Minggu, 27 Oktober 2013
Fluktuasi Keimanan
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Imanuddin Kamil
Dalam tatanan berbangsa dan bernegara, fluktuasi nilai tukar (mata uang) menjadi problem serius yang mengancam. Melemahnya nilai tukar membuat stabilitas ekonomi, politik, sedikit goyah. Jika tidak ditangani dengan cepat, tentu akan menjadi krisis multidimensi. Pada akhirnya, negara dalam ambang kebangkrutan.
Fenomena fluktuasi berlaku juga dalam kaidah keimanan. “Iman itu bertambah dan berkurang,” sabda Rasulullah SAW. Iman itu fluktuatif, kadang naik, kadang turun, menguat dan melemah, pasang dan surut. Iman akan bertambah dengan tha’ah dan berkurang dengan maksiat.
Fenomena melemahnya keimanan diindikasikan dengan kelesuan dalam melakukan setiap bentuk ketaatan. Malas beribadah, malas membaca Alquran, malas berinfak dan berzakat, merasa berat datang ke majelis ilmu, berat untuk berbuat kebaikan. Pendeknya, lemah iman telah membuat hati dan jiwa kehilangan antusiasme beramal. Pada saat yang sama, gelora untuk berbuat yang tidak baik semakin menguat. Sebab, lemah iman akan menjadikan hati dan jiwa rentan terhadap segala bentuk dan perilaku maksiat.
Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah seorang pezina itu berzina, ketika ia memiliki kesempurnaan iman. Dan tidaklah seorang pencuri itu mencuri, ketika ia memiliki kesempurnaan iman serta tidaklah seseorang itu meminum khamr, ketika ia memiliki kesempurnaan iman. Sedangkan pintu tobat masih terbuka setelah itu." (HR Muslim)
Dampak dari melemahnya keimanan tentu jauh lebih dahsyat dari sekadar melemahnya nilai mata uang. Lemah iman tak hanya menyengsarakan di dunia, tapi juga di akhirat kelak. Imbas melemahnya keimanan tak hanya mengantarkan bangsa dan negara pada ambang kebangkrutan, tapi juga kehancuran.
Kesadaran akan ancaman ‘fluktuasi keimanan’ haruslah menjadi hal penting dalam keberislaman kita. Kemungkinan berkurangnya iman seharusnya membuat kita lebih serius dalam menjaga, merawat, dan memperhatikan perkembangan keimanan. Bahkan, harus jauh lebih serius dibanding perhatian yang diberikan untuk fisik atau jasad. Rasulullah SAW berkali-kali mengingatkan kita untuk senantiasa memperbarui keimanan. "Perbarui iman kalian," sabdanya.
Tajdidul iman (memperbarui keimanan) bukan berarti mengulangi keislaman dengan menganggap keislaman atau keimanan yang lalu batal. Tajdidul iman lebih tepat adalah merupakan sebuah bentuk kompensasi kita, usaha kita untuk menjaga kestabilan iman, mengontrol kadar iman yang dimiliki sekaligus meningkatkan kualitasnya.
Ada beberapa sebab yang dapat mendongkrak kadar keimanan seseorang sehingga kerja dari tajdidul iman-nya menjadi lebih terarah. Pertama, banyak berzikir. Kedua, tilawah Alquran. Ketiga, menadaburi dan menafakuri ayat-ayat Allah. Kegiatan ini bisa menjadi media taqarub kepada Allah sekaligus meningkatkan kadar iman. Keempat, bergaul dan menyertai orang-orang saleh. Ini bisa dilakukan dengan menghadiri majelis ilmu, majelis zikir, menjalin silaturahim, atau mungkin dengan mem-follow akun-akun yang bisa memberi manfaat, pencerahan, nasihat, dan tausiah. Wallahu a’lam.
Sabtu, 26 Oktober 2013
Jumat, 25 Oktober 2013
Belajar Ketaatan dari Nabi Ibrahim
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Soraya Khoirunnisa Halim
Tanggal 10 Dzulhijjah adalah hari istimewa dimana Umat Muslim di seluruh dunia merayakan Hari Raya Idul Adha. Pada hari tersebut Umat Muslim bersuka cita menikmati daging kurban.
Menikmati kelezatan daging yang kita santap seharusnya membuat kita teringat akan peristiwa luar biasa yang menjadi “cikal bakal” Hari Raya Idul Adha.
Hari Raya Idul Adha yang kita nantikan setiap tahunnya adalah hadiah besar dari Allah SWT atas keta’atan Nabi Ibrahim dan juga Isma’il. (QS. As-Shaaffaat:102-111) Hadiah besar yang diberikan Allah karena keta’atan paripurna dua makhluknya, namun berkah hadiah itu turut kita nikmati sampai sekarang.
Bertahun-tahun lamanya Nabi Ibrahim menantikan hadirnya seorang anak, sampai akhirnya Allah memberikan kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. (QS. As-Shaaffaat: 101). Dialah Isma’il. Tentu tidak dapat dilukiskan bagaimana kegembiraan Nabi Ibrahim. Namun rupanya Allah menguji kecintaan dan keta’atan Ibrahim kepada-Nya.
Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk meninggalkan istri dan anaknya yang baru lahir di sebuah padang pasir gersang. Tidak ada tumbuhan, tidak ada air, apalagi makanan. Hati suami dan ayah mana yang tega meninggalkan orang yang dicintainya dalam keadaan seperti itu.
Namun Subhanallah, Nabi Ibrahim menjalankannya. Pun dengan istrinya Siti Hajar. Dia ikhlas ditinggalkan suami di padang pasir gersang tersebut. Hanya dia dan anaknya. Siti Hajar yakin, bahwa Allahlah yang menjamin kehidupannya dan anaknya. Juga kehidupan seluruh manusia di muka bumi ini.
Demikianlah, Allah mengganti ketaatan dan pengorbanan Siti Hajar dengan berkah yang luar biasa besar. Padang pasir gersang menjadi daerah subur penuh kekayaan alam. Didatangi oleh beratus-ratus juta jamaah setiap tahunnya. Air Zamzam yang tidak pernah kering. Itulah hadiah keta’atan Siti Hajar. Berkahnya masih kita rasakan sampai sekarang.
Dengan kekuasaan-Nya, Allah kemudian mempertemukan Ibrahim dengan putra tercintanya, Ismail. Rasa rindu yang luar biasa terbayar sudah melihat anaknya Ismail telah tumbuh menjadi remaja yang saleh. Bahagia sekali rasanya hidup bersama lagi dengan istri dan anak yang dicintainya. Namun rupanya ujian keta’atan belum usai.
Melalui mimpi, Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya sendiri. Ismail yang begitu dicintainya. Tatkala Ibrahim menceritakan mimpinya kepada Ismail, Ismail menjawab dengan jawaban yang luar biasa. “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, InsyaAllah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. (QS. As-Shaaffaat:102) Jawaban yang memberitahu kita seberapa besar ketaatan Isma’il kepada Allah.
Maka ketika Ibrahim mulai melaksanakan apa yang diperintahkan Allah melalui mimpinya, maka pada saat itulah Allah menebus Ismail dengan seekor sembelihan yang besar. Peristiwa inilah yang menjadi dasar disyari’atkannya qurban yang dilakukan pada hari raya haji.
Itulah hadiah besar Allah kepada Nabi Ibrahim dan Ismail atas keta’atan mereka. Hadiah yang turut kita nimati sampai saat ini. Maka, pada Hari Raya Kurban ini, hendaklah kita juga belajar ketaatan Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan juga Nabi Ismail.
Sehingga Idul Adha yang kita rayakan setiap tahun tidak hanya berlalu begitu saja. Sekedar berlalu dengan menikmati daging kurban. Namun juga menambah ketaatan kita kepada Allah. Itulah hikmah terbesar daripada Idul Adha. Wallahua’lam.
Keimanan Bukan Warisan
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini
Peribahasa mengatakan, “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Maksudnya, perilaku seorang anak umumnya tidak akan jauh berbeda dari perilaku orang tuanya. Ringkas kata, orang tua yang baik biasanya melahirkan anak yang baik. Demikian pula sebaliknya, anak yang durhaka biasanya lahir dari orang tua yang durhaka pula.
Dalam istilah lain, orang tua bisa diibaratkan mata air dan anak laksana aliran sungainya. Maksud dari perumpamaan ini, mata air yang bersih akan mengalirkan air yang jernih. Sementara, mata air yang kotor tentu mengalirkan air yang keruh. Itulah hukum alam alias sunnatullah yang berlaku di jagat raya ini.
Dari sejarah kita mendapatkan informasi seputar sosok-sosok orang tua saleh yang juga memiliki anak-anak saleh. Sebut saja, misalnya, Nabi Ibrahim (1997-1822 SM) yang memiliki putra Nabi Ismail (1911-1774 SM) dan Nabi Ishak (1897-1717 SM), Nabi Ya’kub (1837-1690 SM) memiliki putra Nabi Yusuf (1745-1635 SM), Nabi Daud (1041-971 SM) memiliki putra Nabi Sulaiman (989-931 SM), dan Nabi Zakaria (91 SM-1 M) memiliki putra Nabi Yahya (31 SM-1 M).
Kendati demikian, realitas sejarah juga menunjukkan bahwa peribahasa yang sudah sekian lama kita amini itu tidak mutlak kebenarannya. Fakta demikian dikonfirmasi oleh praktik keseharian kita. Bahkan, Al-Qur’an sendiri banyak bercerita tentang beberapa orang tua yang sangat taat tetapi justru melahirkan anak-anak yang luar biasa jahat. Dengan demikian, Al-Qur’an seolah menegaskan kepada kita bahwa buah memang bisa saja jatuh jauh dari pohonnya.
Simak kisah Qabil, putra sulung Nabi Adam (5872-4942 SM). Meski putra kandung seorang utusan Allah yang mulia, pembunuhan pertama dalam sejarah manusia justru dilakukan Qabil. Kedengkian telah mendorongnya tega menghabisi adik kandungnya, Habil. Melihat kurban kambing milik Habil diterima Allah sementara kurban gandumnya ditolak, muncul amarah di hati Qabil. Ditambah keputusan sang ayah untuk menikahkan dirinya dengan Labuda yang jelek, sementara Habil dengan Iklima yang molek, dendamnya semakin membara. Bulat sudah hatinya untuk melenyapkan nyawa Habil yang sama sekali tidak berdosa.
“...ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Dia (Qabil) berkata, ‘Aku pasti membunuhmu!’ Habil berkata, sungguh Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa. Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sungguh aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam’.” [QS Al-Maidah: 27-28].
Kisah serupa juga terjadi pada Kan’an, putra sulung Nabi Nuh (3993-3043 SM). Menurut Salim Bahreisyi, Nabi Nuh adalah keturunan Nabi Adam yang kesembilan dan merupakan Nabi keempat sesudah Nabi Adam, Nabi Syits (3630-2718 SM), dan Nabi Idris (4533-4188 SM). Ayahnya bernama Lamik bin Metusyalih bin Idris. Tidak kurang 950 tahun, Nabi Nuh mengajak kaumnya kepada ajaran tauhid. Meski siang dan malam berdakwah dalam durasi waktu sepanjang itu, jumlah pengikut Nabi Nuh hanya 70 orang dan delapan anggota keluarganya.
Ironisnya, para penentang Nabi Nuh bukan hanya dari orang luar, melainkan juga putra kandungnya sendiri, Kan’an. Kedurhakaan Kan’an sungguh antitesis dari ketaatan sang ayah. Bahkan, Kan’an masih kukuh pada pendiriannya ketika Allah sudah menurunkan azab berupa banjir dahsyat. Dia tetap ogah turut dalam rombongan kapal Nabi Nuh. Berulang kali Nabi Nuh memanggilnya, tetapi Kan’an memilih untuk menaiki gunung tertinggi yang dipikirnya dapat menyelamatkan dirinya dari luapan banjir bandang itu.
Seketika tubuh Kan’an disambar gelombang ganas, sehingga lenyap dari pandangan mata ayahnya. Timbullah naluri kebapakan Nabi Nuh. Seraya menanggung duka, Nabi Nuh mengadukan keluh kesah kepada Allah. Tetapi, Allah menjawabnya dengan perintah supaya dia mencoret Kan’an dari daftar nama keluarganya, karena telah menyimpang dari ajaran kebenaran. Kedukaan Nabi Nuh itu direkam dengan jelas dalam Al-Qur’an.
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata, ‘Ya Tuhanku, sungguh anakku itu termasuk keluargaku, dan sungguh janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya’. Allah berfirman, ‘Wahai Nuh, sungguh dia bukanlah termasuk keluargamu. Sungguh (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sungguh Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan’.” [QS Hud: 45-46].
Kisah Al-Qur’an berhenti di situ. Dibeberkan pula kisah-kisah seputar sosok terhormat yang justru lahir dari orang tua terlaknat. Lihatlah Nabi Ibrahim. Nabi dan Rasul keenam yang dilahirkan di sebuah tempat bernama Faddam A’ram di wilayah Babilonia itu dikenal sebagai Abu Al-Anbiya’ (Bapak Para Nabi). Di negeri yang subur dan makmur itu, Nabi Ibrahim berdakwah kepada para penyembah berhala yang dikomandani Namrud bin Kan’an bin Kusi (2275-1943 SM), penguasa Babilonia kala itu. Nabi Ibrahim bahkan satu-satunya orang yang berani menghancurkan patung-patung berhala yang menjadi sesembahan penduduk negerinya.
Putra siapa gerangan Nabi Ibrahim yang tangguh dan gagah berani itu? Azar bin Nahur, begitulah nama ayahnya. Dia adalah seorang pemahat dan penjual patung berhala. Melihat kegigihan Nabi Ibrahim memberangus patung-patung berhalanya, tentu saja Azar marah hebat. Nabi Ibrahim kerap menerima cemoohan, kekasaran, bahkan pengusiran dari ayahnya. Al-Qur’an mengisahkan betapa dakwah santun dari Nabi Ibrahim kepada ayahnya disambut dengan cacian dan sumpah serapah.
“...‘Wahai Bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun. Wahai Bapakku, sungguh telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai Bapakku, jangan engkau menyembah setan. Sungguh setan itu durhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah. Wahai Bapakku, sungguh aku khawatir bahwa engkau akan ditimpa azab dari Tuhan yang Maha Pemurah, maka engkau menjadi kawan setan’. Bapaknya berkata, ‘Apakah kamu benci kepada tuhan-tuhanku, Wahai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama’.” [QS Maryam: 42-46].
Keteguhan akidah Nabi Ibrahim jelas bertolak punggung dengan kemusyrikan ayah kandungnya. Persis kisah Nabi Musa (1527-1407 SM). Meski bukan anak kandung Fir’aun (1232-1224 SM), namun Nabi Musa telah dipungut raja durjana bernama Minephtah itu selama 18 tahun. Pertama melihat peti berisi bayi lelaki yang dipungut pembantunya dari sungai Nil itu, Fir’aun segera memerintahkan orang untuk membunuhnya. Tetapi, Fir’aun tidak mampu berbuat banyak, karena permaisurinya, Asiah, sangat menyayangi bayi mungil yang merupakan putra Yukabad itu. Sekali-kali tidak terlintas di benak Fir’aun bahwa kekejaman dan kepongahannya kelak akan berakhir di tangan seorang bayi yang justru diasuh dan dibesarkan dalam istananya.
Itulah kenapa ketika Nabi Musa dan Nabi Harun (1531-1408 SM) mendatangi Fir’aun untuk menyampaikan risalah dakwah dan membebaskan Bani Israil dari kekejamannya, Fir’aun tampak begitu geram. Dia merasa selama ini telah membesarkan anak singa yang kini bersiap menerkam dirinya. Kemarahan Fir’aun ini telah dikisahkan Allah dalam Al-Quran.
“Fir'aun menjawab, ‘Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. Dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu, dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna’.” [QS Asy-Syuara: 18-19].
Makna dari semua kisah di atas tentu saja keimanan merupakan hidayah dari Allah semata, bukan warisan dari nenek moyang. Kewajiban kita adalah terus berusaha dan berdoa, agar menjadi pribadi beriman sekaligus sanggup melahirkan generasi yang juga beriman kepada Allah. Semoga kita semua termasuk golongan hamba Allah yang selamat di dunia ini dan akhirat nanti.
Doa Empat Sahabat
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh; Muh Nursalim
Ketika tawaf, kita saksikan jamaah berebut mencium Hajar Aswad, bahkan hingga terluka atau tidak sengaja melukai orang lain. Ikhtiar itu tidak keliru. Sebab, Rasulullah juga mencium batu hitam tersebut tatkala mengawali memutari Ka’bah.
Di samping itu juga ada informasi yang sahih bahwa multazam yang berada di antara Ka’bah dan pintu Ka’bah merupakan tempat mustajab untuk berdoa.
Kita jarang mendapati jamaah berebut memegang Rukun Yamani. Padahal, tempat itu juga salah satu tempat mustajab. Informasi ini terdapat dalam kitab Ahbar Makah lil al-Fakihi dan kitab Majabu ad-Dakwah.
Disebutkan bahwa Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Mus’ab bin Zubair, dan Abdul Malik bin Marwan tengah berbincang di seputar Ka’bah.
Seseorang di antara mereka berkata, “Hendaklah kalian berdiri dan memegang Rukun Yamani dan berdoa kepada Allah atas keinginannya.Sebab, Allah akan mengabulkan berkat keluasan-Nya. Berdirilah, wahai Abdullah bin Zubair. Sebab, engkau adalah orang yang pertama dilahirkan setelah hijrah.”
Lalu, Abdullah bin Zubair berdiri memegang Rukun Yamani dan berdoa, “Ya Allah, Engkau Mahaagung. Aku mohon dengan kehormatan wajah-Mu dan kehormatan Arsy-Mu serta kehormatan rumah-Mu. Janganlah engkau matikan aku sebelum aku menjadi penguasa negeri Hijaz.” Lalu, ia duduk.
Kemudian, Mus’ab bin Zubair ganti berdiri dan memegang Rukun Yamani lantas berdoa, “Ya Allah, Tuhan segala sesuatu. Kepada-Mulah segala sesuatu berakhir. Aku mohon kepada-Mu dengan kuasa-Mu atas segala sesuatu, janganlah Engkau matikan aku sebelum aku menjadi penguasa Irak dan menikah dengan Sukinah binti Husein.” Lalu, ia duduk.
Kemudian, berdirilah Abdul Malik bin Marwan seraya memegang Rukun Yamani dan berdoa, “ Ya Allah, Tuhan tujuh langit dan Tuhan bumi dengan segala tumbuhan yang ada. Aku mohon dengan hamba-hamba-Mu yang taat dan aku mohon dengan kehormatan wajah-Mu, dan aku mohon dengan segala makhluk-Mu, serta dengan semua orang yang sedang tawaf. Aku mohon kepada-Mu, janganlah engkau matikan aku sehingga Engkau anugerahkan aku kekuasaan bumi timur dan barat, dan tidak ada orang yang mengudetaku sehingga ia aku penggal lehernya.” Lalu, ia duduk.
Setelah itu, berdirilah Abdullah bin Umar seraya memegang Rukun Yamani dan berdoa, “Ya Allah, Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, aku mohon kepadamu dengan rahmat-Mu yang mendahului murkamu dan aku mohon kepadamu dengan takdir-Mu atas semua makhluk-Mu… janganlah engkau matikan aku sehingga Engkau menunjukkan aku sebagai ahli surga.”
Berkata as-Sya’bi, yang melihat peristiwa itu, “Selama hidup aku menyaksikan keempat orang tersebut mendapatkan apa yang mereka minta. Dan, Abdullah bin Umar diberi kabar gembira sebagai ahli surga.”
Para sahabat adalah generasi Muslim terbaik sebab mereka mendapat pengajaran Islam langsung dari Rasulullah. Mereka berdoa dengan permintaan yang sangat tinggi dan Allah telah mengabulkannya.
Untuk itu, rasanya para jamaah haji perlu meniru “kesuksesan” mereka dalam berdoa dengan memegangi Rukun Yamani. Langkah ini selain untuk memecah konsentrasi jamaah di Hajar Aswad, juga untuk membuktikan bahwa Rukun Yamani ternyata juga merupakan tempat mustajab. Wallahu’alam.
Selasa, 22 Oktober 2013
Empat Amanat Rasulullah SAW di Padang Arafah
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh HM Rizal Fadillah
Pada 9 Dzulhijjah jamaah haji melaksanakan wukuf di Arafah. Sebagai rukun haji, wukuf merupakan kegiatan ibadah yang penting bahkan dapat disebut terpenting. Sah tidaknya berhaji ditentukan oleh berwukuf tidaknya ia di Arafah. Mereka yang sakitpun selama masih ada nafasnya dibawa ke tempat ini. Ia wukuf sebentar lalu kembali ke rumah sakit yang merawatnya.
Di Arafah ini turun ayat terakhir Alquran “Pada hari ini telah Aku sempurnakan Agama untuk kalian dan telah Aku cukupkan ni’mat-Ku kepada kalian, dan telah Aku ridloi Islam sebagai Agama kalian” (QS Al Ma’idah 3). Kegiatan yang menyertai shalat, dzikir dan do’a adalah khutbah.
Rasulullah SAW berkhutbah sebelum shalat Dzuhur dan Ashar jama qashar taqdim. Khutbah inilah yang dikenal dengan khutbah wada (khutbah terakhir) karena disampaikan saat beliau berhaji terakhir (hijjatul wada’). Sabda Nabi “Ambilah dariku cara kalian bermanasik haji, mungkin sehabis tahun ini aku tidak akan menunaikan ibadah haji lagi” (HR Muslim).
Beliau berkhutbah dengan penuh kesungguhan dan mohon perhatian yang sangat dari jama’ah. Pentingnya isi khutbah, sampai sampai di akhir khutbah Beliau mengangkat telunjuknya ke langit dan menunjuk orang banyak “Allahummasyhad... Allahummasyhad...Allahummasyhad..!” (Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah !).
Adapun amanat penting itu ada empat hal, yaitu:
Pertama, “Inna dimaa-a-kum wa amwaalakum haroomun ‘alaikum” (Sesungguhnya darahmu dan hartamu haram atasmu sekalian). Ini adalah amanah untuk menjaga persaudaraan. Dilarang sesama mu’min untuk saling menumpahkan darah, menyakiti, dan mengambil hartanya dengan cara yang zalim. Sebaliknya satu dengan yang lain dituntut untuk saling menjaga kehormatan dan kewibawaannya. Mu’min adalah cermin dari saudaranya.
Kedua, “Wa ribaal jaahiliyyati maudhu’un” (dan riba jahiliyah itu terlarang). Riba adalah perbuatan dosa dan memakannya sama dengan memakan duri di neraka. Ini menyangkut pergaulan ekonomi yang mesti dilakukan secara halal. Tidak mengandung unsur riba, judi (maisir) dan penipuan (gharar).Meminjamkan uang bukan dengan motif ingin pengembalian yang lebih banyak, melainkan dengan semangat menolong orang yang mengalami kesulitan. Melapangkannya akan berakibat kelapangan di akherat.
Ketiga, “Fattaquullaha fien nisaa-i fainnakum akhodztumuhunna biamaanillah” (Jaga dan bertakwalah kepada Allah dalam hal perempuan, sesungguhnya engkau mengambilnya dengan amanah Allah). Begitu mulia Nabi mengamanatkan persoalan istri. Menjaga badan dan hatinya karena Allah. Sikap suami kepada istri menjadi indikator kemuliaan dan kehinaan dirinya sebagaimana Sabda Nabi “Tidaklah memuliakan istrinya selain orang mulia, tidaklah menghinakannya selain dia orang yang hina”.
Keempat, “Wa qad taraktu fiikum maa lan tadhilluu ba’dahu in i’tashomtum bihi kitaaballahi” (Dan sesungguhnya aku tinggalkan kepadamu yang jika berpegang padanya tak akan sesat selama-lamanya, Kitabullah). Alquran adalah warisan Allah ‘tsuma awrotsnal kitaab’ yang menjadi bukukeselamatan hidup di dunia dan akherat. Sekeras dan segila apapun zaman yang ada, jika Al Qur’an tetap dibaca dan dijadikan pedoman, maka Allah pasti akan melindungi dan menyelamatkannya. Namun sebaliknya, melepaskan atau menjauhi Alqur’n maka sudah dapat dipastikan Allah akan melepaskan pula dirinya dan Ia pun akan menjadi sasaranpenyesatan dari orang-orang rusak yang ada di zaman itu.
Begitulah esensi khutbah Nabi. Amanat Arafah beliau SAW bukan hanya terdengar oleh mereka yang berhaji, tetapi gaungnya terdengar jauh ke ruang yang lebih luas. Dulu, kini, dan yang akan datang.
Pada tahun 11 Hijriyah bulan Shafar Rosulullah SAW sakit keras, semakin lama semakin lemah. Sinyal wada’ (perpisahan) saat haji mulai terasa. Demamnya semakin tinggi “demam yang kurasakan sama dengan demam yang dirasakan oleh dua orang diantara kalian”.
Nabi berada dipangkuan Siti Aisyah. “Aku merasakan beliau semakin berat dipangkuanku, kuperhatikan wajahnya ternyata penglihatannya memudar, lalu memejamkan mata seraya berucap: Ar Rofiqul A’laa minal Jannah ! (Ar Rofiqul A’laa dari Surga !)”. Saat itu wafatlah Rasulullah SAW.
Paradoks Haji dan Realita Sosial
REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Prof Dr Hj Masyitoh MAg
(Rektor Univeritas Muhammadiyah Jakarta)
Setiap tahun jamaah haji Indonesia terus meningkat secara kuantitas, tapi secara kualitas patut dipertanyakan. Indikatornya banyak, yang nampak kasat mata adalah kesalehan sosialnya. Mereka yang berangkat ke tanah suci Mekah, seolah sulit dibendung meski pada saat multikrisis. Hal itu menandakan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang cukup mampu dalam hal materi. Multikrisis yang mendera bangsa akhir-akhir ini tidak banyak berpengaruh pada kantong-kantong pribadi sebagian besar masyarakat kita. Namun sejalan dengan itu, ternyata masih banyak rakyat yang berada dalam keprihatinan ekonomi, seakan-akan tidak ada lagi perasaan keadilan di negeri ini. Yang kaya terus meningkatkan kekayaannya tanpa mau berbagi dengan orang-orang yang miskin, kalau pun berbagi, tidak ada artinya. Sehingga, jurang antara kaum “the have” dengan kaum dhuafa semakin dalam.
Bahkan di tengah masyarakat kita, banyak yang lebih mengutamakan egoismenya untuk pergi haji, sudah haji sekali, ingin dua kali, tiga kali dan seterusnya. Sehingga umat Islam yang belum pernah berhaji semakin panjang antriannya untuk menunggu kuota dan kesempatan berhaji.
Masyarakat mampu secara ekonomi lebih banyak mengutamakan ibadah individu dari pada ibadah sosial. Jangan-jangan ketika para jemaah haji Indonesia berdoa di multazam pun, mereka hanya berdoa untuk kesuksesan dan kemakmuran diri sendiri saja, tanpa mau mendoakan masyarakat Indonesia yang sedang krisis tauladan ini. Itu juga sebabnya mungkin mengapa Allah kurang mendengar doa jamaah haji kita, karena mereka hanya berdoa untuk kepentingan diri dan keluarga saja. Mungkin ada yang mendoakan bangsa Indonesia ini, namun senyatanya kondisi negara kita tidak banyak berubah. Doa para hujjaj ini belum dapat menyelesaikan berbagai kesulitan bangsa, karena tidak datang dari lubuk hati yang paling dalam. Banyak para tokoh yang sedang bermasalah, mereka pergi ke tanah suci Mekah, namun apakah ritual di tanah suci dapat menyelesaikan masalah bangsa?
Adakah korelasi antara ibadah haji kita dan para pemimpin bangsa dan penyelesaian berbagai masalah bangsa ini? Bisa jadi ibadah itu hanya sekedar simbol dan acara ritual semata, bukan ibadah yang merasuk ke dalam hati dan jiwa yang membuahkan alam pikiran dan perilaku yang tercerahkan, perilaku yang membebaskan kehidupan, perilaku yang menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Dr Ali Syariati – seorang intelektual Iran yang pemikirannya banyak dijadikan referensi, dalam bukunya Hajj: Reflection on its Rituals memberikan refleksi bahwa Haji adalah sebuah “simbol”. Semakin dalam engkau menyelami lautan ini, semakin jauh engkau dari tepiannya. Haji adalah samudera tak bertepi. Makna haji itu sesuai dengan ‘pemaknaanmu’ sendiri. Jika ada yang mengaku paham keseluruhan makna haji, maka sesungguhnya ia tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang haji. Esensi ritual haji adalah evolusi eksistensial manusia menuju Allah. Haji merupakan drama simbolik dari filsafat penciptaan anak cucu Adam.
Refleksi Ali Syariati ini tidak berlebihan, karena banyak orang yang terjebak dengan gerakan ritual fisik dalam ibadah haji, tanpa mendalami pemaknaan bathin yang hakiki. Banyak orang menunaikan ibadah haji ke Mekkah, tapi mungkin tak meraih ma’rifat. Mereka bertawaf mengelilingi Ka’bah, tapi tak berjumpa dengan Tuhan. Mereka ber-sa’i penuh gairah, tapi tak menghayati makna pergulatan Siti Hajar berlari antara bukit Shafa dan Marwa untuk putra tercinta Ismail. Mereka mabit di Mina, namun tak meraih muhasabah diri yang teduh. Mereka berwukuf di terik Arafah sebagai puncak ritual ibadah haji, tapi tak meraih pembebasan diri selain berdoa dan menangis tersedu-sedu untuk kesaktian diri, mereka bahkan melempar jumrah dengan semangat dan ambisius, tapi tak pernah berani melempar setan yang bersarang dalam dirinya.
Semestinya para hujjaj itu bertemu atau napak tilas dengan nabi Ibrahim. Belajarlah kepada nabi yang disebut kekasih Allah itu. Nabi yang bertauhid setelah mengalami proses pencarian Tuhan yang demikian panjang. Nabi yang berserah diri secara total ketika diminta mengurbankan putra tercintanya Ismail, padahal kehadiran sang anak telah dirindukannya demikian lama. Nabi yang beristrikan Siti Hajar seorang budak namun Ibrahim tetap penuh cinta kasih, dan tingkah lakunya dilambangkan dalam ibadah sa’i dalam rangka memperjuangkan kebutuhan putra terkasihnya Ismail, sebagai tanggung jawab seorang ibu. Nabi Ibrahim yang selalu mencintai kemakmuran rakyat dan negerinya melalui doanya yang muktabar: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri (Mekkah) ini aman sentosa dan hindarkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
Kita semua tahu bahwa mayoritas penduduk Indonesia ini beragama Islam, tapi berapa banyak yang Islamnya hanya sebatas ritual, bukan spiritual. Banyak di antara umat Islam yang rajin ke masjid, rajin mengaji, rajin puasa dan mengeluarkan zakat, namun hal itu baru sebatas ritual, sedangkan Islam spiritual akan tercermin dalam perilaku sehari-hari. Apakah kita sudah merasa takut kepada Allah di manapun berada, sehingga kita tidak akan pernah melakukan perbuatan yang tidak baik, itulah makna ihsan, karena kita selalu merasa bahwa seluruh sepak terjang kita senantiasa dalam pengawasan Allah Swt. Apakah kita dengan segera membantu saudara-saudara kita yang terkena musibah, selalu menjaga perasaan orang lain tatkala berbicara, selalu merendahkan diri dan tidak mengumbar kesombongan? Itu di antara bentuk Islam spiritual.
Orang yang telah melaksanakan ibadah haji dan kembali ke dalam kehidupan masyarakat, seyogyanya mereka lebih dekat kepada Allah dan keimanannya kepada Allah lebih kuat, seperti yang digambarkan dalam thawaf mengelilingi ka’bah ketika mereka berhaji. Jiwa pengorbanan mereka terhadap kaum yang lemah dan miskin seharusnya lebih tajam seperti yang tergambar dalam ritual sa’i antara bukit Shafa dan Marwa. Mereka seharusnya lebih sering mengintrospeksi diri atau muhasabah an-nafsi seperti yang tergambar ketika mereka bermalam atau mabit di Mina. Jiwa mereka seharusnya lebih tenang dan sabar seperti saat mereka wukuf di Arafah. Mereka seharusnya dapat mengusir hawa nafsu syaitan yang menyesatkannya seperti yang tergambar saat mereka melempar jumroh.
Ketika seseorang memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Ka’bah, ia telah berusaha menemukan arah perjalanan hidupnya dan meneguhkan arti keberadaannya. Karena haji adalah gerakan, gerakan adalah Islam, Islam adalah jalan dan orientasinya adalah tauhid. Dengan kata lain, haji merupakan awal migrasi dari pemujaan diri sendiri menuju pencarian keridhaan ilahi, dari ketidakberdayaan menuju ketaqwaan, dari keragu-raguan (ambivalensi) menuju keteguhan hati, dari multiteisme menuju monoteisme.
Itulah sekelumit refleksi pemaknaan ibadah haji. Jika kita meyakini tauhid sebagai poros dalam kehidupan beragama, maka simbol-simbol dalam idadah haji akan mampu menyatu dalam alam pikiran dan akan menyingkap tirai keangkuhan, kecongkakan, dan kelalilaman yang sementara ini masih kita peluk dengan eratnya. Pada akhirnya kita akan menjadi orang Islam yang tidak hanya melaksanakan ibadah ritual, tapi juga Islam secara spiritual. Wallahu a’lamu bis shawab.
indahnya doa
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini
Namanya Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Ju’fi Al-Bukhari (196 H/810 M-256 H/870 M). Siapa saja yang belajar hadis pasti mengenal ulama bernama populer Imam Bukhari ini.
Lahir di Bukhara, Uzbekistan, dia adalah ahli hadis termasyhur sepanjang masa. Tetapi, tahukah Anda bahwa ulama yang hafal puluhan ribu hadis beserta detail sanadnya ini pernah mengalami kebutaan sewaktu kecil?
Adalah sang ibunda yang begitu sedih melihat kondisi Bukhari kecil. Ibnu Hajar dalam ‘Hadyu As-Sari’ meriwayatkan bahwa ibunda Imam Bukhari tiada henti berdoa untuk memohon kesembuhan putranya. Allah akhirnya mengabulkan doanya.
Pada suatu malam, ibunda Imam Bukhari bermimpi melihat Nabi Ibrahim yang berkata, “Hai Fulanah, sungguh Allah telah mengembalikan penglihatan putramu karena seringnya engkau berdoa.” Pagi harinya, ibunda Imam Bukhari menyaksikan bahwa penglihatan putranya telah kembali normal.
Subhanallah. Itulah keajaiban sebuah doa. Simak pula kisah yang dialami Nabi Zakaria (91 SM-1 M) sebagaimana dituturkan Al-Qur’an. Dalam usia senja, Nabi Zakaria gelisah karena belum juga dikaruniai keturunan. Kendati demikian, pantang bagi Nabi dan Rasul Allah ke-22 ini patah arang. Siang dan malam dia terus melabuhkan doa kepada Allah supaya memberinya seorang putra sebagai pewaris obor perjuangan.
“Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah dan telah menyala uban di kepalaku, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, Ya Tuhanku. Dan sungguh aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahkanlah aku seorang putra dari sisi Engkau, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebagian keluarga Ya’qub. Dan jadikan dia, Ya Tuhanku, seorang yang diridai.” (QS Maryam: 4-6).
Ajaib. Allah menjawab doanya. Padahal, usia Nabi Zakaria saat itu sudah mencapai sembilan puluh tahun dengan kondisi istri, Hannah, yang mandul. Tidak ada yang mustahil bagi Allah. Setiap doa yang keluar dari ketulusan nurani dan kebersihan jiwa akan mengubah segala yang tampaknya tidak mungkin menjadi mungkin. Inilah kabar bahagia bagi kaum beriman. Apalagi Allah sendiri telah menegaskan akan mengabulkan setiap doa hamba sepanjang dia mau taat kepada-Nya.
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, jawablah bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS Al-Baqarah: 186).
Memahami ayat di atas, tentu tidak alasan bagi kaum beriman untuk enggan berdoa. Jangan sampai ada anggapan bahwa peran doa sangat sedikit dalam pencapaian sebuah keberhasilan. Itulah pola pikir orang yang sombong dan tidak tahu diri.
Merasa diri hebat sehingga perlu mengesampingkan campur tangan Allah dalam setiap tarikan gerak dan langkah. Termasuk pola pikir picik juga ketika orang mau berdoa tetapi minus kemantapan bahwa doanya itu akan didengar Sang Maha Penentu Keputusan.
Allah pasti mendengar setiap keluh kesah, sekalipun yang tidak pernah terucap. Tidak ada relung jiwa manusia yang tidak mampu ditembus Allah. Jarak antara Allah dan kita sangat dekat, melebihi urat leher. “Sungguh Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui segala yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS Qaf: 16).
Itulah kenapa Islam adalah agama yang sangat kaya doa. Tiada laku kehidupan Muslim yang tidak dimulai dan dipungkasi dengan doa. Menurut Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ada dua macam doa: doa ibadah (penghambaan) dan doa masalah (permintaan). Seluruh ibadah dalam rukun Islam hakikatnya adalah doa.
Karena, rangkaian gerakan dan ucapan di dalamnya berintikan permohonan rida Allah. Paketnya langsung dari nas. Kita tinggal pakai, tanpa boleh berkreasi. Lain lagi dengan doa masalah, seperti permintaan pengampunan, kebahagiaan, belas kasih, penghidupan, kesuksesan, dan semacamnya. Meskipun bacaan dari Al-Qur’an dan hadis diutamakan, tetapi kita masih boleh berkreasi dengan bahasa sendiri. Terkabulnya doa jenis ini sangat bergantung kualitas doa ibadah kita.
Masih banyak kisah keajaiban doa yang tidak mungkin dikutip semua di sini. Atau boleh jadi malah sudah Anda alami sendiri. Pastinya, tidak ada makhluk di kolong jagat ini yang bisa mengerahkan secuil daya dan upaya sekalipun, tanpa belas kasih dan uluran pertolongan Allah. Tantangan Allah sebagaimana disampaikan kepada kaum kafir Makkah sudah jelas, “Katakanlah, ‘Panggillah mereka yang kalian anggap tuhan selain Allah, niscaya mereka tidak akan memiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya dari kalian dan tidak pula memindahkannya’.” (QS Al-Isra’: 56).
Alangkah lebih mulia sekiranya kita sanggup merenungkan dan mengamalkan firman Allah berikut. “Berdoalah kepada Tuhan kalian dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kalian membuat kerusakan di bumi, sesudah Allah memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harap. Sungguh rahmat Allah itu amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-A’raf: 55-56).
Langganan:
Postingan (Atom)