Selasa, 25 Juni 2013

Durian

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustadz Yusuf Mansur Saya masuk dan melewati negeri penghasil duren (durian). Dan bertanya kepada yang ikut satu mobil. "Kalo saya pengen makan duren malam ini, bisa?". Kawan-kawan tertawa kecil. Kata mereka, ini bukan musimnya. Ga ada." Sejurus saya koq ingat soalan tauhid. Siapa yang menumbuhkan duren? Allah. Dan Allahu itu, laa syariika lahu, ga perlu yang lain. Secara syareat, perlu ditanam, dari biji. Jadi pohon. Membesar, berbunga, lalu berbuah. Tapi bila Allah mau? Wamaa amrunaa illaa waahidatun kalamhin bil-bashor. Semua akan Allah hadirkan dalam hitungan kedipan mata saja. Begitu termuat di dalam akhir-akhir Surah al Qomar. Dan di ayat yang lain, ayat yang sangat kita hafal, innamaa amruhuu idzaa arooda syai-an, ay-yaquula lahuu kun fayakuun. Kalau Allah menghendaki saya dan kawan-kawan makan duren, malam itu, ya Kun Fayakuun dah. Lantas saya mengajak semua berdoa. Dengan yakin ya. Begitu kata saya. Jangan ampe ragu. Allah ga perlu musim. Allah juga ga perlu pohon untuk bisa membagi kita duren. Saya lantas kisahkan kisah makanan bagi Maryam, ibundanya Nabiyallaah 'Isa. Diturunkan dari langit. Dan kami pun berdoa. Sederhana. Minta dikirimkan duren. Alhamdulillaah tausiyah berjalan lancar. Dan alhamdulillaah pula, sampe besok pagi kami pamit pulang dan bertolak ke Jakarta, duren tetep ga ada. Doa tidak dikabulkan kah? Ga masalah. Bener-bener ga masalah. Toh bagi seorang mukmin, udah dikasih kesempatan, waktu, dan bisa berdoa saja, itu sudah karunia. Ga mesti juga harus dikabul. Kami tersenyum. Makasih ya Allah. Orang lain hanya diberi kesempatan ngomong pengen duren, dan kepengen duren, kami Engkau berikan kesempatan berdoa. Tentulah ini jadi kebaikan di masa yang akan datang. Sekitar tiga-empat tahun kemudian, kisah ini saya kisahkan di Tembilahan, Riau. Hadirin tersenyum. Dia pikir, kalau yang berdoa seorang ustadz, pastilah dikabul. Nyatanya, engga dikabul. Duren, tetap tidak terkirimkan. Sembari ditarik hikmah, bahwa minimal tauhidnya udah bener. Allah ga perlu musim. Allah ga perlu duren. Ga berlaku ketentuan dunia untuk Allah. Sementara, diyakinkan pula, bahwa doa itu, tetap baik, dan jadi kebaikan. Meski tidak atau belum dikabul. Besok paginya, rombongan bersiap pulang ke Jakarta. Panitia mempersilahkan kami sarapan. "Pak Ustadz, semalam ada yang mengirimkan duren. Katanya, untuk Pak Ustadz dan kawan-kawan sarapan. Pake duren," kata panitia, sambil tertawa. Allahu akbar, duren mentega, berwarna kuning yang tampak manis sekali, sudah terhidang untuk kami makan. Subhaanallaah. Maha Suci Allah. Akhirnya Allah kabulkan. Meski butuh perjalanan tiga-empat tahun. Kepada seluruh masyarakat Indonesia, bekerjalah, dan teruslah berdoa. Insyaa Allah Indonesia ke depan bakal lebih baik lagi. Kepada-Nya kita meminta, dan kepada-Nya kita harus bersabar dan berbaik sangka. Salam./div>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar