Selasa, 22 Oktober 2013
Paradoks Haji dan Realita Sosial
REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Prof Dr Hj Masyitoh MAg
(Rektor Univeritas Muhammadiyah Jakarta)
Setiap tahun jamaah haji Indonesia terus meningkat secara kuantitas, tapi secara kualitas patut dipertanyakan. Indikatornya banyak, yang nampak kasat mata adalah kesalehan sosialnya. Mereka yang berangkat ke tanah suci Mekah, seolah sulit dibendung meski pada saat multikrisis. Hal itu menandakan bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang cukup mampu dalam hal materi. Multikrisis yang mendera bangsa akhir-akhir ini tidak banyak berpengaruh pada kantong-kantong pribadi sebagian besar masyarakat kita. Namun sejalan dengan itu, ternyata masih banyak rakyat yang berada dalam keprihatinan ekonomi, seakan-akan tidak ada lagi perasaan keadilan di negeri ini. Yang kaya terus meningkatkan kekayaannya tanpa mau berbagi dengan orang-orang yang miskin, kalau pun berbagi, tidak ada artinya. Sehingga, jurang antara kaum “the have” dengan kaum dhuafa semakin dalam.
Bahkan di tengah masyarakat kita, banyak yang lebih mengutamakan egoismenya untuk pergi haji, sudah haji sekali, ingin dua kali, tiga kali dan seterusnya. Sehingga umat Islam yang belum pernah berhaji semakin panjang antriannya untuk menunggu kuota dan kesempatan berhaji.
Masyarakat mampu secara ekonomi lebih banyak mengutamakan ibadah individu dari pada ibadah sosial. Jangan-jangan ketika para jemaah haji Indonesia berdoa di multazam pun, mereka hanya berdoa untuk kesuksesan dan kemakmuran diri sendiri saja, tanpa mau mendoakan masyarakat Indonesia yang sedang krisis tauladan ini. Itu juga sebabnya mungkin mengapa Allah kurang mendengar doa jamaah haji kita, karena mereka hanya berdoa untuk kepentingan diri dan keluarga saja. Mungkin ada yang mendoakan bangsa Indonesia ini, namun senyatanya kondisi negara kita tidak banyak berubah. Doa para hujjaj ini belum dapat menyelesaikan berbagai kesulitan bangsa, karena tidak datang dari lubuk hati yang paling dalam. Banyak para tokoh yang sedang bermasalah, mereka pergi ke tanah suci Mekah, namun apakah ritual di tanah suci dapat menyelesaikan masalah bangsa?
Adakah korelasi antara ibadah haji kita dan para pemimpin bangsa dan penyelesaian berbagai masalah bangsa ini? Bisa jadi ibadah itu hanya sekedar simbol dan acara ritual semata, bukan ibadah yang merasuk ke dalam hati dan jiwa yang membuahkan alam pikiran dan perilaku yang tercerahkan, perilaku yang membebaskan kehidupan, perilaku yang menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Dr Ali Syariati – seorang intelektual Iran yang pemikirannya banyak dijadikan referensi, dalam bukunya Hajj: Reflection on its Rituals memberikan refleksi bahwa Haji adalah sebuah “simbol”. Semakin dalam engkau menyelami lautan ini, semakin jauh engkau dari tepiannya. Haji adalah samudera tak bertepi. Makna haji itu sesuai dengan ‘pemaknaanmu’ sendiri. Jika ada yang mengaku paham keseluruhan makna haji, maka sesungguhnya ia tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang haji. Esensi ritual haji adalah evolusi eksistensial manusia menuju Allah. Haji merupakan drama simbolik dari filsafat penciptaan anak cucu Adam.
Refleksi Ali Syariati ini tidak berlebihan, karena banyak orang yang terjebak dengan gerakan ritual fisik dalam ibadah haji, tanpa mendalami pemaknaan bathin yang hakiki. Banyak orang menunaikan ibadah haji ke Mekkah, tapi mungkin tak meraih ma’rifat. Mereka bertawaf mengelilingi Ka’bah, tapi tak berjumpa dengan Tuhan. Mereka ber-sa’i penuh gairah, tapi tak menghayati makna pergulatan Siti Hajar berlari antara bukit Shafa dan Marwa untuk putra tercinta Ismail. Mereka mabit di Mina, namun tak meraih muhasabah diri yang teduh. Mereka berwukuf di terik Arafah sebagai puncak ritual ibadah haji, tapi tak meraih pembebasan diri selain berdoa dan menangis tersedu-sedu untuk kesaktian diri, mereka bahkan melempar jumrah dengan semangat dan ambisius, tapi tak pernah berani melempar setan yang bersarang dalam dirinya.
Semestinya para hujjaj itu bertemu atau napak tilas dengan nabi Ibrahim. Belajarlah kepada nabi yang disebut kekasih Allah itu. Nabi yang bertauhid setelah mengalami proses pencarian Tuhan yang demikian panjang. Nabi yang berserah diri secara total ketika diminta mengurbankan putra tercintanya Ismail, padahal kehadiran sang anak telah dirindukannya demikian lama. Nabi yang beristrikan Siti Hajar seorang budak namun Ibrahim tetap penuh cinta kasih, dan tingkah lakunya dilambangkan dalam ibadah sa’i dalam rangka memperjuangkan kebutuhan putra terkasihnya Ismail, sebagai tanggung jawab seorang ibu. Nabi Ibrahim yang selalu mencintai kemakmuran rakyat dan negerinya melalui doanya yang muktabar: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri (Mekkah) ini aman sentosa dan hindarkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
Kita semua tahu bahwa mayoritas penduduk Indonesia ini beragama Islam, tapi berapa banyak yang Islamnya hanya sebatas ritual, bukan spiritual. Banyak di antara umat Islam yang rajin ke masjid, rajin mengaji, rajin puasa dan mengeluarkan zakat, namun hal itu baru sebatas ritual, sedangkan Islam spiritual akan tercermin dalam perilaku sehari-hari. Apakah kita sudah merasa takut kepada Allah di manapun berada, sehingga kita tidak akan pernah melakukan perbuatan yang tidak baik, itulah makna ihsan, karena kita selalu merasa bahwa seluruh sepak terjang kita senantiasa dalam pengawasan Allah Swt. Apakah kita dengan segera membantu saudara-saudara kita yang terkena musibah, selalu menjaga perasaan orang lain tatkala berbicara, selalu merendahkan diri dan tidak mengumbar kesombongan? Itu di antara bentuk Islam spiritual.
Orang yang telah melaksanakan ibadah haji dan kembali ke dalam kehidupan masyarakat, seyogyanya mereka lebih dekat kepada Allah dan keimanannya kepada Allah lebih kuat, seperti yang digambarkan dalam thawaf mengelilingi ka’bah ketika mereka berhaji. Jiwa pengorbanan mereka terhadap kaum yang lemah dan miskin seharusnya lebih tajam seperti yang tergambar dalam ritual sa’i antara bukit Shafa dan Marwa. Mereka seharusnya lebih sering mengintrospeksi diri atau muhasabah an-nafsi seperti yang tergambar ketika mereka bermalam atau mabit di Mina. Jiwa mereka seharusnya lebih tenang dan sabar seperti saat mereka wukuf di Arafah. Mereka seharusnya dapat mengusir hawa nafsu syaitan yang menyesatkannya seperti yang tergambar saat mereka melempar jumroh.
Ketika seseorang memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Ka’bah, ia telah berusaha menemukan arah perjalanan hidupnya dan meneguhkan arti keberadaannya. Karena haji adalah gerakan, gerakan adalah Islam, Islam adalah jalan dan orientasinya adalah tauhid. Dengan kata lain, haji merupakan awal migrasi dari pemujaan diri sendiri menuju pencarian keridhaan ilahi, dari ketidakberdayaan menuju ketaqwaan, dari keragu-raguan (ambivalensi) menuju keteguhan hati, dari multiteisme menuju monoteisme.
Itulah sekelumit refleksi pemaknaan ibadah haji. Jika kita meyakini tauhid sebagai poros dalam kehidupan beragama, maka simbol-simbol dalam idadah haji akan mampu menyatu dalam alam pikiran dan akan menyingkap tirai keangkuhan, kecongkakan, dan kelalilaman yang sementara ini masih kita peluk dengan eratnya. Pada akhirnya kita akan menjadi orang Islam yang tidak hanya melaksanakan ibadah ritual, tapi juga Islam secara spiritual. Wallahu a’lamu bis shawab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar