Selasa, 26 November 2013
Manusia Sok Suci
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dedi Efendi
“Janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa” (QS an-Najm [53]: 32).
Janganlah kalian menganggap diri kalian suci dan bersih kerena hakikat diri kalian berada dalam ilmu Allah SWT. Janganlah kalian memuji-muji keunggulan kalian sebab mata manusia tidaklah buta.
Sungguh, tidak ada manusia yang lebih bodoh dibandingkan dengan manusia yang menganggap dirinya bersih dan suci. Tidak ada manusia yang lebih pandai dibandingkan dengan manusia yang menceritakan kebaikan dan kemuliaan dirinya.
Dan, tidak ada manusia yang lebih dungu dibandingkan dengan manusia yang menganggap dirinya tidak pernah salah. Kira-kira demikianlah penjabaran dari pesan Allah SWT pada ayat di atas.
Jika direnungkan, apa yang dimiliki oleh manusia hingga ia layak merasa bangga? Bukankah manusia selalu berada dalam curahan nikmat Allah SWT yang tidak akan mampu ia syukuri?
Bukankah ia memiliki dosa-dosa yang belum tentu diampuni? Bukankah ia memiliki rahasia yang memalukan yang belum terbongkar? Bukankah ia masih memiliki dosa-dosa yang masih ditutupi oleh Allah SWT?
Orang-orang yang bersikap demikian (mengaku diri sok bersih dan suci) tidak sadar dengan hakikat dirinya. Bukankah Allah SWT telah menerima dengan baik amal ibadahnya yang hanya sedikit, kemudian mengampuni dosanya yang sangat besar?
Bukankah yang telah memberikan taufik kepadanya hingga ia mampu berpaling dari jalan yang salah adalah Allah SWT? Bukankah Allah telah menutupi kesalahan dan mengampuni dosanya?
Dengan demikian, layakkah manusia memamerkan serta mengaku-ngaku bersih dan suci di hadapan Allah SWT? Sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya. Sungguh tidak layak jika seseorang yang mengaku sebagai manusia yang bersih dan suci.
Pola pikir yang salah dan keinginan yang buruk telah mengilhami iblis untuk berkata kepada Allah SWT, “Aku lebih baik daripadanya karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah” (QS Shaad [38]: 76).
Sifat sombong telah menyebabkan iblis menjadi makhluk terkutuk sepanjang masa. Bila manusia merasa diri sok suci dan paling bersih maka apa bedanya dia dengan perilaku iblis? Jangan sampai dia ikut terkutuk karenanya.
Sifat Firaun yang merasa dirinya kuat dan mulia telah mendorongnya untuk berkata, “Bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku?” (QS az-Zukhruuf [43] : 51).
Allah SWT lalu menghinakan Firaun. Qarun juga merasa dirinya bersih, kuat, dan mulia sehingga dia berkata, “Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku” (QS al Qashash [28] : 78).
Dengan demikian, tidakkah manusia berusaha mengekang diri dan berhenti dari sikap demikian, kemudian menyerahkan penilaian tersebut kepada Allah SWT? Mengapa manusia masih saja menggunakan lisannya untuk menggambarkan dirinya kepada orang lain?
Padahal, sikap dan perilaku sudah cukup memberikan gambaran tentang dirinya yang sebenarnya. Karena manusia dipandang bukan dari bualan tentang kebaikan dirinya, tetapi dari sikap, perilaku akhlak,dan amalannya.
Jadilah Pemenang. Hayya alal Falah
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Toto Tasmara
Tak perlu berkeluh kesah bila matahari tersungkur menyambut kegelapan. Karena sebentar lagi, engkau akan lihat bintang gemintang bertebaran dan bulan purnama menghangatkan penghuni bumi.
Ketahuilah, kegagalan bukanlah akhir perjalanan. Kegagalan adalah berita langit yang memberikan pelajaran paling berharga untuk menapaki jalan menuju sukses.
Tak perlu takut bila terjatuh. Justru merintihlah penuh rasa getir bila engkau enggan berdiri untuk bangkit.
Ingatlah, Tersandung itu bukanlah jatuh!
Tak ada anak kecil berlari kencang kecuali mengalami jatuh bahkan terluka. Lihatlah dengan penuh haru, betapa pepohonan di lereng–lereng gunung menyambut hembusan angin dengan wajah semringah.
Karena mereka tahu, hanya pepohonan yang diterjang angin badailah yang akan tumbuh kuat mencengkeram tanah dengan akar-akarnya semakin kokoh. Layang–layang naik menjulang karena ia menentang angin, bukan mengikutinya.
Kapal yang bagus bukan untuk ditonton atau ditambatkan di pelabuhan, tetapi karena kemampuannya berlayar menerjang samudera di badai topan.
Allah berbisik di setiap nurani manusia yang tabah: “Apakah kamu mengira, kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah siapa orang–orang yang bersungguh–sungguh di antaramu, dan belum nyata orang–orang yang sabar. “ ( 3 : 142 )
Setiap hari, muazin selalu menyeru dan mengetuk hati nurani dengan seruan hayya 'alal falah, ayo menuju keberuntungan dan kemenangan,
Tapi, renungkan dengan hati yang paling tajam, ternyata seruan hayya ‘alal falah pastilah didahului dengan seruan hayya ‘alas shalah.
Seakan–akan memberi isyarat tidaklah kemenangan akan diraih kecuali engkau bergerak, qiyam ruku dan sujud.
Meneteskan keringat, mengerahkan segala doa untuk merentangkan jembatan ikhtiar, agar setiap hari kita akan masuk dalam rombongan kaum beruntung, para pemenang, al Muflihuun!
Generasi penerima amanah langit, bukanlah manusia kardus yang rapuh tertimpa hujan. Jiwa para pemuda yang berjiwa futuwwah (kestaria ) adalah para pemberani untuk menghadapi tantangan.
Karena hanya sang juara (the champ) yang siap menerima tantangan. Sedang para pecundang, tersingkir dari gelanggang dan dilupakan.
Di sini, di dalam dera dunia yang menderu debu, tidak ada tempat bagi manusia lemah yang terpuruk di balik selimut kemalasan. Di sini hanya ada tempat untuk mereka yang siap tarung menunjukkan taring dengan terang .
Maka, bila mau sejenak bercermin dari para pemenang kehidupan, selalu akan kita jumpai jiwa yang tabah menempuh cita–cita.
Jiwa para pemenang selalu bersuka cita, berdendang riang menghadapi tantangan dan ujian. Jangan bersedih, jangan berkeluh kesah. Karena ratapan tak pernah membuat kehidupan berhenti (Ali Imran: 139).
Ya , pada kamus para pemenang, tidak akan ditemukan kata menyerah apalagi berputus asa. Mereka punya motto, pemenang tak pernah menyerah dan orang yang menyerah tak pernah menang !
Jumat, 22 November 2013
Mozaik Tokoh Islam
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Haedar Nashir
Ahmad Dahlan lahir menjadi sang pencerah. Dia pembaru yang mengguncang kesadaran umat pada zamannya. Lahir di Kauman, Yogyakarta, dan wafat dalam usia muda, 54 tahun.
Karya pembaruan terbesarnya ialah Muhammadiyah yang didirikan pada 18 November 1912. Kini, Muhammadiyah telah mengukir kisah sukses untuk memajukan kehidupan bangsa. Charles Kurtzman bahkan menjulukinya sebagai sosok kebangkitan Islam yang liberal.
Di Jombang, Jawa Timur, lahir tokoh besar Islam yang lain, Hasyim Asy’ari. Tokoh pembaruan dunia pesantren itu memberi teladan akan kebesaran hati yang tulus. Suatu ketika, seseorang mengadu kepada Hasyim Asy’ari tentang pemikiran kontroversial Ahmad Dahlan.
Apa reaksi Hadlratus Syekh? “Ahmad Dahlan punya dalil, jangan memusuhinya dan bantulah dia,” ujar pendiri Nahdlatul Ulama itu. Kiai Hasyim Asy’ari tak pernah menyerang Kiai Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya. Begitu pula sebaliknya.
Kedua tokoh besar umat Islam itu memiliki hubungan dekat. Putra Kauman Yogya dan Jombang itu pernah menimba ilmu agama kepada KH Sholeh Darat di Semarang. Ketika bermukim di Makkah, keduanya bahkan sama-sama berguru kepada tokoh utama pembaru Islam, Syekh Khatib al-Minangkabawi.
Dua ulama besar itu lama hidup di negeri Wahabi dan memiliki jiwa toleransi yang melintasi. Tidak ada sepercik pun sikap arogansi dan ananiyah untuk saling menegasikan hanya karena berbeda paham dan jalur perjuangan yang dipilih.
Ahmad Dahlan juga berkawan dekat dengan Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, tokoh sentral pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ahmad Dahlan beberapa kali diundang ketua Sarekat Islam (SI) itu untuk memberikan pencerahan Islam yang berkemajuan di hadapan anak-anak muda haus ilmu, seperti Sukarno, Semaun, dan kawan-kawan di kediamannya di Paneleh, Surabaya.
Keduanya bahkan pernah turun ke daerah, tabligh bersama di hadapan umat. Di luar itu, Ahmad Dahlan bersahabat dengan tokoh-tokoh Boedi Oetomo, kalangan sosialis, serta berinteraksi baik dengan tokoh agama lain tanpa rasa canggung.
Memajukan kehidupan
Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Tjokroaminoto, serta tokoh lainnya telah memberi uswah hasanah (teladan yang baik) tentang jiwa besar yang tulus, selain visi besar tentang Islam dan kemajuan hidup. Para tokoh Islam pada kemudian hari melanjutkan tradisi ukhuwah dan toleransi itu.
Mas Mansur dari Muhammadiyah dan Wahab Hasjbullah dari Nahdlatul Ulama bergandengan tangan membidani Partai Islam Indonesia (1937) dan Majelis Islam ‘Ala Indonesia (1938) yang menghimpun kekuatan politik Islam. Kedua wadah umat inilah yang kelak menjadi embrio lahirnya Partai Islam Masyumi pada 1946 hingga 1962. Visi utamanya agar umat bersatu dan berjaya secara politik.
Para pemimpin umat yang berjiwa besar sepanjang sejarah itu berpikir dan bekerja keras untuk kemajuan umat dan bangsanya tanpa pamrih. Mereka hidup bersahaja, tetapi pikiran-pikiran cerdas dan jiwa besarnya telah membangkitkan kesadaran umat untuk hidup berkemajuan.
Mobilitas tinggi para tokoh Islam itu bahkan dikhidmatkan untuk mengurus hajat hidup umat dan negerinya hingga lupa mengurus diri dan keluarganya. Jasa mereka untuk bangsa dan negara bahkan luar biasa tanpa mengharapkan balasan, ada di antaranya, Ki Bagus Hadikusuma, Mr Kasman Singodimedjo, dan Prof Kahar Mudzakir—Allahumma yarham—hingga kini belum dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah.
Kini, umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan sejagad hidup pada fase baru abad modern. Masalah dan tantangan mengadang di depan yang sarat beban dan harapan. Umat dan bangsa ini harus dipacu untuk maju di segala bidang kehidupan agar sejajar dan bahkan unggul dibanding umat dan bangsa lain.
Kemajuan menjadi jantung strategis bagi tegaknya peradaban sebagai manifestasi kekhalifahan dan risalah rahmatan lil ‘alamin. Tanpa kemajuan, suatu umat dan bangsa hanya mampu bertahan hidup, bahkan lama-kelamaan punah.
Islam itu sungguh agama yang berkemajuan, din al-hadlarah. Islam mengajarkan agar umatnya menjadi khayra ummah (QS Ali Imran [3]: 110). Menjadi generasi ulul albab (QS Ali Imran [3]: 190-191) dan pandai membaca tanda-tanda zaman (QS Iqra [96]: 1-5).
Islam juga mengajarkan umatnya agar menjadi khalifah di muka bumi (QS al-Baqarah [2]: 30 dan Hud: 60), menjadi pelaku perubahan (QS al-Ahzab: 21), menjadi kelompok yang sadar akan masa depan (QS al-Hasyr: 18). Pendek kata, Islam mengajarkan umatnya hidup jaya di dunia dan bahagia di akhirat.
Nabi Muhammad SAW mengisyaratkan, pada setiap pergantian abad, lahir para mujadid di muka bumi yang memperbaiki agamanya. Nabi dan kaum Muslimin yang dipimpinnya bahkan hadir untuk takhrij min al-zhulumat ila al-nur, mengeluarkan umat manusia dari kegelapan menuju pencerahan.
Nabi akhir zaman itu bahkan mengubah Yatsrib yang semula komunal pedesaan menjadi pusat peradaban yang cerah dan mencerahkan, al-Madinah al-Munawwarah. Dari Madinah itulah, kemudian Islam menguasai dunia dan melahirkan era kejayaan berabad-abad lamanya ketika bangsa-bangsa lain tertidur lelap pada abad kegelapan.
Jihad pemimpin
Kemajuan merupakan keniscayaan bagi umat dan bangsa ini. Meraih kemajuan merupakan jalan jihad yang melintasi. Berlomba dengan bangsa-bangsa lain harus menjadi etos fastabiq al-khayrat.
Di sinilah keniscayaan para tokoh atau pemimpin umat yang sesungguhnya, yakni menjadi lokomotif jihad meraih kenggulan dan kemajuan. Menjadi penggerak pencerahan yang membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan. Bukan sebaliknya, menjadi pemimpin umat yang membelenggu, memperdaya, dan membodohi umat demi mengawetkan kemapanan dirinya.
Umat Islam di negeri ini banyak yang masih rentan secara ekonomi. Mereka berhadapan dengan berbagai tekanan hidup yang sangat berat. Apa yang dapat diperbuat jika umat masih dhuafa-mustadh’afin? Kondisi umat yang ringkih cenderung yadus-sufla (tangan di bawah, penerima) ketimbang yadul-'ala (tangan di atas, pemberi).
Lebih banyak menjadi objek ketimbang subjek. Umat yang lemah tentu tidak akan menjadi pilar peradaban Islam yang berkemajuan. Jangankan untuk menjadi rahmatan lil-‘alamin, bahkan untuk mengurusi dirinya pun tertatih-tatih.
Para tokoh Islam perlu siuman secara berjamaah atas kenyataan hidup umat yang rentan dan ringkih itu. Seraya berpikir dan bekerja keras bagaimana membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan mereka menuju kondisi yang berkeunggulan.
Menjadikan umat mencapai derajat kehidupan yang maju, bersatu, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat di hadapan umat dan bangsa lain. Itulah jihad pencerahan yang berada di pundak para tokoh Islam lintas gerakan di negeri ini. Baik jihad bi al-fikri maupun jihad bi al-fi'li secara total.
Pemimpin umat Islam saat ini niscaya agar progresif dan membumi, plus bekhidmat sepenuh hati. Antarpemimpin umat harus tasamuh dan tanawu’ seraya saling mendekat dan bergandengan tangan setulus hati.
Cerahkan umat dengan pikiran-pikiran jernih yang mencerdaskan kehidupan dan tegaknya akhlak mulia. “Para pemimpin perlu memudakan pemikiran dan mengembangkan Islam progresif,” kata Sukarno. “Jadilah pemimpin umat meneladani Nabi yang tidur di atas alas tikar, tetapi jelajahnya mengguncang tahta Kisra,” tulis Iqbal.
Maka, sungguh ironis manakala masih dijumpai pemimpin umat alergi pikiran-pikiran maju dan tidak membumi pada realitas kehidupan. Apabila mereka lebih banyak bicara ketimbang bekerja. Ketika bargairah tinggi dalam mobilitas masing-masing tanpa menyatukan pikiran dan langkah kolektif yang sinergis.
Para pemimpin politiknya lebih sibuk mengurus diri ketimbang melayani umat. Tatkala para ulamanya terus memproduksi fatwa, pendapat, dan pandangan yang kontraproduktif serta mengandung antmosfir saling menyesatkan.
Apalagi, kalau para tokoh umat itu saling berseberangan dan menunjukkan gestur permusuhan diam-diam. Hasil akhirnya mudah ditebak bahwa korbannya ialah umat. Umat Islam akan tetap hidup tertinggal di zona dhuafa-mustadhafin.
Belajar dari Tanah
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung MA
”Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.'' (QS.22:5)
Dalam Kitab Suci Al-Qur’an, ungkapan mengenai tanah banyak ditemukan dalam berbagai bentuk kata dan makna. Tanah disebut dengan turab (3:59), ath-thiin (7:12), dan al-Ardh (11:61).
Kemudian, arti tanah pun meluas sesuai konteksnya. Misalnya, shalshaalin yakni tanah liat kering berkaitan dengan penciptaan manusia (15:33). Sha’idan juruza yakni tanah tandus sebagai ujian terhadap manusia (18:8). Sha’idan zalaqon yakni tanah yang licin karena basah disirami hujan (18:40).
Juga sha’idan thayyiba yakni tanah yang suci untuk bertayammum (4:43). Ada pula tanah suci yang dihormati di muka bumi yang disebut haraman aaminan (28:57, 29:67), termasuk kesucian Palestina yang disebut al-ardhal muqaddasah (5:21).
Tanah adalah asal manusia dan kelak akan menjadi tanah (20:55,30:20,15:28). Setelah manusia mati dan menjadi tulang belulang akan dibangkitkan kembali (23:82,37:16,53,27:67). Kelak orang kafir akan menyesal dan ingin menjadi tanah lagi (78:40).
Tanah seringkali dikaitkan dengan air hujan. Banyak ayat yang menjelaskan hujan yang membasahi bumi dan kebun-kebun (2:22,265,35:27).
Hujan turun ke bumi yang kering (mati), lalu Allah menyiraminya kemudian tumbuh rerumputan dan pepohonan. Hal ini diumpamakan kebangkitkan manusia di Hari Akhir (6:99,7:57,16:65,35:9).
Dalam Kitab Riyaadush-Shalihiin karya Imam Nawawi, diriwayatkan dari Abu Musa ra, Nabi SAW, bersabda : “Sesungguhnya perumpamaan hidayah dan ilmu yang diberikan Allah SWT kepadaku, seperti hujan yang membasahi permukaan bumi.'' (HR. Muttafaq alaih).
Dalam Hadits ini, ada tiga jenis tanah yaitu : Pertama ; Tanah Yang Subur. Kelompok ini disebut Nabi SAW. dengan naqiyyatun qobilatil maa-a fa anbatatil kala-a wal ’usybal katsiir (tanah subur yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan banyak tumbuhan dan rerumputan).
Ketika musim kemarau datang, lalu langit mendung dan hujan turun menyerap ke dalam tanah. Bibit tanaman tumbuh subur dan berbuah.
Tanah yang seperti ini ibarat orang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT yang senantiasa membuka hati dan pikiran untuk menerima ilmu dan hikmah.
Tiada henti menuntut ilmu (thalabul ’ilmi), mengajarkan dan mengamalkannya. Mereka selalu takut kepada Allah SWT, (58:11,39:9,35:28).
”Kelebihan orang ’alim (berilmu) terhadap ’aabid (ahli ibadah yang tak berilmu) seperti kelebihanku terhadap orang yang paling rendah diantara kalian. Allah, malaikat dan penghuni langit dan bumi, sampai-sampai semut di sarangnya dan ikan di lautan, senantiasa meminta rahmat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia”. (HR.Turmudzi).
Kedua ; Tanah yang Gersang. Kelompok yang kedua yaitu ajaadibu amsakatil maa-a fa nafa’allahu bihan- nasa fa syaribuu wa saqamuu wa zara’uu' (tanah yang gersang namun masih bisa menyimpan cadangan air untuk diminum, mengairi lahan pertanian dan bercocok tanam).
Nabi SAW. menyebut kelompok ini sebagai orang yang tidak bisa mengangkat kepalanya, yakni mengabaikan ilmu dan hidayah yang sudah diterimanya. Mereka adalah orang-orang yang berilmu pengetahuan tapi tidak mengajarkan dan mengamalkannya dengan baik.
Mereka tahu kebenaran dan kebaikan, namun hanya menyampaikan kepada orang lain. Mengajak orang berbuat baik tapi ia sendiri tidak melakukannya (2:44) dan berkata tapi tak berbuat (61:2-3).
Pepatah mengatakan, ilmu yang tidak diamalkan laksana pohon tak berbuah' (al-‘ilmu bilaa ‘amalin kasy-syajarin bilaa tsamarin).
Kelompok manusia seperti ini adalah orang fasik yakni berdosa besar. Hidayah dan ilmunya tidak bisa menerangi jalan hidupnya, meskipun bermanfaat bagi orang lain.
Ketiga ; Tanah yang Tandus. Kelompok ketiga yaitu qii’aanun laa tumsiku maa-an wa laa tunbitu kala-an (tanah tandus yang sama sekali tidak bisa menyimpan air dan menumbuhkan tanaman).
Tanah jenis ketiga diibaratkan orang yang tidak mau menerima hidayah Allah. Mereka tidak mau belajar dan menuntut ilmu, tidak mau meminta dan menerima nasehat apalagi memberi manfaat bagi orang lain.
Ibarat tanah, ia tandus dan berbatu tak bisa ditanami, tak mengandung air untuk dijadikan sumur. Ia hanya hamparan tanah kosong yang tandus dan tak disenangi manusia.
Lahirnya manusia hidup tapi seperti mayit berjalan, karena tidak memberi manfaat bagi orang lain, bahkan untuk dirinya sendiri. Kehadirannya hanya menjadi beban dan ganjala. Merekalah orang-orang kafir dan munafik (2:6-20,9:84).
Begitu indahnya Allah SWT dan Rasul-Nya memberi perumpamaan. Sungguh, nasehat tersebut sangat menyentuh dan menyentil kita.
Seakan Allah SWT dengan bijak dan santun mengingatkan agar kita menjadi kelompok yang pertama, yakni laksana tanah yang subur. Bukan kelompok kedua apalagi yang ketiga.
Kalaupun dalam hidup ini kita sering melakukan dosa, namun jika penyesalan masih muncul itu pertanda akan ada kesempatan melakukan kebaikan.
Nasehat Imam Ibn Athaillah patut menjadi motivasi. ”Ma’shiatun awrosat dzullan waftiqooron khairun min thaa’atin awrosat ’izzan wastikbaaron (kemaksiatan yang menimbulkan rasa hina dan penyesalan, lebih baik dari pada ketaatan yang melahirkan rasa bangga dan kesombongan). Allahu a’lam bish-shawab.
Ketua Yayasan Dinamika Umat dan Dosen Unida Bogor
Selasa, 12 November 2013
Subhanallah, Inilah Keutamaan Sedekah Air
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Moch Hisyam
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Suatu saat ada seorang laki-laki berjalan dan di tengah-tengah perjalanan ia mengalami kehausan. Kemudian, ia mendapatkan sebuah sumur, lalu turun ke dalamnya dan minum darinya. Lantas ia keluar dan tiba-tiba ada seekor anjing yang menjulur-julurkan lidahnya menjilat-jilat tanah karena kehausan, lalu orang itu berkata, ‘Anjing ini benar-benar telah kehausan seperti saya tadi juga kehausan.
Ia pun turun ke sumur lagi dan mengisi sepatunya dengan air sampai penuh. Kemudian, ia menggigit sepatunya sehingga ia naik ke atas dan memberi minum anjing itu. Allah pun memuji perbuatan orang itu dan mengampuni dosanya.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kalau kita menolong binatang juga mendapatkan pahala?” Beliau menjawab, “Menolong setiap makhluk yang mempunyai limpa yang segar itu mendatangkan pahala.”
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dikatakan, “Kemudian Allah memuji perbuatan orang itu dan memberi ampunan kepadanya serta memasukkannya ke dalam surga.” (Muttafaq ‘Alaih)
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim lainnya disebutkan, “Suatu saat ada seekor anjing yang berputar-putar di sekitar sumur yang hampir mati karena kehausan. Kemudian, ada seorang pelacur dari Bani Israil yang melihat anjing itu, lalu ia melepas sepatunya dan mengambilkan air untuk anjing itu, dan ia pun meminumkannya kepada anjing itu. Maka, diampunilah dosa orang itu lantaran perbuatannya itu.” (Bukhari dan Muslim)
Banyak hikmah yang dapat kita ambil dari kisah-kisah di atas. Salah satunya adalah keutamaan memberikan atau bersedekah air kepada yang membutuhkan, baik kepada golongan manusia maupun binatang. Itu karena mengalirkan air kepada yang membutuhkannya, baik terhadap manusia maupun makhluk lainnya, merupakan suatau kewajiban. Perilaku tersebut merupakan amal utama yang bisa mendekatkan seorang manusia kepada Allah SWT.
Selain itu, dalam hidupnya, manusia maupun makhluk lainnya sangat bergantung pada ketersediaan air. Air merupakan salah satu sumber kehidupan bagi manusia dan makhluk lainnya. Tanpa adanya air, sulit bagi makhluk hidup, terutama manusia, untuk dapat bertahan hidup. Oleh karena itu, memberikan air sama dengan memberikan kehidupan bagi orang lain dan menjaga keberlangsungan hidupnya. Oleh karena itulah, memberikan atau bersedekah air merupakan amal utama.
Dalam suatu kesempatan, Saad bin Ubadah RA bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sedekah apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Memberi air.” (Shahih Abu Daud). Oleh karena itu, hendaknya kita berupaya untuk memberi atau bersedekah air kepada orang atau makhluk lain yang membutuhkannya. Sebab, ketika kita melakukan hal ini berarti kita telah melakukan amal utama yang akan mendatangkan pahala, pengampunan dosa, dan jalan meraih surga.
Memberi atau bersedekah air dapat diwujudkan dengan memberikan air minum secara langsung kepada orang yang kehausan ataupun kepada binatang lain yang sedang mengalami kehausan. Selain itu, bersedekah pun dapat diwujudkan dengan membangun sumber air atau mengalirkan air ke tempat-tempat yang sulit atau kekurangan air sehingga masyarakat atau lingkungan sekitarnya merasakan kemudahan mendapatkan air, baik untuk minum maupun untuk memenuhi kebutuhan lainnya.
Wallahu’alam.
Jumat, 08 November 2013
Hijrah Sejati: Momentum Perbaikan Akhlak
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ina Salma Febriany
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS : At Taubah (9):36).
Dzulhijjah telah pergi, Muharram pun tiba. Muharram, sebagai bulan yang ditetapkan sebagai awal pergantian tahun hijriyah dilakukan pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, yang menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw dari Mekah ke Madinah. Kalender Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan, dengan jumlah hari berkisar 29-30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman Allah pada surah at-Taubah ayat 36 di atas.
Sebelumnya, orang Arab pra-kerasulan Rasulullah Muhammad SAW telah menggunakan bulan-bulan dalam kalender hijriyah ini. Hanya saja mereka tidak menetapkan ini tahun berapa, tetapi tahun apa. Misalnya saja kita mengetahui bahwa kelahiran Rasulullah SAW adalah pada tahun gajah. Abu Musa Al-Asyári sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu itu.
Mereka adalah Utsman bin Affan r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Sa’ad bin Abi Waqqas r.a., Zubair bin Awwam r.a., dan Thalhah bin Ubaidillah r.a. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam.
Ada yang mengusulkan berdasarkan milad Rasulullah saw. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad saw menjadi Rasul. Dan yang diterima adalah usul dari Ali bin Abi Thalib r.a. yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah SAW dari Makka ke Yatstrib (Madinah).
Maka semuanya setuju dengan usulan Ali r.a. dan ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya Rasulullah saw. Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriyah ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku pada masa itu di wilayah Arab.
Sejarah hijrah memang tak terlepas dari berpindahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah, sesuai dengan perintah Allah untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Namun, hijrah era kekinian dipahami sebagai bentuk transformasi global di seluruh lapisan masyarakat.
Jika kita mengamati pemberitaan akhir-akhir ini, maka keadaan yang memiriskan ialah kasus adegan seks yang menimpa generasi muda. Mereka, yang diharapkan menjadi ‘
dzurriyah’ yang memiliki iman, takwa, serta kecerdasan yang membanggakan justru sebaliknya. Rasa malu tak terhingga dirasa oleh guru, kepala sekolah, kawan-kawan, terlebih orang tua.
Menanggapi kasus ini, ada sebagian kalangan yang menyalahkan teknologi, ada pula yang menuding orangtua, karena kurangnya pengawasan. Lebih dari itu, masa remaja adalah masa pencarian jati diri. Tentu semua pihak berpengaruh dalam masa-masa ini. Dampak negatif dan positif dari teknologi pasti berpengaruh jika kurangnya kontrol dari segenap pihak.
Oleh sebab itu, adanya perhatian khusus dari orangtua, pembekalan dari para guru, serta kesadaran spiritual dan sosial siswa menentukan sikap anak-anak remaja kita saat ini.
Sejatinya, pemaknaan hijrah sangatlah dekat, tak perlu mengukur jarak antara Makkah-Madinah. Cukuplah kesadaran pribadi sebagai ukuran, bahwa hijrah sejati ialah perpindahan dinamis—meminimalisasi akhlak madzmumah menuju akhlak mahmudah.
Wallahu a'lam bish shawwaab..
Tahun Baru Hijriah 1435 H
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr HM Harry Mulya Zein
Tidak terasa beberapa hari lagi kita umat islam akan memasuki tahun baru Hijriah 1435 H. Rasanya peringatan tahun baru hijriah ini kurang diingat, khususnya bagi umat muslim. Sesungguhnya momentum pergantian tahun ini sudah sepantasnya memberikan makna semangat baru untuk berbuat amal kebajikan, untuk bekal menghadap sang Ilahi.
Selain itu peringatan tahun baru ini memberikan keyakinan bahwa waktu merupakan merefleksikan diri dalam kehidupan dunia yang akan dipertangungjawabkan di akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-Quran yang berbunyi artinya, “Adalah orang yang merugi jika hari ini sama dengan hari kemarin dan hari esok lebih buruk dengan hari ini. Dan kamu akan termasuk kaum yang beruntung jika hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.”
Pemahaman itu memberikan keyakinan bagi kita bahwa waktu bukan sekadar kumpulan angka-angka yang tertera pada jarum jam atau di kalender. Tetapi waktu adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT, Sang Pemilik Zaman.
Memaknai pergantian tahun itu sebagai momentum perubahan budaya secara individual (ibda’ binafsih), keluarga dan masyarakat yang selama tahun sebelumnya mungkin masih ada kekurangan atau kealpaan, diarah lebih baik di masa mendatang. Perubahan ini bisa terjadi apabila setiap jiwa umat Islam mampu ‘menghijrahkan’ seluruh kekuatannya (pemikiran dan tindakannya) bagi kemajuan dalam kehidupan secara pribadi.
Perubahan yang dimulai dari rumah tangga dan dilanjutkan melalui lembaga pendidikan akan membawa dampak positif sejalan dengan perkembangan. Semua itu harus dimulai dari sekarang sebagai menciptakan generasi muda Islami yang mampu melakukan perubahan dalam kehidupan. Sebab sudah digariskan dalam Islam bahwa“Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang akan mengubahnya”.
Karena itu ada tidaknya perubahan dalam kehidupan seseorang atau kelompok masyarakat sangat tergantung pada individu atau kelompok tersebut. Itu langkah minimal yang sejatinya dilakukan setiap muslim dalam memaknai pergantian tahun ini.
Intinya, Islam juga mengajarkan, bahwa hari-hari yang dilalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Setiap Muslim dituntut untuk selalu berprestasi, yaitu menjadi lebih baik dari hari ke hari, begitu seterusnya.
Dengan keyakinan itu, maka orientasi kerja-kerja keduniaan yang selama ini kita lakukan patut kiranya di tahun 1435 H kita rubah berdasarkan pada nilai-nilai kebajikan (ma’rufat) dan membersihkannya dari pelbagai kejahatan (munkarat).
Dalam hal ini, ma’rufat mencakup segala kebajikan (virtues) dan seluruh kebaikan (good qualities) yang diterima oleh manusia sepanjang masa, sedangkan munkaratmenunjuk pada segenap kejahatan dan keburukuan yang selalu bertentangan dengan nurani manusia.
Nilai kebaikan bisa diejawantahakn dengan bekerja berprinsip nilai kejujuran dan profesionalitas. Sikap jujur sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW agar dapat berperilaku yang baik dengan “menjauhi dusta karena dusta akan membawa kepada dosa dan dosa membawamu ke neraka. Biasakanlah berkata jujur karena jujur akan membawamu kepada kebajikan dan membawamu ke surga.” (HR Bukhari dan Muslim).
Pribadi yang jujur merupakan roh kehidupan yang teramat fundamental, karena setiap penyimpangan dari prinsip kejujuran pada hakikatnya akan berbenturan dengan suara hati nurani. Seperti contoh, para penyelenggara negara pada setiap aktivitas dalam rangka melayani masyarakat tentunya tidak menanggalkan prinsip kejujuran.
Dengan pemahaman itu, maka sepatutnya pergantian tahun baru Hijriah 1435 ini kita jadikan sebagai momentum mengubah diri menuju perubahan dalam segala bidang sebagai upaya penyatuan umat Islam Indonesia. Momentum hijriyah ini dinilai tepat untuk mengukit prestasi secara individu serta kelompok.
Senin, 04 November 2013
Orang Terakhir yang Masuk Surga
A+ | Reset | A-
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh HM Rizal Fadillah
Surga nanti adalah tempat kembali yang menyenangkan, diberikan kepada hamba yang beriman, serta tempat berkumpul orang-orang yang banyak beramal saleh. Keluarga juga akan ber-reuni di surga.
“(Yaitu) Surga ‘Adn mereka masuk ke dalamnya bersama dengan orang yang saleh dari bapak ibu dan nenek moyangnya, suami-istrinya, serta anak cucu dan keturunannya. Dan para Malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu. (Sambil mengucapkan), “Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu”. Maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu. (QS AR Ra’du 23-24.)
Sementara itu neraka adalah tempat yang buruk. “Dan orang-orang yang melanggar janji kepada Allah setelah diikrarkan, dan memutuskan apa yang diprerintahkan Allah untuk disambungkan, dan berbuat kerusakan di muka bumi, mereka memperoleh kutukan dan tempat kediaman yang buruk (Neraka Jahannam)” (QS Ar Ra’du 25).
Seorang ahli zuhud kenamaan Ibnu as Sammak mengunjungi saudaranya yang ingin meminta nasihat kepadanya. “Wahai Ibnu as Sammak, kedudukan nasihat bagi telinga ibarat tabib bagi orang sakit, maka siramilah aku sedikit saja dengan nasehatmu”.
Dengan suara datar Ibnu as Saammak kemudian berkata, “Tidakkah engkau khawatir jika kesalahan-kesalahanmu tidak akan dihapus dan dosa-dosamu tidak diampuni ? Lalu di hadapanmu ada kegelapan, kengerian, dan kepedihan. Yang pertama kegelapan alam kubur, kemudian kedahsyatan alam mahsyar, kemudian kegetiran alam penantian, kemudian ketegangan alam titian dan timbangan amal, kemudian putuslah harapan, kemudian Yang Maha Raja dan Yang Mahatinggi memberi ketetapan !”
Orang itu bertanya, “Kemudian apa setelah itu ?”
Ibnu as Sammak meneruskan, “Memikul beban amal sendiri dan masuk neraka. Yang lebih menyiksa dari itu adalah celaan dan kutukan Dzat Yang Maha Raja, Yang Mahatinggi!”
Dalam riwayat diterangkan bahwa di samping tentang keabadian neraka juga ada proses pembersihan yang kemudian membawanya ia ke dalam surga. Allah Yang Maha Penyayang menunjukkan kemurahan kepada hamba-hamba-Nya yang meski berdosa namun tetap diberi rahmat pada akhirnya.
Dari Abdullah Ibnu Mas’ud r.a katanya, “Bersabda Rosulullah SAW : Saya mengetahui orang yang terakhir keluar dari neraka dan terakhir pula masuk surga, yaitu seorang laki-laki yang keluar dari api neraka sambil merangkak.
Berkata Allah Ta’ala kepadanya: “ Pergilah engkau masuk surga !”
Orang itu pun segera berjalan. Sesampai di sana dilihatnya seolah-olah surga telah penuh sesak. Orang itu lalu kembali dan berkata : “Ya Allah ! hamba dapati surga itu telah penuh.”
Berkata Allah Ta’ala kepadanya, “Pergilah masuk !“ Orang itu kembali lagi dan dilihatnya masih dalam keadaan penuh, karena itu ia kembali pula menghadap Allah mencerirakan keadaannya seperti semula.
Demikianlah orang itu pulang pergi berkali-kali antara surga dan hadirat Allah Ta’ala. Akhirnya Allah berkata kepadanya : “Masuklah engkau ke dalam surga ini. Untukmu seluas dunia dan ditambah sepuluh kali seluas dunia !”
Maka berkata orang itu , “Apakah Tuhanku mengejek hamba, padahal Tuhanku adalah Raja ?”
Kata Abdullah, “Saya lihat Rasulullah SAW tertawa sehingga tampak gerahamnya seraya berkata,“Orang itulah yang dikatakan penghuni surga yang terendah derajatnya”. (HR Muslim).
Dalam Hadis Muslim yang lain dari Abu Dzar ra katanya, ”Bersabda Rasulullah SAW : saya mengetahui orang yang terakhir keluar dari api neraka dan terakhir pula masuk surga yaitu seorang laki-laki yang dibawa di hari kiamat lalu dikatakan dihadapannya : ”Perlihatkanlah kepadanya dosa-dosa yang ringan dan dikatakan kepadanya ‘Pada hari anu dan hari-hari anu engkau telah berbuat ini berbuat itu’ Jawab orang itu ‘Benar !”
Dan tidaklah ia dapat mangkir, sedangkan dia khawatir akan diperlihatkan dosa-dosa yang berat berat. Maka dikatakan kepadanya :”Perbuatanmu yang buruk telah diganti dengan kebajikan”.
Maka berkatalah orang itu, “Ya Allah! hamba telah berbuat ini dan itu yang belum diperlihatkan!” Kata Abu Dzar, “Kulihat Rasulullah SAW tertawa sehingga tampak gerahamnya”.
Orang terakhir yang masuk surga adalah orang terselamatkan bukan karena amalnya, tapi karena anugerah Allah. Happy ending mewarnai akhir episode dari dinamika kehidupan manusia yang berdosa, bodoh, lugu, dan banyak membantah.
Tersirami oleh air kesejukkan Allah yang Maha Pemurah. Rasulullah SAW pun tertawa hingga tampak gerahamnya. Gembira melihat umatnya selamat.
Mahalnya Nilai Kejujuran
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr HM Harry Mulya Zein
Kejujuran terkesan sudah menjadi sesuatu yang mahal di negeri ini. Berbuat dan berkata dusta (berbohong) terkesan menjadi suatu hal yang lumrah. Kedustaan seakan diumbar tanpa memiliki rasa bersalah dan takut akan ganjaran dosa.
Individu, masyarakat dan bangsa yang sudah tidak mengutamakan kejujuran dipastikan kehancuran akan mudah menghampiri kita. Kejujuran adalah dasar dari kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa.
Kejujuran adalah prasyarat utama pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang berlandaskan prinsip saling percaya, kasih sayang, dan tolong menolong. Kejujuran adalah inti dari akhlak yang merupakan salah satu tujuan dari diutusnya Rasulullah oleh Allah SWT.
Hakikat kejujuran ialah mengatakan sesuatu dengan jujur di tempat (situasi) yang tidak ada sesuatu pun yang menjadi penyelamat kecuali kedustaan. Secara psikologis, kejujuran akan mendatangkan ketentraman jiwa. Sebaliknya seseorang yang tidak jujur pasti tega melakukan perbuatan serta menutupi kebenaran.
Kedustaan dan ketidakjujuran akan selalu meresahkan masyarakat, yang pada gilirannnya akan mengancam stabilitas sosial. Ketidakjujuran selalu akan melahirkan kepada ketidakadilan, disebabkan karena orang yang tidak jujur akan tega menginjak-injak keadilan demi keuntungan material pribadi atau golongannya saja.
Pribadi yang jujur merupakan roh kehidupan yang teramat fundamental, karena setiap penyimpangan dari prinsip kejujuran pada hakikatnya akan berbenturan dengan suara hati nurani. Seperti contoh, para penyelenggara Negara pada setiap aktivitas dalam rangka melayani masyarakat tentunya tidak menanggalkan prinsip kejujuran.
Kejujuran juga akan melahirkan penghargaan terhadap hak hak orang lain. Sebab kejujuran sebagaimana yang telah kita uraikan diatas juga akan menumbuhkembangkan kecintaan terhadap kebenaran, keadilan dan kedisiplinan. Namun kejujuran tidak akan datang begitu saja, tetapi harus diperjuangkan dengan sabar dan sungguh-sungguh. Seorang ulama menegaskan bahwa ada beberapa faktor yang dapat membantu kita dalam mencoba meraih kejujuran.
Pertama, akal yang wajib memandang buruk kedustaan apalagi jika kedustaan itu sama sekali tidak mendatangkan kemanfaatan dan tidak mencegah bahaya.
Kedua, agama dan syariat yang memerintahkan untuk mengikuti kebenaran dan kejujuran serta memperingatkan bahaya kedustaan.
Ketiga, kedewasaaan diri kita yang menjadi salah satu faktor pencegah kedustaan dan kekuatan pendorong menuju kebenaran.
Keempat, memperolah kepercayaan dan penghargaan masyarakat. Ada sebuah kata mutiara; “Jadikanlah kebenaran (al Haq) sebagai tempat kembalimu (rujukanmu), kejujuran segai tempat pemberangkatanmu, sebab kebenaran adalah penolong paling kuat dan kejujuran adalah pendamping utama”.
Terakhir, ada baiknya kita menyimak pidato Abu Bakar ash-Shiddiq ra. yang dilansir dari kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, bab Masa Khulafaur Rasyidin, karya Ibnu Katsir. Selepas dibaiat, Abu Bakar mulai berpidato setelah memuji Allah Pemilik segala pujian, ‘Amma ba’du, “Para hadirin sekalian, sesungguhnya aku telah terpilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik. Maka jika aku berbuat kebaikan bantulah aku. Dan jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sementara dusta adalah suatu pengkhianatan.”
Karena itu, sejatinya pribadi Muslim untuk terus membangun kejujuran dalam melakukan semua aktivitas.
Tahun Baru Hijriah 1435 H
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr HM Harry Mulya Zein
Tidak terasa beberapa hari lagi kita umat islam akan memasuki tahun baru Hijriah 1435 H. Rasanya peringatan tahun baru hijriah ini kurang diingat, khususnya bagi umat muslim. Sesungguhnya momentum pergantian tahun ini sudah sepantasnya memberikan makna semangat baru untuk berbuat amal kebajikan, untuk bekal menghadap sang Ilahi.
Selain itu peringatan tahun baru ini memberikan keyakinan bahwa waktu merupakan merefleksikan diri dalam kehidupan dunia yang akan dipertangungjawabkan di akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah SWT di dalam Al-Quran yang berbunyi artinya, “Adalah orang yang merugi jika hari ini sama dengan hari kemarin dan hari esok lebih buruk dengan hari ini. Dan kamu akan termasuk kaum yang beruntung jika hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.”
Pemahaman itu memberikan keyakinan bagi kita bahwa waktu bukan sekadar kumpulan angka-angka yang tertera pada jarum jam atau di kalender. Tetapi waktu adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT, Sang Pemilik Zaman.
Memaknai pergantian tahun itu sebagai momentum perubahan budaya secara individual (ibda’ binafsih), keluarga dan masyarakat yang selama tahun sebelumnya mungkin masih ada kekurangan atau kealpaan, diarah lebih baik di masa mendatang. Perubahan ini bisa terjadi apabila setiap jiwa umat Islam mampu ‘menghijrahkan’ seluruh kekuatannya (pemikiran dan tindakannya) bagi kemajuan dalam kehidupan secara pribadi.
Perubahan yang dimulai dari rumah tangga dan dilanjutkan melalui lembaga pendidikan akan membawa dampak positif sejalan dengan perkembangan. Semua itu harus dimulai dari sekarang sebagai menciptakan generasi muda Islami yang mampu melakukan perubahan dalam kehidupan. Sebab sudah digariskan dalam Islam bahwa“Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang akan mengubahnya”.
Karena itu ada tidaknya perubahan dalam kehidupan seseorang atau kelompok masyarakat sangat tergantung pada individu atau kelompok tersebut. Itu langkah minimal yang sejatinya dilakukan setiap muslim dalam memaknai pergantian tahun ini.
Intinya, Islam juga mengajarkan, bahwa hari-hari yang dilalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Setiap Muslim dituntut untuk selalu berprestasi, yaitu menjadi lebih baik dari hari ke hari, begitu seterusnya.
Dengan keyakinan itu, maka orientasi kerja-kerja keduniaan yang selama ini kita lakukan patut kiranya di tahun 1435 H kita rubah berdasarkan pada nilai-nilai kebajikan (ma’rufat) dan membersihkannya dari pelbagai kejahatan (munkarat).
Dalam hal ini, ma’rufat mencakup segala kebajikan (virtues) dan seluruh kebaikan (good qualities) yang diterima oleh manusia sepanjang masa, sedangkan munkaratmenunjuk pada segenap kejahatan dan keburukuan yang selalu bertentangan dengan nurani manusia.
Nilai kebaikan bisa diejawantahakn dengan bekerja berprinsip nilai kejujuran dan profesionalitas. Sikap jujur sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW agar dapat berperilaku yang baik dengan “menjauhi dusta karena dusta akan membawa kepada dosa dan dosa membawamu ke neraka. Biasakanlah berkata jujur karena jujur akan membawamu kepada kebajikan dan membawamu ke surga.” (HR Bukhari dan Muslim).
Pribadi yang jujur merupakan roh kehidupan yang teramat fundamental, karena setiap penyimpangan dari prinsip kejujuran pada hakikatnya akan berbenturan dengan suara hati nurani. Seperti contoh, para penyelenggara negara pada setiap aktivitas dalam rangka melayani masyarakat tentunya tidak menanggalkan prinsip kejujuran.
Dengan pemahaman itu, maka sepatutnya pergantian tahun baru Hijriah 1435 ini kita jadikan sebagai momentum mengubah diri menuju perubahan dalam segala bidang sebagai upaya penyatuan umat Islam Indonesia. Momentum hijriyah ini dinilai tepat untuk mengukit prestasi secara individu serta kelompok
Langganan:
Postingan (Atom)