REPUBLIKA.CO.ID, Musa Al-Hadi menjabat Khalifah Abbasiyah keempat menggantikan ayahnya, Khalifah Al-Mahdi. Ia menjalankan pemerintahan hanya satu tahun tiga bulan (169-170 H). Ia dilahirkan di Ray pada 147 H.
Ketika ayahnya wafat, Musa Al-Hadi sedang berada di pesisir pantai Jurjan di pinggir laut Kaspia. Saudaranya, Harun Ar-Rasyid, bertindak mewakilinya untuk mengambil baiat dari seluruh tentara. Mendengar berita wafatnya sang ayah, Musa Al-Hadi segera kembali ke Baghdad dan berlangsunglah baiat secara umum.
Pusat perhatian umat Musa Al-Hadi ketika menjabat khalifah adalah membasmi kaum Zindiq. Kelompok ini berkembang sejak pemerintahan ayahnya, Al-Mahdi. Secara umum kelompok ini lebih mirip ajaran komunis yang ingin menyamakan kepemilikan harta. Tetapi mereka sering tidak menampakkan ajarannya secara terang-terangan. Ini yang menyulitkan kaum Muslimin membasminya.
Walau demikian, di akhir pemerintahan Al-Mahdi, kelompok ini semakin merebak dengan melakukan kegiatan bawah tanah. Untuk itu, Khalifah Musa Al-Hadi tidak mau ambil resiko. Dengan tegas ia memerintahkan pasukannya untuk membasmi kelompok ini sampai ke akar-akarnya.
Tantangan terhadap Khalifah Musa Al-Hadi tak hanya muncul dari kaum Zindiq. Di daerah Hijaz muncul sosok Husain bin Ali bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ia mendapatkan sambutan dari masyarakat karena masih keturunan Ali bin Abi Thalib. Bahkan kelompok ini sempat memaklumatkan berdirinya Daulah Alawi di Tanah Hijaz.
Karena gubernur setempat tak mampu mengatasinya, Musa Al-Hadi segera mengirimkan pasukan cukup besar dari Baghdad yang dipimpin oleh Muhammad bin Sulaiman. Mulanya pihak Sulaiman menawarkan perdamaian. Namun karena tak mencapai kata mufakat, akhirnya terjadilah pertempuran di suatu tempat antara Madinah dan Makkah yang dikenal dengan nama Fakh.
Husain bin Ali tewas dalam peperangan itu. Kepalanya dibawa ke hadapan Khalifah Musa Al-Hadi dan dikebumikan di Baghdad. Sisa-sisa pasukan Husain dikejar. Sebagian melarikan diri keluar Hijaz.
Tak terlalu banyak perkembangan yang terjadi di masa pemerintahan Musa Al-Hadi. Usia pemerintahannya pun tidak terlalu lama. Ia meninggal dunia pada malam Sabtu 16 Rabiul Awwal 170 H. Konon kemangkatannya itu tidak wajar. Ibunya, Khaizuran yang masih keturunan Iran, dianggap terlalu sering mencampuri urusan pemerintahan. Hal itu tidak disenangi oleh sang khalifah.
Konon sering terjadi pertentangan antara keduanya, ia pun dibunuh. Imam As-Suyuthi memaparkan banyak versi tentang tewasnya Musa Al-Hadi. Ada yang mengatakan sang khalifah jatuh dari jurang dan tertancap pada sebatang pohon. Ada juga yang mengatakan ia meninggal karena radang usus hingga perutnya bernanah. Riwayat lain mengatakan, ia diracun oleh ibunya sendiri.
Sebagaimana diketahui, ibunya adalah orang yang sangat berpengaruh dan sering mengurusi hal yang sangat penting seputar istana. Para utusan banyak yang datang ke kediaman ibunya. Melihat hal itu, Musa Al-Hadi marah. Terjadi pertengkaran antara dirinya dan ibunya.
Seperti dikisahkan As-Suyuthi, Musa Al-Hadi mengirimkan makan beracun kepada ibunya. Begitu menerima makanan itu, ibunya langsung memberikannya kepada seekor anjing. Seketika binatang itu mati!
Setelah mengetahui niat busuk anaknya, sang ibu berencana untuk membunuh anaknya yang durhaka itu. Dengan menggunakan selendang, ia membungkam wajah Musa Al-Hadi hingga kehilangan nafas dan mati. Musa meninggalkan tujuh orang anak laki-laki.
Selasa, 26 April 2011
Daulah Abbasiyah: Muhammad Al-Mahdi (775-785 M) Khalifah Ketiga
REPUBLIKA.CO.ID, Ketika khalifah Abu Ja'far Al-Manshur meninggal di tengah perjalanan untuk menunaikan ibadah haji, Al-Mahdi sedang berada di Baghdad mewakilinya mengurus kepentingan negara. Di sanalah Al-Mahdi mendengar kabar kematian ayahnya tercinta sekaligus pengangkatan dirinya sebagai khalifah.
Setelah merasa mampu menguasai kesedihannya, ia berpidato di hadapan orang banyak. Di antara isi pidatonya, “Sesungguhnya Amirul Mukminin adalah seorang hamba yang diminta, lalu dia penuhi permintaan itu. Rasulullah Saw pernah menangis saat berpisah dengan orang-orang yang dicintainya. Kini aku berpisah dengan sosok yang agung, kemudian aku diberi beban yang sangat berat. Hanya kepada Allah aku mengharap pahala untuk Amirul Mukminin, dan hanya kepada-Nya aku memohon pertolongan untuk memimpin kaum Muslimin.”
Al-Mahdi dikenal sebagai sosok dermawan, pemurah, terpuji, disukai rakyat serta banyak memberikan hadiah-hadiah. Selain itu, ia juga mengembalikan harta-harta yang dirampas secara tidak benar. Ia lahir pada 129 H. Ada juga yang mengatakan 126 H. Ibunya bernama Ummu Musa binti Al-Manshur Al-Himyariyah.
Al-Mahdi adalah khalifah pertama yang memerintahkan ulama untuk menulis buku menentang orang-orang Zindiq dan mulhid (ingkar). Menurut Adz-Dzahabi seperti dikutip Imam As-Suyuthi dalam Tarikh Al-Khulafa’, dialah yang pertama kali membuat jaringan pos antara Irak dan Hijaz.
Berbeda dengan pemerintahan ayahnya yang penuh dengan perjuangan melawan berbagai kesulitan untuk menstabilkan keadaan negara, masa pemerintahan Al-Mahdi bisa dikatakan masa kejayaan dan kemakmuran. Rakyat dapat hidup dengan tenteram dan damai. Sebab negara pada waktu itu berada dalam keadaan stabil dan mantap. Keuangan negara terjamin dan tidak ada satu pun gerakan penting dan signifikan yang mengancam keselamatan negara.
Masa pemerintahan Al-Mahdi dimulai dengan pembebasan para napol (narapidana politik) dan tapol (tahanan politik). Kebanyakan dari golongan Alawiyah (pendukung Ali), terkecuali para kriminal yang dipenjarakan menurut undang-undang yang berlaku.
Pembangunan yang dilakukan di masa itu meliputi peremajaan bangunan Ka’bah dan Masjid Nabawi, pembangunan fasilitas umum, pembangunan jaringan pos yang menghubungkan kota Baghdad dengan kota-kota besar Islam lainnya.
Di antara kebijakan Al-Mahdi adalah menurunkan pajak bagi golongan kafir dzimmi, juga memerintahkan pegawai-pegawainya untuk tidak bersikap kasar ketika memungut pajak, karena sebelumnya mereka diintimidasi dengan berbagai cara agar membayar pajak.
Penaklukan di masa Khalifah Al-Mahdi meliputi daerah Hindustan (India) dan penaklukan besar-besaran terjadi di wilayah Romawi. Selain itu, Al-Mahdi juga bersikap keras terhadap orang-orang yang menyimpang dari ajaran Islam, yaitu mereka yang menganut ajaran Manawiyah Paganistik (penyembah cahaya dan kegelapan) atau lebih dikenal dengan sebutan kaum Zindiq. Setelah itu sebutan Zindiq dialamatkan kepada siapa saja yang mulhid atau para ahli bid’ah.
Gerakan lain yang muncul pada masa kepemimpinannya adalah gerakan Muqanna Al-Khurasani yang menuntut dendam atas kematian Abu Muslim Al-Khurasani. Selain itu, gerakan ini merupakan percobaan Persia untuk merebut kembali kekuasaan dan pengaruh dari bangsa Arab, khususnya Bani Abbasiyah. Al-Muqanna mengajarkan kepada para pengikutnya tentang pengembalian ruh ke dunia dalam jasad yang lain, yang lebih dikenal dengan reinkarnasi. Tentu saja gerakan ini sangat sesat dan menyesatkan.
Kemunculan Al-Muqanna menimbulkan kekhawatiran khalifah, selain karena para pengikutnya yang bertambah banyak, mereka juga sering memenangkan peperangan menghadapi kaum Muslimin serta menawan Muslimah dan anak-anak. Oleh sebab itu, Al-Mahdi mengirim pasukan besar menghadapi gerakan tersebut.
Terjadilah pengepungan di sebuah kota di mana Al-Muqanna bersembunyi. Pengepungan itu berlangsung cukup lama. Di luar perkiraan pasukan Al-Mahdi, sebuah aksi bunuh diri massal dilakukan Al-Muqanna bersama pengikut-pengikutnya, yaitu dengan cara membakar diri.
Pada tahun 159 H, Al-Mahdi mengangkat kedua anaknya, Musa Al-Hadi dan Harun Ar-Rasyid, sebagai putra mahkota secara berurutan. Pada tahun 169 H, Al-Mahdi meninggal dunia. Ia memerintah selama 43 tahun. Satu riwayat menyebutkan dia meninggal karena jatuh dari kudanya ketika sedang berburu. Riwayat lain mengatakan dia meninggal karena diracun.
Setelah merasa mampu menguasai kesedihannya, ia berpidato di hadapan orang banyak. Di antara isi pidatonya, “Sesungguhnya Amirul Mukminin adalah seorang hamba yang diminta, lalu dia penuhi permintaan itu. Rasulullah Saw pernah menangis saat berpisah dengan orang-orang yang dicintainya. Kini aku berpisah dengan sosok yang agung, kemudian aku diberi beban yang sangat berat. Hanya kepada Allah aku mengharap pahala untuk Amirul Mukminin, dan hanya kepada-Nya aku memohon pertolongan untuk memimpin kaum Muslimin.”
Al-Mahdi dikenal sebagai sosok dermawan, pemurah, terpuji, disukai rakyat serta banyak memberikan hadiah-hadiah. Selain itu, ia juga mengembalikan harta-harta yang dirampas secara tidak benar. Ia lahir pada 129 H. Ada juga yang mengatakan 126 H. Ibunya bernama Ummu Musa binti Al-Manshur Al-Himyariyah.
Al-Mahdi adalah khalifah pertama yang memerintahkan ulama untuk menulis buku menentang orang-orang Zindiq dan mulhid (ingkar). Menurut Adz-Dzahabi seperti dikutip Imam As-Suyuthi dalam Tarikh Al-Khulafa’, dialah yang pertama kali membuat jaringan pos antara Irak dan Hijaz.
Berbeda dengan pemerintahan ayahnya yang penuh dengan perjuangan melawan berbagai kesulitan untuk menstabilkan keadaan negara, masa pemerintahan Al-Mahdi bisa dikatakan masa kejayaan dan kemakmuran. Rakyat dapat hidup dengan tenteram dan damai. Sebab negara pada waktu itu berada dalam keadaan stabil dan mantap. Keuangan negara terjamin dan tidak ada satu pun gerakan penting dan signifikan yang mengancam keselamatan negara.
Masa pemerintahan Al-Mahdi dimulai dengan pembebasan para napol (narapidana politik) dan tapol (tahanan politik). Kebanyakan dari golongan Alawiyah (pendukung Ali), terkecuali para kriminal yang dipenjarakan menurut undang-undang yang berlaku.
Pembangunan yang dilakukan di masa itu meliputi peremajaan bangunan Ka’bah dan Masjid Nabawi, pembangunan fasilitas umum, pembangunan jaringan pos yang menghubungkan kota Baghdad dengan kota-kota besar Islam lainnya.
Di antara kebijakan Al-Mahdi adalah menurunkan pajak bagi golongan kafir dzimmi, juga memerintahkan pegawai-pegawainya untuk tidak bersikap kasar ketika memungut pajak, karena sebelumnya mereka diintimidasi dengan berbagai cara agar membayar pajak.
Penaklukan di masa Khalifah Al-Mahdi meliputi daerah Hindustan (India) dan penaklukan besar-besaran terjadi di wilayah Romawi. Selain itu, Al-Mahdi juga bersikap keras terhadap orang-orang yang menyimpang dari ajaran Islam, yaitu mereka yang menganut ajaran Manawiyah Paganistik (penyembah cahaya dan kegelapan) atau lebih dikenal dengan sebutan kaum Zindiq. Setelah itu sebutan Zindiq dialamatkan kepada siapa saja yang mulhid atau para ahli bid’ah.
Gerakan lain yang muncul pada masa kepemimpinannya adalah gerakan Muqanna Al-Khurasani yang menuntut dendam atas kematian Abu Muslim Al-Khurasani. Selain itu, gerakan ini merupakan percobaan Persia untuk merebut kembali kekuasaan dan pengaruh dari bangsa Arab, khususnya Bani Abbasiyah. Al-Muqanna mengajarkan kepada para pengikutnya tentang pengembalian ruh ke dunia dalam jasad yang lain, yang lebih dikenal dengan reinkarnasi. Tentu saja gerakan ini sangat sesat dan menyesatkan.
Kemunculan Al-Muqanna menimbulkan kekhawatiran khalifah, selain karena para pengikutnya yang bertambah banyak, mereka juga sering memenangkan peperangan menghadapi kaum Muslimin serta menawan Muslimah dan anak-anak. Oleh sebab itu, Al-Mahdi mengirim pasukan besar menghadapi gerakan tersebut.
Terjadilah pengepungan di sebuah kota di mana Al-Muqanna bersembunyi. Pengepungan itu berlangsung cukup lama. Di luar perkiraan pasukan Al-Mahdi, sebuah aksi bunuh diri massal dilakukan Al-Muqanna bersama pengikut-pengikutnya, yaitu dengan cara membakar diri.
Pada tahun 159 H, Al-Mahdi mengangkat kedua anaknya, Musa Al-Hadi dan Harun Ar-Rasyid, sebagai putra mahkota secara berurutan. Pada tahun 169 H, Al-Mahdi meninggal dunia. Ia memerintah selama 43 tahun. Satu riwayat menyebutkan dia meninggal karena jatuh dari kudanya ketika sedang berburu. Riwayat lain mengatakan dia meninggal karena diracun.
Kartini dan Perempuan dalam Islam
Oleh Khofifah Indar Parawansa
Setiap 21 April lalu, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini. Peringatan yang merujuk pada lahirnya Raden Ajeng Kartini, 21 April 1879. Kartini hidup pada zaman ketika kekuatan budaya masyarakat sangat permisif memandang perempuan.
Kartini berani berteriak lantang. Ia berusaha mendobrak kekakuan sehingga lahirlah mainstream paradigma baru terhadap perempuan di Indonesia. Namanya pun hingga kini terus dikenang sebagai bukti perhargaan bangsa Indonesia terhadap perjuangannya.
Kisah perjuangan Kartini ini mengingatkan penulis pada kisah Hajar, istri Nabi Ibrahim AS. Hajar adalah wanita tabah dan ikhlas menerima semua ujian yang Allah berikan. Keikhlasannya menjadi sumber kekuatan dalam berjuang.
Kala itu, Ismail masih menyusu. Mereka hidup di lembah yang tandus. Suatu hari, perbekalan mereka habis, Ismail kelaparan dan kehausan, Siti Hajar lalu mencoba mencari sumber air dengan berlari-lari dari Safa ke Marwah demi anak yang merupakan amanah Allah SWT. (Lihat surah Ibrahim ayat 37).
Sampai suatu ketika, Allah menolong mereka dengan memberikan sumber air yang jernih (zamzam). Hingga kini, kisah Hajar diabadikan dan dikenang oleh seluruh umat Islam di dunia sebagai rangkaian ibadah haji dan umrah (sa'i).
Pengabadian Hajar menjadi bukti otentik bahwa Islam sangat menghargai perempuan. Hal ini tentu menjadi inspirasi bagi Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam untuk lebih menghargai perempuan, seperti Islam menghargai perjuangan dan keikhlasan Hajar dalam memperjuangkan keselamatan hidup anaknya, Ismail.
Jika dicermati, masih banyak produk hukum di Indonesia yang diskriminatif dan bias gender. Perempuan sering mengalami tindak kekerasan dan pelecehan seksual, diskriminasi, dan perlakuan sewenang-wenang di dalam keluarga, tempat kerja, dan lainnya. Akibatnya, tak hanya perempuan, anak-anak juga sering menjadi korban.
Dalam menghadapi situasi ini, ada tiga ikhtiar yang perlu dilakukan. Pertama, aspek hukum, dengan meletakkan sistem perlindungan, penghormatan, dan penegakan HAM bagi perempuan dan anak-anak dalam seluruh aspek kehidupan dan perlindungan hak anak dan anak perempuan dari eksploitasi seksual komersial dan tindak kekerasan. Untuk itu, perlu penataan sistem hukum nasional yang berperspektif gender.
Kedua, aspek kesadaran kolektif masyarakat, yaitu dengan menggugah dan membangun kesadaran masyarakat untuk melakukan sosialisasi dan penerapan UU No 7 / 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Ketiga, aspek aksi dan penyiapan prasarana perlindungan korban, yaitu dengan melakukan program aksi nasional penghapusan segala tindak kekerasan terhadap perempuan dan pembentukan pusat rehabilitasi keluarga bagi perempuan dan anak perempuan korban tindak kekerasan dan eksploitasi seksual.
Kegiatan ini diharapkan dapat didukung sepenuhnya oleh masyarakat secara sukarela untuk menyiapkan sarana-prasarananya. Keberhasilan program ini membutuhkan dukungan semua pihak, termasuk juga LSM, perguruan tinggi, dan ormas.
Setiap 21 April lalu, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini. Peringatan yang merujuk pada lahirnya Raden Ajeng Kartini, 21 April 1879. Kartini hidup pada zaman ketika kekuatan budaya masyarakat sangat permisif memandang perempuan.
Kartini berani berteriak lantang. Ia berusaha mendobrak kekakuan sehingga lahirlah mainstream paradigma baru terhadap perempuan di Indonesia. Namanya pun hingga kini terus dikenang sebagai bukti perhargaan bangsa Indonesia terhadap perjuangannya.
Kisah perjuangan Kartini ini mengingatkan penulis pada kisah Hajar, istri Nabi Ibrahim AS. Hajar adalah wanita tabah dan ikhlas menerima semua ujian yang Allah berikan. Keikhlasannya menjadi sumber kekuatan dalam berjuang.
Kala itu, Ismail masih menyusu. Mereka hidup di lembah yang tandus. Suatu hari, perbekalan mereka habis, Ismail kelaparan dan kehausan, Siti Hajar lalu mencoba mencari sumber air dengan berlari-lari dari Safa ke Marwah demi anak yang merupakan amanah Allah SWT. (Lihat surah Ibrahim ayat 37).
Sampai suatu ketika, Allah menolong mereka dengan memberikan sumber air yang jernih (zamzam). Hingga kini, kisah Hajar diabadikan dan dikenang oleh seluruh umat Islam di dunia sebagai rangkaian ibadah haji dan umrah (sa'i).
Pengabadian Hajar menjadi bukti otentik bahwa Islam sangat menghargai perempuan. Hal ini tentu menjadi inspirasi bagi Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam untuk lebih menghargai perempuan, seperti Islam menghargai perjuangan dan keikhlasan Hajar dalam memperjuangkan keselamatan hidup anaknya, Ismail.
Jika dicermati, masih banyak produk hukum di Indonesia yang diskriminatif dan bias gender. Perempuan sering mengalami tindak kekerasan dan pelecehan seksual, diskriminasi, dan perlakuan sewenang-wenang di dalam keluarga, tempat kerja, dan lainnya. Akibatnya, tak hanya perempuan, anak-anak juga sering menjadi korban.
Dalam menghadapi situasi ini, ada tiga ikhtiar yang perlu dilakukan. Pertama, aspek hukum, dengan meletakkan sistem perlindungan, penghormatan, dan penegakan HAM bagi perempuan dan anak-anak dalam seluruh aspek kehidupan dan perlindungan hak anak dan anak perempuan dari eksploitasi seksual komersial dan tindak kekerasan. Untuk itu, perlu penataan sistem hukum nasional yang berperspektif gender.
Kedua, aspek kesadaran kolektif masyarakat, yaitu dengan menggugah dan membangun kesadaran masyarakat untuk melakukan sosialisasi dan penerapan UU No 7 / 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Ketiga, aspek aksi dan penyiapan prasarana perlindungan korban, yaitu dengan melakukan program aksi nasional penghapusan segala tindak kekerasan terhadap perempuan dan pembentukan pusat rehabilitasi keluarga bagi perempuan dan anak perempuan korban tindak kekerasan dan eksploitasi seksual.
Kegiatan ini diharapkan dapat didukung sepenuhnya oleh masyarakat secara sukarela untuk menyiapkan sarana-prasarananya. Keberhasilan program ini membutuhkan dukungan semua pihak, termasuk juga LSM, perguruan tinggi, dan ormas.
Daulah Abbashiyah
Daulah Abbasiyah: Abul Abbas As-Saffah (750-754 M) Khalifah Pertama
Senin, 25 April 2011 06:00 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Gerakan Abbasiyah sudah berlangsung sejak masa pemerintahan Umar bin Abdul Azis, khalifah kedelapan Daulah Umayyah. Gerakannya begitu rapi dan tersembunyi sehingga tidak diketahui pihak Bani Umayyah.
Selain itu, gerakan ini juga didukung oleh kalangan Syiah. Hal ini bisa dimaklumi karena dalam melakukan aksinya, para aktivisnya membawa-bawa nama Bani Hasyim, bukan Bani Abbas. Maka secara tidak langsung orang-orang Syiah merasa disertakan dalam perjuangan mereka.
Gerakan Abbasiyah mulai muncul di daerah Hamimah (Yordania), Kufah (Irak), dan Khurasan. Salah satu pendirinya adalah Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Setelah Muhammad bin Ali wafat, anaknya, Ibrahim menggantikan posisinya.
Pada 125 H, saat pemerintahan Bani Umayyah tengah mengalami kemundurann, gerakan Abbasiyah semakin gencar. Empat tahun kemudian, Ibrahim bin Muhammad mendeklarasikan gerakannya di Khurasan melalui panglimanya, Abu Musim Al-Khurasani. Namun gerakan ini diketahui oleh Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah. Ibrahim pun ditangkap dan dipenjara.
Posisi Ibrahim digantikan saudaranya, Abdullah bin Muhammad, yang lebih dikenal dengan sebutan Abul Abbas As-Saffah. Ia lahir pada 108 Hijriyah. Ada juga yang mengatakan 104 Hijriyah. Ibunya bernama Raithah Al-Hairitsiyah. Karena tekanan dari pihak penguasa, bersama rombongan ia berangkat ke Kufah secara sembunyi-sembunyi. Pada 3 Rabiul Awwal 132 H, Abdullah As-Saffah dibaiat sebagai khalifah pertama Bani Abbasiyah di Masjid Kufah.
Pelantikan Abul Abbas ini mengingatkan kita pada sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya. Dari Abu Said Al-Khudri, Rasulullah Saw bersabda, "Akan muncul pada suatu zaman yang carut-marut dan penuh dengan petaka, seorang penguasa yang disebut dengan As-Saffah. Dia suka memberi harta dengan jumlah yang banyak."
Riwayat lain menyebutkan bahwa gelar As-Saffah itu diberikan orang-orang karena ia terkenal dengan sifat yang tidak mengenal belas kasihan terhadap Bani Umayyah. Hal itu diakibatkan oleh dendamnya yang begitu besar, sehingga dengan dinginnya ia membunuh keturunan Bani Umayyah, termasuk orang-orang yang tidak bersalah dan tidak ikut campur dalam urusan politik sekalipun. Hal ini juga dilakukan oleh para pengikutnya.
Dalam sebuah peristiwa, Abdullah bin Ali, paman As-Saffah yang saat itu menjabat gubernur Syria dan Palestina, membantai sekitar 90 orang keluarga Bani Umayyah. Hanya sedikit keturunan Bani Umayyah yang dapat meloloskan diri.
Berita pembaiatan As-Saffah sampai juga ke telinga Marwan bin Muhammad. Dia berangkat bersama pasukannya untuk memadamkan "pemberontakan" As-Saffah. Abdullah bin Ali, paman As-Saffah, bersama pasukannya menghadapi pasukan Marwan di suatu daerah dekat Mosul. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya pasukan Marwan dapat dikalahkan. Marwan selamat dan kembali ke Syam. Namun Abdullah terus mengejarnya sehingga dia lari ke Mesir. Pengejaran dilanjutkan oleh adiknya, Shalih. Akhirnya Marwan berhasil dibunuh di suatu desa bernama Bushir pada Dzulhijjah 132 H.
Kufah merupakan pusat gerakan Bani Abbas. Di tempat ini pula As-Saffah dibaiat namun kemudian pada 134 H, ia meninggalkan Kufah menuju daerah Anbar. Sebuah tempat di pinggiran sungai Eufrat yang dikenal dengan Hasyimiyah yang dijadikan pusat pemerintahan. Belakangan dibangunlah sebuah ibukota yang dikenal hingga kini, yaitu Baghdad. Kota inilah yang menjadi ibukota Daulah Abbasiyah.
As-Saffah tidak terlalu fokus pada masalah-masalah penaklukan wilayah karena pertempuran di kawasan Turki dan Asia Tengah terus bergolak. Belum lagi karena kesibukannya dalam upaya konsolidasi internal untuk menguatkan pilar-pilar negara yang hingga saat itu belum sepenuhnya stabil. Selain ketegasannya menghabisi lawan politik, As-Saffah terkenal juga dengan kedermawanan dan ingatannya yang kuat serta keras hati.
Pejabat pemerintah yang bertugas membantu khalifah sebelumnya hanya dikenal dengan Al-Katib (sekretaris). Pada masa Abbasiyah ini, mulai muncul istilah Al-Wazir (menteri).
Abul Abbas As-Saffah meninggal pada Dzulhijjah 136 H karena penyakit yang dideritanya. Ia meninggal dalam usia 33 tahun di kota Hasyimiyah yang dibangunnya. Sebelum meninggal, ia menunjuk saudaranya, Abu Ja'far Al-Manshur sebagai pengganti. As-Saffah memangku jabatan khalifah selama empat tahun.
Redaktur: cr01
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni
Senin, 25 April 2011 06:00 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Gerakan Abbasiyah sudah berlangsung sejak masa pemerintahan Umar bin Abdul Azis, khalifah kedelapan Daulah Umayyah. Gerakannya begitu rapi dan tersembunyi sehingga tidak diketahui pihak Bani Umayyah.
Selain itu, gerakan ini juga didukung oleh kalangan Syiah. Hal ini bisa dimaklumi karena dalam melakukan aksinya, para aktivisnya membawa-bawa nama Bani Hasyim, bukan Bani Abbas. Maka secara tidak langsung orang-orang Syiah merasa disertakan dalam perjuangan mereka.
Gerakan Abbasiyah mulai muncul di daerah Hamimah (Yordania), Kufah (Irak), dan Khurasan. Salah satu pendirinya adalah Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Setelah Muhammad bin Ali wafat, anaknya, Ibrahim menggantikan posisinya.
Pada 125 H, saat pemerintahan Bani Umayyah tengah mengalami kemundurann, gerakan Abbasiyah semakin gencar. Empat tahun kemudian, Ibrahim bin Muhammad mendeklarasikan gerakannya di Khurasan melalui panglimanya, Abu Musim Al-Khurasani. Namun gerakan ini diketahui oleh Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah. Ibrahim pun ditangkap dan dipenjara.
Posisi Ibrahim digantikan saudaranya, Abdullah bin Muhammad, yang lebih dikenal dengan sebutan Abul Abbas As-Saffah. Ia lahir pada 108 Hijriyah. Ada juga yang mengatakan 104 Hijriyah. Ibunya bernama Raithah Al-Hairitsiyah. Karena tekanan dari pihak penguasa, bersama rombongan ia berangkat ke Kufah secara sembunyi-sembunyi. Pada 3 Rabiul Awwal 132 H, Abdullah As-Saffah dibaiat sebagai khalifah pertama Bani Abbasiyah di Masjid Kufah.
Pelantikan Abul Abbas ini mengingatkan kita pada sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad-nya. Dari Abu Said Al-Khudri, Rasulullah Saw bersabda, "Akan muncul pada suatu zaman yang carut-marut dan penuh dengan petaka, seorang penguasa yang disebut dengan As-Saffah. Dia suka memberi harta dengan jumlah yang banyak."
Riwayat lain menyebutkan bahwa gelar As-Saffah itu diberikan orang-orang karena ia terkenal dengan sifat yang tidak mengenal belas kasihan terhadap Bani Umayyah. Hal itu diakibatkan oleh dendamnya yang begitu besar, sehingga dengan dinginnya ia membunuh keturunan Bani Umayyah, termasuk orang-orang yang tidak bersalah dan tidak ikut campur dalam urusan politik sekalipun. Hal ini juga dilakukan oleh para pengikutnya.
Dalam sebuah peristiwa, Abdullah bin Ali, paman As-Saffah yang saat itu menjabat gubernur Syria dan Palestina, membantai sekitar 90 orang keluarga Bani Umayyah. Hanya sedikit keturunan Bani Umayyah yang dapat meloloskan diri.
Berita pembaiatan As-Saffah sampai juga ke telinga Marwan bin Muhammad. Dia berangkat bersama pasukannya untuk memadamkan "pemberontakan" As-Saffah. Abdullah bin Ali, paman As-Saffah, bersama pasukannya menghadapi pasukan Marwan di suatu daerah dekat Mosul. Setelah terjadi pertempuran sengit, akhirnya pasukan Marwan dapat dikalahkan. Marwan selamat dan kembali ke Syam. Namun Abdullah terus mengejarnya sehingga dia lari ke Mesir. Pengejaran dilanjutkan oleh adiknya, Shalih. Akhirnya Marwan berhasil dibunuh di suatu desa bernama Bushir pada Dzulhijjah 132 H.
Kufah merupakan pusat gerakan Bani Abbas. Di tempat ini pula As-Saffah dibaiat namun kemudian pada 134 H, ia meninggalkan Kufah menuju daerah Anbar. Sebuah tempat di pinggiran sungai Eufrat yang dikenal dengan Hasyimiyah yang dijadikan pusat pemerintahan. Belakangan dibangunlah sebuah ibukota yang dikenal hingga kini, yaitu Baghdad. Kota inilah yang menjadi ibukota Daulah Abbasiyah.
As-Saffah tidak terlalu fokus pada masalah-masalah penaklukan wilayah karena pertempuran di kawasan Turki dan Asia Tengah terus bergolak. Belum lagi karena kesibukannya dalam upaya konsolidasi internal untuk menguatkan pilar-pilar negara yang hingga saat itu belum sepenuhnya stabil. Selain ketegasannya menghabisi lawan politik, As-Saffah terkenal juga dengan kedermawanan dan ingatannya yang kuat serta keras hati.
Pejabat pemerintah yang bertugas membantu khalifah sebelumnya hanya dikenal dengan Al-Katib (sekretaris). Pada masa Abbasiyah ini, mulai muncul istilah Al-Wazir (menteri).
Abul Abbas As-Saffah meninggal pada Dzulhijjah 136 H karena penyakit yang dideritanya. Ia meninggal dalam usia 33 tahun di kota Hasyimiyah yang dibangunnya. Sebelum meninggal, ia menunjuk saudaranya, Abu Ja'far Al-Manshur sebagai pengganti. As-Saffah memangku jabatan khalifah selama empat tahun.
Redaktur: cr01
Sumber: Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni
Demi Waktu
mi Waktu
Sabtu, 23 April 2011 11:04 WIB
Oleh Prof Dr Asep S Muhtadi
Demi waktu. Demikian Alquran menegaskan pentingnya waktu. Isyarat tertulis seperti tercantum pada surah al-Ashr (QS 103) ini mengingatkan manusia untuk selalu menghitung dan mempertimbangkan waktu. Bahkan, setelah bersumpah demi waktu, Allah kemudian menyatakan bahwa manusia akan rugi, kecuali orang yang beriman dan beramal saleh. Lebih dari itu, surah ini juga menggarisbawahi posisi orang-orang yang senantiasa saling mengingatkan dalam kebajikan dan kesabaran. Mereka adalah orang-orang yang suka memperhatikan waktu.
Tanpa membuat prioritas atas pilihan amal yang ditempuh, manusia akan merugi. Amal-amal produktif merupakan representasi kecerdasan manusia dalam memanfaatkan waktu. Setiap jengkal langkah manusia adalah wujud pemanfaatan waktu secara produktif dan bermakna. Jika tidak, kerugian yang akan melilit kehidupan manusia.
Agar tidak merugi, perlu difasilitasi. Saat ini banyak orang yang merugi karena fasilitas hidup yang serbaterbatas. Buruknya infrastruktur jalan yang menghambat proses transportasi, merupakan salah satu faktor yang dapat membuat pengguna jalan mengalami kerugian. Rendahnya mutu sarana belajar siswa, dapat membuang waktu pembelajaran. Dan, banyak lagi kerugian yang diderita masyarakat dan bangsa ini, bila tidak memperhatikan dimensi waktu.
Mari kita menghitung kerugian yang kita lalui setiap hari. Contoh sederhana, berapa ribu jam negeri ini dibuat rugi setiap hari. Misalnya, di satu permukiman terdapat 2.000 rumah dengan penghuni produktif rata-rata satu orang setiap rumah. Masing-masing setiap hari menempuh perjalanan 10 menit lebih lama karena jalan yang dilaluinya rusak berat. Kita harus menerima kerugian waktu sebesar 20 ribu menit pada saat berangkat, ditambah 20 ribu menit pada saat kembali, sehingga sekitar 40 ribu menit hilang setiap hari atau sekitar sejuta menit selama 25 hari kerja dalam sebulan.
Kita akan rugi sekitar 17 ribu jam produktif setiap bulan, atau sekitar 204 ribu jam setiap tahun. Ini baru dari satu permukiman dengan penduduk sekitar 2000 KK. Bayangkan di dua, tiga, empat, atau sepuluh permukiman di suatu kota. Kita akan mengalami kerugian yang berlipat ganda hanya karena infrastruktur jalan rusak berat. Jadi, jika jalan-jalan di kota tidak diperbaiki, kita akan terus-menerus menuai kerugian yang besar setiap hari, bulan, dan tahun. Jadi, dalam konteks seperti ini, siapa sesungguhnya yang menjadi sumber penyebab kerugian bangsa dan negara ini?
Km
Untuk menghindari kerugian yang berlipat setiap hari, perbaikan berbagai sarana dan prasarana kerja seharusnya menjadi prioritas. Jika seorang pemimpin amanah, prioritas program untuk memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat akan menjadi misi penting yang diembannya. Dengan demikian, kerugian akan bisa dihindari.
"Sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan orang-orang yang senantiasa saling mengingatkan akan kebajikan dan kesabaran."
Sabtu, 23 April 2011 11:04 WIB
Oleh Prof Dr Asep S Muhtadi
Demi waktu. Demikian Alquran menegaskan pentingnya waktu. Isyarat tertulis seperti tercantum pada surah al-Ashr (QS 103) ini mengingatkan manusia untuk selalu menghitung dan mempertimbangkan waktu. Bahkan, setelah bersumpah demi waktu, Allah kemudian menyatakan bahwa manusia akan rugi, kecuali orang yang beriman dan beramal saleh. Lebih dari itu, surah ini juga menggarisbawahi posisi orang-orang yang senantiasa saling mengingatkan dalam kebajikan dan kesabaran. Mereka adalah orang-orang yang suka memperhatikan waktu.
Tanpa membuat prioritas atas pilihan amal yang ditempuh, manusia akan merugi. Amal-amal produktif merupakan representasi kecerdasan manusia dalam memanfaatkan waktu. Setiap jengkal langkah manusia adalah wujud pemanfaatan waktu secara produktif dan bermakna. Jika tidak, kerugian yang akan melilit kehidupan manusia.
Agar tidak merugi, perlu difasilitasi. Saat ini banyak orang yang merugi karena fasilitas hidup yang serbaterbatas. Buruknya infrastruktur jalan yang menghambat proses transportasi, merupakan salah satu faktor yang dapat membuat pengguna jalan mengalami kerugian. Rendahnya mutu sarana belajar siswa, dapat membuang waktu pembelajaran. Dan, banyak lagi kerugian yang diderita masyarakat dan bangsa ini, bila tidak memperhatikan dimensi waktu.
Mari kita menghitung kerugian yang kita lalui setiap hari. Contoh sederhana, berapa ribu jam negeri ini dibuat rugi setiap hari. Misalnya, di satu permukiman terdapat 2.000 rumah dengan penghuni produktif rata-rata satu orang setiap rumah. Masing-masing setiap hari menempuh perjalanan 10 menit lebih lama karena jalan yang dilaluinya rusak berat. Kita harus menerima kerugian waktu sebesar 20 ribu menit pada saat berangkat, ditambah 20 ribu menit pada saat kembali, sehingga sekitar 40 ribu menit hilang setiap hari atau sekitar sejuta menit selama 25 hari kerja dalam sebulan.
Kita akan rugi sekitar 17 ribu jam produktif setiap bulan, atau sekitar 204 ribu jam setiap tahun. Ini baru dari satu permukiman dengan penduduk sekitar 2000 KK. Bayangkan di dua, tiga, empat, atau sepuluh permukiman di suatu kota. Kita akan mengalami kerugian yang berlipat ganda hanya karena infrastruktur jalan rusak berat. Jadi, jika jalan-jalan di kota tidak diperbaiki, kita akan terus-menerus menuai kerugian yang besar setiap hari, bulan, dan tahun. Jadi, dalam konteks seperti ini, siapa sesungguhnya yang menjadi sumber penyebab kerugian bangsa dan negara ini?
Km
Untuk menghindari kerugian yang berlipat setiap hari, perbaikan berbagai sarana dan prasarana kerja seharusnya menjadi prioritas. Jika seorang pemimpin amanah, prioritas program untuk memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat akan menjadi misi penting yang diembannya. Dengan demikian, kerugian akan bisa dihindari.
"Sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan orang-orang yang senantiasa saling mengingatkan akan kebajikan dan kesabaran."
Langganan:
Postingan (Atom)