Oleh Ahmad Syafii Maarif
Menjadi semakin menarik seorang Tawakkul Karman dari Partai Ishlah yang biasa dikategorikan sebagai partai pendukung syariah telah tampil ke lapangan untuk meruntuhkan sistem politik yang antirakyat, tanpa membawa slogan syariah. Dalam pidato Nobelnya, tak satu pun kata syariah itu muncul. Tetapi, bahwa maq?shid al-syar?'ah (tujuan utama syariah) bagi tegaknya keadilan, kemerdekaan, dan persamaan sangat dirasakan dalam pidato itu. Prinsip-prinsip ini telah lama terkubur di bawah debu sejarah dalam masyarakat Yaman sebagaimana juga berlaku di seluruh dunia Arab. Kutipan-kutipan selanjutnya akan menjelaskan kepada kita bahwa Tawakkul memahami benar betapa ketidakadilan sejarah telah berlangsung, tidak hanya di dunia Arab, tetapi juga di bagian-bagian dunia yang lain.
"Sejak Anugerah Nobel Perdamaian pertama tahun 1901, berjuta orang telah mati dalam berbagai peperangan yang semestinya dapat dihindari sekiranya ada sedikit kearifan dan keberanian. Negeri-negeri Arab turut merasakan akibat peperangan tragis ini sekalipun bumi mereka adalah bumi kenabian dan risalah ketuhanan yang menyeru kepada perdamaian.
Dari bumi inilah datang Taurat dengan membawa pesan, "Kamu jangan membunuh" dan janji Bibel, "Rahmat bagi pejuang perdamaian," serta pesan terakhir dari Alquran yang menekankan, "Wahai kalian yang beriman, masuklah kalian ke dalam perdamaian, seluruhnya." Dan, ada lagi peringatan bahwa "barang siapa membunuh seorang bukan karena orang itu membunuh orang lain atau berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia." (QS al-Maidah: 32).
Di mata Tawakkul, perbuatan pembunuhan tanpa alasan yang benar adalah perbuatan kriminal terhadap seluruh umat manusia sebagaimana Alquran telah menegaskan sejak abad-abad silam. Tetapi, pembunuhan dalam Revolusi Arab oleh rezim penguasa masih saja berlangsung.
Selanjutnya dikatakan, "Perdamaian dalam suatu negeri tidak kurang pentingnya daripada perdamaian antara bangsa-bangsa. Peperangan bukan hanya sebuah konflik antara negara. Masih ada lagi tipe perang lain yang lebih getir, yaitu perang yang dilancarkan oleh pemimpin-pemimpin despot yang memeras rakyatnya sendiri. Ini adalah perang yang dilakukan oleh penguasa tempat rakyat memercayakan kehidupan dan nasibnya, tetapi mereka telah mengkhianati kepercayaan itu. Ini adalah perang oleh penguasa yang kepadanya rakyat telah memercayakan keamanan, tetapi justru senjata malah dibidikkan kepada rakyatnya sendiri. Inilah perang yang sekarang sedang dihadapi oleh negara-negara Arab." Tawakkul dalam pidato Nobelnya tanpa tedeng aling-aling menyerukan anak-anak muda Arab untuk meruntuhkan rezim-rezim yang tak beradab itu.
Bagi Tawakkul, damai tidak semata-mata menghentikan perang, "… tetapi juga menghentikan penindasan dan kezaliman. Di kawasan Arab kami, telah berlaku perang brutal antara pemerintah dan rakyat. Kesadaran kemanusiaan tidak mungkin berada dalam perdamaian, sementara orang menyaksikan anak-anak muda Arab ini dalam usia yang tengah mekar sedang diberondong oleh mesin-mesin maut yang dilepaskan atas mereka oleh para tiran." Para tiran inilah yang meminta fatwa kepada ulama kerajaan bagi pembenaran kelangsungan kekuasaan zalim mereka. Sekarang semuanya telah berubah berkat revolusi anak muda yang semakin terdidik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar