Rabu, 30 November 2011

Belajar Kesederhanaan dari Kiai Rasimin

Oleh Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA


Kiai Ahmad Muhammad Rasimin tinggal di Kampung Jaha, empat kilometer selatan Anyer. Beliau memimpin pesantren salaf. Kehidupannya sangat sederhana. Rumahnya tidak lebih indah dari bilik-bilik para santri. Tak terlihat ada kendaraan bermotor di rumahnya, apalagi mobil.

Para santrinya tinggal di gubuk-gubuk bambu. Antara santri laki-laki dan perempuan dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Para santri laki-laki mandi di kolam yang dialiri oleh sungai tadi, sedangkan para santri perempuan mandi di kamar mandi milik masjid kampung.

Beberapa tahun silam, saya diminta berkhotbah di masjid kampung itu. Setelah itu, kami makan siang di rumah Kiai Rasimin. Sebelum berkhotbah, saya diminta untuk berceramah selama 20 menit dengan menggunakan pengeras suara. Kemudian, saat berkhotbah, saya diminta untuk membaca teks khotbah yang hanya berbahasa Arab dan pengeras suara dimatikan. Teks khotbah kami baca kurang lebih lima menit, sesudah itu kami melaksanakan shalat Jumat.

Kiai Rasimin sangat tawadu. Suatu hari, beliau diminta oleh wali kota Cilegon untuk menunaikan ibadah haji karena belum berhaji. Waktu itu, biaya untuk beribadah haji sebesar tujuh juta rupiah. Namun, tawaran itu ditolak dengan alasan beliau belum wajib berhaji karena belum mampu.

Beliau memberikan solusi agar uang untuk berhaji itu digunakan untuk membangun jembatan yang menghubungkan antara kampung bagian timur dan barat. Sehingga, manfaatnya lebih besar dan pahalanya akan terus melimpah karena ekonomi kampung itu menjadi semarak. Sedangkan jika berhaji untuk beliau, pahalanya kecil. Saran itu pun diterima oleh wali kota Cilegon.

Ketika berkunjung ke Kampung Jaha beberapa waktu lalu, jembatan itu sudah lama dibangun. Dan, Kiai Rasimin masih tetap belum berhaji. Kami sungguh sangat mengagumi sikap dan perilaku Kiai Rasimin. Beliau lebih mendahulukan kepentingan umat daripada kepentingannya sendiri. Barangkali perilaku di negeri kita yang seperti Kiai Rasimin ini jarang dijumpai. Kebanyakan oknumoknum kiai di Indonesia justru bersikap sebaliknya, mereka merengekrengek kepada penguasa untuk dapat diberangkatkan ke Makkah.

Beberapa tahun lalu, saat diselenggarakannya Seminar Zakat di Padang, Sekretaris Dewan Fatwa Suriah, Prof Dr Ala al-Din al-Za'tari, menceritakan kehidupan seorang syekh. Suatu hari, syekh ini kedatangan tamu yang bermaksud meminta restu untuk berhaji yang kedua kali. Syekh memberikan saran agar biaya berhaji kedua itu digunakan untuk membantu anak yatim. Sang tamu pun menuruti nasihatnya.

Tahun berikutnya, sang tamu datang lagi, dan syekh memberikan saran agar keinginannya untuk berhaji yang kedua diberikan untuk membantu janda-janda miskin di kampungnya. Ia pun kembali ke kampungnya dan menyerahkan uangnya untuk janda-janda miskin, sebagaimana saran syekh.

Setahun kemudian, sang tamu datang lagi dan menyampaikan keinginan yang sama untuk berhaji. Lagi-lagi, syekh ini memberikan saran agar uangnya diberikan kepada orang fakir yang tak punya rumah di kampungnya. Karena menurut syekh, membantu orang yang membutuhkan (miskin), jauh lebih bermanfaat dibandingkan berhaji berulang-ulang.

Tulisan ini dimuat di Republika cetak dengan judul Kesederhanaan Kiai Rasimin
Redaktur: Siwi Tri Puji B

Tidak ada komentar:

Posting Komentar