Oleh Arsyad Abrar
Gejala-gejala alam seperti gempa bumi, banjir, dan tsunami diartikan sebagian besar oleh kita sebagai petaka. Musibah atau petaka diibaratkan sebagai tamu yang kehadirannya sama sekali tidak pernah diharapkan. Dalam Aquran kita temukan banyak ayat yang membicarakan fenomena alam seperti itu.
Di antaranya, ayat-ayat yang bercerita perihal hari kiamat. Seperti firman Allah dalam QS al-Zalzalah [99]: 1-2, "Apabila bumi itu diguncang dengan guncangan yang dahsyat, dan bumi juga pada waktu itu mengeluarkan segala apa yang ada di dalamnya." Ayat tersebut secara umum menceritakan ada dan betapa dahsyatnya gempa bumi yang terjadi di penghujung hari akhir nanti, di samping juga mengabarkan kepada kita bahwa gempa itu
terjadi karena kuasa-Nya.
Bencana yang tidak kalah dahsyatnya selain gempa bumi adalah tsunami. Dalam Alquran telah diceritakan bahwa petaka ini telah menimpa kaum Nabi Nuh AS dengan bentuk banjir air bah yang sangat besar. Hal itu terjadi tatkala umatnya telah berperilaku melampaui batas dan tidak mau mengikuti apa yang telah Allah ajarkan melalui nabi-Nya.
Bila kita kembalikan kepada kehidupan kita sekarang ini, petaka atau musibah yang terjadi sering kali membuat kita takut dan menimbulkan kegelisahan yang berlebihan. Bahkan, melahirkan suatu penyakit yang membuat kita lupa bahwa itu semua terjadi karena izin dan kehendak Allah SWT.
Musibah, apa pun bentuknya, itu adalah ujian bagi orang-orang beriman yang datang dari Allah. Sejauh mana seorang hamba mampu bersabar hidup pascaterjadinya bencana. Allah SWT berfirman dalam QS al-Baqarah [2]: 155, "Sungguh kami (Allah) akan benar-benar menguji kamu dengan sesuatu yang berupa ketakutan dan kelaparan dan kekurangan dari harta benda, kehilangan jiwa (orang yang kamu sayang), dan buah-buahan dan kabar gembiralah bagi orang-orang yang sabar."
Namun, musibah ini tentunya berbeda bagi orang-orang yang ingkar dan kerap melakukan maksiat kepada Allah. Musibah bagi mereka adalah teguran sekaligus azab sebagai wujud kezaliman yang telah mereka lakukan. Karena kefasikan itulah Allah mengazab mereka. Hal ini dipertegas oleh firman Allah SWT dalam QS al-Isra [17]: 16, "Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila merajalela dan melakukan kedurhakaan (di negeri itu), maka berlakulah perkataan (hukuman) kami, kemudian kami benar-benar binasakan negeri itu."
Cepat tanggap dalam menghadapi berbagai macam persoalan kehidupan adalah penting, apalagi jika itu berkaitan dengan musibah atau bencana yang menelan banyak korban. Pada saat itulah nurani kita sebagai manusia dipanggil untuk berbagi dan ikut merasakan penderitaan saudara kita yang sedang dalam kesulitan. Tidak sekadar menonton pilunya tangisan mereka, tetapi kita mesti mampu membaca pesan yang tersirat di balik bencana.
Membaca bencana bagi rakyat adalah kesiapan untuk saling berbagi mengurangi penderitaan yang ada. Membaca bencana oleh para pemuka agama adalah menghibur mereka dari kesedihan. Sedangkan membaca bencana bagi seorang pemimpin adalah sejauh mana ia mampu membangun dan menyediakan tempat yang layak bagi para korban, mencegah terjadinya banyak korban dengan evakuasi sedini mungkin. Wallahu a'lam.
Redaktur: Siwi Tri Puji B
Tidak ada komentar:
Posting Komentar