemerosotan pendidikan dan etos saintifik. Ini tentu menyedihkan mengingat sejarah masa lampau Islam yang dikenal sebagai pembangun kebudayaan ilmu pengetahuan. Salah satu cari utama peradaban Islam, menurut seorang orientalis terkenal Franz Rosenthal, ialah ia merupakan peradaban pengetahuan (bisa dibaca dalam bukunya yang berjudul Knowledge Triumphant [1970]).
Kunci kemajuan Islam di masa depan, menurut Saleem, ia harus mengejar ketertinggalan yang cukup jauh di bidang pendidikan dan riset. Saya kira, pengamatan Saleem ini sangatlah tepat. Jika kita kembali kepada gagasan Arsalan sebelumnya, yang dibutuhkan oleh bangsa-bangsa Islam saat ini adalah “jihad”, bukan dalam pengertian yang dipahami oleh kalangan Islam garis keras; melainkan jihad intelektual, yakni kerja keras untuk meraih kemajuan di bidang pengetahuan.
Itulah jalan kemajuan bagi dunia Islam di masa depan.[]
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Ada tiga penyakit mental yang dianggap oleh Arsalan sebagai “biang kerok” kemunduran dunia Islam: pesimisme (tasya’um), rendah diri (al-istikhdza’) dan cepat putus asa (inqitha’ al-amal). Pada penutup bukunya, Arsalan mengutip ayat yang dalam pandangannya merupakan kunci kebangkitan dunia Islam, yakni Al-Ankabut (29):69. Bunyi ayat itu: wa ‘l-ladzina jahadu fina lanahdiyannahum subulana – mereka yang berjuang (jihad) di jalanKu, Aku akan menunjukkan mereka jalan-jalan menuju Aku.
Pertanyaan tentang kenapa dunia Islam terbelakang sudah kerap dikemukakan sejak lama. Orang yang pertama kali mengajukan pertanyaan ini adalah Amir Syakib Arsalan (1869-1946), seorang aktivis, pemikir dan sastrawan dari Libanon yang terkenal karena bukunya yang berjudul Limadza Ta’akhkhar al-Muslimun wa Limadza Taqaddama Ghairuhum? (Kenapa Umat Islam Terbelakang, dan Kenapa Umat Lain Maju). Buku ini terbit pertama kali sebagai sebuah artikel panjang di Majalah Al-Manar yang dipimpin oleh Rashid Ridha di Mesir pada pada 1936.
Belakangan, artikel itu diterbitkan sebagai buku pada 1940 dengan kata pengantar oleh Rasyid Ridha.
Kisah bagaimana buku ini terbit menarik untuk dituturkan di sini. Buku Arsalan itu ditulis sebagai respon terhadap pertanyaan yang diajukan oleh seorang pembaca Majalah Al-Manar dari Jawa bernama Muhammad Basuni Imran. Surat itu dikirim ke redaksi Al-Manar pada bulan Rabi’ al-Akhir 1248 H (1929 M).
Oleh Rashid Ridha pertanyaan itu kemudian dikirim ke Syakib Arsalan. Yang terakhir ini langsung tergerak menuliskan jawaban. Kebetulan saja, saat menerima surat pertanyaan dari tanah Jawa itu, ia baru saja kembali dari perjalanan ke Andalusia, negeri yang dulu, selama kurang lebih tujuh abad, berada di bawah kekuasaan Islam (711-1492), dan kemudian direbut kembali oleh bangsa Kristen di Eropa dalam peristiwa yang dikenal dengan “reconquista”. Kenangan akan hilangnya tanah Islam itu membuat Arsalan sedih. Tepat pada saat itulah, ia menerima surat dari Jawa. Dalam waktu tiga hari ia menyelesaikan bukunya itu.
Apa penjelasan Arsalan tentang kemunduran dunia Islam? Ada dua. Pertama, dalam pandangan Arsalan, bangsa-bangsa non-Muslim maju karena mereka tetap berpegang pada tradisi keagamaan mereka sendiri. Arsalan menyebut dua contoh: Jepang dan Eropa, simbol kemajuan dunia pada awal abad ke-20. Dua dunia itu maju tanpa harus mengabaikan tradisi keagamaan mereka. Penjelasan kedua, bangsa-bangsa itu maju karena kerja keras untuk meraih kemajuan, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan.
Dalam pandangan Arsalan, kemajuan bangsa-bangsa Islam hanya bisa dicapai melalui jalan yang sama yang ditempuh oleh bangsa-bangsa non-Islam, yakni berpegang pada tradisi, serta kerja keras. Hukum kemajuan berlaku secara “konsisten” bagi bangsa Islam dan non-Islam. Ada tiga penyakit mental yang dianggap oleh Arsalan sebagai “biang kerok” kemunduran dunia Islam: pesimisme (tasya’um), rendah diri (al-istikhdza’) dan cepat putus asa (inqitha’ al-amal). Pada penutup bukunya, Arsalan mengutip ayat yang dalam pandangannya merupakan kunci kebangkitan dunia Islam, yakni Al-Ankabut (29):69. Bunyi ayat itu: wa ‘l-ladzina jahadu fina lanahdiyannahum subulana – mereka yang berjuang (jihad) di jalanKu, Aku akan menunjukkan mereka jalan-jalan menuju Aku.
“Jihad” adalah kata kunci yang disebut oleh Arsalan. Tetapi, ini bukanlah jihad dalam pengertian “perang suci” sebagaimana kita jumpai pada kelompok Islam garis keras. Baginya, jihad adalah kerja keras dan kesediaan untuk melakukan pengorbanan (al-tadlkhiyah).
Jawaban Arsalan, di mata kita sekarang, mungkin terasa sederhana dan simplistik. Tetapi, ada pengamatannya yang cukup tajam dan, saya kira, masih relevan hingga saat ini. Gagasannya bahwa kemajuan harus bertopang pada tradisi, bukan malah memusuhinya, saya kira senada dengan pandangan yang dikemukakan oleh banyak ilmuwan sosial pada abad ke-20.
Robert Wuthnow, seorang profesor sosiologi dari Universitas Princeton, misalnya, mengemukakan tentang pentingnya peran “community of discourse” dalam tiga perubahan penting di Eropa: Reformasi Protestan, Pencerahan, dan Revolusi Sosialis. Apa yang oleh Wuthnow disebut sebagai “komunitas wacana” adalah suatu arena perdebatan, di mana tradisi dan kekinian saling berdialog. Unsur tradisi sangatlah penting di sana. Suatu komunitas wacana menjadi kurang bermakna tanpa suatu tradisi yang melatarinya. Apa yang dikemukakan oleh Wuthnow menggaungkan sebagian apa yang telah dikemukakan oleh Arsalan sebelumnya, tentang pentingnya konteks tradisi dalam mencapai suatu kemajuan.
Pertanyaan tentang alasan kemunduran dunia Islam terus bertahan hingga saat ini. Sebuah tulisan pendek yang cukup provokatif yang ditulis oleh seorang penulis Pakistan, Dr. Farrukh Saleem, menarik untuk kita simak sejenak. Judul artikel itu “Why are Jews so powerful and Muslim so powerless?”, dimuat di situs Blitz yang didirikan oleh Salah Uddin Shoaib Choudhury, seorang wartawan Bangladesh yang mendedikasikan diri untuk melawan ideologi kaum Jihadis Muslim. Dalam artikelnya itu, Saleem mengemukakan sejumlah data yang menarik (validitas data-data ini bisa saja diperdebatkan).
Inilah sejumlah data perbandingan yang dikemukakan oleh Saleem. Jumlah bangsa Yahudi di seluruh dunia saat ini adalah 14 juta. Sementara jumlah umat Islam adalah 1,4 milyar. Tetapi, keunggulan numerik umat Islam ini tak berkorelasi dengan prestasi mereka dalam, misalnya, bidang ilmu pengetahuan dan ekonomi. Selama 105 tahun sejarah hadiah Nobel, sebanyak 180 Hadiah Nobel telah dimenangkan oleh bangsa Yahudi. Sementara, dari 1,4 milyar umat Islam, baru ada tiga ilmuwan/sastrawan Muslim yang memenangkan hadiah tersebut (di luar Hadiah Nobel di bidang perdamaian).
Salah satu pemenangnya ialah Prof. Abdus Salam dari Pakistan. Ia memenangkan Hadiah Nobel di bidang fisika pada 1979. Yang sangat ironis, di negerinya sendiri, Abdus Salam tak diakui sebagai seorang Muslim, karena ia pengikut kelompok Ahmadiyah.
Data lain yang dikemukakan Saleem: Jumlah seluruh universitas di 57 negeri Muslim yang menjadi anggota Organisasi Konferensi Islam (OIC/OKI) hanyalah sekitar 500. Sementara di Amerika Serikat saja, terdapat 5.748 universitas. Di India, negeri dari mana Pakistan memisahkan diri, ada 8.407 universitas. Perbandingan ini memang sangat fantastis karena begitu “njomplang”.
Melihat perbandingan semacam ini, sangat jelas di mana letak masalah yang dihadapai oleh dunia Islam, yaitu kemerosotan pendidikan dan etos saintifik. Ini tentu menyedihkan mengingat sejarah masa lampau Islam yang dikenal sebagai pembangun kebudayaan ilmu pengetahuan. Salah satu cari utama peradaban Islam, menurut seorang orientalis terkenal Franz Rosenthal, ialah ia merupakan peradaban pengetahuan (bisa dibaca dalam bukunya yang berjudul Knowledge Triumphant [1970]).
Kunci kemajuan Islam di masa depan, menurut Saleem, ia harus mengejar ketertinggalan yang cukup jauh di bidang pendidikan dan riset. Saya kira, pengamatan Saleem ini sangatlah tepat. Jika kita kembali kepada gagasan Arsalan sebelumnya, yang dibutuhkan oleh bangsa-bangsa Islam saat ini adalah “jihad”, bukan dalam pengertian yang dipahami oleh kalangan Islam garis keras; melainkan jihad intelektual, yakni kerja keras untuk meraih kemajuan di bidang pengetahuan.
Itulah jalan kemajuan bagi dunia Islam di masa depan.[]
Mutu Para Dai Kita
Oleh Abdul Moqsith Ghazali
“Banyak orang bertanya, kenapa mereka bermutu rendah. Pertama, mungkin karena cita-cita awal mereka bukan menjadi dai. Beberapa di antara mereka, ada yang jadi dai setelah sebelumnya terlilit utang, ada yang pemakai narkoba lalu sembuh, ada pedagang asongan yang gagal, dan sebagainya. Pedihnya kehidupan tampaknya telah memaksa mereka memutar haluan, menjadi seorang dai. Dengan bekal ilmu keislaman a la kadarnya dan dengan fasilitasi televisi, mereka kemudian memerankan diri sebagai dai. Hasilnya bisa diduga. Kalau tak menghibur dengan lelucon-lelucon tak cerdas, mereka akan “mendesak” para jemaah pengajian untuk menangis dan meronta untuk sesuatu yang tak jelas. Pengajian kemudian disulap menjadi lautan tangis yang mencekam.”
Setiap agama meniscayakan para pengkotbah. Tak terkecuali Islam. Dalam Islam, pengkotbah itu disebut dai, muballigh, atau khatib. Dai berarti sang penyeru, muballigh bermakna sang penyampai, dan khatib biasanya ditujukan pada pengkotbah pada ibadah Jum’at. Semuanya berpidato di depan publik untuk menyeru pada kebaikan dan menyampaikan pokok-pokok ajaran Islam. Karena itu, posisi para dai amat strategis. Di tangan para pengkotbah itu nasib suatu agama ditentukan. Jika satu agama menghimpun para dai yang mumpuni-andal, maka agama itu akan tampak mumpuni. Tapi, sebaliknya, di tangan para pengkotbah yang berilmu dangkal, berwawasan sempit, maka agama itu akan tampak tak relevan, kuno, dan terbelakang.
Pada tahun 80-an hingga 90-an, umat Islam Indonesia memiliki dai-dai nasional yang cakap dan memukau. Di antaranya adalah KH Syukron Makmun, KH Manarul Hidayat, KH Zainuddin MZ. Penguasaan mereka terhadap sejarah pemikiran dan peradaban Islam cukup luas. Mereka tak hanya bisa membaca al-Qur’an dengan baik, melainkan juga sanggup menafsirkannya secara lebih kontekstual. Ini mungkin karena pengetahuan bahasa Arab mereka memadai sehingga dimungkinkan untuk melahap tumpukan referensi utama Islam. Dengan ilmu yang cukup, ditunjang suara bariton yang menggelegar dan kemampuan menyelipkan humor-humor cerdas menyebabkan para dai itu memiliki kemampuan pengendalian massa, yang besar sekalipun. Ribuan orang seperti terhipnotis. Orang-orang yang mendengarkan ceramah KH Zainuddin MZ dibuat tak kuasa untuk tak memperhatikannya walau hanya beberapa menit. Zainuddin MZ dikenal memiliki kecakapan bertutur yang sistematis, berbahasa indah dengan retorika yang tak biasa.
Lain dulu, lain juga sekarang. Para dai yang muncul di akhir tahun 90-an atau 2000-an beda. Tak banyak dari mereka yang memiliki pengetahuan sejarah Islam, fikih Islam, dan tafsir al-Qur’an yang tangguh. Bahkan, ilmu-ilmu keislaman yang dimiliki sebagian dari mereka jauh di bawah standar sebagai seorang dai. Dai yang sempat kondang lalu menguap, Abdullah Gymanstiar, sering keliru dalam membaca panjang-pendek ayat al-Qur’an. Jefry al-Bukhari tak jauh beda. Kepercayaan diri dan kemampuan olah vokal yang coba ditunjukkannya di depan pemirsa televisi tak bisa menyembunyikan keterbatasannya dalam soal membaca al-Qur’an. Kemampuan Soleh Mahmud alias Solmed pun tak lebih baik dari seniornya, Jefry al-Bukhari. Dari lisan para dai yang bermutu rendah ini tak ayal kalau kita mendengar pernyataan dan pendapat keislaman yang naif, banal, dan musykil.
Banyak orang bertanya, kenapa mereka bermutu rendah. Pertama, mungkin karena cita-cita awal mereka bukan menjadi dai. Beberapa di antara mereka, ada yang jadi dai setelah sebelumnya terlilit utang, ada yang pemakai narkoba lalu sembuh, ada pedagang asongan yang gagal, dan sebagainya. Pedihnya kehidupan tampaknya telah memaksa mereka memutar haluan, menjadi seorang dai. Dengan bekal ilmu keislaman a la kadarnya dan dengan fasilitasi televisi, mereka kemudian memerankan diri sebagai dai. Hasilnya bisa diduga. Kalau tak menghibur dengan lelucon-lelucon tak cerdas, mereka akan “mendesak” para jemaah pengajian untuk menangis dan meronta untuk sesuatu yang tak jelas. Pengajian kemudian disulap menjadi lautan tangis yang mencekam.
Kedua, jadwal “manggung” dan “tayang” yang padat menyebabkan mereka tak punya banyak waktu untuk belajar, meningkatkan mutu diri. Waktunya dihabiskan di jalan untuk berdakwah, dari satu stasiun televisi ke stasiun televisi lain. Duduk untuk membaca buku-buku keislaman tak mudah dilakukan. Itu sebabnya, kita akan disuguhi materi dakwah yang memutar. Satu materi yang sudah diputar di satu tempat akan diputar kembali di tempat lain, tak ubahnya seorang penyanyi yang menyanyikan lagu sama di berbagai tempat dengan kostum yang berbeda. Hanya untuk menghindari rasa bosan dan mengusir kantuk yang mendera para jemaah, para produser televisi biasanya mensiasatinya dengan menghadirkan para bintang tamu seperti artis-selebritis.
Bagaimana menghadapi kenyataan itu? Kita tahu, para dai yang muncul di era digital ini pada umumnya masih belia. Lahir rata-rata tahun 70-an bahkan 80-an. Sehingga kita masih bisa berharap agar mereka bisa memperbaiki kualitas diri. Yang tak bisa baca al-Qur’an, segera belajar baca al-Qur’an. Yang tak menguasai bahasa Arab, cepat belajar bahasa Arab. Yang tak mengerti detail-detail hukum Islam, buruan mengaji pada para ahli hukum Islam. Jadual yang penuh tak boleh dijadikan alasan para dai untuk berhenti membaca buku dan belajar pada ulama yang shalih nan arif. Dengan cara belajar yang tanpa henti itu, kita akan menyaksikan para dai yang tak hanya menenangkan secara spiritual tapi juga mencerahkan secara intelektual.
Merespon Keragaman dalam Bingkai Madzhab
Oleh Husein Ja’far Al Hadar*
“...sebagaimana dikemukakan Dr. Muhammad at-Tijani as-Samawi (seorang ulama Syiah jebolan Universitas Sorbonne, Prancis) bahwa sejatinya al-Syi’ah hum Ahlussunnah (Syiah [Ja’fari] itu sejatinya juga pengikut sunah Nabi alias Ahlussunnah). Maka kita dari Sunni pun harus juga menegaskan bahwa Ahlussunnah hum al-Syi’ah (Ahlussunnah itu sejatinya juga pengikut Khalifah Ali Bin Abi Thalib, alias Syi’ah).”
Ironi! Di penghujung 2011, kita harus menutupnya dengan satu kasus kekerasan bermotif agama. Bahkan, yang ini, bukan lagi isu satu agama vis a vis agama lain, tapi dalam internal Islam, yakni antara madzhab Sunni dan Syiah. Sekelompok oknum yang mengklaim Sunni (ahlussunnah wal jammaah) melakukan penyerangan dan pembakaran terhadap pondok pesantren beraliran Islam-Syiah di Sampang, Madura. Akhirnya, kita pun harus menambah satu lagi daftar catatan kekerasan atas nama agama di negeri ini yang oleh Setara Institute baru-baru ini dilaporkan statistiknya mencapai 244 kasus selama 2011.
Menurut penulis, sebenarnya pada tingkat keyakinan dan ajaran (keislaman), apa yang terjadi di Madura seharusnya tak terjadi. Sebab, masalah perbedaan antara Sunni dan Syiah dalam Islam sudah diklarifikasi dan dituntaskan dengan utuh dan tepat oleh tokoh-tokoh Islam di negeri ini. Salah satu yang tepat untuk disebutkan di sini, misalnya, M. Quraish Shihab (pakar tafsir di Indonesia) dengan karyanya yang berjudul Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?; Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (2007). Dalam karyanya itu, Quraish Shihab yang memang memiliki kredibilitas dan otoritas dalam membicarakan isu ini, mengawali pembicaraannya tentang keniscayaan sebuah perbedaan yang diakui secara langsung oleh Allah dalam Al-Qur’an (QS. Al-Ma’idah: 48) sekaligus kepatutan dirajutnya persatuan (ukhuwah) karena pada dasarnya manusia adalah umat yang satu (QS. Al-Baqarah: 213). Pembacaan, pemahaman dan penafsiran atas realitas dan ayat tentang keniscayaan perbedaan dan kepatutan persatuan menjadi sangat signifikan guna membangun paradigma dan sikap yang bijak menanggapi isu-isu seputar keberagaman. Kesalahan memahami realitas atau ayat (dan juga hadis) yang terkesan paradoks seperti di atas akan berdampak negatif berupa timbulnya konflik horisontal di antara umat yang keduanya sama-sama membawa nama Islam.
Umat Islam kerap memposisikan perbedaan dan persatuan sebagai dua hal yang paradoks. Sehingga, berpegang pada salah satunya otomatis berarti menafikan yang lainnya; berbeda berarti berselisih-pecah dan bersatu berarti tak mentoleransi –apalagi menerima- perbedaan. Sehingga, perbedaan dan persatuan pun menjadi ‘buah simalakama’ bagi umat Islam; pilihan atas salah satunya akan menimbulkan bencana berupa perselisihan dan konflik. Padahal, pada dasarnya, perbedaan dalam Islam justru patut dipahami sebagai rahmat Allah sebagai bentuk kekayaan khazanah intelektual sekaligus pilihan dan alternatif bagi kesulitan yang dihadapi umat. Sedangkan persatuan sebenarnya berarti kepatutan untuk saling berbagi, mengisi dan menyempurnakan di tengah perbedaan, bukan berarti menyamakan sesuatu yang berbeda dan mustahil untuk disatukan. Pada titik ini, maka peran keterbukaan, dialog dan kedewasaan dalam menyikapi perbedaan menjadi sangat mendasar. Ketiga komponen guna membentuk perbedaan menjadi rahmat itulah yang seringkali hilang dari paradigma umat Islam, khususnya di Indonesia.
Dalam karya monumentalnya yang berjudul al-Milal wa an-Nihal, Al-Syahrastani bukan lagi mendokumentasikan perbedaan pada tingkat furu’ al-din (cabang agama) dalam internal ulama Islam. Namun, ia mendokumentasikan beragam perbedaan pendapat pada tingkat ushul al-din (dasar agama) di internal ulama Islam yang sudah ada bahkan sejak Nabi Muhammad sedang sakit. Quraish Shihab mencatat setidaknya sepuluh perbedaan teologis itu. Namun, patut dipahami dan disadari bahwa perbedaan itu adalah perbedaan sudut pandang yang dibenarkan dalam Islam yang dilatarbelakangi oleh keterbukaan, keikhlasan dan kedewasaan dalam ber-Islam sebagai upaya bersama untuk berlomba-lomba dalam mendekati (bukan mencapai) kebenaran, dan sama sekali bukan bertendensikan egoisme atau ambisi pribadi atau golongan untuk mengklaim –apalagi memonopoli- kebenaran. Sehingga, perbedaan pun menjadi rahmat bagi persatuan umat.
Filosofi dan pemahaman akan hakikat perbedaan dan persatuan seperti di zaman ulama klasik itulah yang belum ada dan perlu ditumbuhkan di zaman ini. Oleh karena itu, sampai di sini penulis mengapresiasi sikap petinggi (ulama) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah yang sangat terbuka dan dewasa menyikapi kasus Sampang dengan menegaskan bahwa kasus Sampang terjadi akibat provokasi atas perbedaan di antara Sunni-Syiah yang sesungguhnya tak berarti dan sudah disepakati bahwa itu bagian dari rahmat dalam Islam. Pernyataan ini sejalan dengan kesepakatan ulama besar dunia –dari berbagai madzhab Islam, termasuk Sunni dan Syiah- di berbagai konferensi dan kesepakatan dalam dialog dan pendekatan antar madzhab. Misalnya Konferensi Doha 2002, Draft ISESCO yang dibentuk di pertemuan puncak OKI 2003 di Malaysia hingga Kesepakatan Ulama Sunni-Syiah di Makkah pada 2006 hingga Muktamar Doha yang diselenggarakan oleh Universitas Qatar bersama Universitas Al-Azhar-Mesir dan Lembaga Internasional untuk Pendekatan Madzhab-madzhab Islam pada 2007. Secara umum, disepakati bahwa pertama, Muslim adalah siapa saja yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul-Nya. Kedua, darah, harta dan kehormatan Muslim haram (diganggu). Ketiga, tempat peribadatan umat Muslim suci, yang artinya haram untuk diserang, dibakar, apalagi diambil alih.
Penyatuan madzhab-madzhab menjadi satu madzhab dalam Islam merupakan sesuatu yang mustahil, sebab keberagaman dalam memahami dan menafsirkan teks dan ajaran merupakan keniscayaan. Bahkan dalam internal Sunni dan Syiah pun terdapat keragaman: ada Sunni-Syafi’i, Sunni Hanafi, Sunni Maliki, Sunni Hambali; Syi’ah-Ja’fari, Syiah-Ismailiyah, Syiah-Zaidiyah, dll. Karenanya, yang patut diagendakan dan diupayakan saat ini dan ke depan dalam Islam yakni persatuan umat dalam arti membiarkan madzhab-madzhab dalam Islam yang ada tumbuh-berkembang sembari bergandengan tangan, berjalan seiring, bekerja sama untuk menghadapi musuh bersama Islam serta mengembalikan kejayaan Islam masa lalu sebagai salah satu penopang peradaban dunia.
Terkait upaya itu, maka upaya membersihkan dan menjauhkan umat dari fanatisme dalam beragama –apalagi bermadzhab- harus juga menjadi agenda utama. Sebab, agama dengan sederet ajaran, ritual dan simbolnya merupakan isu yang sangat sensitif. Jika fanatisme telah menjadi bagian dari corak keberagamaan umat, maka provokasi sedikit saja (seperti yang terjadi di Sampang) niscaya akan menyulut ketegangan dan bahkan konflik yang membahayakan umat. Apalagi jika isu agama telah ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Oleh karena itu, corak masyarakat beragama yang harus dibentuk adalah masyarakat yang terbuka, damai dan dialogis. Sebab, ketegangan dan konflik sering kali terjadi hanya karena ke-jumud-an dan ketidaktahuan (ke-jahiliyah-an) kita akan keyakinan dan ajaran umat lain. Oleh karena itu, mengutip penyataan Quraish Shihab, semakin tinggi pengetahuan (keagamaan) seseorang, maka semakin tinggi pula semangat toleransinya.
Akhirnya, sebagaimana dikemukakan Dr. Muhammad at-Tijani as-Samawi (seorang ulama Syiah jebolan Universitas Sorbonne, Prancis) bahwa sejatinya al-Syi’ah hum Ahlussunnah (Syiah [Ja’fari] itu sejatinya juga pengikut sunah Nabi alias Ahlussunnah). Maka kita dari Sunni pun harus juga menegaskan bahwa Ahlussunnah hum al-Syi’ah (Ahlussunnah itu sejatinya juga pengikut Khalifah Ali Bin Abi Thalib, alias Syi’ah).
*Direktur Lembaga Study of Philosophy (Sophy) Jakarta
elajar Tawakkal (dalam Mengais Rezeki) dari Seekor Burung
Oleh: Nuri Nawan
"Sungguh, seandainya kalian bertawakal kepada Allah sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. At-Tirmidzi).
Ternyata ada beberapa sifat dan sikap yang dilakukan oleh burung dalam mencari makanannya, yaitu:
1. Burung selalu bangun pagi
Tidak ada burung yang bangunnya kesiangan, kecuali burung sakit, atau burung malam (burung hantu). Namun jika dilihat secara umum, burung selalu bangun pagi. Ia bangun dengan penuh optimisme, riang dan gembira tanpa ada rasa khawatir sedikitpun akan makan apa hari ini, tidak pernah khawatir akan rizki yang pasti sudah disiapkan oleh Alloh. Bahkan di celah persiapannya, dia sambil sibuk bernyanyi dan membangunkan manusia, seolah dia menunjukkan kepada kita akan rizki Alloh yang selalu siap kita jemput. Seolah ia menunjukkan kepada kita bagaimana ia bertasbih kepada Alloh, melalui kicauannya.
Contohlah burung saat ia bangun pagi, ia selalu menyempatkan diri untuk bersyukur, memuji Alloh yang Maha Pemurah, dan bertasbih kepada Alloh melalui nyanyiannya. Kita diberi infrastruktur jauh lebih istimewa daripada burung, mari kita gunakan waktu kita untuk bangun pagi, bersyukur, bertasbih dan bermunajat kepada Alloh, seperti yang dilakukan oleh burung.
2. Burung berusaha berdiri, persiapan. sblm terbang
Dalam usaha mencari rizki, kita juga harus melakukan “pemanasan”, persiapan fisik maupun mental, maupun fikiran guna kesempurnaan ikhtiar kita.
3. Burung terbang dan mengepakkan sayap melawan gravitasi bumi.
Dalam usaha mencari rizki, jarang sekali tanpa hambatan ataupun kesulitan yang kita hadapi, seperti burung saat terbang dia berusaha sekuat tenaga untuk melawan grafitasi bumi, agar tidak terjatuh.
Seperti kita, di setiap usaha ada saja penolakan, kelelahan, kesulitan, kebuntuan berfikir yang kadang kita temui, namun yakinlah, bahwa semua itu akan membuat kita menjadi lebih taft, lebih tangguh, lebih ahli di kemudian hari, seperti otot-otot sayap burung, karena setiap hari melawan kuatnya gravitasi bumi, dia akan menjadi lebih kuat dan kuat lagi, hingga jika dalam cuaca ekstrim sekalipun, dia telah terbiasa. Jika kita telah terbiasa dengan “ hujan badai “ sulitnya mencari rizki, maka disaat ada cuaca normal, semua kondisi wajar, kita akan dengan mudah menaklukkan tantangan kehidupan tersebut.
4. Saat terbang selalu yakin dan tak pernah ragu
“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. Ath Tholaq: 3)
Saat kita telah berdo’a, dan bertawakkal kepada Alloh, maka jangan pernah ragukan hasilnya, karena yakinlah, Alloh telah mempersiapkan rizki untuk kita. Burung tak pernah ragu saat terbang, dia selalu yakin bahwa, disana ada harapan, yang telah dipersiapkan oleh Alloh.
5. Terbang dgn insting, ke tempat yang rimbun dan subur
Dalam usaha mencari rizki, diperlukan “ilmu” yang relevan, guna menunjang kesempurnaan ikhtiar. Jikalau burung hanya dibekali insting oleh Alloh, untuk mencari tempat-tempat yang rimbun dan subur makanan, maka kita diberi panca indra dan akal pikiran yang luar biasa oleh Alloh, yang bisa kita gunakan untuk menganalisa dimana tempat-tempat yang subur dan rimbun akan rizkia Alloh
6. Setelah makan, dia bawa pulang sebagian rizkinya
Saat mencari rizki, jangan pernah lupakan beban amanah keluarga, anak istri yang selalu menanti hasil ikhtiar yang kita lakukan
7. Jika mengambil makanan, burung tidak pernah merusak
Saat mengambil makanan, burung selalu dengan cara yang indah dan santun, tidak pernah ia melakukan perusakan dalam proses pencarian makanan, bahkan ada beberapa jenis burung yang membantu proses pembuahan beberapa tanaman.
Malu rasanya, jika kita dalam proses mencari rizki kita, harus merugikan orang, harus merusak hak-hak orang, harus menyakiti dan mengecewakan orang lain.
“ Barang siapa yg merasa lelah di sore hari karena mencari rizki dgn tangannya, maka akan diampuni dosa dosanya.” (HR Tabroni)
Penulis adalah Direktur Operasional Tazkia Book Network
Kamis, 05 Januari 2012
Yuk, Menabung di 'Bank Akhirat'...Bunganya Menggiurkan
Oleh: Nandang saputra
Ketika ingin menabung atau mendepositokan uang di bank konvensional, biasanya para nasabah akan mencari bank yang memberikan bunga paling besar. Di samping segi keamanannya dan keterpercayaannya.
Jika di bank-bank konvensional mungkin hanya menawarkan beberapa belas persen dalam setahun, bank yang satu ini menawarkan bunga 700 persen untuk tiap kali setoran. Bukan dalam setahun, tapi setiap kali setoran diberikan bunga 700 persen.
Itu belum termasuk “promo-promo” yang diadakan bank tersebut. Untuk membuka rekeningnya tidak ada batasan minimal. Berapapun akan diterima. Tidak ada biaya administrasi per bulannya. Mau? Inilah 'bank Akhirat'.
Tidak ada setoran minimal yang ditentukan untuk membuka rekening tabungan. “Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu…” (QS Al-Baqoroh: 267)
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya, memperoleh pahala yang besar.” (QS Al-Hadiid: 7)
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu lalu ia berkata: ‘Ya Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shale?” (QS Al-Munaafiquun: 10)
Dari tiga keterangan tersebut tidak dijelaskan besaran pasti untuk kita melakukan setoran. Yang diminta hanya sebagian. Bisa sebagian kecil, bisa sebagian besar. Tergantung diri kita masing-masing maunya berapa. Ketika kita sudah menyedekahkan harta kita, maka otomatis catatan kebaikan di buku amal kita akan bertambah.
Dan, “bunga” yang kita dapatkan dari hasil sedekah kita adalah 700 persen. “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Alloh adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada setiap bulir seratus benih. Alloh melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Alloh Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqoroh: 261)
Hitung-hitungannya, menurut saya: 1 butir benih x 7 bulir x 100 benih = 700 benih. Itu minimalnya. Kalo kita lihat di hitungan tersebut, setiap benih itu bisa menghasilkan tujuh bulir. Kalo kita punya 700 benih berarti jadi 4.900 bulir yang akan menghasilkan lagi 100 biji pada masing-masing bulir. Begitu seterusnya. Tak akan pernah berhenti. Hal itu bisa kita lihat di ayat tersebut. “Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.”
Bank akhirat ini memang tidak punya kantor resmi. Tapi kita bisa melakukan setoran di mana saja. Misal, ke orang tua, sanak-saudara, anak-anak yatim, orang miskin, dan musafir.
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: ‘Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.’ Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (QS Al-Baqoroh: 215)
Mudah kan?
Juga, tak perlu khawatir salah catat setoran. “Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-Baqoroh: 121)
Dengan membuka rekening di bank akhirat ini berarti kita telah menyimpan harta kita dalam bank teraman di dunia bahkan di akhirat. Yang namanya tabungan tentu saja harta yang kita tabung sebenarnya masih ada hak kita. Hanya saja kita memang tidak memegangnya. Apalagi di bank akhirat ini kita tidak bisa melakukan penarikan tunai. Tapi kita bisa merasakan manfaat dari tabungan kita tersebut. Bisa di dunia ini atau di akhirat nanti. Wallahu a'lam bish-shawab.
Ketika ingin menabung atau mendepositokan uang di bank konvensional, biasanya para nasabah akan mencari bank yang memberikan bunga paling besar. Di samping segi keamanannya dan keterpercayaannya.
Jika di bank-bank konvensional mungkin hanya menawarkan beberapa belas persen dalam setahun, bank yang satu ini menawarkan bunga 700 persen untuk tiap kali setoran. Bukan dalam setahun, tapi setiap kali setoran diberikan bunga 700 persen.
Itu belum termasuk “promo-promo” yang diadakan bank tersebut. Untuk membuka rekeningnya tidak ada batasan minimal. Berapapun akan diterima. Tidak ada biaya administrasi per bulannya. Mau? Inilah 'bank Akhirat'.
Tidak ada setoran minimal yang ditentukan untuk membuka rekening tabungan. “Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu…” (QS Al-Baqoroh: 267)
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya, memperoleh pahala yang besar.” (QS Al-Hadiid: 7)
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu lalu ia berkata: ‘Ya Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shale?” (QS Al-Munaafiquun: 10)
Dari tiga keterangan tersebut tidak dijelaskan besaran pasti untuk kita melakukan setoran. Yang diminta hanya sebagian. Bisa sebagian kecil, bisa sebagian besar. Tergantung diri kita masing-masing maunya berapa. Ketika kita sudah menyedekahkan harta kita, maka otomatis catatan kebaikan di buku amal kita akan bertambah.
Dan, “bunga” yang kita dapatkan dari hasil sedekah kita adalah 700 persen. “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Alloh adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada setiap bulir seratus benih. Alloh melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Alloh Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqoroh: 261)
Hitung-hitungannya, menurut saya: 1 butir benih x 7 bulir x 100 benih = 700 benih. Itu minimalnya. Kalo kita lihat di hitungan tersebut, setiap benih itu bisa menghasilkan tujuh bulir. Kalo kita punya 700 benih berarti jadi 4.900 bulir yang akan menghasilkan lagi 100 biji pada masing-masing bulir. Begitu seterusnya. Tak akan pernah berhenti. Hal itu bisa kita lihat di ayat tersebut. “Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.”
Bank akhirat ini memang tidak punya kantor resmi. Tapi kita bisa melakukan setoran di mana saja. Misal, ke orang tua, sanak-saudara, anak-anak yatim, orang miskin, dan musafir.
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: ‘Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.’ Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (QS Al-Baqoroh: 215)
Mudah kan?
Juga, tak perlu khawatir salah catat setoran. “Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-Baqoroh: 121)
Dengan membuka rekening di bank akhirat ini berarti kita telah menyimpan harta kita dalam bank teraman di dunia bahkan di akhirat. Yang namanya tabungan tentu saja harta yang kita tabung sebenarnya masih ada hak kita. Hanya saja kita memang tidak memegangnya. Apalagi di bank akhirat ini kita tidak bisa melakukan penarikan tunai. Tapi kita bisa merasakan manfaat dari tabungan kita tersebut. Bisa di dunia ini atau di akhirat nanti. Wallahu a'lam bish-shawab.
Mungkinkah Meminta Tanpa Berkata?
Oleh Samsul Zakaria
REPUBLIKA.CO.ID, “Janganlah engkau menuntut Tuhanmu karena Dia Menunda memberikan pintamu. Tetapi tuntutlah dirimu karena terlambat menjalankan perintah-Nya.” (Ibnu 'Athaillâh al-Sakandary)
Doa adalah kata yang paling tepat, dalam terminologi agama (Islam), untuk menggantikan terma “meminta” kepada Allah. Di mana doa adalah juga sebuah perintah atau imperatif. Dalam bahasa Arab, perintah (amar) lazimnya berangkat dari atasan (al-a'lâ) kepada bawahan (al-adnâ).
Sementara doa berbeda. Doa jelas sebuah permintaan dari hamba (al-adnâ) kepada Tuhannya (al-A'lâ). Karenanya, permintaan itu tidak disebut “perintah (amar)” melainkan “doa/ad-du'â”. Itu adalah adab berbahasa. Sehingga substansi “permintaan” dalam bahasa Arab memiliki demarkasi (pembeda) antara meminta kepada bawahan (al-adnâ) dan sesama/sederajat (al-musâwah) dengan meminta kepada Allah SWT (al-A'lâ).
Berbicara tentang permintaah makhluk-makhluk Allah, Iblis adalah makhluk yang pertama kali harus tereliminasi dari naungan Allah SWT. Surga yang menjadi tempat singgahnya harus rela ditinggalkan karena kesalahannya yang “cukup fenomenal”.
Apa pasal? Iblis tidak mau menyembah Nabiyullâh, Adam AS yang juga makhluk ciptaan Allah SWT. Tahukah, bahwa ketika itu iblis sebenarnya sudah “berijtihad”. Namun, ijtihad iblis nampaknya kurang tepat, atau salah. Iblis ketika itu “berijtihad” dan kemudian berkesimpulan bahwa, “Api lebih baik dari tanah.” Dan karenanya, ia enggan bersujud kepada Adam AS, karena merasa lebih mulia (QS. al-A'râf [7]: 12).
Iblis memang tercipta dari api (nâr), sementara Adam AS dari tanah (thîn). Akhirnya iblis mendapat ganjaran berupa kemurkaan Allah. Iblis memang menerima keputusan Allahm namun ibkis juga mengajukan 1 permintaan kepada Allah. Ia bersedia dikeluarkan dari surga, tapi diberi wewenang untuk menyesatkan anak Adam AS dari jalan kebenaran. Itulah, permintaan iblis. Ia meminta dengan kata-kata.
Kemudian ada kisah dari Nabi Adam AS. Sudah masyhur bahwa Adam AS bersama istrinya, Siti Hawa, “terusir” dari surga karena menyantap buah Khuldi. Itu terjadi setelah bujukan iblis berhasil meyakinkan keduanya bawha dengan memakan buah tersebut (Khuldi), maka Adam AS dan Siti Hawa akan kekal di surga. Sehingga tepatlah kalau buah yang dimakan Adam AS dan Siti Hawa ketika itu bernama “Khuldi”. Khâlidun/khuldun, dalam bahawa Arab artinya adalah kekal/kekekalan. Kisah itu juga mengisyaratkan bahwa Adam AS dan Siti Hawa menghendaki kekekalan untuk hidup di surga. Keinginan itu adalah juga permintaan, namun kurang tepat caranya.
Adam AS dan Siti Hawa harus rela pergi meninggalkan surga. Namun, ia juga masih berdoa (meminta) kepada Allah agar diampuni kesalahan (dosanya) dan merahmatinya. Doa tersebut terekam dalam al-Quran surat al-A'râf [7] ayat 23. “Keduanya berkata: Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak Mengampuni kami dan Memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” Doa Adam AS dan Siti Hawa tersebut adalah sebuah pertaubatan dan pengharapan akan ampunan dan rahmat Allah SWT. Keduanya berdoa kehadirat-Nya agar kelak tidak menjadi golongan orang-orang yang merugi. Itulah permintaan Adam AS dan Siti Hawa.
Konsepsi Permintaan
Sebenarnya, bagaimanakah hukum meminta? Bukankah sudah maklum bahwa, keagungan dan kekuasaan Allah tidaklah terbatasi oleh apapun dan siapapun dan karenanya, manusia (makhluk) bebas meminta apa saja. Sebut apa yang “dimaui” maka Allah akan mengabulkannya. Sesederhana itukah?
Meminta sendiri, sebenarnya, adalah sebuah ekspresi ketertundukan kepada Dzat yang dimintai. Kebiasaan meminta (berdoa) menjadi (per)tanda bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk kembali kepada Ilahi.
Permintaan hanya menjadi unek-unek dalam hati jika tidak diungkapkan dengan suara. Dalam shalat misalnya, disunnahkan untuk mengucapkan (melafalkan) niat dengan suara, selain tentunya niat dalam hati. Hal itu dilakukan untuk menuntun hati dan agar lebih fokus. Artinya, sebuah permintaan dalam konteks ini, harus juga diiringi (dibarengi) dengan aksi-verbal, berupa kata-kata (suara). Dengan demikian terjadi kejelasan, dan karenanya permintaan akan terkabulkan. Apalagi jika permintaan tersebut ditujukan kepada sesama manusia. Hal ini karena sampai sekarang belum ada orang yang dapat membaca perasaan dengan akurat dan ilmiah. So, perlulah kata (atau mungkin juga surat) untuk mengutarakan permintaan.
Kewenangan untuk meminta sering kali disalahgunakan. Karena memiliki otoritas akhirnya selalu menuntut tanpa pernah berfikir sudahkah kewajiban ditunaikan. Mohon maaf, misalnya banyak pejabat yang selalu menuntut fasilitas yang mewah. Padahal, menjadi tanya besar, apakah mereka sudah menunaikan kewajibannya dengan baik?
Meminta tanpa berkata, meniscayakan kualitas kerja. “Kerjakanlah tugas dengan baik sebelum menuntut!” singkatnya. Bekerja harus dilakukan dengan totalitas, yang karenanya tidak perlu memikirkan imbalan. Sebab, ketika kualitas yang dikedepankan maka, ujrah itu menjadi konsekuensi logisnya saja.
Tamsil Menarik
Saat masih menimba ilmu di Madrasah Ibtidaiyah, penulis teringat dengan ceramah salah satu ustadz di desa. Sang kiayi membuat tamsil yang menarik. Seorang anak menginginkan sepeda motor, namun ia memilih tak mengungkapkannya di hadapan orang tuanya. Ia menunjukkan keseriusan dengan belajar lebih giat. Baktinya kepada orang tua pun ditingkatkan.
Sikap anaknya membuat orang tua berpikir sudah sepantasnya anaknya tersebut mendapatkan 'penghargaan' Karena orang tua melihat jarak antara rumah dan sekolah cukup jauh, sangat memungkinkan orang tua akan menghadiahi sang anak dengan sepeda motor.
Kisah di atas adalah sebuah contoh, di mana ketulusan menjadi hal penting dalam kehidupan. Dengan berbuat secara total dan konsisten serta terus menerus, maka Allah akan menjawab doa yang tidak “terkatakan”. Dalam konteks cerita di atas, Allah SWT telah mengabulkan keinginan sang anak melalui orang tuanya, dengan hadiah berupa sepeda motor.
Dan pastinya, hal ini sangat mungkin terjadi dalam kehidupan kita. Ketika kita menginginkan sesuatu (yang lebih) maka mari menunjukan kegigihan dan keseriusan. Sehingga, pada akhirnya kita akan mendapatkan sesuatu yang memang diinginkan.
Sadar Diri
Mari mengingat-ingat. Pernahkah kita berprasangka buruk dengan Sang Pencipta? Ketika keinginan kita yang terucapkan lewat doa belum juga terkabulkan, perasaan apa yang muncul ketika itu? Apakah lazim kita mengira bahwa Allah telah “lari” meninggalkan kita?
Rasanya, kita harus pandai untuk masuk ke dalam diri kita dan mencoba merasa bahwa, “Ternyata kita belum pantas untuk mendapatkan itu semua.” Setidaknya kita merasa bahwa, Tuhan jauh lebih mengerti kesiapan kita terhadap karunia-Nya. Atau bisa jadi kita belum dekat secara emosional dengan-Nya. Kedekatan kita hanya ketika berdoa alias sedang butuh saja. Sementara kewajiban kita sebagai hamba-Nya sering kali terabaikan.
Sadar diri bukanlah sekadar ekspresi pasif yang tidak termanifestasikan dalam tindakan. Sadar akan ketidakpantasan maka yang harus dilakukan adalah berusaha “memantaskan diri”. Usaha memantaskan diri inilah yang menjadikan manusia semakin giat dalam berusaha (ikhtiyâr).
Apalah arti sebuah doa jika pinta itu tidak pernah diiringi dengan usaha? Tentu menjadi sia-sia. Seandainya Allah mengabulkan pinta tanpa usaha, maka bisa jadi itu adalah istidrâj, untuk membuat sang hamba terdiam dari tangis panjang (rengekan) doanya. Dan hati manusia tiada pernah berkata bohong. Kita sebenarnya merasa lebih nyaman ketika doa yang terkabulkan itu juga berasal dari usaha keras kita.
Pinta tanpa Kata, Mungkinkah?
Allah adalah Tuhan Yang Maha Pemurah. Siapapun yang meminta kepada-Nya pasti akan dikabulkan. Jangankan manusia, iblis saja dikabulkan permintaannya oleh Allah. Artinya, manusia lebih berkesempatan untuk mendapatkan perkabulan permintaan (doa) dari Allah SWT.
Namun masih pantaskah, dengan segala kekurangan dalam menghamba, kita terus meminta lebih kepada-Nya? Sudahkah karunia yang kita terima disyukuri dengan peningkatan kualitas takwa? Tidakkah kita merasa bahwa nafas yang terus berhembus, penglihatan yang berfungsi normal, dan juga kesempatan membaca tulisan ini, adalah nikmat-Nya yang mungkin saja masih banyak saudara kita tidak mendapatkannya?
Akan menjadi bijak ketika kita terus berusaha meningkatkan kedekatan kepada Ilahi. Dengan demikian maka kita dapat menyingkap tabir penghalang antara kita dengan-Nya. Itu karena sesungguhnya kita memang dekat (qarîb) dengan Sang Pencipta. Dan yang paling utama, ketika kita berdoa untuk mendapatkan yang lebih, sudahkah kita mendahuluinya dengan memenuhi kewajiban kita sebagai hamba-Nya? Mungkin lebih indah ketika doa kita berbunyi, “Ya Allah, hamba yakin bahwa Engkau selalu memberikan yang terbaik bagi hamba.” Jika demikian halnya, masihkah perlu berkata-kata untuk meminta? Ihdinâ ash-shirâth al-mustaqîm. Wallâhu a'lamu bi ash-shawâb.
REPUBLIKA.CO.ID, “Janganlah engkau menuntut Tuhanmu karena Dia Menunda memberikan pintamu. Tetapi tuntutlah dirimu karena terlambat menjalankan perintah-Nya.” (Ibnu 'Athaillâh al-Sakandary)
Doa adalah kata yang paling tepat, dalam terminologi agama (Islam), untuk menggantikan terma “meminta” kepada Allah. Di mana doa adalah juga sebuah perintah atau imperatif. Dalam bahasa Arab, perintah (amar) lazimnya berangkat dari atasan (al-a'lâ) kepada bawahan (al-adnâ).
Sementara doa berbeda. Doa jelas sebuah permintaan dari hamba (al-adnâ) kepada Tuhannya (al-A'lâ). Karenanya, permintaan itu tidak disebut “perintah (amar)” melainkan “doa/ad-du'â”. Itu adalah adab berbahasa. Sehingga substansi “permintaan” dalam bahasa Arab memiliki demarkasi (pembeda) antara meminta kepada bawahan (al-adnâ) dan sesama/sederajat (al-musâwah) dengan meminta kepada Allah SWT (al-A'lâ).
Berbicara tentang permintaah makhluk-makhluk Allah, Iblis adalah makhluk yang pertama kali harus tereliminasi dari naungan Allah SWT. Surga yang menjadi tempat singgahnya harus rela ditinggalkan karena kesalahannya yang “cukup fenomenal”.
Apa pasal? Iblis tidak mau menyembah Nabiyullâh, Adam AS yang juga makhluk ciptaan Allah SWT. Tahukah, bahwa ketika itu iblis sebenarnya sudah “berijtihad”. Namun, ijtihad iblis nampaknya kurang tepat, atau salah. Iblis ketika itu “berijtihad” dan kemudian berkesimpulan bahwa, “Api lebih baik dari tanah.” Dan karenanya, ia enggan bersujud kepada Adam AS, karena merasa lebih mulia (QS. al-A'râf [7]: 12).
Iblis memang tercipta dari api (nâr), sementara Adam AS dari tanah (thîn). Akhirnya iblis mendapat ganjaran berupa kemurkaan Allah. Iblis memang menerima keputusan Allahm namun ibkis juga mengajukan 1 permintaan kepada Allah. Ia bersedia dikeluarkan dari surga, tapi diberi wewenang untuk menyesatkan anak Adam AS dari jalan kebenaran. Itulah, permintaan iblis. Ia meminta dengan kata-kata.
Kemudian ada kisah dari Nabi Adam AS. Sudah masyhur bahwa Adam AS bersama istrinya, Siti Hawa, “terusir” dari surga karena menyantap buah Khuldi. Itu terjadi setelah bujukan iblis berhasil meyakinkan keduanya bawha dengan memakan buah tersebut (Khuldi), maka Adam AS dan Siti Hawa akan kekal di surga. Sehingga tepatlah kalau buah yang dimakan Adam AS dan Siti Hawa ketika itu bernama “Khuldi”. Khâlidun/khuldun, dalam bahawa Arab artinya adalah kekal/kekekalan. Kisah itu juga mengisyaratkan bahwa Adam AS dan Siti Hawa menghendaki kekekalan untuk hidup di surga. Keinginan itu adalah juga permintaan, namun kurang tepat caranya.
Adam AS dan Siti Hawa harus rela pergi meninggalkan surga. Namun, ia juga masih berdoa (meminta) kepada Allah agar diampuni kesalahan (dosanya) dan merahmatinya. Doa tersebut terekam dalam al-Quran surat al-A'râf [7] ayat 23. “Keduanya berkata: Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak Mengampuni kami dan Memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” Doa Adam AS dan Siti Hawa tersebut adalah sebuah pertaubatan dan pengharapan akan ampunan dan rahmat Allah SWT. Keduanya berdoa kehadirat-Nya agar kelak tidak menjadi golongan orang-orang yang merugi. Itulah permintaan Adam AS dan Siti Hawa.
Konsepsi Permintaan
Sebenarnya, bagaimanakah hukum meminta? Bukankah sudah maklum bahwa, keagungan dan kekuasaan Allah tidaklah terbatasi oleh apapun dan siapapun dan karenanya, manusia (makhluk) bebas meminta apa saja. Sebut apa yang “dimaui” maka Allah akan mengabulkannya. Sesederhana itukah?
Meminta sendiri, sebenarnya, adalah sebuah ekspresi ketertundukan kepada Dzat yang dimintai. Kebiasaan meminta (berdoa) menjadi (per)tanda bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk kembali kepada Ilahi.
Permintaan hanya menjadi unek-unek dalam hati jika tidak diungkapkan dengan suara. Dalam shalat misalnya, disunnahkan untuk mengucapkan (melafalkan) niat dengan suara, selain tentunya niat dalam hati. Hal itu dilakukan untuk menuntun hati dan agar lebih fokus. Artinya, sebuah permintaan dalam konteks ini, harus juga diiringi (dibarengi) dengan aksi-verbal, berupa kata-kata (suara). Dengan demikian terjadi kejelasan, dan karenanya permintaan akan terkabulkan. Apalagi jika permintaan tersebut ditujukan kepada sesama manusia. Hal ini karena sampai sekarang belum ada orang yang dapat membaca perasaan dengan akurat dan ilmiah. So, perlulah kata (atau mungkin juga surat) untuk mengutarakan permintaan.
Kewenangan untuk meminta sering kali disalahgunakan. Karena memiliki otoritas akhirnya selalu menuntut tanpa pernah berfikir sudahkah kewajiban ditunaikan. Mohon maaf, misalnya banyak pejabat yang selalu menuntut fasilitas yang mewah. Padahal, menjadi tanya besar, apakah mereka sudah menunaikan kewajibannya dengan baik?
Meminta tanpa berkata, meniscayakan kualitas kerja. “Kerjakanlah tugas dengan baik sebelum menuntut!” singkatnya. Bekerja harus dilakukan dengan totalitas, yang karenanya tidak perlu memikirkan imbalan. Sebab, ketika kualitas yang dikedepankan maka, ujrah itu menjadi konsekuensi logisnya saja.
Tamsil Menarik
Saat masih menimba ilmu di Madrasah Ibtidaiyah, penulis teringat dengan ceramah salah satu ustadz di desa. Sang kiayi membuat tamsil yang menarik. Seorang anak menginginkan sepeda motor, namun ia memilih tak mengungkapkannya di hadapan orang tuanya. Ia menunjukkan keseriusan dengan belajar lebih giat. Baktinya kepada orang tua pun ditingkatkan.
Sikap anaknya membuat orang tua berpikir sudah sepantasnya anaknya tersebut mendapatkan 'penghargaan' Karena orang tua melihat jarak antara rumah dan sekolah cukup jauh, sangat memungkinkan orang tua akan menghadiahi sang anak dengan sepeda motor.
Kisah di atas adalah sebuah contoh, di mana ketulusan menjadi hal penting dalam kehidupan. Dengan berbuat secara total dan konsisten serta terus menerus, maka Allah akan menjawab doa yang tidak “terkatakan”. Dalam konteks cerita di atas, Allah SWT telah mengabulkan keinginan sang anak melalui orang tuanya, dengan hadiah berupa sepeda motor.
Dan pastinya, hal ini sangat mungkin terjadi dalam kehidupan kita. Ketika kita menginginkan sesuatu (yang lebih) maka mari menunjukan kegigihan dan keseriusan. Sehingga, pada akhirnya kita akan mendapatkan sesuatu yang memang diinginkan.
Sadar Diri
Mari mengingat-ingat. Pernahkah kita berprasangka buruk dengan Sang Pencipta? Ketika keinginan kita yang terucapkan lewat doa belum juga terkabulkan, perasaan apa yang muncul ketika itu? Apakah lazim kita mengira bahwa Allah telah “lari” meninggalkan kita?
Rasanya, kita harus pandai untuk masuk ke dalam diri kita dan mencoba merasa bahwa, “Ternyata kita belum pantas untuk mendapatkan itu semua.” Setidaknya kita merasa bahwa, Tuhan jauh lebih mengerti kesiapan kita terhadap karunia-Nya. Atau bisa jadi kita belum dekat secara emosional dengan-Nya. Kedekatan kita hanya ketika berdoa alias sedang butuh saja. Sementara kewajiban kita sebagai hamba-Nya sering kali terabaikan.
Sadar diri bukanlah sekadar ekspresi pasif yang tidak termanifestasikan dalam tindakan. Sadar akan ketidakpantasan maka yang harus dilakukan adalah berusaha “memantaskan diri”. Usaha memantaskan diri inilah yang menjadikan manusia semakin giat dalam berusaha (ikhtiyâr).
Apalah arti sebuah doa jika pinta itu tidak pernah diiringi dengan usaha? Tentu menjadi sia-sia. Seandainya Allah mengabulkan pinta tanpa usaha, maka bisa jadi itu adalah istidrâj, untuk membuat sang hamba terdiam dari tangis panjang (rengekan) doanya. Dan hati manusia tiada pernah berkata bohong. Kita sebenarnya merasa lebih nyaman ketika doa yang terkabulkan itu juga berasal dari usaha keras kita.
Pinta tanpa Kata, Mungkinkah?
Allah adalah Tuhan Yang Maha Pemurah. Siapapun yang meminta kepada-Nya pasti akan dikabulkan. Jangankan manusia, iblis saja dikabulkan permintaannya oleh Allah. Artinya, manusia lebih berkesempatan untuk mendapatkan perkabulan permintaan (doa) dari Allah SWT.
Namun masih pantaskah, dengan segala kekurangan dalam menghamba, kita terus meminta lebih kepada-Nya? Sudahkah karunia yang kita terima disyukuri dengan peningkatan kualitas takwa? Tidakkah kita merasa bahwa nafas yang terus berhembus, penglihatan yang berfungsi normal, dan juga kesempatan membaca tulisan ini, adalah nikmat-Nya yang mungkin saja masih banyak saudara kita tidak mendapatkannya?
Akan menjadi bijak ketika kita terus berusaha meningkatkan kedekatan kepada Ilahi. Dengan demikian maka kita dapat menyingkap tabir penghalang antara kita dengan-Nya. Itu karena sesungguhnya kita memang dekat (qarîb) dengan Sang Pencipta. Dan yang paling utama, ketika kita berdoa untuk mendapatkan yang lebih, sudahkah kita mendahuluinya dengan memenuhi kewajiban kita sebagai hamba-Nya? Mungkin lebih indah ketika doa kita berbunyi, “Ya Allah, hamba yakin bahwa Engkau selalu memberikan yang terbaik bagi hamba.” Jika demikian halnya, masihkah perlu berkata-kata untuk meminta? Ihdinâ ash-shirâth al-mustaqîm. Wallâhu a'lamu bi ash-shawâb.
Amalan Pelancar Rezeki
Oleh: H Imam Nur Suharno SPd MPdI
Setiap orang pasti mendambakan rezeki yang halal, baik, berkah, dan melimpah. Tentu, dengan rezeki tersebut seseorang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan untuk mendapatkannya, selain dengan bekerja keras secara ikhlas, tuntas dan cerdas, seseorang harus mengetahui amalan-amalan apa saja yang dapat memperlancar turunnya rezeki.
Di antara amalan-amalan tersebut adalah, pertama, memperbanyak istighfar dan bertaubat. “Maka Aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS Nuh [71]: 10-12).
Kedua, meningkatkan ketakwaan. “....Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS At-Thalaq [65]: 2-3).
Ketiga, gemar menyambung tali silaturrahim. “Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturrahim.” (HR Bukhari dan Muslim).
Keempat, gemar mendermakan harta. “Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)”. Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS Saba’[34]: 39).
Kelima, membiasakan ibadah dengan benar. ”Sesungguhnya Allah berfirman, ”Wahai anak Adam, sibukkanlah untuk beribadah kepada-Ku, niscara akan Aku penuhi dadamu dengan kekayaan dan Aku tutup kefakiranmu. Jika tidak kamu lakukan niscaya akan Aku penuhi pada kedua tanganmu kesibukan dan tidak Aku tutup kefakiranmu.” (HR Ahmad).
Keenam, menunaikan ibadah haji dan umrah. ”Lakukanlah haji dan umrah, karena keduanya akan menghapus kefakiran dan dosa sebagaimana api menghilangkan karat besi, emas, dan perak.” (HR Ahmad).
Ketujuh, hijrah di jalan Allah (fisabilillah). ”Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nisa’ [4]: 100).
Kedelapan, tawakkal kepada Allah. ”Seandainya kalian mau bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, pasti Allah akan memberikan rezeki kepadamu sebagaimana burung yang diberi rezeki, pagi-pagi dia dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang.” (HR Ahmad dan Tirmidzi).
Kesembilan, mendawamkan shalat Dhuha. “Barangsiapa shalat Dhuha enam rakaat, ia akan dicukupi kebutuhannya hari itu.” (HR Thabrani dan Abu Darda’).
Kesepuluh, menafkahi penuntut ilmu. Anas bin Malik RA berkata, ”Dulu ada dua orang bersaudara pada masa Rasulullah SAW. Salah seorang menuntut ilmu pada majelis Rasulullah SAW, sedangkan yang lainnya bekerja. Lalu saudaranya yang bekerja itu mengadu kepada Rasulullah SAW (lantaran ia memberi nafkah kepada saudaranya itu). Maka Nabi SAW bersabda, ”Mudah-mudahan engkau diberi rezeki dengan sebab dia.” (HR Tirmidzi). Wallahu a’lam.
Setiap orang pasti mendambakan rezeki yang halal, baik, berkah, dan melimpah. Tentu, dengan rezeki tersebut seseorang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan untuk mendapatkannya, selain dengan bekerja keras secara ikhlas, tuntas dan cerdas, seseorang harus mengetahui amalan-amalan apa saja yang dapat memperlancar turunnya rezeki.
Di antara amalan-amalan tersebut adalah, pertama, memperbanyak istighfar dan bertaubat. “Maka Aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS Nuh [71]: 10-12).
Kedua, meningkatkan ketakwaan. “....Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS At-Thalaq [65]: 2-3).
Ketiga, gemar menyambung tali silaturrahim. “Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturrahim.” (HR Bukhari dan Muslim).
Keempat, gemar mendermakan harta. “Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)”. Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezeki yang sebaik-baiknya.” (QS Saba’[34]: 39).
Kelima, membiasakan ibadah dengan benar. ”Sesungguhnya Allah berfirman, ”Wahai anak Adam, sibukkanlah untuk beribadah kepada-Ku, niscara akan Aku penuhi dadamu dengan kekayaan dan Aku tutup kefakiranmu. Jika tidak kamu lakukan niscaya akan Aku penuhi pada kedua tanganmu kesibukan dan tidak Aku tutup kefakiranmu.” (HR Ahmad).
Keenam, menunaikan ibadah haji dan umrah. ”Lakukanlah haji dan umrah, karena keduanya akan menghapus kefakiran dan dosa sebagaimana api menghilangkan karat besi, emas, dan perak.” (HR Ahmad).
Ketujuh, hijrah di jalan Allah (fisabilillah). ”Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nisa’ [4]: 100).
Kedelapan, tawakkal kepada Allah. ”Seandainya kalian mau bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, pasti Allah akan memberikan rezeki kepadamu sebagaimana burung yang diberi rezeki, pagi-pagi dia dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang.” (HR Ahmad dan Tirmidzi).
Kesembilan, mendawamkan shalat Dhuha. “Barangsiapa shalat Dhuha enam rakaat, ia akan dicukupi kebutuhannya hari itu.” (HR Thabrani dan Abu Darda’).
Kesepuluh, menafkahi penuntut ilmu. Anas bin Malik RA berkata, ”Dulu ada dua orang bersaudara pada masa Rasulullah SAW. Salah seorang menuntut ilmu pada majelis Rasulullah SAW, sedangkan yang lainnya bekerja. Lalu saudaranya yang bekerja itu mengadu kepada Rasulullah SAW (lantaran ia memberi nafkah kepada saudaranya itu). Maka Nabi SAW bersabda, ”Mudah-mudahan engkau diberi rezeki dengan sebab dia.” (HR Tirmidzi). Wallahu a’lam.
Langganan:
Postingan (Atom)