Oleh Fahmi Salim***
Akhir-akhir ini kata `bohong', apalagi dikaitkan dengan `publik' sangat sensitif dan bisa jadi mengundang kemarahan pihak yang tertuduh melakukannya.
Dusta dan bohong adalah salah satu sifat tercela yang wajib dihindari oleh setiap Muslim. Rasul SAW bersabda, "Sungguh kejujuran mengantarkan kepada kebajikan dan kebaikan akan mengantarkan kepada surga. Seseorang yang selalu berkata benar (jujur), ia akan ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu berkata benar. Dan sungguh kebohongan mengantarkan kepada kedurhakaan dan kedurhakaan akan meng antarkan ke neraka. Seseorang yang selalu berbohong, ia akan selalu ditulis di sisi Allah sebagai seorang pembohong." (HR Bukhari-Muslim).
Sedemikian pentingnya berkata benar dan tidak bohong, baik menyangkut urusan personal apalagi publik, Rasul selalu mengaitkannya dengan sikap beragama yang benar. Anas bin Malik berkata, "Rasulullah SAW tidak pernah menyampaikan khutbah kepada kami kecuali beliau selalu bersabda: Tidak sempurna iman seseorang yang tidak jujur dan tidak dapat dipercaya, dan tidak sempurna agama seseorang yang tidak bisa menepati janjinya." (HR Ahmad dan Ibnu Hibban).
Dalam fikih jual-beli, yang ada kontrak antara penjual dan pembeli, dikenal konsep `khiyar', yaitu kebebasan memilih selama keduanya belum berpisah. Rasul pun menjelaskan, "Jika keduanya jujur dan jelas, jual beli mereka diberkahi. Namun, jika keduanya menyembunyikan (sesuatu) dan ber bohong maka dicabut keberkahan dari kontrak mereka." (HR Bukhari). Hemat saya, hadis tersebut juga berimplikasi nyata pada konteks politik dan kemaslahatan publik.
Bukankah esensi politik adanya kontrak (baiat) antara pemilih dalam hal ini rakyat dan pemimpin yang terpilih? Maka dalam hal ini, prinsip `khiyar' pun berlaku dalam konteks relasi kekuasaan. Artinya, jika rakyat sebagai pemegang kedaulatan tidak puas dengan kinerja pemimpin yang dipilihnya, mereka berhak menarik mandat politik si pemimpin selaku mandataris.
Sebaliknya, jika pemimpin merasa tidak lagi dipercaya oleh rakyat yang memberinya mandat, langkah yang baik adalah mundur dan mengembalikan mandatnya kepada rakyat. Dengan sikap itu, diharapkan keberkahan akan selalu menaungi negeri dan bangsa ini.
Jika tak ingin dicabut mandatnya, setiap pemimpin mesti memiliki political will untuk memimpin dengan kejujuran, satu kata satu perbuatan. Imam al-Mawardi (wafat 450 H), seorang ahli tata negara Islam, menulis dalam kitab Adabud Dunya wad Din, "Penguasa adalah imam yang diikuti, dan perilakunya harus menjadi contoh yang baik. Jika dia zalim, jangan harap aparat di bawahnya bisa adil, dan jika dia adil maka tak ada seorang pun aparatnya yang berani zalim. Doa pemimpin saleh adalah doa yang paling mungkin terkabul oleh Allah, dan perbuatan baik yang paling prioritas mendapat pahala adalah putusan pemimpin yang benar dalam mengelola kemaslahatan publik." Wallahu A'lam.
Kamis, 27 Januari 2011
Minggu, 23 Januari 2011
Kebohongan Publik
Oleh Fahmi Salim***
Akhir-akhir ini kata `bohong', apalagi dikaitkan dengan `publik' sangat sensitif dan bisa jadi mengundang kemarahan pihak yang tertuduh melakukannya.
Dusta dan bohong adalah salah satu sifat tercela yang wajib dihindari oleh setiap Muslim. Rasul SAW bersabda, "Sungguh kejujuran mengantarkan kepada kebajikan dan kebaikan akan mengantarkan kepada surga. Seseorang yang selalu berkata benar (jujur), ia akan ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu berkata benar. Dan sungguh kebohongan mengantarkan kepada kedurhakaan dan kedurhakaan akan meng antarkan ke neraka. Seseorang yang selalu berbohong, ia akan selalu ditulis di sisi Allah sebagai seorang pembohong." (HR Bukhari-Muslim).
Sedemikian pentingnya berkata benar dan tidak bohong, baik menyangkut urusan personal apalagi publik, Rasul selalu mengaitkannya dengan sikap beragama yang benar. Anas bin Malik berkata, "Rasulullah SAW tidak pernah menyampaikan khutbah kepada kami kecuali beliau selalu bersabda: Tidak sempurna iman seseorang yang tidak jujur dan tidak dapat dipercaya, dan tidak sempurna agama seseorang yang tidak bisa menepati janjinya." (HR Ahmad dan Ibnu Hibban).
Dalam fikih jual-beli, yang ada kontrak antara penjual dan pembeli, dikenal konsep `khiyar', yaitu kebebasan memilih selama keduanya belum berpisah. Rasul pun menjelaskan, "Jika keduanya jujur dan jelas, jual beli mereka diberkahi. Namun, jika keduanya menyembunyikan (sesuatu) dan ber bohong maka dicabut keberkahan dari kontrak mereka." (HR Bukhari). Hemat saya, hadis tersebut juga berimplikasi nyata pada konteks politik dan kemaslahatan publik.
Bukankah esensi politik adanya kontrak (baiat) antara pemilih dalam hal ini rakyat dan pemimpin yang terpilih? Maka dalam hal ini, prinsip `khiyar' pun berlaku dalam konteks relasi kekuasaan. Artinya, jika rakyat sebagai pemegang kedaulatan tidak puas dengan kinerja pemimpin yang dipilihnya, mereka berhak menarik mandat politik si pemimpin selaku mandataris.
Sebaliknya, jika pemimpin merasa tidak lagi dipercaya oleh rakyat yang memberinya mandat, langkah yang baik adalah mundur dan mengembalikan mandatnya kepada rakyat. Dengan sikap itu, diharapkan keberkahan akan selalu menaungi negeri dan bangsa ini.
Jika tak ingin dicabut mandatnya, setiap pemimpin mesti memiliki political will untuk memimpin dengan kejujuran, satu kata satu perbuatan. Imam al-Mawardi (wafat 450 H), seorang ahli tata negara Islam, menulis dalam kitab Adabud Dunya wad Din, "Penguasa adalah imam yang diikuti, dan perilakunya harus menjadi contoh yang baik. Jika dia zalim, jangan harap aparat di bawahnya bisa adil, dan jika dia adil maka tak ada seorang pun aparatnya yang berani zalim. Doa pemimpin saleh adalah doa yang paling mungkin terkabul oleh Allah, dan perbuatan baik yang paling prioritas mendapat pahala adalah putusan pemimpin yang benar dalam mengelola kemaslahatan publik." Wallahu A'lam.
Akhir-akhir ini kata `bohong', apalagi dikaitkan dengan `publik' sangat sensitif dan bisa jadi mengundang kemarahan pihak yang tertuduh melakukannya.
Dusta dan bohong adalah salah satu sifat tercela yang wajib dihindari oleh setiap Muslim. Rasul SAW bersabda, "Sungguh kejujuran mengantarkan kepada kebajikan dan kebaikan akan mengantarkan kepada surga. Seseorang yang selalu berkata benar (jujur), ia akan ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu berkata benar. Dan sungguh kebohongan mengantarkan kepada kedurhakaan dan kedurhakaan akan meng antarkan ke neraka. Seseorang yang selalu berbohong, ia akan selalu ditulis di sisi Allah sebagai seorang pembohong." (HR Bukhari-Muslim).
Sedemikian pentingnya berkata benar dan tidak bohong, baik menyangkut urusan personal apalagi publik, Rasul selalu mengaitkannya dengan sikap beragama yang benar. Anas bin Malik berkata, "Rasulullah SAW tidak pernah menyampaikan khutbah kepada kami kecuali beliau selalu bersabda: Tidak sempurna iman seseorang yang tidak jujur dan tidak dapat dipercaya, dan tidak sempurna agama seseorang yang tidak bisa menepati janjinya." (HR Ahmad dan Ibnu Hibban).
Dalam fikih jual-beli, yang ada kontrak antara penjual dan pembeli, dikenal konsep `khiyar', yaitu kebebasan memilih selama keduanya belum berpisah. Rasul pun menjelaskan, "Jika keduanya jujur dan jelas, jual beli mereka diberkahi. Namun, jika keduanya menyembunyikan (sesuatu) dan ber bohong maka dicabut keberkahan dari kontrak mereka." (HR Bukhari). Hemat saya, hadis tersebut juga berimplikasi nyata pada konteks politik dan kemaslahatan publik.
Bukankah esensi politik adanya kontrak (baiat) antara pemilih dalam hal ini rakyat dan pemimpin yang terpilih? Maka dalam hal ini, prinsip `khiyar' pun berlaku dalam konteks relasi kekuasaan. Artinya, jika rakyat sebagai pemegang kedaulatan tidak puas dengan kinerja pemimpin yang dipilihnya, mereka berhak menarik mandat politik si pemimpin selaku mandataris.
Sebaliknya, jika pemimpin merasa tidak lagi dipercaya oleh rakyat yang memberinya mandat, langkah yang baik adalah mundur dan mengembalikan mandatnya kepada rakyat. Dengan sikap itu, diharapkan keberkahan akan selalu menaungi negeri dan bangsa ini.
Jika tak ingin dicabut mandatnya, setiap pemimpin mesti memiliki political will untuk memimpin dengan kejujuran, satu kata satu perbuatan. Imam al-Mawardi (wafat 450 H), seorang ahli tata negara Islam, menulis dalam kitab Adabud Dunya wad Din, "Penguasa adalah imam yang diikuti, dan perilakunya harus menjadi contoh yang baik. Jika dia zalim, jangan harap aparat di bawahnya bisa adil, dan jika dia adil maka tak ada seorang pun aparatnya yang berani zalim. Doa pemimpin saleh adalah doa yang paling mungkin terkabul oleh Allah, dan perbuatan baik yang paling prioritas mendapat pahala adalah putusan pemimpin yang benar dalam mengelola kemaslahatan publik." Wallahu A'lam.
Selasa, 18 Januari 2011
Esposito: Masa Depan Islam
Azyumardi Azra
Masa depan Islam. Subjek yang sedikitnya dalam tiga dasawarsa menjadi pembicaraan hangat di kalangan kaum Muslim maupun Barat. Tiga puluh dua tahun lalu, ketika abad ke-15 Hijriah bermula, terdapat kalangan Muslim di berbagai wilayah dunia Islam yang sangat optimistis dengan masa depan Islam. Mereka berpendapat abad 15 Hijriah adalah era 'kebangkitan Islam'. Kini, setelah 32 tahun berlalu, optimisme dan harapan itu agaknya perlu dilihat kembali.
Sementara itu, kalangan Barat juga tak luput berbicara tentang masa depan Islam, khususnya sejak dunia memasuki abad ke-21 Masehi. Pembicaraan tentang subjek ini kian menemukan momentum sejak peristiwa 11 September 2001, pengeboman WTC di New York dan Pentagon di Washington DC. Sejak saat itu, Islam dan Muslim yang sering diasosiasikan dengan kekerasan dan terorisme tidak hanya menjadi pusat kecurigaan dan antipati di kalangan masyarakat Barat, tetapi juga dianggap sebagai 'ancaman' bagi masa depan dunia Barat.
John L Esposito adalah salah satu figur terkemuka yang juga mencoba mengkaji masa depan Islam. Esposito, guru besar dan direktur Centre for Muslim-Christian Understanding pada Georgetown University, Washington DC, dikenal sebagai pakar yang melihat Islam dan Muslim secara lebih objektif dan empati. Karena itu, ia sering menjadi sasaran kemarahan kalangan Barat yang fobia terhadap Islam dan Muslim. Padahal, dengan pendekatan seperti itu, Esposito tidak kehilangan kritisisme terhadap Islam dan kaum Muslimin, baik dalam konteks negara Muslim tertentu maupun dalam hubungan antara dunia Muslim dan Barat.
Esposito berkesempatan membicarakan masa depan Islam dalam ceramah di Syahida Inn, Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jumat pekan lalu (7/1). Subjek ini juga merupakan judul buku terbarunya, The Future of Islam (Oxford: OUP, 2010). Berbagai realitas dan kecenderungan pokok, baik intra-Islam dan Muslim maupun dalam hubungan dengan masyarakat Barat, menjadi subjek pembicaraan Esposito terkait masa depan Islam.
Sebagiannya sudah sering mengemuka dalam pembicaraan publik sejak dari hal; Apakah dunia Muslim bakal terkunci dalam perbenturan peradaban; Apakah Islam kompatibel dengan demokrasi dan HAM; Apakah 'fundamentalisme' menghambat pembangunan masyarakat modern di dunia Islam; Apakah Islam 'menenggelamkan' masyarakat Barat karena kian meningkatnya jumlah kaum Muslim di Barat; Atau apakah Eropa bakal menjadi 'Eurabia' atau sebaliknya terasimilasi ke dalam masyarakat Eropa.
Dalam pandangan Esposito, Islam dan Muslim memiliki banyak wajah, yang tidak selalu menggembirakan. Terjadi gejala peningkatan kekerasan di banyak wilayah dunia Muslim. Hubungan intra-Muslim sering ditandai pelarangan aliran dan kelompok Muslim tertentu karena dipandang mayoritas Muslim sebagai sesat dan menyimpang. Esposito mengambil contoh Malaysia yang melarang aliran Islam seperti Syiah; dan juga Indonesia yang menghadapi persoalan Ahmadiyah.
Esposito juga melihat Islam dan dunia Muslim menghadapi berbagai kecenderungan yang tidak menjanjikan untuk masa depan. Pertama, meningkatnya ultrakonservatisme Islam, yang terutama diwakili Wahabisme. Meski gerakan Wahabiyah sekarang tidak selalu menampilkan kekerasan, ia membuat Islam hadir sebagai agama yang segala tidak boleh: 'ini tidak boleh, itu tidak boleh'. Kedua, meningkatnya berbagai kesulitan yang dihadapi para penganjur pembaruan dan reformasi di dalam Islam juga masyarakat Muslim.
Menurut Esposito, pembaruan dalam Islam kini bahkan menjadi medan pertarungan yang kian sulit terselesaikan. Ketika pemikiran dan gerakan pembaruan mulai dilancarkan, pada saat yang sama perdebatannya juga meningkat tentang 'Islam siapa' atau 'Islam yang mana'. Hal ini mencerminkan kenyataan kian meningkatnya perbedaan-perbedaan tajam di kalangan kaum Muslimin menyangkut pemahaman dan penafsiran Islam yang mapan dalam bentuk berbagai aliran pemikiran dan mazhab.
Gambaran yang diberikan Esposito tentang Islam dan dunia Muslim terlihat pesimistis. Dalam tanggapan saya kepada Esposito, gambaran demikian muncul tidak lain karena penekanan pengamatan yang terpusat pada politik domestik dunia Islam dan khilafiyah di kalangan umat yang sejak awal masa pasca-Nabi Muhammad tidak pernah terselesaikan. Saya menganjurkan agar juga melihat dinamika Islam kultural, khususnya di Indonesia, yang lebih menjanjikan. Ini terlihat dalam pertumbuhan kaum terdidik dan kelas menengah Muslim; ormas dan civil society yang dinamis, dan seterusnya.
Meski demikian, Esposito membukakan berbagai 'PR' yang mesti dilakukan kaum Muslim jika Islam dapat memiliki masa depan lebih menjanjikan. Kaum Muslim mesti segera membereskan rumahnya sehingga dapat berperan lebih kontributif pada hari ini dan ke depan.
Masa depan Islam. Subjek yang sedikitnya dalam tiga dasawarsa menjadi pembicaraan hangat di kalangan kaum Muslim maupun Barat. Tiga puluh dua tahun lalu, ketika abad ke-15 Hijriah bermula, terdapat kalangan Muslim di berbagai wilayah dunia Islam yang sangat optimistis dengan masa depan Islam. Mereka berpendapat abad 15 Hijriah adalah era 'kebangkitan Islam'. Kini, setelah 32 tahun berlalu, optimisme dan harapan itu agaknya perlu dilihat kembali.
Sementara itu, kalangan Barat juga tak luput berbicara tentang masa depan Islam, khususnya sejak dunia memasuki abad ke-21 Masehi. Pembicaraan tentang subjek ini kian menemukan momentum sejak peristiwa 11 September 2001, pengeboman WTC di New York dan Pentagon di Washington DC. Sejak saat itu, Islam dan Muslim yang sering diasosiasikan dengan kekerasan dan terorisme tidak hanya menjadi pusat kecurigaan dan antipati di kalangan masyarakat Barat, tetapi juga dianggap sebagai 'ancaman' bagi masa depan dunia Barat.
John L Esposito adalah salah satu figur terkemuka yang juga mencoba mengkaji masa depan Islam. Esposito, guru besar dan direktur Centre for Muslim-Christian Understanding pada Georgetown University, Washington DC, dikenal sebagai pakar yang melihat Islam dan Muslim secara lebih objektif dan empati. Karena itu, ia sering menjadi sasaran kemarahan kalangan Barat yang fobia terhadap Islam dan Muslim. Padahal, dengan pendekatan seperti itu, Esposito tidak kehilangan kritisisme terhadap Islam dan kaum Muslimin, baik dalam konteks negara Muslim tertentu maupun dalam hubungan antara dunia Muslim dan Barat.
Esposito berkesempatan membicarakan masa depan Islam dalam ceramah di Syahida Inn, Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jumat pekan lalu (7/1). Subjek ini juga merupakan judul buku terbarunya, The Future of Islam (Oxford: OUP, 2010). Berbagai realitas dan kecenderungan pokok, baik intra-Islam dan Muslim maupun dalam hubungan dengan masyarakat Barat, menjadi subjek pembicaraan Esposito terkait masa depan Islam.
Sebagiannya sudah sering mengemuka dalam pembicaraan publik sejak dari hal; Apakah dunia Muslim bakal terkunci dalam perbenturan peradaban; Apakah Islam kompatibel dengan demokrasi dan HAM; Apakah 'fundamentalisme' menghambat pembangunan masyarakat modern di dunia Islam; Apakah Islam 'menenggelamkan' masyarakat Barat karena kian meningkatnya jumlah kaum Muslim di Barat; Atau apakah Eropa bakal menjadi 'Eurabia' atau sebaliknya terasimilasi ke dalam masyarakat Eropa.
Dalam pandangan Esposito, Islam dan Muslim memiliki banyak wajah, yang tidak selalu menggembirakan. Terjadi gejala peningkatan kekerasan di banyak wilayah dunia Muslim. Hubungan intra-Muslim sering ditandai pelarangan aliran dan kelompok Muslim tertentu karena dipandang mayoritas Muslim sebagai sesat dan menyimpang. Esposito mengambil contoh Malaysia yang melarang aliran Islam seperti Syiah; dan juga Indonesia yang menghadapi persoalan Ahmadiyah.
Esposito juga melihat Islam dan dunia Muslim menghadapi berbagai kecenderungan yang tidak menjanjikan untuk masa depan. Pertama, meningkatnya ultrakonservatisme Islam, yang terutama diwakili Wahabisme. Meski gerakan Wahabiyah sekarang tidak selalu menampilkan kekerasan, ia membuat Islam hadir sebagai agama yang segala tidak boleh: 'ini tidak boleh, itu tidak boleh'. Kedua, meningkatnya berbagai kesulitan yang dihadapi para penganjur pembaruan dan reformasi di dalam Islam juga masyarakat Muslim.
Menurut Esposito, pembaruan dalam Islam kini bahkan menjadi medan pertarungan yang kian sulit terselesaikan. Ketika pemikiran dan gerakan pembaruan mulai dilancarkan, pada saat yang sama perdebatannya juga meningkat tentang 'Islam siapa' atau 'Islam yang mana'. Hal ini mencerminkan kenyataan kian meningkatnya perbedaan-perbedaan tajam di kalangan kaum Muslimin menyangkut pemahaman dan penafsiran Islam yang mapan dalam bentuk berbagai aliran pemikiran dan mazhab.
Gambaran yang diberikan Esposito tentang Islam dan dunia Muslim terlihat pesimistis. Dalam tanggapan saya kepada Esposito, gambaran demikian muncul tidak lain karena penekanan pengamatan yang terpusat pada politik domestik dunia Islam dan khilafiyah di kalangan umat yang sejak awal masa pasca-Nabi Muhammad tidak pernah terselesaikan. Saya menganjurkan agar juga melihat dinamika Islam kultural, khususnya di Indonesia, yang lebih menjanjikan. Ini terlihat dalam pertumbuhan kaum terdidik dan kelas menengah Muslim; ormas dan civil society yang dinamis, dan seterusnya.
Meski demikian, Esposito membukakan berbagai 'PR' yang mesti dilakukan kaum Muslim jika Islam dapat memiliki masa depan lebih menjanjikan. Kaum Muslim mesti segera membereskan rumahnya sehingga dapat berperan lebih kontributif pada hari ini dan ke depan.
Mencegah Korupsi
Oleh Yuyu Yuhannah
Praktik korupsi atau mengambil harta yang bukan haknya telah menjadi hal lumrah di negeri ini. Korupsi dianggap hal yang biasa dikerjakan oleh seseorang yang memiliki kedudukan atau jabatan. Korupsi bak bahaya laten yang sukar sekali diberantas. Mati satu tumbuh seribu. Beragam jalan dikembangkan untuk memberantasnya, tetapi beragam cara pula para koruptor melakukan korupsi.
Rasulullah pernah bersabda: "Setiap tubuh yang berkembang dari yang haram, maka neraka lebih utama baginya," (HR Ahmad). Uang atau harta yang berasal dari korupsi tak akan memberikan manfaat dan kemaslahatan bagi kehidupan para pelaku korupsi itu. Malah sebaliknya, segala amal dan ibadah yang berbasis dari pemanfaatan harta hasil korupsi itu sungguh tak akan diterima oleh Allah karena Nabi juga bersabda: "Sesungguhnya Allah itu Thaayyib (baik), tidak menerima (suatu amal) kecuali yang baik (halal)." (HR Muslim).
Dalam firman-Nya, Allah SWT melarang manusia memakan harta yang bukan haknya. "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dan pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (Al Baqarah [2]: 188).
Korupsi ternyata tak hanya kali ini saja terjadi, tetapi sudah belasan abad lamanya. Dalam surat Ali-Imran, kata "korupsi" disebut sebagai ghulul yang mengandung pengertian perbuatan yang mengkhianati sebuah amanat, seperti penyalahgunaan wewenang, pemanfaatan berbagai fasilitas yang ada untuk kepentingan pribadi dan kelompok, termasuk dalam kategori korupsi ini.
Istilah korupsi juga dideskripsikan dengan istilah al-shut yang berarti menjadi perantara dalam menerima imbalan antara seseorang dan penguasa untuk sebuah kepentingan tertentu (al-Jashash, Ahkam Al Quran, 1405 H), yang dikuatkan dengan begitu banyaknya rujukan dalam hadis Nabi Muhammad sendiri. Nabi Muhammad menerangkan perbuatan korupsi dalam bentuknya yang komprehensif, yakni berkaitan dengan berbagai jenis korupsi seperti penyuapan (risywah), penggelapan, gratifikasi, dan sebagainya.
Yang menarik adalah Nabi Muhammad pun telah mempunyai beberapa strategi untuk melakukan pemberantasan korupsi di masanya. Caranya adalah dengan melakukan pemeriksaan kepada para pejabat seusai melakukan tugas. Lebih lanjut ditegaskan bahwa Rasulullah tak akan melindungi, menutupi, atau menyembunyikan para pelaku korupsi sehingga akan berdampak pada minimalnya perilaku korupsi karena merasa tak dilindungi oleh penguasa.
Memang dihubungkan dalam konteks kekinian, di mana perilaku korupsi telah terpolarisasi dalam beragam bentuknya sehingga makin menyulitkan dalam upaya pemberantasannya. Namun, bukan berarti masalah korupsi ini tak bisa dituntaskan. Kuncinya adalah kemauan dan penegakan hukum secara konsisten, transparan, dan tanpa pandang bulu menjadi instrumen penting negara jika ingin terbebas dari aktivitas korupsi dalam beragam bentuknya.
Praktik korupsi atau mengambil harta yang bukan haknya telah menjadi hal lumrah di negeri ini. Korupsi dianggap hal yang biasa dikerjakan oleh seseorang yang memiliki kedudukan atau jabatan. Korupsi bak bahaya laten yang sukar sekali diberantas. Mati satu tumbuh seribu. Beragam jalan dikembangkan untuk memberantasnya, tetapi beragam cara pula para koruptor melakukan korupsi.
Rasulullah pernah bersabda: "Setiap tubuh yang berkembang dari yang haram, maka neraka lebih utama baginya," (HR Ahmad). Uang atau harta yang berasal dari korupsi tak akan memberikan manfaat dan kemaslahatan bagi kehidupan para pelaku korupsi itu. Malah sebaliknya, segala amal dan ibadah yang berbasis dari pemanfaatan harta hasil korupsi itu sungguh tak akan diterima oleh Allah karena Nabi juga bersabda: "Sesungguhnya Allah itu Thaayyib (baik), tidak menerima (suatu amal) kecuali yang baik (halal)." (HR Muslim).
Dalam firman-Nya, Allah SWT melarang manusia memakan harta yang bukan haknya. "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dan pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (Al Baqarah [2]: 188).
Korupsi ternyata tak hanya kali ini saja terjadi, tetapi sudah belasan abad lamanya. Dalam surat Ali-Imran, kata "korupsi" disebut sebagai ghulul yang mengandung pengertian perbuatan yang mengkhianati sebuah amanat, seperti penyalahgunaan wewenang, pemanfaatan berbagai fasilitas yang ada untuk kepentingan pribadi dan kelompok, termasuk dalam kategori korupsi ini.
Istilah korupsi juga dideskripsikan dengan istilah al-shut yang berarti menjadi perantara dalam menerima imbalan antara seseorang dan penguasa untuk sebuah kepentingan tertentu (al-Jashash, Ahkam Al Quran, 1405 H), yang dikuatkan dengan begitu banyaknya rujukan dalam hadis Nabi Muhammad sendiri. Nabi Muhammad menerangkan perbuatan korupsi dalam bentuknya yang komprehensif, yakni berkaitan dengan berbagai jenis korupsi seperti penyuapan (risywah), penggelapan, gratifikasi, dan sebagainya.
Yang menarik adalah Nabi Muhammad pun telah mempunyai beberapa strategi untuk melakukan pemberantasan korupsi di masanya. Caranya adalah dengan melakukan pemeriksaan kepada para pejabat seusai melakukan tugas. Lebih lanjut ditegaskan bahwa Rasulullah tak akan melindungi, menutupi, atau menyembunyikan para pelaku korupsi sehingga akan berdampak pada minimalnya perilaku korupsi karena merasa tak dilindungi oleh penguasa.
Memang dihubungkan dalam konteks kekinian, di mana perilaku korupsi telah terpolarisasi dalam beragam bentuknya sehingga makin menyulitkan dalam upaya pemberantasannya. Namun, bukan berarti masalah korupsi ini tak bisa dituntaskan. Kuncinya adalah kemauan dan penegakan hukum secara konsisten, transparan, dan tanpa pandang bulu menjadi instrumen penting negara jika ingin terbebas dari aktivitas korupsi dalam beragam bentuknya.
Menegakkan Keadilan
Oleh KH Didin Hafidhuddin
Salah satu tujuan utama risalah Islamiah sekaligus tujuan utama diutusnya para Rasul Allah adalah menegakkan keadilan dalam seluruh tatanan kehidupan. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT QS al-Hadid [57]: 25. "Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan…."
Betapa pentingnya penegakan keadilan ini, sampai-sampai para khatib Jumat, di setiap khutbahnya yang kedua, ketika akan menutup khutbahnya (walaupun tidak termasuk rukun khutbah), membaca firman Allah SWT dalam QS An-Nahl [16)]: 90. "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran."
Salah seorang mufasir terkemuka pada masa sahabat Abdullah bin Mas'ud, ketika menafsirkan ayat tersebut (QS An-Nahl [16]: 90) mengatakan bahwa inti utama dan sumber kebaikan ada tiga (karena itu diperintahkan untuk dikerjakan), yaitu berlaku adil (al-'adl), selalu berusaha menebar kebaikan kepada orang lain (ihsan), dan menghubungkan kekerabatan serta persaudaraan (itaizil qurba). Sebaliknya, tiga hal pokok yang akan menyebabkan kehancuran (karena itu dilarang) adalah fahsya (berbuat dosa besar), mungkar (berbuat kemungkaran), dan al-baghyu (berlaku zalim dan aniaya kepada orang lain).
Salah satu keadilan yang sangat penting untuk selalu ditegakkan adalah keadilan di bidang hukum. Artinya, siapa pun yang melakukan kesalahan yang merusak tatanan kehidupan, seperti mencuri, merampok, menyuap, korupsi, menyebar fitnah, berzina secara tertutup ataupun terbuka (direkam dalam video lalu disebar), dan kejahatan lainnya harus diadili tanpa tebang pilih dan pandang bulu.
Rasulullah SAW sangat murka ketika para sahabat enggan menegakkan hukum pada seorang wanita koruptor yang memiliki status sosial tinggi. Rasul menyatakan: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya umat terdahulu hancur karena melakukan diskriminasi dalam penegakan hukum. Jika yang mencuri adalah kaum lemah, mereka mengadilinya. Akan tetapi, jika yang mencuri orang yang punya kedudukan, mereka membiarkannya. Demi Allah, jika Fatimah anakku sendiri mencuri, akan kupotong tangannya."
Kasus megakorupsi yang dilakukan oleh Gayus Tambunan dengan seluruh pihak yang membantunya sehingga korupsi ini dapat berlangsung lama merugikan uang negara yang begitu banyak, harus segera diakhiri, dengan mengadili dan menghukum setiap orang yang bersalah walaupun memiliki kekuatan ekonomi, kedekatan dengan lingkaran kekuasaan ataupun fasilitas lainnya. Sebab, jika hal ini dibiarkan, sama dengan menjerumuskan negara dan bangsa yang kita cintai ini pada kehancuran. Wallahu A'lam.
Salah satu tujuan utama risalah Islamiah sekaligus tujuan utama diutusnya para Rasul Allah adalah menegakkan keadilan dalam seluruh tatanan kehidupan. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT QS al-Hadid [57]: 25. "Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan…."
Betapa pentingnya penegakan keadilan ini, sampai-sampai para khatib Jumat, di setiap khutbahnya yang kedua, ketika akan menutup khutbahnya (walaupun tidak termasuk rukun khutbah), membaca firman Allah SWT dalam QS An-Nahl [16)]: 90. "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran."
Salah seorang mufasir terkemuka pada masa sahabat Abdullah bin Mas'ud, ketika menafsirkan ayat tersebut (QS An-Nahl [16]: 90) mengatakan bahwa inti utama dan sumber kebaikan ada tiga (karena itu diperintahkan untuk dikerjakan), yaitu berlaku adil (al-'adl), selalu berusaha menebar kebaikan kepada orang lain (ihsan), dan menghubungkan kekerabatan serta persaudaraan (itaizil qurba). Sebaliknya, tiga hal pokok yang akan menyebabkan kehancuran (karena itu dilarang) adalah fahsya (berbuat dosa besar), mungkar (berbuat kemungkaran), dan al-baghyu (berlaku zalim dan aniaya kepada orang lain).
Salah satu keadilan yang sangat penting untuk selalu ditegakkan adalah keadilan di bidang hukum. Artinya, siapa pun yang melakukan kesalahan yang merusak tatanan kehidupan, seperti mencuri, merampok, menyuap, korupsi, menyebar fitnah, berzina secara tertutup ataupun terbuka (direkam dalam video lalu disebar), dan kejahatan lainnya harus diadili tanpa tebang pilih dan pandang bulu.
Rasulullah SAW sangat murka ketika para sahabat enggan menegakkan hukum pada seorang wanita koruptor yang memiliki status sosial tinggi. Rasul menyatakan: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya umat terdahulu hancur karena melakukan diskriminasi dalam penegakan hukum. Jika yang mencuri adalah kaum lemah, mereka mengadilinya. Akan tetapi, jika yang mencuri orang yang punya kedudukan, mereka membiarkannya. Demi Allah, jika Fatimah anakku sendiri mencuri, akan kupotong tangannya."
Kasus megakorupsi yang dilakukan oleh Gayus Tambunan dengan seluruh pihak yang membantunya sehingga korupsi ini dapat berlangsung lama merugikan uang negara yang begitu banyak, harus segera diakhiri, dengan mengadili dan menghukum setiap orang yang bersalah walaupun memiliki kekuatan ekonomi, kedekatan dengan lingkaran kekuasaan ataupun fasilitas lainnya. Sebab, jika hal ini dibiarkan, sama dengan menjerumuskan negara dan bangsa yang kita cintai ini pada kehancuran. Wallahu A'lam.
Ulama Transformatif
Oleh Fahmi Salim
Ulama adalah ahli waris misi dan fungsi kenabian (HR Ahmad). Para nabi sejatinya membawa misi transformasi sosial yang dijiwai oleh nilai tauhid, "Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: `Bahwasanya tidak ada Tuhan yang hak melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku'," (QS al-Anbiya [21] : 25).
Maka, dalam rangka mengemban misi para rasul, sudah selayaknya ulama harus betul-betul meng-amalkan fungsi kenabian bagi umat manusia seperti termaktub dalam firman Allah SWT, "Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pem beri peringatan, dan untuk jadi pel nyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya, dan untuk jadi cahaya yang menerangi." (al-Ahzab [33]: 45-46).
Ikhtiar mewujudkan perubahan di tengah umat setidaknya harus melakukan langkah berikut.
Pertama, saat mendiagnosis kon disi umat, dai harus objektif, jujur, dan berbasis ilmu yang kuat, ber dasar fakta dan data riil, dan tidak boleh ceroboh. Agaknya, inilah yang disasar dengan fungsi syahi dan. Kedua, optimistis dan proak tif (mubassyiran); hampir dipasti kan ulama akan menghadapi kon disi yang paradoks antara makruf dan mungkar. Optimisme harus dikedepankan daripada pesimisme, sebab perbaikan adalah proses berkesinambungan, bukan suatu yang instan apalagi paksaan.
Setiap dai tidak memulai dari nol, tapi sudah ada realitas di hadapannya; ada kondisi baik dan kondisi buruk. Upayakan jangan menuding masyarakat semuanya salah dan tergesa-gesa menuntut perubahan total dengan cara ekstrem.
Ketiga, saat meluruskan kekeliruan (nadziran) ulama dai harus lembut dan bijak serta berempati.
Tidak menuding "Kalian salah!" tapi pakailah kata-kata "Kita sedang menghadapi masalah ini dan lainnya".
Dai mesti menempatkan dirinya bagian dari mereka, bukannya merasa di atas mereka. Ia sebisa mungkin tidak suka menyalahkan kondisi. Dalam kepalanya hanya ada teori konspirasi! Lebih bijak jika ulama dai mengatakan, "Kita pernah mencoba ideologi ini dan itu, tapi selalu gagal. Ayo kita coba terapi Islam, sebab ia akan membawa kebaikan!" Dalam konteks ini, kritik harus datang dari orang yang kompeten di bidangnya. Kritik tukang becak terhadap sistem ekonomi yang salah tak akan digubris oleh otori tas. Lain hal jika yang melontarkannya adalah profesor ekonomi yang soleh. Keempat, mampu menawarkan solusi alternatif (da'iyan ilallah) dari wahyu ilahi secara gradual dan lembut agar umat dapat melewati jurang antara idealitas Islam dan realitas yang buruk dengan selamat tanpa gejolak.
Kelima, sosok dai harus menjadi teladan yang inspiratif bagi umat (sirajan muniran). Nilai-nilai Islam harus sukses ditransformasikan ke dalam diri dan keluarganya. Keteladanan amat efektif dalam mengubah umat, sebab satu contoh lebih baik dari seribu ceramah. Wallahu a'lam. (Republika)
Ulama adalah ahli waris misi dan fungsi kenabian (HR Ahmad). Para nabi sejatinya membawa misi transformasi sosial yang dijiwai oleh nilai tauhid, "Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: `Bahwasanya tidak ada Tuhan yang hak melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku'," (QS al-Anbiya [21] : 25).
Maka, dalam rangka mengemban misi para rasul, sudah selayaknya ulama harus betul-betul meng-amalkan fungsi kenabian bagi umat manusia seperti termaktub dalam firman Allah SWT, "Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pem beri peringatan, dan untuk jadi pel nyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya, dan untuk jadi cahaya yang menerangi." (al-Ahzab [33]: 45-46).
Ikhtiar mewujudkan perubahan di tengah umat setidaknya harus melakukan langkah berikut.
Pertama, saat mendiagnosis kon disi umat, dai harus objektif, jujur, dan berbasis ilmu yang kuat, ber dasar fakta dan data riil, dan tidak boleh ceroboh. Agaknya, inilah yang disasar dengan fungsi syahi dan. Kedua, optimistis dan proak tif (mubassyiran); hampir dipasti kan ulama akan menghadapi kon disi yang paradoks antara makruf dan mungkar. Optimisme harus dikedepankan daripada pesimisme, sebab perbaikan adalah proses berkesinambungan, bukan suatu yang instan apalagi paksaan.
Setiap dai tidak memulai dari nol, tapi sudah ada realitas di hadapannya; ada kondisi baik dan kondisi buruk. Upayakan jangan menuding masyarakat semuanya salah dan tergesa-gesa menuntut perubahan total dengan cara ekstrem.
Ketiga, saat meluruskan kekeliruan (nadziran) ulama dai harus lembut dan bijak serta berempati.
Tidak menuding "Kalian salah!" tapi pakailah kata-kata "Kita sedang menghadapi masalah ini dan lainnya".
Dai mesti menempatkan dirinya bagian dari mereka, bukannya merasa di atas mereka. Ia sebisa mungkin tidak suka menyalahkan kondisi. Dalam kepalanya hanya ada teori konspirasi! Lebih bijak jika ulama dai mengatakan, "Kita pernah mencoba ideologi ini dan itu, tapi selalu gagal. Ayo kita coba terapi Islam, sebab ia akan membawa kebaikan!" Dalam konteks ini, kritik harus datang dari orang yang kompeten di bidangnya. Kritik tukang becak terhadap sistem ekonomi yang salah tak akan digubris oleh otori tas. Lain hal jika yang melontarkannya adalah profesor ekonomi yang soleh. Keempat, mampu menawarkan solusi alternatif (da'iyan ilallah) dari wahyu ilahi secara gradual dan lembut agar umat dapat melewati jurang antara idealitas Islam dan realitas yang buruk dengan selamat tanpa gejolak.
Kelima, sosok dai harus menjadi teladan yang inspiratif bagi umat (sirajan muniran). Nilai-nilai Islam harus sukses ditransformasikan ke dalam diri dan keluarganya. Keteladanan amat efektif dalam mengubah umat, sebab satu contoh lebih baik dari seribu ceramah. Wallahu a'lam. (Republika)
Mengaku Bersalah
Oleh Muhammad Abbas Aula ***
Rasulullah SAW tampak keheranan mendengar pengakuan tulus Ma'iz bin Malik. Sadarkah Ma'iz bahwa pengakuannya berakibat dijatuhi hukuman mati? Karena itu, Rasulullah bertanya, apakah orang ini sedang mengalami gangguan kejiwaan. "Ia tidak gila!" jawab sahabat yang hadir.
Namun, Rasulullah SAW masih juga meragukan ketulusannya. Beliaupun menyuruh salah seorang di antara yang hadir untuk mencium aroma tubuhnya. Jangan-jangan ada bau minuman keras, bisa diduga laki-laki ini sedang mabuk berat. Juga tak tercium sedikit pun bau minuman keras di tubuhnya. Untuk lebih meyakinkan, Rasulullah SAW bertanya langsung kepadanya, apakah betul Anda berzina. "Ya," jawab Ma'iz, seraya mendesak agar segera dibersihkan dirinya dari dosa zina. Dia siap menjalani hukuman rajam.
Kasus serupa terjadi pada diri wanita Ghamidiyah asal lembah Juhainah. Di hadapan Rasulullah SAW ia mengaku hamil hasil zina, dan memohon agar dijatuhi hukuman rajam seperti terjadi pada Ma'iz. Rasulullah SAW menganjurkan agar ia segera bertaubat kepada Allah, sambil menunggu lahir bayi yang di kandungnya.
Wanita itu kembali melaporkan diri setelah bayinya lahir, dan mendesak agar segera menjalani eksekusi. Rasulullah SAW masih juga menyuruhnya pulang dan memberinya kesempatan untuk menyusui sampai anaknya bisa disapih.
Wanita malang ini datang kembali sambil menggendong anaknya, di tangannya ada sepotong roti sebagai tanda bahwa sang anak benar-benar sudah disapih.
Kesempatan ini mestinya dapat dimanfaatkan oleh Ghamidiyah untuk melarikan diri. Rasulullah pun tidak akan menyuruh para sahabat mencari wanita itu, atau memasukkannya dalam daftar buronan jika benar bahwa setelah anaknya disapih ternyata ia tidak melaporkan diri. Tampaknya Rasulullah SAW sangat memahami bahwa wanita ini sungguh-sungguh bertaubat dan tidak akan mengulangi perbuatannya.
Ma'iz dan Ghamidiyah adalah sosok dua anak manusia langka di zaman sekarang ini. Keduanya datang melaporkan diri, mengakui kesalahannya, lalu minta dihukum dengan hukuman paling berat yang merenggut nyawa.
Keduanya seperti tidak yakin bahwa taubatnya diterima oleh Allah, jika hanya dengan lantunan doa dan istighfar, tanpa menjalani hukuman rajam. Keduanya memilih hukuman di dunia walaupun teramat berat, daripada di akhirat nanti dihukum dengan hukuman yang lebih dahsyat. Usai eksekusi para sahabat masih memperdebatkan, apakah taubatnya diterima oleh Allah atau tidak? Bahkan Umar bin Khattab mempertanyakan, apa layak menshalatkan jenazah orang yang berbuat dosa zina seperti ini?
"Sungguh Allah telah menerima taubatnya. Bila taubatnya dibagikan kepada seluruh umat ini, niscaya taubatnya masih tersisa," ujar Rasulullah SAW meyakinkan. (HR Muslim No 1695).
Perubahan drastis bisa terjadi pada diri seorang Muslim, manakala keyakinan akan adanya kehidupan di hari akhirat, meresap ke lubuk hati yang paling dalam. Wallahu a'lam. (Dimuat di Republika)
Rasulullah SAW tampak keheranan mendengar pengakuan tulus Ma'iz bin Malik. Sadarkah Ma'iz bahwa pengakuannya berakibat dijatuhi hukuman mati? Karena itu, Rasulullah bertanya, apakah orang ini sedang mengalami gangguan kejiwaan. "Ia tidak gila!" jawab sahabat yang hadir.
Namun, Rasulullah SAW masih juga meragukan ketulusannya. Beliaupun menyuruh salah seorang di antara yang hadir untuk mencium aroma tubuhnya. Jangan-jangan ada bau minuman keras, bisa diduga laki-laki ini sedang mabuk berat. Juga tak tercium sedikit pun bau minuman keras di tubuhnya. Untuk lebih meyakinkan, Rasulullah SAW bertanya langsung kepadanya, apakah betul Anda berzina. "Ya," jawab Ma'iz, seraya mendesak agar segera dibersihkan dirinya dari dosa zina. Dia siap menjalani hukuman rajam.
Kasus serupa terjadi pada diri wanita Ghamidiyah asal lembah Juhainah. Di hadapan Rasulullah SAW ia mengaku hamil hasil zina, dan memohon agar dijatuhi hukuman rajam seperti terjadi pada Ma'iz. Rasulullah SAW menganjurkan agar ia segera bertaubat kepada Allah, sambil menunggu lahir bayi yang di kandungnya.
Wanita itu kembali melaporkan diri setelah bayinya lahir, dan mendesak agar segera menjalani eksekusi. Rasulullah SAW masih juga menyuruhnya pulang dan memberinya kesempatan untuk menyusui sampai anaknya bisa disapih.
Wanita malang ini datang kembali sambil menggendong anaknya, di tangannya ada sepotong roti sebagai tanda bahwa sang anak benar-benar sudah disapih.
Kesempatan ini mestinya dapat dimanfaatkan oleh Ghamidiyah untuk melarikan diri. Rasulullah pun tidak akan menyuruh para sahabat mencari wanita itu, atau memasukkannya dalam daftar buronan jika benar bahwa setelah anaknya disapih ternyata ia tidak melaporkan diri. Tampaknya Rasulullah SAW sangat memahami bahwa wanita ini sungguh-sungguh bertaubat dan tidak akan mengulangi perbuatannya.
Ma'iz dan Ghamidiyah adalah sosok dua anak manusia langka di zaman sekarang ini. Keduanya datang melaporkan diri, mengakui kesalahannya, lalu minta dihukum dengan hukuman paling berat yang merenggut nyawa.
Keduanya seperti tidak yakin bahwa taubatnya diterima oleh Allah, jika hanya dengan lantunan doa dan istighfar, tanpa menjalani hukuman rajam. Keduanya memilih hukuman di dunia walaupun teramat berat, daripada di akhirat nanti dihukum dengan hukuman yang lebih dahsyat. Usai eksekusi para sahabat masih memperdebatkan, apakah taubatnya diterima oleh Allah atau tidak? Bahkan Umar bin Khattab mempertanyakan, apa layak menshalatkan jenazah orang yang berbuat dosa zina seperti ini?
"Sungguh Allah telah menerima taubatnya. Bila taubatnya dibagikan kepada seluruh umat ini, niscaya taubatnya masih tersisa," ujar Rasulullah SAW meyakinkan. (HR Muslim No 1695).
Perubahan drastis bisa terjadi pada diri seorang Muslim, manakala keyakinan akan adanya kehidupan di hari akhirat, meresap ke lubuk hati yang paling dalam. Wallahu a'lam. (Dimuat di Republika)
Mencegah Korupsi
Oleh Yuyu Yuhannah***
Praktik korupsi atau mengam bil harta yang bukan haknya telah menjadi hal lumrah di negeri ini. Korupsi dianggap hal yang biasa dikerjakan oleh seseorang yang memiliki kedudukan atau jabatan. Korupsi bak bahaya laten yang sukar sekali diberantas. Mati satu tumbuh seribu. Beragam jalan dikembangkan untuk memberantasnya, tetapi beragam cara pula para koruptor melakukan korupsi.
Rasulullah pernah bersabda: "Setiap tubuh yang berkembang dari yang haram, maka neraka lebih utama baginya," (HR Ahmad). Uang atau harta yang berasal dari korupsi tak akan memberikan manfaat dan kemaslahatan bagi kehidupan para pelaku korupsi itu. Malah sebaliknya, segala amal dan ibadah yang berbasis dari pemanfaatan harta hasil korupsi itu sungguh tak akan diterima oleh Allah karena Nabi juga bersabda: "Sesungguhnya Allah itu Thaayyib (baik), tidak menerima (suatu amal) kecuali yang baik (halal)." (HR Muslim).
Dalam firman-Nya, Allah SWT melarang manusia memakan harta yang bukan haknya. "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat me makan sebagian dan pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (Al-Baqarah [2]: 188).
Korupsi ternyata tak hanya kali ini saja terjadi, tetapi sudah belasan abad lamanya. Dalam surat Ali-Imran, kata "korupsi" disebut sebagai ghulul yang mengandung pengertian perbuatan yang mengkhianati sebuah amanat, seperti penyalahgunaan wewenang, pemanfaatan berbagai fasilitas yang ada untuk kepentingan pribadi dan kelompok, termasuk dalam kategori korupsi ini.
Istilah korupsi juga dideskripsikan dengan istilah al-shut yang berarti menjadi perantara dalam menerima imbalan antara seseorang dan penguasa untuk sebuah kepentingan tertentu (al-Jashash, Ahkam Al Quran, 1405 H), yang dikuatkan dengan begitu banyaknya rujukan dalam hadis Nabi Muhammad sendiri. Nabi Muhammad menerangkan perbuatan korupsi dalam bentuknya yang komprehensif, yakni berkaitan dengan berbagai jenis korupsi seperti penyuapan (risywah), penggelapan, gratifikasi, dan sebagainya.
Yang menarik adalah Nabi Muhammad pun telah mempunyai beberapa strategi untuk melakukan pemberantasan korupsi di masanya. Caranya adalah dengan melakukan pemeriksaan kepada para pejabat seusai melakukan tugas. Lebih lanjut ditegaskan bahwa Rasulullah tak akan melindungi, menutupi, atau menyembunyikan para pelaku korupsi sehingga akan berdampak pada minimalnya perilaku korupsi karena merasa tak dilindungi oleh penguasa.
Memang dihubungkan dalam konteks kekinian, di mana perilaku korupsi telah terpolarisasi dalam beragam bentuknya sehingga makin menyulitkan dalam upaya pemberantasannya. Namun, bukan berarti masalah korupsi ini tak bisa dituntaskan. Kuncinya adalah kemauan dan penegakan hukum secara konsisten, transparan, dan tanpa pandang bulu menjadi instrumen penting negara jika ingin terbebas dari aktivitas korupsi dalam beragam bentuknya.(Repiblika Edisi Senin)
Praktik korupsi atau mengam bil harta yang bukan haknya telah menjadi hal lumrah di negeri ini. Korupsi dianggap hal yang biasa dikerjakan oleh seseorang yang memiliki kedudukan atau jabatan. Korupsi bak bahaya laten yang sukar sekali diberantas. Mati satu tumbuh seribu. Beragam jalan dikembangkan untuk memberantasnya, tetapi beragam cara pula para koruptor melakukan korupsi.
Rasulullah pernah bersabda: "Setiap tubuh yang berkembang dari yang haram, maka neraka lebih utama baginya," (HR Ahmad). Uang atau harta yang berasal dari korupsi tak akan memberikan manfaat dan kemaslahatan bagi kehidupan para pelaku korupsi itu. Malah sebaliknya, segala amal dan ibadah yang berbasis dari pemanfaatan harta hasil korupsi itu sungguh tak akan diterima oleh Allah karena Nabi juga bersabda: "Sesungguhnya Allah itu Thaayyib (baik), tidak menerima (suatu amal) kecuali yang baik (halal)." (HR Muslim).
Dalam firman-Nya, Allah SWT melarang manusia memakan harta yang bukan haknya. "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat me makan sebagian dan pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (Al-Baqarah [2]: 188).
Korupsi ternyata tak hanya kali ini saja terjadi, tetapi sudah belasan abad lamanya. Dalam surat Ali-Imran, kata "korupsi" disebut sebagai ghulul yang mengandung pengertian perbuatan yang mengkhianati sebuah amanat, seperti penyalahgunaan wewenang, pemanfaatan berbagai fasilitas yang ada untuk kepentingan pribadi dan kelompok, termasuk dalam kategori korupsi ini.
Istilah korupsi juga dideskripsikan dengan istilah al-shut yang berarti menjadi perantara dalam menerima imbalan antara seseorang dan penguasa untuk sebuah kepentingan tertentu (al-Jashash, Ahkam Al Quran, 1405 H), yang dikuatkan dengan begitu banyaknya rujukan dalam hadis Nabi Muhammad sendiri. Nabi Muhammad menerangkan perbuatan korupsi dalam bentuknya yang komprehensif, yakni berkaitan dengan berbagai jenis korupsi seperti penyuapan (risywah), penggelapan, gratifikasi, dan sebagainya.
Yang menarik adalah Nabi Muhammad pun telah mempunyai beberapa strategi untuk melakukan pemberantasan korupsi di masanya. Caranya adalah dengan melakukan pemeriksaan kepada para pejabat seusai melakukan tugas. Lebih lanjut ditegaskan bahwa Rasulullah tak akan melindungi, menutupi, atau menyembunyikan para pelaku korupsi sehingga akan berdampak pada minimalnya perilaku korupsi karena merasa tak dilindungi oleh penguasa.
Memang dihubungkan dalam konteks kekinian, di mana perilaku korupsi telah terpolarisasi dalam beragam bentuknya sehingga makin menyulitkan dalam upaya pemberantasannya. Namun, bukan berarti masalah korupsi ini tak bisa dituntaskan. Kuncinya adalah kemauan dan penegakan hukum secara konsisten, transparan, dan tanpa pandang bulu menjadi instrumen penting negara jika ingin terbebas dari aktivitas korupsi dalam beragam bentuknya.(Repiblika Edisi Senin)
Rabu, 12 Januari 2011
Ulama Transformatif
Oleh Fahmi Salim
Ulama adalah ahli waris misi dan fungsi kenabian (HR Ahmad). Para nabi sejatinya membawa misi transformasi sosial yang dijiwai oleh nilai tauhid, "Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: `Bahwasanya tidak ada Tuhan yang hak melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku'," (QS al-Anbiya [21] : 25).
Maka, dalam rangka mengemban misi para rasul, sudah selayaknya ulama harus betul-betul meng-amalkan fungsi kenabian bagi umat manusia seperti termaktub dalam firman Allah SWT, "Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pem beri peringatan, dan untuk jadi pel nyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya, dan untuk jadi cahaya yang menerangi." (al-Ahzab [33]: 45-46).
Ikhtiar mewujudkan perubahan di tengah umat setidaknya harus melakukan langkah berikut.
Pertama, saat mendiagnosis kon disi umat, dai harus objektif, jujur, dan berbasis ilmu yang kuat, ber dasar fakta dan data riil, dan tidak boleh ceroboh. Agaknya, inilah yang disasar dengan fungsi syahi dan. Kedua, optimistis dan proak tif (mubassyiran); hampir dipasti kan ulama akan menghadapi kon disi yang paradoks antara makruf dan mungkar. Optimisme harus dikedepankan daripada pesimisme, sebab perbaikan adalah proses berkesinambungan, bukan suatu yang instan apalagi paksaan.
Setiap dai tidak memulai dari nol, tapi sudah ada realitas di hadapannya; ada kondisi baik dan kondisi buruk. Upayakan jangan menuding masyarakat semuanya salah dan tergesa-gesa menuntut perubahan total dengan cara ekstrem.
Ketiga, saat meluruskan kekeliruan (nadziran) ulama dai harus lembut dan bijak serta berempati.
Tidak menuding "Kalian salah!" tapi pakailah kata-kata "Kita sedang menghadapi masalah ini dan lainnya".
Dai mesti menempatkan dirinya bagian dari mereka, bukannya merasa di atas mereka. Ia sebisa mungkin tidak suka menyalahkan kondisi. Dalam kepalanya hanya ada teori konspirasi! Lebih bijak jika ulama dai mengatakan, "Kita pernah mencoba ideologi ini dan itu, tapi selalu gagal. Ayo kita coba terapi Islam, sebab ia akan membawa kebaikan!" Dalam konteks ini, kritik harus datang dari orang yang kompeten di bidangnya. Kritik tukang becak terhadap sistem ekonomi yang salah tak akan digubris oleh otori tas. Lain hal jika yang melontarkannya adalah profesor ekonomi yang soleh. Keempat, mampu menawarkan solusi alternatif (da'iyan ilallah) dari wahyu ilahi secara gradual dan lembut agar umat dapat melewati jurang antara idealitas Islam dan realitas yang buruk dengan selamat tanpa gejolak.
Kelima, sosok dai harus menjadi teladan yang inspiratif bagi umat (sirajan muniran). Nilai-nilai Islam harus sukses ditransformasikan ke dalam diri dan keluarganya. Keteladanan amat efektif dalam mengubah umat, sebab satu contoh lebih baik dari seribu ceramah. Wallahu a'lam. (Republika)
Ulama adalah ahli waris misi dan fungsi kenabian (HR Ahmad). Para nabi sejatinya membawa misi transformasi sosial yang dijiwai oleh nilai tauhid, "Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: `Bahwasanya tidak ada Tuhan yang hak melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku'," (QS al-Anbiya [21] : 25).
Maka, dalam rangka mengemban misi para rasul, sudah selayaknya ulama harus betul-betul meng-amalkan fungsi kenabian bagi umat manusia seperti termaktub dalam firman Allah SWT, "Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pem beri peringatan, dan untuk jadi pel nyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya, dan untuk jadi cahaya yang menerangi." (al-Ahzab [33]: 45-46).
Ikhtiar mewujudkan perubahan di tengah umat setidaknya harus melakukan langkah berikut.
Pertama, saat mendiagnosis kon disi umat, dai harus objektif, jujur, dan berbasis ilmu yang kuat, ber dasar fakta dan data riil, dan tidak boleh ceroboh. Agaknya, inilah yang disasar dengan fungsi syahi dan. Kedua, optimistis dan proak tif (mubassyiran); hampir dipasti kan ulama akan menghadapi kon disi yang paradoks antara makruf dan mungkar. Optimisme harus dikedepankan daripada pesimisme, sebab perbaikan adalah proses berkesinambungan, bukan suatu yang instan apalagi paksaan.
Setiap dai tidak memulai dari nol, tapi sudah ada realitas di hadapannya; ada kondisi baik dan kondisi buruk. Upayakan jangan menuding masyarakat semuanya salah dan tergesa-gesa menuntut perubahan total dengan cara ekstrem.
Ketiga, saat meluruskan kekeliruan (nadziran) ulama dai harus lembut dan bijak serta berempati.
Tidak menuding "Kalian salah!" tapi pakailah kata-kata "Kita sedang menghadapi masalah ini dan lainnya".
Dai mesti menempatkan dirinya bagian dari mereka, bukannya merasa di atas mereka. Ia sebisa mungkin tidak suka menyalahkan kondisi. Dalam kepalanya hanya ada teori konspirasi! Lebih bijak jika ulama dai mengatakan, "Kita pernah mencoba ideologi ini dan itu, tapi selalu gagal. Ayo kita coba terapi Islam, sebab ia akan membawa kebaikan!" Dalam konteks ini, kritik harus datang dari orang yang kompeten di bidangnya. Kritik tukang becak terhadap sistem ekonomi yang salah tak akan digubris oleh otori tas. Lain hal jika yang melontarkannya adalah profesor ekonomi yang soleh. Keempat, mampu menawarkan solusi alternatif (da'iyan ilallah) dari wahyu ilahi secara gradual dan lembut agar umat dapat melewati jurang antara idealitas Islam dan realitas yang buruk dengan selamat tanpa gejolak.
Kelima, sosok dai harus menjadi teladan yang inspiratif bagi umat (sirajan muniran). Nilai-nilai Islam harus sukses ditransformasikan ke dalam diri dan keluarganya. Keteladanan amat efektif dalam mengubah umat, sebab satu contoh lebih baik dari seribu ceramah. Wallahu a'lam. (Republika)
Minggu, 09 Januari 2011
Ulama Tranformatif
Oleh Fahmi Salim
Ulama adalah ahli waris misi dan fungsi kenabian (HR Ahmad). Para nabi sejatinya membawa misi transformasi sosial yang dijiwai oleh nilai tauhid, "Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: 'Bahwasanya tidak ada Tuhan yang hak melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku'," (QS al-Anbiya [21] : 25).
Maka, dalam rangka mengemban misi para rasul, sudah selayaknya ulama harus betul-betul mengamalkan fungsi kenabian bagi umat manusia seperti termaktub dalam firman Allah SWT, "Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya, dan untuk jadi cahaya yang menerangi." (al-Ahzab [33]: 45-46).
Ikhtiar mewujudkan perubahan di tengah umat setidaknya harus melakukan langkah berikut. Pertama, saat mendiagnosis kondisi umat, dai harus objektif, jujur, dan berbasis ilmu yang kuat, berdasar fakta dan data riil, dan tidak boleh ceroboh. Agaknya, inilah yang disasar dengan fungsi syahidan. Kedua, optimistis dan proaktif (mubassyiran); hampir dipastikan ulama akan menghadapi kondisi yang paradoks antara makruf dan mungkar. Optimisme harus dikedepankan daripada pesimisme, sebab perbaikan adalah proses berkesinambungan, bukan suatu yang instan apalagi paksaan.
Setiap dai tidak memulai dari nol, tapi sudah ada realitas di hadapannya; ada kondisi baik dan kondisi buruk. Upayakan jangan menuding masyarakat semuanya salah dan tergesa-gesa menuntut perubahan total dengan cara ekstrem.
Ketiga, saat meluruskan kekeliruan (nadziran) ulama dai harus lembut dan bijak serta berempati. Tidak menuding "KALIAN salah!" tapi pakailah kata-kata "KITA sedang menghadapi masalah ini dst".
Dai mesti menempatkan dirinya bagian dari mereka, bukannya merasa di atas mereka. Ia sebisa mungkin tidak suka menyalahkan kondisi. Dalam kepalanya hanya ada teori konspirasi! Lebih bijak jika ulama dai mengatakan, "Kita pernah mencoba ideologi ini dan itu, tapi selalu gagal. Ayo kita coba terapi Islam, sebab ia akan membawa kebaikan!"
Dalam konteks ini, kritik harus datang dari orang yang kompeten di bidangnya. Kritik tukang becak terhadap sistem ekonomi yang salah tak akan digubris oleh otoritas. Lain hal jika yang melontarkannya adalah profesor ekonomi yang soleh. Keempat, mampu menawarkan solusi alternatif (da'iyan ilallah) dari wahyu ilahi secara gradual dan lembut agar umat dapat melewati jurang antara idealitas Islam dan realitas yang buruk dengan selamat tanpa gejolak.
Kelima, sosok dai harus menjadi teladan yang inspiratif bagi umat (sirajan muniran). Nilai-nilai Islam harus sukses ditransformasikan ke dalam diri dan keluarganya. Keteladanan amat efektif dalam mengubah umat, sebab satu contoh lebih baik dari seribu ceramah. Wallahu a'lam.
Ulama adalah ahli waris misi dan fungsi kenabian (HR Ahmad). Para nabi sejatinya membawa misi transformasi sosial yang dijiwai oleh nilai tauhid, "Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: 'Bahwasanya tidak ada Tuhan yang hak melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku'," (QS al-Anbiya [21] : 25).
Maka, dalam rangka mengemban misi para rasul, sudah selayaknya ulama harus betul-betul mengamalkan fungsi kenabian bagi umat manusia seperti termaktub dalam firman Allah SWT, "Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya, dan untuk jadi cahaya yang menerangi." (al-Ahzab [33]: 45-46).
Ikhtiar mewujudkan perubahan di tengah umat setidaknya harus melakukan langkah berikut. Pertama, saat mendiagnosis kondisi umat, dai harus objektif, jujur, dan berbasis ilmu yang kuat, berdasar fakta dan data riil, dan tidak boleh ceroboh. Agaknya, inilah yang disasar dengan fungsi syahidan. Kedua, optimistis dan proaktif (mubassyiran); hampir dipastikan ulama akan menghadapi kondisi yang paradoks antara makruf dan mungkar. Optimisme harus dikedepankan daripada pesimisme, sebab perbaikan adalah proses berkesinambungan, bukan suatu yang instan apalagi paksaan.
Setiap dai tidak memulai dari nol, tapi sudah ada realitas di hadapannya; ada kondisi baik dan kondisi buruk. Upayakan jangan menuding masyarakat semuanya salah dan tergesa-gesa menuntut perubahan total dengan cara ekstrem.
Ketiga, saat meluruskan kekeliruan (nadziran) ulama dai harus lembut dan bijak serta berempati. Tidak menuding "KALIAN salah!" tapi pakailah kata-kata "KITA sedang menghadapi masalah ini dst".
Dai mesti menempatkan dirinya bagian dari mereka, bukannya merasa di atas mereka. Ia sebisa mungkin tidak suka menyalahkan kondisi. Dalam kepalanya hanya ada teori konspirasi! Lebih bijak jika ulama dai mengatakan, "Kita pernah mencoba ideologi ini dan itu, tapi selalu gagal. Ayo kita coba terapi Islam, sebab ia akan membawa kebaikan!"
Dalam konteks ini, kritik harus datang dari orang yang kompeten di bidangnya. Kritik tukang becak terhadap sistem ekonomi yang salah tak akan digubris oleh otoritas. Lain hal jika yang melontarkannya adalah profesor ekonomi yang soleh. Keempat, mampu menawarkan solusi alternatif (da'iyan ilallah) dari wahyu ilahi secara gradual dan lembut agar umat dapat melewati jurang antara idealitas Islam dan realitas yang buruk dengan selamat tanpa gejolak.
Kelima, sosok dai harus menjadi teladan yang inspiratif bagi umat (sirajan muniran). Nilai-nilai Islam harus sukses ditransformasikan ke dalam diri dan keluarganya. Keteladanan amat efektif dalam mengubah umat, sebab satu contoh lebih baik dari seribu ceramah. Wallahu a'lam.
Hikmah Pagi: Ihsan
Oleh: Jauhar Ridloni Marzuq (idho_87@yahoo.co.id)***
Dalam ajaran Islam, ihsan adalah tingkatan tertinggi di atas Islam dan Iman. Ihsan merupakan esensi utama dari sebuah keimanan dan puncak tertinggi dalam hal kepatuhan dan kepasrahan seorang hamba kepada Tuhannya. Dalam ihsan tercakup segala perangai indah dan amal kebajikan.
Secara bahasa, ihsan berasal dari kata Ahsana: memberi kenikmatan atau kebaikan kepada orang lain. Hal ini seperti yang difirmankan oleh Allah Swt dalam surat an-Nahl ayat 90. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan (ihsan), memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (an-Nahl [16]: 90).
Menurut Raghib al-Asfahani ihsan lebih tinggi derajatnya dari sekedar adil. Jika adil adalah memberi dan mengambil sesuai dengan porsi yang yang dibutuhkan, maka Ihsan adalah memberi lebih banyak dan mengambil lebih sedikit.
Dalam salah satu hadisnya Rasulullah menjelaskan bahwa “Ihsan adalah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kami melihat-Nya. Namun apabila kamu tidak merasakan melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim).
Kata ibadah yang dijelaskan oleh Rasulullah di atas tidak terbatas pada ibadah makhdah. Dalam Islam ibadah melingkupi segala perbuatan yang diniatkan untuk kepatuhan kepada Allah Swt. Orang yang shalat dan yang bermain bola sama-sama ibadah, apabila ditujukan dengan ikhlas sebagai upaya kepatuhan terhadap Allah Swt.. Dengan pengertian ini maka orang yang telah mencapai tingkatan ihsan akan selalu merasakan kehadiran Allah dalam setiap tindakannya, baik yang tersembunyi maupun terang-terangan.
Bukan hanya dalam hubungan dengan Allah (hablunminallah), dalam tataran interaksi dengan manusia (hablunminannas) ihsan juga sangat diperlukan. Kebobrokan moral dan meningkatnya kriminalitas adalah pertanda utama hilangnya ihsan. Bagaimana mungkin seorang yang merasakan kehadiran Allah dalam setiap tindakannya akan mudah berbohong, membohongi, hingga korupsi?
Dalam beribadah orang yang mencapai tingkatan ihsan akan merasakan kekhusyuan dan kepasrahan yang penuh kepada Allah Swt. Dalam berinteraksi dengan orang lain, dia akan selalu mengedepankan etika dan kemaslahatan. Dalam mengemban amanah dia akan menjalankanya dengan bijaksana. Bahkan dalam berinteraksi dengan binatang pun dia tidak akan pernah menyakitinya.
Rasululllah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menuliskan ihsan dalam segala hal. Maka apabila kalian berperang, berperanglah dengan ihsan. Apabila kalian menyembelih binatang, sembelihlah dengan ihsan, yaitu dengan menajamkan mata pisau agar sembelihan itu tidak tersiksa.” (HR Muslim).
Orang yang telah mencapai derajat ihsan ini disebut muhsin.
Seorang muhsin memiliki keistimewaan tersendiri di sisi Allah Swt. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang muhsinin.” (an-Nahl [16]: 128).
***Jauhar Ridloni Marzuq adalah mahasiswa tahun III Jurusan Tafsir dan Ulumul Quran Universitas al-Azhar Kairo. Kini aktif sebagai pengurus bagian Hubungan Luar Negeri Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Kairo.
Dalam ajaran Islam, ihsan adalah tingkatan tertinggi di atas Islam dan Iman. Ihsan merupakan esensi utama dari sebuah keimanan dan puncak tertinggi dalam hal kepatuhan dan kepasrahan seorang hamba kepada Tuhannya. Dalam ihsan tercakup segala perangai indah dan amal kebajikan.
Secara bahasa, ihsan berasal dari kata Ahsana: memberi kenikmatan atau kebaikan kepada orang lain. Hal ini seperti yang difirmankan oleh Allah Swt dalam surat an-Nahl ayat 90. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan (ihsan), memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (an-Nahl [16]: 90).
Menurut Raghib al-Asfahani ihsan lebih tinggi derajatnya dari sekedar adil. Jika adil adalah memberi dan mengambil sesuai dengan porsi yang yang dibutuhkan, maka Ihsan adalah memberi lebih banyak dan mengambil lebih sedikit.
Dalam salah satu hadisnya Rasulullah menjelaskan bahwa “Ihsan adalah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kami melihat-Nya. Namun apabila kamu tidak merasakan melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim).
Kata ibadah yang dijelaskan oleh Rasulullah di atas tidak terbatas pada ibadah makhdah. Dalam Islam ibadah melingkupi segala perbuatan yang diniatkan untuk kepatuhan kepada Allah Swt. Orang yang shalat dan yang bermain bola sama-sama ibadah, apabila ditujukan dengan ikhlas sebagai upaya kepatuhan terhadap Allah Swt.. Dengan pengertian ini maka orang yang telah mencapai tingkatan ihsan akan selalu merasakan kehadiran Allah dalam setiap tindakannya, baik yang tersembunyi maupun terang-terangan.
Bukan hanya dalam hubungan dengan Allah (hablunminallah), dalam tataran interaksi dengan manusia (hablunminannas) ihsan juga sangat diperlukan. Kebobrokan moral dan meningkatnya kriminalitas adalah pertanda utama hilangnya ihsan. Bagaimana mungkin seorang yang merasakan kehadiran Allah dalam setiap tindakannya akan mudah berbohong, membohongi, hingga korupsi?
Dalam beribadah orang yang mencapai tingkatan ihsan akan merasakan kekhusyuan dan kepasrahan yang penuh kepada Allah Swt. Dalam berinteraksi dengan orang lain, dia akan selalu mengedepankan etika dan kemaslahatan. Dalam mengemban amanah dia akan menjalankanya dengan bijaksana. Bahkan dalam berinteraksi dengan binatang pun dia tidak akan pernah menyakitinya.
Rasululllah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menuliskan ihsan dalam segala hal. Maka apabila kalian berperang, berperanglah dengan ihsan. Apabila kalian menyembelih binatang, sembelihlah dengan ihsan, yaitu dengan menajamkan mata pisau agar sembelihan itu tidak tersiksa.” (HR Muslim).
Orang yang telah mencapai derajat ihsan ini disebut muhsin.
Seorang muhsin memiliki keistimewaan tersendiri di sisi Allah Swt. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang muhsinin.” (an-Nahl [16]: 128).
***Jauhar Ridloni Marzuq adalah mahasiswa tahun III Jurusan Tafsir dan Ulumul Quran Universitas al-Azhar Kairo. Kini aktif sebagai pengurus bagian Hubungan Luar Negeri Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Kairo.
Hikmah Pagi: Hari Esok
Oleh Ali Farkhan Tsani***
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Hasyr [59]: 18).
Allah menyeru orang-orang beriman agar senantiasa memelihara hubungan takwa dengan Allah Sang Pencipta dan Pemelihara alam semesta beserta seisinya. Karena itu, pengakuan iman saja belumlah cukup sebelum dilengkapi dengan mempercepat hubungan takwa dengan Allah, dengan penuh keikhlasan jiwa, tawakal berserah diri sepenuhnya kepada kekuasaanNya, ridha dan menerima segala ketentuan-Nya, selalu bersyukur atas segala nikmat dan karuniaNya, serta sabar menerima segala ujian, musibah, dan cobaan-Nya.
Takwa kepada Allah agar tetap tumbuh subur adalah dengan cara senantiasa melestarikan ibadah kepada Allah dengan rasa cinta, seperti shalat berjamaah, tadarus Alquran, memperbanyak istigfar, qiyamul lail, mengeluarkan sedekah, serta menyantuni kaum fuqara dan dhuafa. Demikian pula takwa dapat tetap kokoh bersemayam di dalam dada setiap Muslim adalah dengan memperbanyak zikrullah, senantiasa mengingat bahwa hidup ini hanyalah semata-mata singgah. Hingga pada akhirnya, persinggahan hidup di dunia ini akan ditutup dengan kematian.
Kelak di akhirat esok, amal kita akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Hari esok adalah hari akhirat. Hidup tidaklah akan disudahi hingga di dunia ini saja. Dunia hanyalah semata-mata masa untuk menanam benih. Adapun hasilnya akan dipetik di hari akhirat. Maka, beriman kepada hari akhirat menyebabkan rezeki yang Allah karuniakan di dunia memang telah Allah sediakan terlebih dahulu sebagai persediaan hari esok.
Islam tidak memisahkan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi. "Ad-dunya mazra'atu alakhirah," dunia adalah tempat bercocok tanam untuk kepentingan hari esok, akhirat. Seyogianyalah kita selaku orang-orang yang telah mengaku beriman memupuk imannya dengan takwa, lalu merenungkan hari esoknya, apa gerangan yang akan kita bawa untuk menghadap Allah.
Tidak ada tindak kemaksiatan kita, kezaliman kita, yang tidak diketahui-Nya. Itu menunjukkan agar kita selalu menyuburkan nilai takwa kepada-Nya. Sebab, dengan takwa itulah, kita menjadi selalu dekat dengan Allah yang memang harus selalu kita dekati bukan kita jauhi, apalagi kita lupakan.
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Hasyr [59]: 18).
Allah menyeru orang-orang beriman agar senantiasa memelihara hubungan takwa dengan Allah Sang Pencipta dan Pemelihara alam semesta beserta seisinya. Karena itu, pengakuan iman saja belumlah cukup sebelum dilengkapi dengan mempercepat hubungan takwa dengan Allah, dengan penuh keikhlasan jiwa, tawakal berserah diri sepenuhnya kepada kekuasaanNya, ridha dan menerima segala ketentuan-Nya, selalu bersyukur atas segala nikmat dan karuniaNya, serta sabar menerima segala ujian, musibah, dan cobaan-Nya.
Takwa kepada Allah agar tetap tumbuh subur adalah dengan cara senantiasa melestarikan ibadah kepada Allah dengan rasa cinta, seperti shalat berjamaah, tadarus Alquran, memperbanyak istigfar, qiyamul lail, mengeluarkan sedekah, serta menyantuni kaum fuqara dan dhuafa. Demikian pula takwa dapat tetap kokoh bersemayam di dalam dada setiap Muslim adalah dengan memperbanyak zikrullah, senantiasa mengingat bahwa hidup ini hanyalah semata-mata singgah. Hingga pada akhirnya, persinggahan hidup di dunia ini akan ditutup dengan kematian.
Kelak di akhirat esok, amal kita akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Hari esok adalah hari akhirat. Hidup tidaklah akan disudahi hingga di dunia ini saja. Dunia hanyalah semata-mata masa untuk menanam benih. Adapun hasilnya akan dipetik di hari akhirat. Maka, beriman kepada hari akhirat menyebabkan rezeki yang Allah karuniakan di dunia memang telah Allah sediakan terlebih dahulu sebagai persediaan hari esok.
Islam tidak memisahkan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi. "Ad-dunya mazra'atu alakhirah," dunia adalah tempat bercocok tanam untuk kepentingan hari esok, akhirat. Seyogianyalah kita selaku orang-orang yang telah mengaku beriman memupuk imannya dengan takwa, lalu merenungkan hari esoknya, apa gerangan yang akan kita bawa untuk menghadap Allah.
Tidak ada tindak kemaksiatan kita, kezaliman kita, yang tidak diketahui-Nya. Itu menunjukkan agar kita selalu menyuburkan nilai takwa kepada-Nya. Sebab, dengan takwa itulah, kita menjadi selalu dekat dengan Allah yang memang harus selalu kita dekati bukan kita jauhi, apalagi kita lupakan.
Hikmah Mengubah Diri Sendiri
Oleh: A Ilyas Ismail
Di alam ini, segala hal berubah, dan tak ada yang tak berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Pada masa kita sekarang, perubahan berjalan sangat cepat, bahkan dahsyat dan dramatik. Kita semua, tak bisa tidak, berjalan bersama atau seiring dengan perubahan itu. Tak berlebihan bila Alan Deutschman pernah menulis buku, untuk mengingatkan kita semua, dengan judul agak ekstrim, “Change or Die” (Berubah atau Mati).
Perubahan pada hakekatnya adalah ketetapan Allah (sunnatullah) yang berlangsung konstan (ajek), tidak pernah berubah, serta tidak bisa dilawan, sebagai bukti dari wujud dan kuasa-Nya (QS. Ali Imran [3]: 190-191). Namun, perubahan yang dikehendaki, yaitu perubahan menuju kemajuan, tidak datang dari langit (given) atau datang secara cuma-cuma (taken for granted). Hal ini, karena Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri mengubah diri mereka sendiri (QS. Al-Ra`d [13]: 11).
Untuk mencapai kemajuan, setiap orang harus merencanakan perubahan, dan perubahan itu harus datang dan dimulai dari diri sendiri. Perubahan sejatinya tidak dapat dipaksakan dari luar, tetapi merupakan revolusi kesadaran yang lahir dari dalam. Itu sebabnya, kepada orang yang bertanya soal hijrah dan jihad, Nabi berpesan. Kata beliau, “Ibda’ bi nafsik, faghzuha” (mulailah dari dirimu sendiri, lalu berperanglah!). (HR. al-Thayalisi dari Abdullah Ibn `Umar).
Seperti diharapkan Nabi SAW dalam riwayat di atas, perubahan dari dalam dan dari diri sendiri merupakan pangkal segala perubahan, dan sekaligus merupakan kepemimpinan dalam arti yang sebenarnya. Hakekat kepemimpinan adalah kepemimpinan atas diri sendiri. Dikatakan demikian, karena seorang tak mungkin memimpin dan mengubah orang lain, bila ia tak sanggup memimpin dan mengubah dirinya sendiri.
Perubahan dalam diri manusia dimulai dari perubahan cara pandang atau perubahan paradigma pikir (mindset). Manusia tak mungkin mengubah hidupnya, bilamana ia tak mampu mengubah paradigma pikirnya. Karena itu, kita disuruh mengubah pikiran kita agar kita dapat mengubah hidup kita (Change Our Thinking Change Our Life).
Selanjutnya, perubahan paradigma harus disertai dengan perubahan dalam penguasaan ilmu dan keterampilan. Perubahan yang satu ini memerlukan pembelajaran dan pembiasaan (learning habits) yang perlu terus diasah.
Akhirnya, perubahan diri itu, menurut Imam al-Ghazali, membutuhkan tindakan nyata (al-Af`al). Ilmu hanya menjadi kekuatan jika ia benar-benar dikelola menjadi program dan tindakan nyata yang mendatangkan kebaikan bagi orang lain. Pada tahap ini, tindakan menjadi faktor pamungkas, dan menjadi satu-satunya kekuatan yang bisa mengubah cita-cita (harapan) menjadi realita (kenyataan). Wallahu a`lam!
Di alam ini, segala hal berubah, dan tak ada yang tak berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Pada masa kita sekarang, perubahan berjalan sangat cepat, bahkan dahsyat dan dramatik. Kita semua, tak bisa tidak, berjalan bersama atau seiring dengan perubahan itu. Tak berlebihan bila Alan Deutschman pernah menulis buku, untuk mengingatkan kita semua, dengan judul agak ekstrim, “Change or Die” (Berubah atau Mati).
Perubahan pada hakekatnya adalah ketetapan Allah (sunnatullah) yang berlangsung konstan (ajek), tidak pernah berubah, serta tidak bisa dilawan, sebagai bukti dari wujud dan kuasa-Nya (QS. Ali Imran [3]: 190-191). Namun, perubahan yang dikehendaki, yaitu perubahan menuju kemajuan, tidak datang dari langit (given) atau datang secara cuma-cuma (taken for granted). Hal ini, karena Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri mengubah diri mereka sendiri (QS. Al-Ra`d [13]: 11).
Untuk mencapai kemajuan, setiap orang harus merencanakan perubahan, dan perubahan itu harus datang dan dimulai dari diri sendiri. Perubahan sejatinya tidak dapat dipaksakan dari luar, tetapi merupakan revolusi kesadaran yang lahir dari dalam. Itu sebabnya, kepada orang yang bertanya soal hijrah dan jihad, Nabi berpesan. Kata beliau, “Ibda’ bi nafsik, faghzuha” (mulailah dari dirimu sendiri, lalu berperanglah!). (HR. al-Thayalisi dari Abdullah Ibn `Umar).
Seperti diharapkan Nabi SAW dalam riwayat di atas, perubahan dari dalam dan dari diri sendiri merupakan pangkal segala perubahan, dan sekaligus merupakan kepemimpinan dalam arti yang sebenarnya. Hakekat kepemimpinan adalah kepemimpinan atas diri sendiri. Dikatakan demikian, karena seorang tak mungkin memimpin dan mengubah orang lain, bila ia tak sanggup memimpin dan mengubah dirinya sendiri.
Perubahan dalam diri manusia dimulai dari perubahan cara pandang atau perubahan paradigma pikir (mindset). Manusia tak mungkin mengubah hidupnya, bilamana ia tak mampu mengubah paradigma pikirnya. Karena itu, kita disuruh mengubah pikiran kita agar kita dapat mengubah hidup kita (Change Our Thinking Change Our Life).
Selanjutnya, perubahan paradigma harus disertai dengan perubahan dalam penguasaan ilmu dan keterampilan. Perubahan yang satu ini memerlukan pembelajaran dan pembiasaan (learning habits) yang perlu terus diasah.
Akhirnya, perubahan diri itu, menurut Imam al-Ghazali, membutuhkan tindakan nyata (al-Af`al). Ilmu hanya menjadi kekuatan jika ia benar-benar dikelola menjadi program dan tindakan nyata yang mendatangkan kebaikan bagi orang lain. Pada tahap ini, tindakan menjadi faktor pamungkas, dan menjadi satu-satunya kekuatan yang bisa mengubah cita-cita (harapan) menjadi realita (kenyataan). Wallahu a`lam!
Langganan:
Postingan (Atom)