Sabtu, 29 Oktober 2011

akim dalam Islam

Oleh M Fuad Nasar MSc

Jabatan yang paling berat tanggung jawab dan risikonya setelah kepala negara ialah hakim. Dalam terminologi fikih klasik, hakim disebut juga qadhi. Qadhiatau ha kim berfungsi sebagai penegak hu kum dan keadilan dalam mengadili perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan. Hakim dipandang sebagai amanah yang mulia. “Jika kamu menghukum, putuskanlah hukum di antara manusia dengan adil. Se sung guhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS al-Maidah [5]: 42).

Rasul bersabda: “ Qadhi (hakim) itu ada tiga golongan; dua golongan dalam neraka dan satu golongan dalam surga.” Nabi menyebut secara garis besarnya kesalahan yang dapat membawa seorang hakim ke dalam neraka dan sifat-sifat yang akan membawa keselamatan dan kebahagiaan di dalam surga.

Dua golongan hakim yang akan terjerumus masuk neraka ialah hakim yang telah mengetahui kebenaran dan keadilan, tetapi dia menye leweng dan berbuat zalim dengan kewenangan memutuskan perkara yang ada di tangannya, serta hakim yang menjatuhkan vonis hukum tanpa ilmu, tetapi dia malu untuk meng akui ketidaktahuannya terhadap hakikat persoalan yang sedang diadilinya. Adapun hakim yang akan masuk surga ialah yang melaksanakan kebenaran dan keadilan melalui kewenangan mengadili dan memutuskan perkara yang diamanatkan kepadanya.

Menarik diperhatikan nasihat Nabi Muhammad ketika memberikan briefing kepada Ali bin Abi Thalib sebelum memangku jabatan hakim di Yaman. Sebagaimana dinukilkan oleh Imam al-Mawardi dalam kitab Al-Ah kaam as-Sulthaniyah, Nabi berpesan, “Apabila engkau mengha dapi dua pihak yang beperkara, janganlah engkau menjatuhkan putusan ba gi salah seorangnya sebelum eng kau mendengarkan keterangan yang lainnya.”

Menurut pandangan Islam, kekeliruan hakim dalam memaafkan dan membebaskan terdakwa adalah lebih baik daripada kekeliruan dalam menjatuhkan hukuman. Hikmahnya adalah untuk memperkecil kemungkinan ketelanjuran hukuman terhadap orang yang tidak bersalah.

Dalam timbangan hukum Islam, lebih baik sepuluh orang lolos dari hukuman duniawi daripada satu orang yang tidak bersalah terhukum akibat kekeliruan hakim. Dalam men jalankan tugasnya, seorang hakim tidak boleh terpengaruh oleh perasaan dendam, benci, keberpihakan pada yang beperkara, ataupun kepentingan kekuasaan. Hakim harus jujur dan adil dalam kondisi apa pun dan siapa pun.

Pada zaman Ibnu Toulun di Mesir, gaji hakim ditetapkan 1.000 dinar emas sebulan. Dan, di zaman Dau lah Fathimiyah di Mesir, gaji hakim ditetapkan 1.200 dinas emas sebulan (setara dengan 3.000 dolar AS sekarang). Dengan gaji sebesar itu dimaksudkan agar para hakim tidak mudah menerima suap atau gratifikasi.

Pada saat ini, gaji yang besar tidak menjamin seorang hakim kebal terhadap suap dan gratifikasi. Integritas hakim lebih banyak ditentukan oleh kekuatan mental spiritualnya dalam mencintai kebenaran dan kesetiaan jiwanya terhadap kesadaran hukum serta kebenaran dan keadilan yang harus ditegakkan walaupun langit akan runtuh. Oleh karena itu, tidak semua sarjana hukum layak untuk mengemban jabatan hakim. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar