Jumat, 31 Agustus 2012
Tarawih, Bukan Pada Hitungan Rakaat
S
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Tarawih merupakan shalat malam (qiyamul lail) di bulan Ramadhan. Tarawih berasal dari kata raahah yang berarti bersantai setelah empat rakaat.
Artinya shalat ini dapat dikerjakan tidak sekaligus dalam satu rangkaian, namun dapat disela-sela dengan kegiatan lain di luar shalat setelah menyelesaikan empat rakaat, empat rakaat.
Rasulullah SAW tercatat tiga kali melakukan shalat tarawih di masjid yang diikuti oleh para sahabat pada waktu lewat tengah malam. Khawatir shalat tarawih diwajibkan karena makin banyaknya sahabat yang turut berjamaah, pada malam ketiga Rasulullah SAW lalu menarik diri dari shalat tarawih berjamaah dan melakukannya sendiri di rumah.
Pada saat selesai shalat Subuh beberapa hari kemudian beliau menyampaikan konfirmasi, “Sesungguhnya aku tidak khawatir atas yang kalian lakukan pada malam-malam lalu, aku hanya takut jika kegiatan itu (tarawih) diwajibkan yang menyebabkan kalian tidak mampu melakukannya.” (HR. Bukhari).
Pada masa kekhalifahannya, Umar bin Khathab memerintahkan shalat tarawih berjamaah dengan imam Ubay bin Ka’ab sebanyak dua puluh tiga rakaat dan bacaan sekitar 200 ayat, setelah sekian lama para sahabat shalat sendiri-sendiri.
Kegiatan tersebut didasari oleh kemaslahatan bersama akan persatuan dan kesatuan kaum Muslim. Menyaksikan indahnya tarawih berjamaah lewat tengah malam, Umar bin Khathab berkata, "Ini adalah bid'ah yang paling nikmat."
Pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, kegiatan shalat tarawih ditambah hingga 33 rakaat dengan alasan perbedaan kualitas ibadah kita dengan Rasulullah SAW. Namun, jumlah rakaat tarawih yang terakhir ini hanya masyhur pada zaman itu dan tidak popular hingga zaman kita saat ini.
Perbedaan jumlah rakaat tarawih disebabkan oleh tidak adanya batasan jumlah rakaat saat Rasulullah SAW melakukannya dalam tiga malam itu. Imam As-Syuyuthi menukil pernyataan Imam Al Taj As-Subhi berkata, “Tidak adanya batasan rakaat karena tarawih adalah shalat sunah. Yang mau sedikit (rakaatnya) silakan, yang mau banyak juga dipersilahkan.”
Di banyak negara, kita menjumpai kaum Muslimin melaksanakan shalat tarawih dengan delapan atau dua puluh rakaat. Di banyak masjid Maroko, shalat tarawih dua puluh rakaat dipecah menjadi dua bagian, yaitu setelah shalat Isya dengan delapan rakaat dan satu jam sebelum Subuh dengan dua belas rakaat plus tiga witir.
Di Indonesia, sekitar dua puluh tahun lalu, rakaat tarawih dapat dipakai untuk mengidentifikasi seseorang apakah dia NU atau Muhammadiyah. Jika shalat tarawihnya dua puluh rakaat, kita akan menyatakan bahwa dia NU. Sebaliknya jika delapan rakaat, dengan mudah kita akan mengatakan dia Muhammadiyah.
Namun saat ini, sejalan dengan pendalaman keagamaan masyarakat dan kemudahan mendapatkan akses informasi keagamaan, ukuran tersebut tidak lagi dapat dipakai untuk menentukan ke-NU-an maupun ke-Muhammadiyah-an.
Pasalnya, sudah banyak orang NU yang berpikir simpel, praktis dan ekonomis sehingga memilih delapan rakaat tarawih plus witir. Sebaliknya, banyak orang Muhammadiyah yang melebihi pemikiran ke-Muammadiyah-annya yang tidak hanya mencukupkan diri dengan delapan rakaat, melainkan dua puluh rakaat.
Tarawih adalah shalat sunah yang dapat dilakukan dengan banyak rakaat dan banyak jeda istirahat. Jangankan dipecah menjadi dua kali, lebih dari dua pun tidak masalah asalkan menambah persaudaraan, kebersamaan, kerukunan dan persatuan umat. Maka sesungguhnya tidak ada ruang bagi kita untuk mempersoalkan rakaat shalat tarawih karena ia shalat sunah, apalagi jika dilakukan dengan visi membangun persatuan umat.
Merindukan RamadhanMerindukan Ramadhan
Oleh: KH Didin Hafidhuddin
Merupakan suatu anugerah nikmat yang luar biasa, apabila kita masih diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk hidup, beraktivitas, dan beribadah di bulan suci Ramadhan yang penuh dengan keagungan, kemuliaan, dan keberkahan.
Betapa tidak, suasana Ramadhan adalah suasana kebatinan, suasana spiritual, suasana rohani, dan suasana samawi. Wajah-wajah orang yang berpuasa yang penuh dengan keikhlasan adalah wajah-wajah calon ahli surga, insya Allah. Wajah yang menggambarkan ketundukan dan kepatuhan pada aturan Allah SWT.
Siap melaksanakan perintah-Nya dan siap pula bersegera meninggalkan segala yang dilarang-Nya. Sikapnya hanya satu “sami’na wa atho’na” (kami mendengar dan kami siap melaksanakan).
Allah SWT berfirman dalam QS An-Nur [24] ayat 51-52: ”Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. ‘Kami mendengar dan kami patuh.’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS An-Nur [24]: 51-52).
Ramadhan 1433 H ini menjadi momentum bagi kita untuk meningkatkan amal ibadah sekaligus menumpahkan kerinduan akan kedatangan Ramadhan. Ramadhan merupakan tamu agung, istimewa, dan mulia. Kedatangannya senantiasa memberikan rasa damai, indah, dan kebahagiaan.
Kami rindu untuk segera bertemu denganmu. Rindu karena Ramadhan adalah bulan pendidikan dan training untuk menjadikan kita semua orang-orang yang semakin meningkat ketakwaannya.
”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 183). Takwa adalah indikator utama kemuliaan seseorang dan suatu bangsa (QS Al-Hujurat [49] ayat 13), sekaligus indikator yang akan mengundang turunnya keberkahan dari langit dan munculnya keberkahan dari bumi.
Perhatikan firman-Nya dalam QS Al-A’raf [7] ayat 96: ”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
Mari kita persiapkan mental, fisik, dan ilmu pengetahuan untuk mengisi bulan suci Ramadhan 1433 H dengan penuh kerinduan dan kekhusyukan dalam mencari keridaan Allah. Kita isi hari-harinya dengan ibadah-ibadah yang dianjurkan, seperti membaca Alquran, berzikir, memperbanyak shalat sunah, dan bersedekah.
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat pada bulan Ramadhan dengan penuh keikhlasan dan keimanan, serta mengharapkan ridha Allah, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari). Semoga Allah SWT senantiasa menerima segala amal ibadah kita. Amin. Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Witir, Bukan Sekadar Penutup Tarawih
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Witir bukanlah semata-mata penutup shalat tarawih (qiyamul lail) di bulan Ramadhan, walaupun akhir tarawih selalu ditutup dengan witir. Witir merupakan shalat sunah muakkadah yang jumlahnya ganjil (1, 3, 6, 9 dan 11) dan menjadi penutup shalat sunah seseorang dalam waktu sehari semalam.
Sifat shalatnya yang ganjil sangat disukai oleh Allah SWT, sebab keganjilan merujuk pada ke-esa-annya. Oleh sebab itu, rangkaian shalat sunah seseorang dalam sehari semalam hendaknya ditutup dengan witir sebagai bukti pengesaan hamba kepada Tuhan.
Umumnya kaum Muslimin bermalas-malasan dan melupakan shalat witir di luar bulan Ramadhan. Padahal Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh Allah SWT telah memberikan tambahan banyak karunia dengan shalat witir yang lebih baik bagimu daripada unta gemuk yang bagus." (HR. Tirmidzi).
Di dalam madzhab Hanafi, hukum shalat witir adalah wajib (di bawah fardu dan di atas sunnah muakkadah) serta wajib diganti (qadha) lain waktu jika tidak dilakukan atau terlupakan.
Hal tersebut karena madzhab Hanafi secara tekstual bersandar pada hadis yang sanadnya shahih dari Buraidah bin Al-Hashib Al-Aslami bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Shalat witir adalah hak, barang siapa tidak lakukan witir maka ia bukan golongan kita (diucapkan tiga kali)." (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Witir yang dimaksud di sini bukanlah witir setelah shalat Isya, melainkan witir menjelang shalat Subuh, setelah seorang hamba habis-habisan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan berbagai shalat sunahnya. Sehingga saat terjadi pergantian jaga antara malaikat malam ke siang dan sore ke malam, mereka dapat menemui kita dalam keadaan bersujud kepada Allah SWT.
Walaupun diperbolehkan shalat witir satu rakaat, namun sebagian ulama memakruhkannya. Hal tersebut karena asal muasal rakaat shalat adalah dua atau yang dapat dibagi dua. Sehingga sempurnanya witir adalah tiga rakaat karena ia bilangan ganjil terkecil yang dapat dibagi dua dan utamanya dilakukan dengan dua rakaat plus satu, bukan tiga rakaat sekaligus.
Dari Abdullah Ibnu Abbas, Abdullah bin Mas'ud dan Aisyah RA berkata, "Rasulullah SAW melakukan shalat witir dengan tiga rakaat."
Adapun jumlah terbesar shalat witir sebelas rakaat tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya antara berbagai madzhab.
Semoga Allah SWT memberikan kemudahan kepada kita untuk melakukan shalat witir di luar Ramadhan sebagaimana Allah meringankan kita melaksanakannya di bulan Ramadhan. Apalagi setelah kita menyadari banyaknya tambahan karunia yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang melanggengkan penutupan shalat sunahnya dengan witir.
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Dalam setiap doa seorang Muslim hampir selalu menutupnya dengan ungkapan doa sapu jagat: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan akhirat serta peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Al-Baqarah: 201).
Lantunan doa tersebut bertambah kuat didengungkan saat seseorang mutawwif di rukun Yamani menuju Hajar Aswad. Namun, arti dan maksud kebaikan yang diminta oleh masing-masing pendoa berbeda satu sama lain.
Para ahli tafsir sepakat bahwa arti dan maksud kebaikan akhirat adalah surga, sebab di akhirat manusia hanya punya dua pilihan, yaitu surga dan neraka. Allah SWT berfirman, "Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya). (QS. An-Naazi'at: 37-41).
Sedangkan kebaikan dunia memiliki arti yang berbeda-beda antar pendoa. Ada yang mengartikannya dengan harta kekayaan melimpah, suami tampan, istri cantik, bisnis moncer, perdagangan menghasilkan, rumah besar, kendaraan mewah, anak banyak, kesabaran, keihlasan, kesyukuran dan lain sebagainya. Semua arti tersebut bersifat subyektif sesuai dengan keinginan masing-masing pendoa.
Akan tetapi, Itukah arti dan maksud yang dikehendaki Al-Qur'an? Syekh Ahmad Abdurrahim Abdul Bar mengandaikan “jika kebaikan akhirat adalah surga maka, kebaikan dunia harus otomatis menjadi penyebab bagi kebaikan akhirat.”
Harta melimpah, suami tampan, istri cantik, bisnis maju, perdagangan menghasilkan, rumah besar, mobil mewah dan sebagainya tidak secara otomatis menjadikan pemiliknya masuk surga. Bahkan tidak jarang semua perhiasan dunia tersebut justru menjadi fitnah di dunia dan menjadi bahan investigasi KPK sebelum malaikat mempermasalahkannya. Dengan demikian semua arti subyektif pendoa itu ternyata bukanlah hakikat kebaikan dunia sebagaimana yang dimaksudkan Alquran.
Lantas apa hakikat "kebaikan dunia" yang dimaksud? Di dalam banyak ayat, Alquran mengemukakan dua kunci kebaikan dunia, yaitu: iman dan amal saleh. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga firdaus menjadi tempat tinggal (nya)." (QS. Al-Kahfi: 107).
Pada ayat lain Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, mereka itu adalah sebaik-baiknya makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka adalah surga." (QS. Al-Bayyinah: 7-8).
Iman dan amal saleh ternyata menjadi pengantar langsung bagi kebaikan akhirat (surga). Bukan perhiasan dunia yang bersifat materi. Jika demikian adanya, maka kebaikan dunia itu tidak didominasi oleh orang-orang kaya, sukses, tampan dan cantik, melainkan menjadi tantangan dan peluang bagi semua manusia asalkan beriman dan beramal saleh.
Orang-orang yang mengumandangkan doa sapu jagat dengan demikian tidak bisa sekedar berpangku tangan mengharap dikabulkannya doa kebaikan, melainkan harus berjibaku meningkatkan iman dan amal salehnya dalam rangka mewujudkan "kebaikan di dunia dan di akhirat" bagi dirinya. Wallahua’lam.
Sabar, Tanda Kuat Iman
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Menghadapi musibah, masalah, ketakutan, kekurangan, tekanan dan cobaan dengan sikap sabar lazim dilakukan semua orang.
Mereka yang kuat bersabar dalam semua keadaan tersebut sambil terus berikhtiar mencari solusi, perbaikan dan konsisten mendekati Allah SWT akan mendapatkan berkah dan rahmat-Nya. (QS. Al Baqarah: 155-157). Hal itu karena sabar merupakan modal yang senantiasa harus diperkuat secara terus menerus oleh orang yang beriman di sepanjang jalan kehidupan.
Sabar juga berkaitan dengan ketaatan dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Mereka yang konsisten sabar dalam beribadah dan menjauhi larangan-Nya, akan mendapatkan ketentraman hati, tambahan petunjuk dan keyakinan serta kegembiraan atas janji Allah SWT. (QS. Fushilat: 30-32).
Hal tersebut karena sabar dalam ketaatan dan menjauhi larangan tidak lepas dari banyaknya tantangan, baik yang berasal dari nafsunya sendiri, orang lain maupun bisikan busuk setan.
Kesabaran dengan demikian merupakan prasyarat yang diperlukan dalam semua kondisi kehidupan. Ibarat dua sisi mata uang, sabar merupakan jalan pilihan dalam menyelesaikan beban kehidupan yang berat agar seseorang sampai ke tempat tujuan dengan baik pada satu sisi. Sedangkan pada sisi lain, sabar merupakan benteng pertahanan yang menjadikan seseorang konsisten, tekun dan mantap dengan pilihan yang telah ditetapkan.
Bersabar bukan berarti lemah dan menyerah terhadap keadaan. Bersabar justru merupakan sikap posif dan menunjukkan kuatnya iman seseorang. Allah SWT berfirman: "Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, Sungguh yang demikian itu termasuk kewajiban dalam menghadapi perkara." (QS. Luqman: 17).
Bersabar yang dilandasi dengan keimanan dan ketakwaan bahkan menjadikan seseorang solid, kuat, berwibawa, disegani kawan maupun lawan dan membawa keberhasilan serta kebahagiaan. Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu dan bersiap siagalah serta bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung." (QS. Ali Imran: 200).
Kesabaran bukan sikap defensif dan menerima keadaan dengan pasrah. Sebaliknya sabar merupakan sikap ofensif jiwa dalam menolak kemungkaran dan larangan Allah serta ketetapan hati yang kuat dalam menjalankan perintah-Nya dan mencari solusi terbaik dalam mengatasi keadaan. Allah SWT berfirman, "Maka kesabaran yang baik itu (adalah kesabaranku), Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku. Sungguh, Dialah Yang Mahamengetahui Mahabijaksana." (QS, Yusuf: 83).
Kesabaran tidak tumbuh sendiri layaknya pohon ilalang. Ia dimiliki melalui proses panjang yang matang. Seseorang dapat dikarunia kesabaran dengan pembiasaan-pembiasaan berikut:
Pertama, memiliki pandangan bahwa apa yang melekat pada dirinya, orang lain dan dunia adalah amanah dari Allah SWT dan berusaha untuk memfungsikan dirinya sebagai pengamban amanah di hadapan manusia dan Allah SWT.
Kedua, bersikap tumakninah dan ridha atas semua takdir yang diberikan Allah SWT, sehingga bersikap enjoy dengan kenyataan apa pun yang dihadapi dengan tetap berpegang pada agama Allah SWT.
Ketiga, sadar bahwa dalam menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi, menghadapi banyak tantangan yang berasal dari nafsunya sendiri, keluarga dan komunitas di sekitarnya bahkan dari setan yang menjadi musuh bebuyutan manusia. Kesabaran di sini merupakan separuh dari iman karena keyakinan adalah iman yang sepenuhnya.
Keempat, Mengetahui cara-cara meredakan amarah dengan berbagai cara dan polanya, sebagaimana petunjuk Rasulullah SAW dalam berbagai hadisnya.
Menyegerakan Zakat Fitrah
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Syariat Islam memperkenalkan dua bentuk sedekah. Pertama, sedekah wajib meliputi zakat harta, zakat fitrah, dan kafaraat (kafaraat pembunuhan, zihar, berbuka puasa dengan sengaja di siang Ramadhan dan sumpah).
Sedekah wajib ini telah ditentukan ukuran dan waktunya serta disebutkan dengan jelas di dalam Alquran dan As-sunnah.
Kedua, sedekah sunah meliputi infak dan sedekah serta semua bentuk sedekah di luar kategori sedekah wajib. Sedekah kategori sunah ini tidak ditentukan ukuran dan waktunya serta dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Catatannya, jika sedekah sunah tersebut dilakukan di bulan Ramadhan, maka pelakunya akan mendapat pahala berlipat ganda karena kemuliaan bulan Ramadhan.
Allah SWT mewajibkan zakat fitrah pada dua hari sebelum Idul Fitri tahun kedua Hijriyah kepada kaum Muslimin baik anak-anak maupun dewasa dan diberikan sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitri.
Dari Abdullah bin Umar RA, bahwa "Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah berupa satu sak kurma atau gandum kepada kaum Muslimin: hamba sahaya maupun orang merdeka; laki-laki maupun perempuan; kecil maupun besar, dan pelaksanaannya dilakukan sebelum orang-orang keluar shalat Idul Fitri." (HR. Bukhari-Muslim).
Disebut zakat karena sifatnya yang membersihkan, dan disebut fitrah karena berkaitan dengan futur (buka puasa). Dengan demikian selain berfungsi untuk membersihkan perkataan kotor dan tidak berguna dari orang yang berpuasa, zakat fitrah juga bertujuan untuk membantu kebutuhan konsumsi kaum fakir miskin dan memasukkan kegembiraan ke hati mereka agar di hari raya mereka turut bergembira tanpa memikirkan masalah dapur mereka.
Dari Ibnu Abbas RA, bahwa "Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkataan kotor dan tidak berguna dan memberikan santunan kepada fakir-miskin." (HR. Abu Daud).
Adapun patokan waktu pengeluaran zakat fitrah dapat dikeluarkan sejak hari pertama Ramadhan hingga sebelum pelaksanaan shalat Idul Fitri. Namun, utamanya zakat fitrah dilakukan pada waktu terbenam matahari malam Idul Fitri atau akhir Ramadhan karena waktu tersebut menjadi waktu futur (berbuka) terakhir dari seluruh rangkaian buka puasa di dalam bulan Ramadhan.
Sedangkan berhubungan dengan jenis makanan yang dipergunakan dalam berzakat, kendati terdapat berbagai pendapat menurut ulama madzhab, namun umumnya para ulama membolehkan ditunaikan dalam bentuk makanan pokok masing-masing negara sebab letak persoalannya bukan pada jenis makanan yang disebutkan di dalam hadis, melainkan yang menguatkan perut manusia (makanan pokok dan vital) sesuai dengan kawasan masing-masing.
Sementara itu Madzhab Hanafi dengan pandangan yang lebih futuristik memperbolehkan penggantian bahan makanan dengan nilai atau harga dalam bentuk uang karena dianggap lebih fleksibel dan mudah ditasarufkan sesuai dengan kebutuhan si penerima, di samping lebih memudahkan bagi orang yang memberi.
Pandangan Madzhab Hanafi tersebut cukup kuat karena didasarkan pada hadis Muadz bin Jabal yang menggantikan zakat fitrah masyarakat Yaman dengan ghamis yang sangat diperlukan bagi penduduk Madinah kala itu atau dengan istilah lain pengkiasan zakat fitrah pada zakat harta.
Dari pengkayaan pendapat para ulama madzhab terhadap zakat fitrah, sebenarnya yang penting bagi kita adalah mensegerakan penunaian zakat fitrah agar dapat segera di tangan penerima. Hal tersebut dimaksudkan agar kebutuhan pokok (pangan) penerima zakat terjamin karena sifat zakat fitrah pada dasarnya berfungsi sebagai back up kebutuhan konsumsi penerimanya.
Selebihnya, si penerima dapat memenuhi kebutuhan pokok lain berupa pakaian dan kebutuhan konsumsi lainnya agar tujuan memasukkan kegembiraan di dalam hatinya pada saat Idul fitri benar-benar terlaksana. Wallahua'lam.
Ramadhan Bulan Kemerdekaan
Oleh: Khofifah Indar Parawansa
Dalam sejarah Islam, tercatat banyak peristiwa penting yang terjadi pada bulan Ramadhan. Di antaranya, turunnya wahyu yang pertama kepada Rasulullah SAW dan peperangan besar antara umat Islam dan pasukan Quraisy di dekat sumur Badar.
Saat itu, Rasulullah SAW bersama 83 sahabat Muhajirin, 61 sahabat dari suku Aus, serta sebanyak 170 sahabat dari suku Khazraj, berjuang menghadapi sekitar 1.000 prajurit Quraisy.
Dengan izin Allah SWT, dalam peperangan itu, kemenangan berpihak pada umat Islam. Kemenangan itu diabadikan Allah sebagai yaumul furqan atau hari pembeda antara kebenaran dan kebatilan (QS. Al-Anfal [8]: 41). Peristiwa lain yang terjadi pada bulan Ramadhan adalah Fathu Makkah (pembebasan Kota Makkah). Peristiwa ini terjadi pada 630 M atau bertepatan dengan 10 Ramadhan 8 H.
Saat itu, umat Muslim bergerak dari Madinah menuju Makkah kemudian menguasai Makkah tanpa ada pertumpahan darah sedikit pun. Fathu Makkah ini menjadi tonggak kemenangan gemilang umat Islam, khususnya bagi kaum Muhajirin yang terusir dari tanah air mereka sendiri.
Bagi bangsa Indonesia, Ramadhan menjadi bulan yang sangat bersejarah. Sebab, detik-detik proklamasi kemerdekaan 1945 juga bertepatan dengan Ramadhan. Pada 2012 ini, umat Islam di Indonesia kembali menjalankan ibadah puasa di tengah perayaan kemerdekaan RI.
Itu semua mengingatkan umat Islam mengenai pentingnya Ramadhan sebagai starting point menuju perubahan dari masa-masa yang suram menuju masa bahagia, dari ketertindasan menuju kemenangan, dan dari kemiskinan menuju kesejahteraan.
Banyak hikmah yang dapat diambil dari sejarah Rasulullah yang membawa kemenangan umat serta perjuangan Bung Karno bersama para pejuang lainnya dalam merebut kemerdekaan. Kemenangan tak akan pernah diraih tanpa perjuangan dan pengorbanan.
Ramadhan, sejatinya adalah perjuangan bagi umat Islam untuk mendapat predikat muttaqin (orang yang bertakwa, saleh secara ritual) (QS Al-Baqarah [2]: 183). Ramadhan juga men jadi ujian untuk mencetak umat yang memiliki kesalehan sosial (dimensi sosial). Sebab, selain bersifat vertikal (hablun minallah), puasa juga bersifat horizontal (hablun minannas).
Keberhasilan menjalankan ibadah puasa tidak hanya dilihat dari kemampuan menahan lapar dan dahaga, tapi juga dari sisi kepekaan dan kepedulian terhadap sesama. Karena itu, puasa menjadi instrumen muhasabah, introspeksi, dan ajang perenungan nasib sesama yang diikuti perbuatan nyata lewat sedekah, infak, mau pun zakat.
Bagi pemimpin dan pejabat di negeri ini, puasa harusnya bisa menjadi ajang introspeksi untuk mengukur tingkat pengabdian terhadap bangsa dan negara. Benarkah selama ini telah berbuat yang terbaik untuk kemaslahatan rakyat? Bangsa ini sedang menghadapi banyak problem yang pelik, mulai dari korupsi, kemiskinan, hingga penegakan hukum yang masih tak imbang.
Momentum Ramadhan harusnya menjadi contoh semua elemen bangsa untuk meneladani perjuangan Rasulullah yang membawa kemenangan ketika perang Badar dan Fathu Makkah. Juga, meneladani perjuangan para pahlawan bangsa
Maknai Takbir, Lahirkan Syukur, Sirnakan Takabur
Oleh: Ina Salma Febriani
Ramadhan telah pergi meninggalkan kita. Syawal pun hadir dan seluruh umat Islam menyambutnya dengan sukacita. Kesukacitaan itu juga menuai kesedihan yang tampak nyata, melalui tradisi salam-salaman, mohon maaf kepada sesama, hingga nuansa haru biru mewarnai jutaan umat Muslim dunia.
Itulah jejak indah selepas Ramadhan, disadari maupun tidak, manusia berusaha membuka diri untuk saling introspeksi dan bersedia meminta juga memberi maaf.
Ramadhan dan Syawal bagai dua sisi mata uang. Jika dalam bulan Ramadhan, Allah menghendaki kita untuk melatih jasmani dan rohani melalui puasa, maka di bulan Syawal inilah kita dikehendaki oleh Allah untuk membesarkannya.
Perintah untuk membesarkan asma Allah ini tertuang dalam Quran Surah Al-Baqarah ayat 185, “.... dan agar kalian menyempurnakan hitungan (bilangan) hari puasa dan agar kalian mengagungkan (memuji) Allah atas apa yang Dia telah tunjukkan kepada kaliannn dan agar kalian dapat bersyukur.”
Pengagungan asma Allah melalui gemuruh takbir sudah terdengar tepat setelah diresmikannya Idul Fitri tahun ini jatuh pada Ahad, 19 Agustus. Sesaat itu pula umat Muslim dari berbagai penjuru mengumandangkan lafadz yang sama dengan kebahagiaan dan perayaan yang berbeda-beda di tiap sudut ibukota.
Namun, kebesaran Tuhan tidak cukup hanya ramai dilafadzkan saat malam takbiran dan Idul Fitri. Lebih dari itu, memaknai takbir juga harus disertakan dengan niat sungguh dalam hati dan menyadari betul bahwa hanya Allah saja yang Mahabesar dan selalu melibatkan Allah dalam segala perkara duniawi.
Makna takbir yang sesungguhnya juga melahirkan rasa syukur. Syukur dalam perspektif luas yang dikategorikan menjadi dua, kepada Khalik juga pada makhluk. Syukur kepada Khalik adalah syukur yang dilafadzkan melalui lisan (Alhamdulillahi Rabbil alamin)—dalam segala kondisi.
Atau dalam suatu riwayat, jika kita mendapatkan hal yang kurang kita sukai, maka kita tetap harus memuji Allah dengan lafadz “Alhamdulillah ala kulli haal”. Syukur dengan lafadz akhirnya disertai oleh niat dalam hati untuk memanifestasikan syukur itu agar tidak berbuat dosa (maksiat) pada-Nya.
Sedangkan syukur kepada makhluk, diaplikasikan dengan kemurahan hati untuk berbagi dengan sesama. Baik berbagi hal-hal yang bersifat materi maupun nonmateri. Bagi orang yang memiliki kelebihan harta, maka dalam hartanya tersebut tersimpan hak-hak orang miskin yang meminta-minta, maupun miskin yag tidak meminta (Lis saaili wal mahruum).
Itulah sebabnya mengapa Ramadhan ditutup dengan pemberian zakat fitrah, sebab ada nilai sosial dalam tiap ibadah yang Allah perintahkan untuk segenap hamba-Nya. Dan, bagi orang yang diberi kelebihan non materi (ilmu), selayaknya mengamalkan ilmu tersebut agar oranglain dapat bertambah ilmunya dan si pengajar bertambah keihlasan dan pahalanya.
Sendi-sendi ibadah yang Allah perintahkan dalam Quran, selalu mengandung nilai-nilai sosial. Dalam Quran, Allah selalu merangkai zakat, seusai lafadz shalat (Wa aqiimush shaalah wa aatuz zakaah), tujuannya jelas, agar kita tidak hanya menyibukkan diri bersama-Nya, namun juga bersama makhluk sekeliling yang Allah ciptakan untuk kelangsungan hidup kita.
Dan akhirnya, takbir yang melahirkan tasyakur itu bertujuan untuk membuang jauh-jauh sifat takabur. Takabur dalam arti sempit bahwa jangan sampai selepas bertakbir, membesarkan Allah, justru hati ini berpaling untuk membesarkan hal-hal lain selain Allah, baik itu harta, tahta, jiwa, atau bahkan hawa nafsu buruk. Na’udzubillah. Wallahua’lam.
Islam Agama ModeratIslam Agama Moderat
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Islam adalah agama moderat dan seimbang. Kemoderatan dan keseimbangan merupakan jalan hidup (way of live) yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW selama hidupnya.
Kemoderatan dan keseimbangan dengan demikian tumbuh dari pemahaman Islam yang murni dan hakiki sebelum Islam dipahami secara parsial sebagaimana yang terjadi dalam beberapa dasawarsa akhir-akhir ini.
Rasulullah SAW bersabda, "Jauhkanlah kalian dari sikap melampaui batas dalam beragama. Sungguh orang-orang sebelummu musnah disebabkan oleh sikap pelampauan batas dalam beragama." (HR. Hakim).
Rasulullah SAW lantas membuat contoh perihal dimaksud dengan membentuk satu garis lurus di tengah dan dua garis lainnya di samping kiri dan kanannya. Lalu beliau meletakkan tangannya di garis tengah seraya bersabda, "Ini adalah jalan Allah."
Rasulullah SAW meneruskan sabdanya dengan membaca ayat, "Dan ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia dan janganlah engkau mengikuti jalan-jalan (lain) yang mencerai-beraikanmu dari jalan-Nya." (QS. Al An'am: 153).
Moderat berkaitan erat dengan paham toleran yang dalam istilah bahasa berarti luwes, adaptif dan mudah dalam pergaulan. Moderat lawan katanya ekstrem yang dalam istilah bahasa berarti pelampauan batas-batas moderasi dan jauh dari sikap seimbang.
Ekstrem (al-tatharruf) berkaitan erat dengan pelampauan batas (al-ghullu) baik dalam perkataan, perbuatan maupun keyakinan.
Sikap melampaui batas ini dalam beragama tercela, sebagaimana firman Allah SWT, "Katakalah (Muhammad): "Wahai Ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dalam beragama dengan cara yang tidak benar, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya dan mereka telah menyesatkan kebanyakan manusia dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus." (QS. Al Maaidah: 77).
Termasuk dalam arti moderat di sini adalah berbuat sesuai dengan kadar kemampuan dan mencegah diri dari memaksakan sesuatu di luar batas kesanggupan secara umum. Sikap moderat inilah yang senantiasa ditekankan oleh Alquran dalam berbagai firman-Nya. Di antaranya firman Allah SWT, "Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS. Al-Baqarah: 286).
Termasuk lagi dalam arti moderat di sini adalah bersikap luwes, adaptif dan mudah sebagaimana pemberian berbagai keringanan (rukhsyah) dalam pelaksanaan syariat seperti adanya jamak dan qashar shalat, tayamum, pembolehan berbuka bagi orang yang sakit dan bepergian serta lain sebagainya.
Sikap tersebut dikuatkan dalam berbagai kaidah kemudahan dalam hukum fikih di antaranya, "kondisi sulit memperkenankan 'yang mudah' ", "kondisi darurat memperkenankan 'yang terlarang' " dan lain semacamnya.
Intinya, Islam datang sebagai agama moderat baik dalam penyampaian ajaran-ajarannya maupun dalam pembentukan karakter para pemeluknya. Moderat dan seimbang merupakan jalan hidup (way of live) Islam yang mencakup semua bidang dalam kehidupan manusia tanpa kecuali. Wallahua'lam.
Kewajiban Menjaga Kesehatan
Kewajiban Menjaga Kesehatan
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Islam merupakan satu-satunya agama yang memberikan perhatian utama terhadap kesehatan manusia. Setiap Muslim wajib secara agama menjaga kesehatannya dan menyeimbangkannya dengan kebutuhan rohaninya.
Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh, badanmu memiliki hak atas dirimu." (HR. Muslim). Di antara hak badan adalah memberikan makanan pada saat lapar, memenuhi minuman pada saat haus, memberikan istirahat pada saat lelah, membersihkan pada saat kotor dan mengobati pada saat sakit.
Sedemikian besar perhatian Islam terhadap kesehatan badan pemeluknya, sampai-sampai di dalam beberapa ayat Alquran, As-sunnah dan kitab-kitab fikih terdapat bahasan khusus mengenai kesehatan, penyakit dan petunjuk Rasul SAW dalam hal pengobatan.
Bahkan, penjagaan dan pemeliharaan kesehatan menjadi bagian pemeliharaan kedua dari prinsip-prinsip pemeliharaan pokok dalam syariat Islam yang terdiri dari; pemeliharaan agama, kesehatan, keturunan, harta dan jiwa.
Sebaliknya, Islam melarang berbagai tindakan yang membahayakan fisik/badan atas nama pendekatan keagamaan sekalipun sebagaimana tersebut dalam firman Allah SWT, "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu dalam kerusakan." (QS. Al-Baqarah: 195) dan "Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh Allah Mahapenyayang kepadamu." (QS. An-Nisaa': 29).
Demi penjagaan terhadap kesehatan, syariat Islam juga memberikan berbagai keringanan di dalam beribadah dengan tujuan meringankan, memudahkan dan tidak membuat payah badan.
Dalam pemberian keringanan berbuka bagi orang yang sakit dan bepergian, Allah SWT berfirman, "Allah menghendaki kelonggaran dan tidak menghendaki kesempitan bagimu." (QS. Al-Baqarah: 185). Dalam kaitannya dengan keringanan bertayamum, Allah SWT berfirman, "Allah tidak menghendaki kesulitan bagimu, tetapi hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu agar kamu bersyukur." (QS. Al Maidah: 6).
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah SAW mengutus Amr bin Ash RA sebagai Amir di Suriah. Pada saat kembali ke Madinah, Amr bin Ash mengadukan masalah menyucikan diri dari hadas besar melalui tayamum dengan pertanyaannya, "Wahai Rasul, malam itu cuaca sangat dingin dan aku ingat firman Allah SWT: "Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh Allah Mahapenyayang kepadamu." (QS. An-Nisaa': 29). Rasulullah SAW lantas menjawab pengaduan Amr bin Ash tersebut dengan senyuman yang menegaskan persetujuannya atas tindakan yang diambil.
Realitas tersebut menunjukkan bahwa seorang Muslim wajib memelihara kesehatan badannya, sebagaimana kewajiban negara menjaga kesehatan masyarakatnya dan menanggulangi wabah penyakit yang menyerang rakyatnya. Sehingga di kalangan kaum Muslimin telah masyhur penyataan yang menyebutkan "kesehatan badan/ fisik didahulukan dari kesehatan beragama karena Tuhan Mahapengampun dan Penyayang".
Bahkan, dalam kaitannya dengan penghindaran diri dari penyakit yang mewabah pada suatu kawasan, seorang Muslim diperkenankan untuk menghindarkan diri dari kawasan tersebut menuju kawasan lain yang lebih aman dengan istilah "pindah dari qadar (ketentuan) Allah menuju pada qadar yang lain."
Lebih jauh, seorang Muslim harus senantiasa berupaya untuk menyembuhkan penyakit yang sedang dideritanya dengan asumsi semua penyakit ada obatnya. Lebih dari itu, sebagaimana penyakit merupakan qadar dari Allah, maka upaya mencari kesembuhan dan obat pun juga merupakan bagian dari qadar Allah SWT. Dengan demikian seorang Muslim senantiasa berupaya menghadapi qadar Allah dengan qadar Allah yang lain. Wallahu A'lam.
Minggu, 19 Agustus 2012
Tradisi Iktikaf Akhir RamadhanTradisi Iktikaf Akhir Ramadhan
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Sesungguhnya iktikaf bukan merupakan ibadah khusus di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Iktikaf (berdiam diri di Masjid dengan menyibukkan beribadah kepada Allah SWT) dapat dilakukan setiap waktu dan kesempatan baik oleh seorang Muslim maupun Muslimah termasuk anak-anak yang telah mencapai umur baligh (dewasa).
iktikaf hukumnya sunah muakkadah dan wajib dilakukan di masjid, bukan di tempat lain seperti rumah atau semacamnya. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah SWT, "Dan (ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan sujud." (QS. Al-Baqarah: 125).
Adapun banyaknya orang yang melakukan iktikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan didasarkan pada sunah Rasulullah SAW yang senantiasa meningkatkan kualitas maupun kuantitas ibadahnya pada sepuluh hari terakhir tersebut.
Di sepuluh hari terakhir itu Rasulullah SAW menambah jumlah qiyamul lail-nya, memperbanyak shalawat, dzikir, istighfar, tahmid, takbir dan tahlil kepada Allah SWT serta membaca Alquran, disamping melakukan iktikaf di masjid sebanyak sepuluh hari dalam rangka mencari Lailatul Qadar dan mengharap pahala serta ridha Allah SWT. Pada Ramadhan terakhir menjelang wafat, Rasulullah SAW melakukan iktikaf sebanyak dua puluh hari.
Dari Abu Hurairah RA, "Adalah Rasulullah SAW yang senantiasa melakukan iktikaf sebanyak sepuluh hari pada setiap Ramadhan. Pada Ramadhan di mana beliau wafat, Rasulullah SAW melakukan iktikaf sebanyak dua puluh hari." (HR. Bukhari).
Iktikaf sendiri menurut para ulama dapat dilakukan dalam waktu sesaat seperti satu, dua jam atau lebih, baik pada waktu siang maupun malam. Yang terpenting dalam kegiatan iktikaf tersebut adalah seseorang berada di masjid dan tinggal di dalamnya karena hal itu merupakan rukun iktikaf; menyibukkan diri dengan ibadah dan pendekatan kepada Allah SWT; serta mulut maupun hatinya hanya disibukkan dengan kebaikan dan jauh dari kesibukan duniawi.
Namun, disunahkan iktikaf dilakukan paling sedikitnya sehari-semalam, karena Rasulullah SAW dan para sahabatnya tidak pernah melakukan iktikaf kecuali sedikitnya dalam waktu sehari-semalam.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan iktikaf sebagaimana dikatakan oleh Aisyah dalam riwayat Abu Daud antara lain seseorang yang beriktikaf hendaknya tidak sakit, tidak melihat jenazah, tidak mencium suami/istrinya, dan tidak keluar dari masjid untuk kebutuhan yang tidak penting. Sedangkan utamanya, iktikaf dilakukan dalam keadaan berpuasa dan di tiga masjid utama Islam, yaitu Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al-Aqsha.
Mereka yang berkesempatan melakukan umrah di sepuluh terakhir bulan Ramadhan memiliki keutamaan tempat, waktu, situasi/kondisi, dan momentum karena dapat melakukan iktikaf di Masjidil Haram/Nabawi/Al Aqsha, pada bulan Ramadhan, dalam kondisi berpuasa, serta pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan, dapat kita bayangkan betapa mudah Allah SWT mengabulkan doa-doanya.
Namun, Rahmat Allah sangatlah luas dan tidak pernah memaksa di luar batas kemampuan kita masing-masing, sehingga kita yang belum dan tidak memiliki kesempatan untuk datang ke Masjidil Haram, pelaksanaan iktikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadhan tetap merupakan momentum yang baik sebab keutamaan ibadah dan dikabulkannya doa terletak pada detik-detik terakhir saat ibadah usai dilaksanakan. Wallahua'lam.
10 Amalan dan Doa di Hari Raya Idul Fitri
REPUBLIKA.CO.ID, Berikut ini adalah 10 amalan dan doa yang bisa dilakukan di Hari Raya Idul Fitri:
Pertama: Membaca Takbir setelah Shalat Subuh dan Shalat ‘Idul Fitri.
Kedua: Membaca doa berikut setelah shalat Shubuh: "Allahumma inni tawajjahtu ilayka bi-Muhammadin amami."
Artinya : "Ya Allah aku menghadap-Mu dengan Muhammad di depanku."
Ketiga: Mengeluarkan zakat fitrah sebelum shalat ‘Idul Fitri.
Keempat: Mandi sunnah. Waktunya, dari fajar hingga pelaksanaan shalat ‘Idul Fitri. Sebelum hendak membaca:
"Allahumma imanan bika, wa tashdiqan bi-kitabika, wattiba’a sunnati Nabiyyika Muhammadin shallallahu ‘alayhi wa alih (i)."
Artinya : Ya Allah, kuatkan Imanku pada-Mu, pembenaranku terhadap kitab-Mu, dan kepatuhanku terhadap sunnah Nabi-Mu Muhammad SAW.
Kemudian membaca Basmalah, lalu mulai mandi. Setelah mandi membaca doa berikut: "Allahummaj’alhu kaffaratan li-dzunubi, wa thahhir dini, Allahummadzhib ‘annid danasa."
Artinya : "Ya Allah, jadikan mandiku ini sebagai penghapus dosa-dosaku, dan sucikan keberagamaanku. Ya Allah, hilangkan dariku noda-noda dosa."
Kelima: Memakai pakaian yang bagus, baik dan memakai wewangian. Dan disunnahkan shalat ‘Idul Fitri di lapangan di bawah langit, tanpa atap (kecuali di Mekkah).
Keenam: Berbuka di permulaan siang (makan pagi) sebelum shalat ‘Idul Fitri. Yang utama berbuka dengan kurma atau sesuatu yang manis, dan menelan sedikit Turbah Husayni karena ia merupakan penawar setiap penyakit.
Ketujuh: Pergi untuk shalat ‘Idul Fitri sesudah terbit matahari. Dan sebelum pergi hendaknya membaca “Doa sebelum Pergi ke Shalat Idul Fitri”.
Kedelapan: Shalat ‘Idul Fitri. Setelah selesai kita shalat disunnahkan membaca Tasbih Az-Zahra’. Dan disunnahkan pulang dari shalat lewat jalan yang berbeda dari jalan berangkatnya, sambil mendoakan kaum mukminin semoga amal mereka diterima oleh Allah SWT.
Kesembilan: Ziarah
Kesepuluh: Membaca doa Nudbah.
Sumber: Mafatihul Jinan: bab 2, pasal 4, Amalan Bulan Syawal.
Bahaya Memutus Tali Persaudaraan
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Banyak orang memutus tapi persaudaraan dengan alasan masalah rumah tangga, berebut warisan, pertengkaran dan percekcokan. Akan tetapi kenyataan yang sebenarnya pemutusan tali persaudaraan karena tidak adanya ilmu pengetahuan seseorang mengenai hebat dan dahsyatnya menyambung tali persaudaraan; tidak adanya pengetahuan yang mendalam mengenai hubungan keluarga; dan tidak pahamnya seseorang akan karakteristik hubungan persaudaraan dalam kaitannya dengan hubungan ketuhanan.
Andaikata setiap orang mengetahui dengan baik bahaya memutus tali persaudaraan, maka ia akan berupaya sungguh-sungguh menyambung tali persaudaraan karena beberapa hal:
Pertama, memutus tali persaudaraan menjadikan hidup seseorang terasa sempit, tidak nyaman dan jauh dari berkah Allah SWT. Dari Anas bin Malik RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dimudahkan urusannya, maka hendaknya ia menyambung tali persaudaraan." (HR. Bukhari-Muslim).
Kedua, amal perbuatan mingguan orang yang memutus tali persaudaraan tidak diterima oleh Allah SWT. Dari Abu Hurairah RA berkata, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya amal perbuatan anak Adam dihadapkan kehadirat Allah SWT pada setiap Kamis malam Jumat. Dan Allah tidak menerima amal perbuatan orang yang memutus tali persaudaraan."
Ketiga, pemutus tali persaudaraan mendapatkan laknat dari Allah SWT sebab merupakan sifat dari orang-orang fasik. Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya disambungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk." (QS. Ar-Ra'd: 25).
Keempat, pemutus tali persaudaraan termasuk perbuatan dosa besar dan siksanya disegerakan oleh Allah SWT di dunia maupun di akhirat. Dari Abu Bakar RA dari Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada dosa yang lebih cepat balasannya dari Allah di dunia dan akhirat dari pada permusuhan dan memutus tali persaudaraan."
Kelima, pemutus tali persaudaraan tidak akan masuk surga karena perbuatannya bertentangan dengan prinsip-prinsip kebajikan dan sifat orang-orang yang berilmu. Dari Jabir RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang memutus hubungan keluarga." (HR. Bukhari).
Keenam, pemutus tali silaturahim menjauh dari tanda-tanda keimanan. Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-nya, maka hendaknya memuliakan tamunya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hendaknya menyambung tali persaudaraan." (HR. Bukhari-Muslim).
Ketujuh, pemutus tali persaudaraan merenggangkan hubungan dengan Sang Pencipta. Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda, "Silaturahim berkaitan erat dengan Arsy dan berkata, ‘Barang siapa menyambungku, maka Allah akan menyambungnya. Dan barang siapa memutusku, maka Allah akan memutusnya’." (HR. Bukhari-Muslim).
Sedemikian bahayanya tindakan memutus hubungan tali persaudaraan sehingga dapat mengakibatkan seseorang terisolasi dalam hubungan kemanusiaan dan ketuhanan serta menjauh dari sifat-sifat kebajikan dan takwa. Maka setiap Muslim hendaknya menjadikan silaturahim sebagai pembuka dan penutup kebajikan, sebagaimana contoh ideal yang telah diteladankan oleh Rasulullah SAW dalam sikapnya terhadap keluarga, kerabat, kaum Muslimin, umatnya. Wallahua'lam.
dul Fitri, Penghargaan Allah bagi Kaum Muslimin
d
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Idul Fitri merupakan bentuk penghargaan (award) Allah kepada kaum Muslimin. Penghargaan tersebut diberikan setelah sebulan penuh kaum Muslimin berada dalam ketaatan, kesulitan dan kekonsistenan menjalankan ibadah puasa.
Melalui penghargaan tersebut diharapkan kaum Muslimin keluar dari rutinitas pendidikan jasmani dan rohani mendalam yang cukup melelahkan untuk keluar menuju kegembiraan dan kebahagiaan, namun tetap dalam lingkaran ketaatan dan takwa.
Kegembiraan kaum Muslimin dalam merayakan Idul Fitri harus mencerminkan tiga pilar, yaitu ketaatan, kegembiraan dan silaturrahim. Sedangkan kegembiraan dalam Idul Adha harus pula mencerminkan tiga pilar yang berbeda, yaitu kegembiraan, ketaatan dan solidaritas sosial.
Kegembiraan dalam Islam sama sekali tidak identik dengan hura-hura, pelampauan batas dan kemaksiatan karena tiga pilar terakhir tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip agama Islam.
Sedemikian pentingnya keluar dari rutinitas puasa dan memasukkan kegembiraan kepada kaum fakir-miskin sampai-sampai Allah SWT mengharamkan puasa pada hari pertama Idul Fitri dan Idul Adha. Hal tersebut untuk memberikan penyadaran bahwa Idul Fitri dan Idul Adha merupakan "jamuan ketuhanan akbar" yang diberikan oleh Allah SWT kepada semua manusia.
Lebih dari itu, agar manusia secara terus menerus sadar bahwa berbagai makanan yang dikonsumsinya setiap hari sejatinya merupakan jamuan, anugerah dan karunia Allah SWT.
Pada Hari Raya Fitri, Rasulullah SAW memerintahkan kepada anak-anak dan kaum wanita bahkan yang "berhalangan" sekalipun untuk keluar bersama kaum lelakinya melaksanakan shalat Eid di tempat terbuka dan mengumandangkan takbir sebagai bentuk syiar Islam dan simbol kebahagiaan dalam beragama. Allah SWT berfirman, "Dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Baqarah: 185).
Pada hari tersebut, Rasulullah juga memerintahkan kaum Muslimin untuk saling mengucapkan selamat; bersilaturrahim; mengunjungi orang tua; bermaaf-maafan; memberikan kebahagiaan kepada keluarga, teman, kerabat, tetangga dan fakir-miskin; serta menyelenggarakan berbagai pertemuan yang dapat memperbarui sikap kasih sayang dan saling mencintai antar sesama.
Islam sesungguhnya telah memberikan berbagai media agar kaum Muslimin saling bertemu dan meningkatkan rasa kasih dan sayang serta persatuan dan kesatuan di antara mereka melalui shalat berjamaah setiap hari, shalat Jumat setiap pekan, dan shalat Idul Fitri-Idul Adha tiap tahun.
Namun, pada umumnya manusia enggan memanfaatkan kesempatan harian dan mingguan, malah sebaliknya menunggu-nunggu momentum hari raya yang datangnya hanya setahun sekali. Padahal, jika kaum Muslimin memanfaatkan dengan baik kesempatan shalat berjamaah harian dan shalat Jumat mingguan, niscaya tidak perlu menunggu momentum silaturahim tahunan kepada sesamanya.
Hal tersebut dipastikan akan lebih efektif dalam menghapus kesalahan dan dosa serta semakin menumbuhkan sikap saling percaya diri, kasih-sayang, persatuan dan kesatuan di antara mereka. Wallahua'lam.
Ramadhan Bulan Kemerdekaan
Oleh: Khofifah Indar Parawansa
Dalam sejarah Islam, tercatat banyak peristiwa penting yang terjadi pada bulan Ramadhan. Di antaranya, turunnya wahyu yang pertama kepada Rasulullah SAW dan peperangan besar antara umat Islam dan pasukan Quraisy di dekat sumur Badar.
Saat itu, Rasulullah SAW bersama 83 sahabat Muhajirin, 61 sahabat dari suku Aus, serta sebanyak 170 sahabat dari suku Khazraj, berjuang menghadapi sekitar 1.000 prajurit Quraisy.
Dengan izin Allah SWT, dalam peperangan itu, kemenangan berpihak pada umat Islam. Kemenangan itu diabadikan Allah sebagai yaumul furqan atau hari pembeda antara kebenaran dan kebatilan (QS. Al-Anfal [8]: 41). Peristiwa lain yang terjadi pada bulan Ramadhan adalah Fathu Makkah (pembebasan Kota Makkah). Peristiwa ini terjadi pada 630 M atau bertepatan dengan 10 Ramadhan 8 H.
Saat itu, umat Muslim bergerak dari Madinah menuju Makkah kemudian menguasai Makkah tanpa ada pertumpahan darah sedikit pun. Fathu Makkah ini menjadi tonggak kemenangan gemilang umat Islam, khususnya bagi kaum Muhajirin yang terusir dari tanah air mereka sendiri.
Bagi bangsa Indonesia, Ramadhan menjadi bulan yang sangat bersejarah. Sebab, detik-detik proklamasi kemerdekaan 1945 juga bertepatan dengan Ramadhan. Pada 2012 ini, umat Islam di Indonesia kembali menjalankan ibadah puasa di tengah perayaan kemerdekaan RI.
Itu semua mengingatkan umat Islam mengenai pentingnya Ramadhan sebagai starting point menuju perubahan dari masa-masa yang suram menuju masa bahagia, dari ketertindasan menuju kemenangan, dan dari kemiskinan menuju kesejahteraan.
Banyak hikmah yang dapat diambil dari sejarah Rasulullah yang membawa kemenangan umat serta perjuangan Bung Karno bersama para pejuang lainnya dalam merebut kemerdekaan. Kemenangan tak akan pernah diraih tanpa perjuangan dan pengorbanan.
Ramadhan, sejatinya adalah perjuangan bagi umat Islam untuk mendapat predikat muttaqin (orang yang bertakwa, saleh secara ritual) (QS Al-Baqarah [2]: 183). Ramadhan juga men jadi ujian untuk mencetak umat yang memiliki kesalehan sosial (dimensi sosial). Sebab, selain bersifat vertikal (hablun minallah), puasa juga bersifat horizontal (hablun minannas).
Keberhasilan menjalankan ibadah puasa tidak hanya dilihat dari kemampuan menahan lapar dan dahaga, tapi juga dari sisi kepekaan dan kepedulian terhadap sesama. Karena itu, puasa menjadi instrumen muhasabah, introspeksi, dan ajang perenungan nasib sesama yang diikuti perbuatan nyata lewat sedekah, infak, mau pun zakat.
Bagi pemimpin dan pejabat di negeri ini, puasa harusnya bisa menjadi ajang introspeksi untuk mengukur tingkat pengabdian terhadap bangsa dan negara. Benarkah selama ini telah berbuat yang terbaik untuk kemaslahatan rakyat? Bangsa ini sedang menghadapi banyak problem yang pelik, mulai dari korupsi, kemiskinan, hingga penegakan hukum yang masih tak imbang.
Momentum Ramadhan harusnya menjadi contoh semua elemen bangsa untuk meneladani perjuangan Rasulullah yang membawa kemenangan ketika perang Badar dan Fathu Makkah. Juga, meneladani perjuangan para pahlawan bangsa.
Idul Fitri: Kembali ke Fitri
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein
Lusa, atau sambil menunggu keputusan dari Pemerintah tentang penetapan Idul Fitri 1 syawal 1433 H, seluruh umat Islam di dunia dan Indonesia akan merayakan Hari Raya Idul Fitri.
Perayaan hari ‘kemenangan’ ini merupakan sangat penting khusus bagi orang beriman, setelah menjalankan ibadah satu bulan lamanya pada bulan suci Ramadhan.
Kenapa saya menulis khusus orang beriman, karena subtansi dari perayaan hari kemenangan Idul Fitri sebenarnya ditujukkan untuk orang-orang yang beriman. Hal ini merujuk pada kewajiban berpuasa hanya untuk orang-orang beriman (QS Al-Baqarah: 183). Secara subtansi, ‘Īdu l-Fitr, yang berarti kembali ke fitri (suci).
Untuk menjadi suci, seluruh egosentrisme dan kesombongan manusia diredam demi menjaga hubungan baik dengan seluruh umat manusia, lingkungan, alam, dan segala sesuatu di luar diri dan pribadinya. Hal ini tersirat dalam al-Quran, “Hadapkanlah wajahmu dengan lurus terhadap agama menurut fitrah Allah yang telah menciptakan fitrah itu pada manusia.
Tidak mengherankan kemudian apabila kesucian 1 Syawal dijadikan momentum bagi seluruh umat muslim di berbagai penjuru dunia dengan saling memberi kesempatan untuk bersilaturahim, bermaaf-maafan, dan kesempatan memperoleh kemenangan baik secara individual maupun kelompok.
Sementara kata fithrah sendiri bermakna 'yang mula-mula diciptakan Allah SWT'.
Idul Fitri seharusnya dimaknai sebagai 'kepulangan seseorang kepada fitrah asalnya yang suci' sebagaimana ia baru saja dilahirkan dari rahim ibu. Secara metafor, kelahiran kembali ini berarti seorang Muslim yang selama sebulan melewati Ramadan dengan puasa, qiyam, dan segala ragam ibadahnya harus mampu kembali berislam, tanpa benci, iri, dengki, serta bersih dari segala dosa dan kemaksiatan.
Idul Fitri berarti kembali pada naluri kemanusian yang murni, kembali pada keberagamaan yang lurus, dan kembali dari seluruh praktik busuk yang bertentangan dengan jiwa manusia yang masih suci. Kembali dari segala kepentingan duniawi yang tidak islami. Inilah makna Idul Fitri yang asli.
Hari Raya Idul Fitri sebagai epos penyempurna pascapuasa Ramadan menjadi sangat berarti ketika kemerdekaan kembali direngkuh. Manusia sebagai insan yang tidak pernah lepas dari salah dan lupa akan menemukan fitrahnya kembali apabila hari kemenangan ini dapat kita maknai dengan sungguh-sungguh. Bukan sekadar ritual yang habis manis sepah dibuang. Atau bergembira ria di hari Lebaran, selepas salat Ied berlalu segala sifat, mentalitas, dan perbuatan buruk mencuat kembali dan menorehkan tinta hitam di kertas putih dan suci.
"...dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS al-Baqarah:185)
Fitrah (kesucian) dapat menjadi dasar hidup kita berpijak. Maka kemudian lantunan takbir mengagungkan keesaan Allah SWT, tahmid atau bersyukur atas segala karunia yang diberikan Allah SWT, dan tasbih yaitu menganggungkan kemahasucian Allah SWT), merupakan tombak spiritual kita dalam rangka memerangi segala macam problem kehidupan; baik berupa ketertindasan struktural, kebodohan sosial, kemunafikan, kedengkian, kebohongan, keculasan, dan segala yang merugikan bagi diri sendiri ataupun bagi lingkungan sosial kita. Selamat Idul Fitri.
Dua Esensi Kemerdekaan
Oleh: Ina Salma Febriani
Puluhan tahun sudah negeri ini bebas dari kuasa penjajah. Kebebasan yang sepatutnya dilihat dari berbagai segi karena pembebasan itu memerlukan waktu yang teramat panjang, tenaga yang tak kepalang tanggung, juga keberanian yang terpancar tiada batas.
Ranah tercinta ini telah dibela mati-matian oleh para pahlawan yang berani mengobarkan semangat juang, berperang mengusir penjajah demi mempertahankan nyawa Indonesia.
Pengorbanan yang sungguh tak bisa dibayar oleh apa pun demi mandirinya bumi tercinta. Tentu saja, kemerdekaan yang saat ini telah kita raih, perlu dimaknai oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia.
Memaknai kemerdekaan tidak hanya disambut dengan sejumlah perlombaan. Karena, perayaan itu akan absen diadakan ketika hari kemerdekaan jatuh tepat di bulan puasa seperti tahun lalu dan tahun ini. Sehingga, makna kemerdekaan dilihat dari persepsi sempit melalui adanya mata lomba oleh para anak-anak penerus bangsa.
Penerus bangsa adalah intan permata bagi bangsa Indonesia. Setidaknya, pembinaan akhlak, iman, dan ilmu menjadi senyawa terbentuknya negeri yang lebih baik dari segala roh kehidupan. Tentu saja, ada rahasia Tuhan mengapa momen bersejarah itu jatuh tepat di pengujung bulan suci Ramadhan.
Ramadhan dan hari kemerdekaan memiliki visi yang sama. Kedua-duanya menghendaki nilai kemerdekaan. Jika ramadhan menghendaki umat Islam yang menjalankannya agar merdeka dan bebas dari hawa nafsu dan diperoleh melalui jihad terberat yang dimaknai Rasulullah SAW sebagai Jihad An-Nafs, maka nilai kemerdekaan dari momen bersejarah hari ini ialah agar rakyat Indonesia mampu mensyukuri dan mengelola kembali apa yang dimiliki Indonesia, baik itu sumber daya manusia, apalagi sumber daya alam yang Allah anugerahkan secara gratis. Namun sayangnya, penganugerahan SDA dikotori oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Dalam Surah Ar-Ruum ayat 41, Allah SWT berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di bumi oleh tangan-tangan manusia agar Dia timpakan pada mereka sebagai akibat yang telah mereka kerjakan agar mereka bertaubat.”
Makna ayat tersebut sangat universal. Kerusakan yang terjadi saat ini di Indonesia, baik secara fisik maupun nonfisik. Kerusakan hutan, banjir, kebakaran, gempa bumi, tsunami, tanah longsor, menjadi bukti bahwa kita harus bersahabat dengan alam melalui pelestarian dan tidak menjadikan alam sebagai objek santapan yang dampaknya akan menimpa manusia itu sendiri.
Surah Ar-Rum ayat 41 juga ditafsirkan oleh Syekh Nawawi, bahwa kerusakan yang dimaksud dalam ayat tersebut ialah kerusakan moral atau bentuk-bentuk kemaksiatan manusia. Kerusakan nonfisik yang kedua ini perlu dibina dengan penyetaraan iman, ilmu dan amal. Penyetaraan ketiganya perlu dibina dan tepat sasaran yakni generasi penerus bangsa.
Oleh sebabnya, kemerdekaan Ramadhan dan Hari Kemerdekaan menjadi dua esensi yang memengaruhi apakah Indonesia telah sepenuhnya bebas dari penjajahan, ataukah akan tetap dijajah oleh nafsu diri pribadi? Inilah yang menjadi tanggung jawab dan kesadaran kita bersama. Wallahua’lam.
Konsistensi Ibadah di Luar Ramadhan
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Berbahagialah orang-orang yang telah menunaikan puasa Ramadhan dan memelihara hawa nafsunya dari peringai kehinaan dan keinginan buruk setan. Berbahagialah orang-orang yang memasukkan kebahagiaan kepada anak yatim dan fakir-miskin di bulan Ramadhan.
Berbahagialah orang-orang yang memulai pengalaman baru dengan intensif beribadah di bulan suci. Berbahagialah orang-orang yang diringankan Allah SWT dalam berbuat kebaikan. Berbahagialah orang-orang yang memperbanyak doa dan pengharapan kepada Allah SWT di bulan termulia.
Berbahagialah dan berbahagialah orang-orang yang puasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah yang diterima oleh Allah SWT. Hal tersebut tidak lain karena Malaikat Jibril AS mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang berpuasa dengan berbagai upaya kebaikan yang dilakukan di dalamnya dan Rasulullah SAW mengaminkannya.
Suatu hari, Rasulullah SAW menaiki tangga mimbar dan pada saat berada di atas tangga pertama, beliau berkata, “Amin”. Kemudian naik ke tangga kedua dan berkata, “Amin”. Lalu naik ke tangga ketiga dan berkata, “Amin”.
Ketika Rasulullah SAW turun mimbar dan memiliki waktu cukup luang dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasul, kami mendengar sebuah perkataan pada hari ini yang belum kami dengar sebelumnya.” Rasulullah SAW bertanya, “Kalian semua mendengarkannya?” Para sahabat berkata, “Iya”.
Rasulullah SAW lalu bersabda, "Sungguh, Jibril AS menyampaikan kepadaku pada saat aku berada di tangga mimbar dengan perkataannya, ‘Rugilah orang-orang yang mendapati kedua atau salah satu orang tuanya berumur tua, namun keduanya tidak menjadikannya masuk surga’. Aku (Rasulullah SAW) menjawab, ‘Amin’. Rugilah orang-orang yang jika namamu (Muhammad SAW) disebut, namun dia tidak mengucap shalawat kepadamu. Aku menjawab, ‘Amin’. Rugilah orang-orang yang mendapati Ramadhan namun tidak mendapat ampunan Allah. Aku menjawab, ‘Amin’." (HR. Tabrani).
Memasuki bulan Syawal, pertanyaan pertama bagi seorang Muslim adalah apakah semua atau sebagian kegiatan ibadah dan pendekatan kepada Allah SWT di bulan Ramadhan akan ditradisikan dan dikonsistensikan di luar Ramadhan ataukah sama sekali tidak akan dilakukan? Dengan kata lain, apakah komunikasi intensif dengan Allah SWT dan hubungan baik sesama manusia di bulan Ramadhan akan memberi pengaruh seluruhnya, sebagiannya atau tidak memberi pengaruh sama sekali di luar Ramadhan?
Hal tersebut karena seorang mukmin sejati bukanlah "hamba" Ramadhan yang beribadah dan memanfaatkan peluang untuk mendapatkan pahala dan ridha Allah SWT hanya di bulan Ramadhan. Seorang mukmin sejati bukanlah seorang yang berbuat kebajikan semaksimal mungkin selama satu bulan dan meninggalkannya di sebelas bulan kemudian, karena Allah SWT berfirman, "Dan sembahlah Tuhanmu sampai keyakinan datang kepadamu." (QS. Al-hijr: 99).
Jika di bulan Ramadhan seorang mukmin sejati menyibukkan dirinya dengan kesulitan beribadah, taat dan istiqamah, maka di luar bulan Ramadhan ia juga akan menyibukkan diri dengan ibadah, taat, berbuat baik dan berakhlak mulia.
Orang-orang yang beribadah, taat dan menjalin silaturahim hanya di bulan Ramadhan dan meninggalkannya pasca Ramadhan, apalagi kembali kepada kehidupan yang dibenci dan dimurkai Allah, maka orang-orang itu masuk dalam kategori munafik.
Hal tersebut karena dalam diri mereka telah hilang sifat-sifat pribadi Muslim yang baik yang berpihak pada kebenaran, kebaikan dan keadilan; mengingkari perintah Allah; memutus tali persaudaraan; beribadah karena mayoritas kaum Muslimin melakukan ibadah serupa dan membuat kerusakan di bumi. Allah SWT berfirman, "Dan orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutus apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk." (QS. Ar-Ra'd: 25).
Yang dituntut dari seorang Muslim adalah menjadikan hari-hari di luar Ramadhan seperti Ramadhan, sehingga konsisten dalam dalam ibadah, takwa, silaturrahim, berbuat baik dan istiqamah sebagaimana penggambaran yang diberikan oleh Allah SWT terhadap pribadi mukmin di dalam Surah Al-Mu'minun: 1-11. Wallahua'lam.
Halal Bihalal dan Kesalehan Sosial
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein
“Minal Aidin Wal Faizin, mohon maaf lahir dan batin.” Untaian kalimat itu yang paling banyak terdengar ketika momentum Idul Fitri. Alhamdulillah, Lebaran telah tiba dan proses halal bihalal sudah berlangsung.
Bagi kita Umat Islam, Idul Fitri bukan sekadar perayaan ritual semata. Idul Fitri yang memiliki arti kembali kepada kesucian, atau kembali ke asal kejadian menjadi momentum yang berbahagia. Bagaimana tidak, di saat Idul Fitri, sebagaimana diambil dari bahasa Arab, yaitu fithrah, berarti suci, Umat Islam lahir ‘kembali’ seorang manusia yang tidak dibebani dosa apapun. Bagaikan kelahiran seorang anak, yang diibaratkan secarik kertas putih.
Budaya saling memaafkan ini lebih populer disebut halal-bihalal. Fenomena ini adalah fenomena yang terjadi di Tanah Air, dan telah menjadi tradisi di negara-negara rumpun Melayu. Ini adalah refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang.
Kata halal memiliki dua makna. Pertama, memiliki arti 'diperkenankan'. Dalam pengertian pertama ini, kata halal adalah lawan dari kata haram. Kedua, berarti “baikâ”. Dalam pengertian kedua, kata “halal” terkait dengan status kelayakan sebuah makanan.
Dalam pengertian yang lebih luas, halal-bihalal adalah acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran. Keberadaan Lebaran adalah suatu pesta kemenangan umat Islam yang selama bulan Ramadhan telah berhasil melawan berbagai nafsu hewani. Dalam konteks sempit, pesta kemenangan Lebaran ini diperuntukkan bagi umat Islam yang telah berpuasa, dan mereka yang dengan dilandasi iman. Menurut Dr. Quraish Shihab, halal-bihalal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab halala yang diapit dengan satu kata penghubung ba (dibaca: bi) (Shihab, 1992: 317).
Halal bihalal juga bisa dimaknai secara sosial. Aktivitas ibadah puasa sebulan penuh selama Ramadan selalu mendorong seorang hamba selalu melakukan ibadah. ibadah tidak hanya dilakukan secara vertikal kepada sang Khalik. Selama Ramadan, Umat Islam pun dididik untuk selalu beribadah horisontal (muamalah). Karena itu, selama Ramadan, Umat Islam dilatih untuk selalu menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Ramadan penuh dengan pesan etika keshalehan sosial yang sangat tinggi, seperti pengendalian diri, disiplin, kejujuran, kesabaran, solidaritas dan saling tolong-menolong. Ini merupakan sebuah potret yang mengarah kepada eratnya keshalihan pribadi dengan keshalihan sosial.
Untuk menambah keyakinan kita, ada baiknya kita membaca kisah khalifah Umar. Dikisahkan, pada suatu malam di bulan Ramadan, Umar mengajak pembantunya berkeliling kota. Semua rumah gelap menandakan penghuninya sudah tidur. Ada satu rumah yang pintunya masih terbuka sedikit, karena tertarik Umar mendatanginya. Ternyata ada tangisan seorang anak yang suaranya hampir habis karena kelelahan.
Mengapa anak itu menangis terus, sakitkah? Tanya Umar bin Khattab. Ibu anak itu menjawab, “Tidak, dia menangis karena kelaparan.”
Umar melihat di dalam ada tungku yang menyala di atasnya ada kuali yang menandakan si ibu sedang memasak. Apa yang sedang ibu masak? Tanya Umar kembali. Si ibu mempersilahkan tamu yang tak dikenalnya itu untuk melihat sendiri isinya.
Betapa terpananya Umar ketika melihat isi kuali itu batu. “Mengapa ibu merebus batu?” Tanya Umar.
Ibu itu menjawab, “Supaya anak saya melihat ibunya sedang memasak dan berhenti menangis. Itu yang dapat saya lakukan sampai tuan datang.”
Terharu Umar mendengarnya. Matanya tertunduk dan menggeleng sedih.
Saat itu pembantunya mengatakan, “Apakah ibu tidak tahu di Madinah ada Amirul Mukminin tempat ibu dapat mengadukan keadaan ibu untuk mendapatkan pertolongannya?”
Langsung Ibu itu menjawab, “Andai di kota ini ada seorang Khalifah, maka dialah yang seharusnya datang kepada kami untuk melihat nasib kami, rakyatnya yang kelaparan.”
Mendengar ucapan itu Umar bin Khattab langsung lemas dan bergegas pergi mengajak pembantunya mengambil sepikul gandum. Umar pun memanggul sendiri gandum untuk rakyatnya yang sedang kelaparan.
Kisah itu menggambarkan betapa kokohnya spiritual seorang pemimpin (Umar) dan seorang rakyat jelata (ibu) yang miskin tetapi memelihara prinsip tawaru atau menjaga diri dari sikap meminta-minta. Di sisi lain, ada kekuatan spiritual seorang pemimpin yang menyadari dan menyesali kelalaiannya melayani rakyat.
Sebagai umat Islam yang hidup di zaman modern, kita berharap agar nilai-nilai yang dijalankan Khalifah Umar bin Khattab masih dapat dijalankan oleh para pemimpin di negeri ini yang mayoritas berpenduduk Islam.
Kita juga berharap, ketika kita benar-benar menjadi pemimpin umat kelak, dapat memberikan pelayanan kepada rakyat, khususnya rakyat yang tengah dilanda kelaparan dan kesusahan. Dengan berpuasa, kita berharap dapat meningkatkan rasa kepekaan terhadap kondisi sosial.
Sebagai manifestasi kesalehan individual dan sosial, puasa menjadi sangat penting ketika mampu menciptakan kondisi kondusif untuk terjadinya perubahan demi terciptanya masyarakat yang egaliter, toleran, dinamis dan beradab. Dan, orang yang mampu menciptakan masyarakat seperti itu sudah mendekati ambang puasa ideal.
Nilai-nilai muamalah (kemanusiaan) yang dibawa selama Ramadan ini merupakan bukti alangkah besarnya kepedulian Allah terhadap problematika sosial. Ia tidak hanya peduli terhadap keshalihan pribadi tapi lebih kepada kesalihan sosial sehingga Ia pun menggantungkan keabsahan keshalihan pribadi kepada keshalihan sosial.
Langganan:
Postingan (Atom)